"Anita, kenapa kamu nggak bikin minum buat Kendra?" Kecemasan Anita serasa mengendor mendengar pertanyaan Rahma. Anita memasang telinga dengan baik-baik. Siapa tahu, dia salah pendengaran. "Ya, Bu?" tanya Anita lagi, melihat Kendra sudah menyusul Rahma mendekat ke arahnya yang berdiri di depan pintu. "Bikinin teh buat Kendra, calon suami kamu," titah Rahma dengan jelas. Anita sekarang yakin dengan perintah ibunya. Apa yang dia bayangkan akan terjadi, sekarang musnah dari kepalanya. Amukan dan amarah ibunya tidak terjadi. "O-oh, baik, Bu." Anita hanya melirik ke arah Kendra yang memasang wajah biasa, mengikutinya untuk masuk. Anita mengernyitkan dahi, bertanya-tanya dalam hati. "Apa yang dia katakan sama ibu?" desisnya sambil berjalan ke dapur guna membuatkan teh hangat untuk Kendra dan Rahma. Dia menoleh sebentar ke ruang tamu dan melihat Kendra duduk bersama dengan Rahma. Sesuatu yang sangat jarang dia lihat ketika bersuamikan Bagas. "Ya Allah, apa mataku masih normal?" guma
Tiba-tiba Kendra mendekat. Tangan Anita otomatis memukul bahu Kendra yang mendekat padanya saat mereka telah duduk di dalam mobil. Kendra menatap heran pada Anita, tapi kemudian menyadari kesalahannya. Dia condong ke samping tanpa memberitahu Anita. "Aku cuma mau benerin seatbelt. Kamu nggak perlu khawatir," ujar Kendra setelah terdengar bunyi klik pada pengait. Wajah Anita memerah seketika. Sempat dia pikir Kendra akan macam-macam, belum juga sampai ke rumahnya. Itu membuatnya sangat malu, GR sekali. Anita hanya diam membuang pandangan ke samping dan merutuki dirinya sendiri betapa bodoh telah berburuk sangka. "Tapi, pukulan kamu lumayan juga, sakit ini lengan," ucap Kendra, membuat Anita meringis. Tentu saja pukulan dadakan tidak dia kira, malah mengeluarkan kekuatan penuh meski tidak seberapa untuk Kendra. "Maaf," sahut Anita lirih, masih dengan memalingkan muka, malu sekali. Kendra menggelengkan kepala tersenyum, lalu mulai menyalakan mesin mobil dan melaju di kecepatan perla
Sementara itu, Bagas selesai memberesi rumah. Dia menghempaskan tubuh di sofa. Badannya penuh dengan keringat. Rumah seukuran tiga ratus meter itu, dia bersihkan sendiri sejak pagi tadi dan baru selesai sore hari. "Udah selesai?" tanya Tantri tanpa menatap ke arah Bagas, hanya melirik anak lelakinya yang sekarang sedang kipas-kipas duduk di sofa. Bagas melengos. Wajahnya tampak letih sekali. "Itulah yang dilakukan Anita setiap hari, Gas. Dan kamu? Bantuin secuil aja nggak, kan? Setiap hari yang kamu tau cuma baju udah bersih, udah dicuci dan disetrika tinggal pake, makanan juga tinggal makan, kursi rumah diduduki pun nggak risih karena debu udah dibersihin sama Anita. Malah, masih kamu tambah disuruh-suruh. Mana kamu nggak bantuin momong Cia, lagi?" celoteh Tantri. Bagas berdecak kesal dengan apa yang dikatakan oleh ibunya itu. "Ya itu kewajibannya di rumah lah, Bu! Lagian, dia juga nggak kerja, nggak menghasilkan. Jadi ya harus beberes rumah. Kerjaan ibu rumah tangga kan gitu?
"Jadi, Nita kerja?" tanya Anarita, memulai percakapan. "Belum, Tante," sahut Anita, masih merasa kikuk. "Tapi ... saya mau memulai usaha pembuatan baju kecil-kecilan," imbuh Anita merendah. Memang, dia baru akan memulai usaha ibunya, melanjutkan perjuangan sang ibu. "Bagus itu. Saya dukung kamu, Nita. Terus, kedua orang tua kamu?" tanya Anarita. Bagaimanapun, dia juga ingin tahu latar belakang calon menantunya. "Saya tinggal dengan ibu saya. Ayah saya ... dia pergi, Tante." Suara Anita tercekat di tenggorokan ketika menceritakan soal ayahnya. Sebenarnya dia geram, tapi mau bagaimana lagi. "Pergi ... maksudnya?" selidik Anarita. "Ayah saya ... meninggalkan ibu demi wanita lain, Tante." Penjelasan singkat itu membuat Anarita mengangguk-angguk paham. Terkadang memang sebagian pasangan harus mengalami masa pahit seperti itu. Sebagai sesama wanita, Anarita mengerti kesakitan yang dialami oleh ibu Anita. "Maaf, saya nggak akan bahas lagi soal itu. Kita ngomongin soal kamu aja, ya?
"Ehem! Jadi, Nita ini janda gitu?" celetuk Nendra. Pria yang suka ceplas-ceplos itu memang tidak memiliki filter di mulutnya. Kendra sampai menghela napas dibuatnya. Seorang kakak yang tidak menggambarkan sifat kakak. "Nen, nggak usah komentar deh," sambar Kendra, bersungut."Eh, bener kan kataku? Apa aku salah?" tanya Nendra lagi. "Nen!" sahut Kendra sengit. "Iya, Mas Nendra, saya janda. Janda anak satu," potong Anita, sebelum keduanya benar-benar bertengkar karenanya. Nendra meringis mendengar sahutan Anita."Oh, iya." Nendra tersenyum kecut. Nyatanya, Anita berani menjawabnya di ruang makan. Dia lalu diam, sementara itu yang lain hanya diam berpikir. Kepalang sudah Anita tercebur di dalam urusan keluarga itu. Jika dia tidak dihargai hanya karena status, setidaknya dia tahu bahwa keluarga itu bukan keluarga yang nyaman baginya. Dia bisa menyingkir sebelum semua rencana terjadi. "Oh, baiklah. Nggak apa-apa," sahut Laksono, mengingat waktu yang memang terlalu singkat untuk Ke
Bagas galau sekali di kamarnya. Saat jauh dari istri, memang rasanya sangat gundah. Pikiran Bagas mulai keruh. Dia berpikir apakah Delisa memiliki pria idaman lain, padahal saat video call tadi nyata-nyata dia lihat Delisa bersama dengan keluarganya. "Huh, kenapa sih dia nggak mau pulang? Rumah udah aku bersihkan capek-capek, ternyata Delisa malah nggak pulang! Ck, aku ini suaminya, tapi kok rasanya malah nggak bisa ngatur istri, ya?" gumam Bagas sendiri. Malam itu, dia gelisah tidak bisa memejamkan kedua matanya. Berpikir macam-macam. Bagas merasa sendirian itu tidak enak. Biasanya saat masih bersama dengan Anita, dia malah bisa tidur nyenyak. Tidak terganggu sama sekali dengan tangisan Cia jika dia sudah terlelap. Bagas mulai mendesah. Rasanya aman sekali jika ada Anita di rumah itu. Berpikiran demikian membuat Bagas tersentak. Dia mendengkus dengan pikirannya sendiri. "Apa sih? Wanita itu kan nggak ada pentingnya dalam hidupku! Si Buruk Rupa pergi, Putri Raja datang. Apa yang ha
Anita lari berbalik menuju ke kamar mandi. Bertemu dengan Rahma di tengah larinya. Samar dia mendengar sungutan Rahma yang mengomel. "Udah dibilang suruh mandi juga, ngeyel," desis Rahma. Anita tidak lagi memperhatikan ucapan ibunya yang membawa nampan berisi teh dan keripik. Sementara Cia sedang digendong oleh Bik Dariyah. Bayi kecil itu sudah mengeluarkan suara bermaksud memanggil ibunya, tapi belum jelas. "Calonnya Mbak Anita ganteng lho," celetuk Bik Dariyah. Agak kewalahan mengatasi Cia yang mengulurkan tangan ke ibunya, lalu menangis karena Anita hanya mendengkus atas ucapan Bik Dariyah, lalu mencium pipinya dan masuk ke kamar mandi. Aneh sekali memang. Dibilang calon, tapi kenapa aneh sekali? Namun, Kendra memang akan menikahinya jika rencana itu berjalan lancar. Menikah? Anita malah jadi menduga-duga buruk tentang kedatangan Kendra. "Cup, cup. Cia sayang, sama bibik dulu ya? Mama lagi mandi, nanti Cia dikasih papa baru sama mama," rayu Bik Dar, membawa Cia ke ruang tamu.
Hari Senin itu, Anita memakai setelan baju olahraga berwarna biru dengan rambut dikuncir kuda, untuk jalan bersama Kendra. Sebenarnya agak bingung juga kenapa Kendra mengajaknya jalan-jalan pagi. "Arah ke mana?" tanya Kendra. "Ke taman aja. Di sana Cia bisa nyaman karena jauh dari keramaian." Kendra mengulas senyum. Dia mengangguk. Mobil dia titipkan di depan rumah Anita, lalu mereka bertiga berangkat dari rumah. "Sini, aku dorongkan," ujar Kendra mengambil alih pegangan stroller untuk dia dorong. Anita menyerahkan pegangannya ke Kendra, lalu dia berjalan melenggang, terkadang menggoda Cia di depannya. Cia yang sudah bisa merespon, tergelak dengan kelakuan ibunya. Bayi itu tidak sadar siapa yang mendorong stroller, yang dia tahu hanyalah ibunya bersamanya. Tidak hanya Cia, Kendra mengulum senyum melihat kelakuan Anita. Sebenarnya Kendra mengajak Anita pergi hanyalah untuk menghindar dari sikap ibunya yang terus mencecar dengan berbagai pertanyaan tentang Anita. Dia sumpek di rum