Sementara itu, Bagas selesai memberesi rumah. Dia menghempaskan tubuh di sofa. Badannya penuh dengan keringat. Rumah seukuran tiga ratus meter itu, dia bersihkan sendiri sejak pagi tadi dan baru selesai sore hari. "Udah selesai?" tanya Tantri tanpa menatap ke arah Bagas, hanya melirik anak lelakinya yang sekarang sedang kipas-kipas duduk di sofa. Bagas melengos. Wajahnya tampak letih sekali. "Itulah yang dilakukan Anita setiap hari, Gas. Dan kamu? Bantuin secuil aja nggak, kan? Setiap hari yang kamu tau cuma baju udah bersih, udah dicuci dan disetrika tinggal pake, makanan juga tinggal makan, kursi rumah diduduki pun nggak risih karena debu udah dibersihin sama Anita. Malah, masih kamu tambah disuruh-suruh. Mana kamu nggak bantuin momong Cia, lagi?" celoteh Tantri. Bagas berdecak kesal dengan apa yang dikatakan oleh ibunya itu. "Ya itu kewajibannya di rumah lah, Bu! Lagian, dia juga nggak kerja, nggak menghasilkan. Jadi ya harus beberes rumah. Kerjaan ibu rumah tangga kan gitu?
"Jadi, Nita kerja?" tanya Anarita, memulai percakapan. "Belum, Tante," sahut Anita, masih merasa kikuk. "Tapi ... saya mau memulai usaha pembuatan baju kecil-kecilan," imbuh Anita merendah. Memang, dia baru akan memulai usaha ibunya, melanjutkan perjuangan sang ibu. "Bagus itu. Saya dukung kamu, Nita. Terus, kedua orang tua kamu?" tanya Anarita. Bagaimanapun, dia juga ingin tahu latar belakang calon menantunya. "Saya tinggal dengan ibu saya. Ayah saya ... dia pergi, Tante." Suara Anita tercekat di tenggorokan ketika menceritakan soal ayahnya. Sebenarnya dia geram, tapi mau bagaimana lagi. "Pergi ... maksudnya?" selidik Anarita. "Ayah saya ... meninggalkan ibu demi wanita lain, Tante." Penjelasan singkat itu membuat Anarita mengangguk-angguk paham. Terkadang memang sebagian pasangan harus mengalami masa pahit seperti itu. Sebagai sesama wanita, Anarita mengerti kesakitan yang dialami oleh ibu Anita. "Maaf, saya nggak akan bahas lagi soal itu. Kita ngomongin soal kamu aja, ya?
"Ehem! Jadi, Nita ini janda gitu?" celetuk Nendra. Pria yang suka ceplas-ceplos itu memang tidak memiliki filter di mulutnya. Kendra sampai menghela napas dibuatnya. Seorang kakak yang tidak menggambarkan sifat kakak. "Nen, nggak usah komentar deh," sambar Kendra, bersungut."Eh, bener kan kataku? Apa aku salah?" tanya Nendra lagi. "Nen!" sahut Kendra sengit. "Iya, Mas Nendra, saya janda. Janda anak satu," potong Anita, sebelum keduanya benar-benar bertengkar karenanya. Nendra meringis mendengar sahutan Anita."Oh, iya." Nendra tersenyum kecut. Nyatanya, Anita berani menjawabnya di ruang makan. Dia lalu diam, sementara itu yang lain hanya diam berpikir. Kepalang sudah Anita tercebur di dalam urusan keluarga itu. Jika dia tidak dihargai hanya karena status, setidaknya dia tahu bahwa keluarga itu bukan keluarga yang nyaman baginya. Dia bisa menyingkir sebelum semua rencana terjadi. "Oh, baiklah. Nggak apa-apa," sahut Laksono, mengingat waktu yang memang terlalu singkat untuk Ke
Bagas galau sekali di kamarnya. Saat jauh dari istri, memang rasanya sangat gundah. Pikiran Bagas mulai keruh. Dia berpikir apakah Delisa memiliki pria idaman lain, padahal saat video call tadi nyata-nyata dia lihat Delisa bersama dengan keluarganya. "Huh, kenapa sih dia nggak mau pulang? Rumah udah aku bersihkan capek-capek, ternyata Delisa malah nggak pulang! Ck, aku ini suaminya, tapi kok rasanya malah nggak bisa ngatur istri, ya?" gumam Bagas sendiri. Malam itu, dia gelisah tidak bisa memejamkan kedua matanya. Berpikir macam-macam. Bagas merasa sendirian itu tidak enak. Biasanya saat masih bersama dengan Anita, dia malah bisa tidur nyenyak. Tidak terganggu sama sekali dengan tangisan Cia jika dia sudah terlelap. Bagas mulai mendesah. Rasanya aman sekali jika ada Anita di rumah itu. Berpikiran demikian membuat Bagas tersentak. Dia mendengkus dengan pikirannya sendiri. "Apa sih? Wanita itu kan nggak ada pentingnya dalam hidupku! Si Buruk Rupa pergi, Putri Raja datang. Apa yang ha
Anita lari berbalik menuju ke kamar mandi. Bertemu dengan Rahma di tengah larinya. Samar dia mendengar sungutan Rahma yang mengomel. "Udah dibilang suruh mandi juga, ngeyel," desis Rahma. Anita tidak lagi memperhatikan ucapan ibunya yang membawa nampan berisi teh dan keripik. Sementara Cia sedang digendong oleh Bik Dariyah. Bayi kecil itu sudah mengeluarkan suara bermaksud memanggil ibunya, tapi belum jelas. "Calonnya Mbak Anita ganteng lho," celetuk Bik Dariyah. Agak kewalahan mengatasi Cia yang mengulurkan tangan ke ibunya, lalu menangis karena Anita hanya mendengkus atas ucapan Bik Dariyah, lalu mencium pipinya dan masuk ke kamar mandi. Aneh sekali memang. Dibilang calon, tapi kenapa aneh sekali? Namun, Kendra memang akan menikahinya jika rencana itu berjalan lancar. Menikah? Anita malah jadi menduga-duga buruk tentang kedatangan Kendra. "Cup, cup. Cia sayang, sama bibik dulu ya? Mama lagi mandi, nanti Cia dikasih papa baru sama mama," rayu Bik Dar, membawa Cia ke ruang tamu.
Hari Senin itu, Anita memakai setelan baju olahraga berwarna biru dengan rambut dikuncir kuda, untuk jalan bersama Kendra. Sebenarnya agak bingung juga kenapa Kendra mengajaknya jalan-jalan pagi. "Arah ke mana?" tanya Kendra. "Ke taman aja. Di sana Cia bisa nyaman karena jauh dari keramaian." Kendra mengulas senyum. Dia mengangguk. Mobil dia titipkan di depan rumah Anita, lalu mereka bertiga berangkat dari rumah. "Sini, aku dorongkan," ujar Kendra mengambil alih pegangan stroller untuk dia dorong. Anita menyerahkan pegangannya ke Kendra, lalu dia berjalan melenggang, terkadang menggoda Cia di depannya. Cia yang sudah bisa merespon, tergelak dengan kelakuan ibunya. Bayi itu tidak sadar siapa yang mendorong stroller, yang dia tahu hanyalah ibunya bersamanya. Tidak hanya Cia, Kendra mengulum senyum melihat kelakuan Anita. Sebenarnya Kendra mengajak Anita pergi hanyalah untuk menghindar dari sikap ibunya yang terus mencecar dengan berbagai pertanyaan tentang Anita. Dia sumpek di rum
Bagas hanya duduk di ruang tamu, menunggu dengan perut kosong. Harapannya bisa makan bersama dengan mertuanya, tapi kenyataannya malah berbeda. Dia dianggurkan di ruang tamu. Bagas mencoba bersabar. Sampai tiga puluh menitan dia menunggu, tapi semua keluarga belum juga keluar. "Ini pada makan apa? Batu kali apa kelereng? Kenapa begitu lama? Apa mereka makan dengan manner ala restoran?" gumam Bagas. Bagas berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali dia duduk dengan gelisah. Nyaris dia menyerah dan memilih pulang, tapi Delisa sudah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah. "Maaf, menunggu lama," sambut Delisa. Suara Delisa memang halus dan tidak terdengar kasar mengajak ribut, tapi dalam dada Bagas bergemuruh meski sehalus apapun suara Delisa. Pasalnya, dia seperti tidak dianggap sebagai seorang suami. "Aku mau bicara, Sa." Suara penuh tekanan dan berat beban itu meluncur dari mulut Bagas. Mati-matian dia menahan emosinya yang bisa sewaktu-waktu meledak karena merasa diab
Anita menyuapi dirinya sendiri dengan bubur yang dibawakan oleh Kendra. Mereka berdua makan sambil duduk di atas rerumputan. "Kamu nggak risih duduk di bawah sini?" tanya Anita sambil usai menelan buburnya. Kendra menoleh ke Anita dan terkekeh. "Risih kenapa? Manusia asalnya dari tanah kan? Nantinya juga pulang ke tanah. Rerumputan malah berada di atas tanah," sahut Kendra, merasakan segarnya rumput yang bersemi di musim hujan itu. Apalagi, mereka sekarang berada di bawah pohon besar dan teduh. Cia tertidur pulas di dalam strollernya. Nikmat sekali merasakan segarnya angin sepoi-sepoi di taman itu. Anita tersenyum mendengar sahutan Kendra. Rumah Kendra besar dan mewah untuk ukurannya. Tambah juga Kendra memiliki posisi tinggi di perusahaannya, tapi dia kagum pada kata-kata yang diucapkan oleh Kendra. Dia selalu merendah. Bahkan, mungkin orang-orang tidak tahu bahwa pria yang duduk di atas rumput itu adalah seorang pemilik sebuah perusahaan. "Kamu seharusnya bisa sombong dengan a
"Lancar, Om. Syukurlah tidak ada hal yang menghambat jalannya sidang tadi." Raut lega tampak dari wajah Laksono. Anita menyapu sekitar dengan pandangannya. Tadi, Anarita ada di depan, tapi sekarang wanita itu tidak ikut serta, padahal jelas-jelas dia menyambut kedatangan Anita tadi. Anita hanya pasrah, mengikuti pembicaraan Kendra dan Laksono dengan berpura-pura ikut tersenyum. Meski dalam hatinya ada yang mengganjal. Lega sekali saat Anita bisa keluar dari rumah itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya kalau menikah sementara waktu dengan Kendra. *** Waktu berlalu. Anita semakin fokus pada perceraian dan usahanya. Hubungannya dengan Rahma sang ibu juga semakin dekat. Dia banyak mendesign baju-baju selama tiga bulan itu. Hingga surat resmi perceraiannya pun tiba. Anita merasa sangat lega, sekaligus merasa cemas akan kehidupan selanjutnya. Masa iddah Anita dihabiskan di rumah dengan mendesign baju. Suatu ketika, seorang perempuan muda mendatangi ruko di mana Rahma sedan
Bagas terhenyak melihat layar ponselnya. Setelah sidang yang cukup menegangkan karena pertama kali Bagas melakoni sidang perceraian, dia sekarang melihat daftar panggilan yang banyak. "Delisa, kenapa ya?" gumamnya, melangkah ke parkiran. Bagas memencet nomor Delisa dengan wajah cemas. Tak lama, panggilan itu diangkat oleh seseorang. "Halo," ucap Bagas mengawali karena di ujung sana memang mengangkat teleponnya, tapi tidak mengucap sepatah kata pun. "Delisa, kamu kenapa? Tadi nelepon aku–" "Bagas! Kamu itu lagi ngapain? Nggak becus jadi suami anak saya? Delisa lagi sakit gara-gara hamil. Dia butuh kamu antar ke dokter, kamu malah lelet angkat teleponnya!" Gerutuan itu, Bagas yakin bukan Delisa, melainkan ibunya. "M-ma, maaf saya nggak tau. Lalu, Delisa ada di mana sekarang, Ma?" tanya Bagas. "Huh, pake nanya. Lagian kalo kamu tau dia ada di mana sekarang, kamu bisa ke sini dalam waktu berapa detik, hah? Untung kamu cuma pegawai. Kalo kamu dokter, apa nggak keburu mati itu pasie
"Kamu nggak kerja, Ken?" tanya Anita. Sejujurnya dia tidak enak hati dengan lelaki itu. Karena dirinya, maka Kendra harus meninggalkan pekerjaannya. "Kerjaanku bisa kutinggalin sebentar. Ada asisten yang menggantikan. Soal perceraian kamu, itu pun penting karena itu akan mempengaruhi masa depanku. Papa juga nyuruh aku mengawal kamu sampai selesai proses perceraian." Anita mengangguk. Dalam hati dia merasa campur aduk karena hari ini dia akan menjalani proses perpisahannya dengan Bagas, lelaki yang sangat dia cintai. "Bulatkan tekad kamu, Anita. Dia bukan lelaki yang pantas buat kamu."Anita menoleh pada Kendra. Dia meringis, kenapa Kendra bisa menebak pikirannya? "Iya," sahut Anita. Kendra mengemudikan mobilnya menuju ke pangadilan agama. Anita terdiam mengikuti alur perjalanan dengan diam, karena banyak pikirannya kala itu. Seorang istri, menggugat cerai suaminya. Antara sedih, kecewa dan kasihan pada anaknya yang nantinya tidak memiliki ayah. Anita melirik ke arah Kendra. Dia
"Kenapa tertawa, Bu? Bukannya normal orang hamil jauh-jauh dari suaminya?" tanya Bagas, mengulang ucapan Rosmini waktu itu."Iya, ada. Tapi, nggak lama seperti ini juga. Ya ... kita lihat aja bulan selanjutnya. Biasanya wanita ngidam di awal bulan. Bisa juga dia menjadi aneh dari awal bulan sampe bulan ke sembilan, sampe pas lahiran. Kamu dikuat-kuatin aja." Bagas terbelalak mendengar ucapan Tantri. Masa dia harus menahan diri sampai sembilan bulan? Bisa gondrong nganggur. "Bu, yang bener aja?" sungutnya, tiba-tiba hilang nafsu makannya. "Udah dibilangin, dilihat aja. Bukan ibu mau bilang pasti, tapi bisa jadi. Ibu cuma mau kamu bersiap untuk menyediakan sabar yang gede menghadapi ibu hamil," terang Tantri. Sebenarnya Tantri malah merasa aneh dengan kepergian Delisa saat ini. Tambah, dia juga merasa jauh dengan keluarga Delisa sejak awal mereka bertemu dalam acara lamaran. Rasanya ada yang tidak rela juga dengan pernikahan Bagas dan Delisa. Waktu itu, Tantri menepis perasaannya. D
Anita dan Kendra pulang ke rumah. Kendra masih saja menggendong Cia yang terlihat nyaman dalam pelukannya sedari di taman tadi. "Yuk, Cia ikut mama," ajak Anita mengulurkan kedua tangan ke arah bayi tiga bulan itu. Namun, Cia bergeming. Dia tetap ingin berada dalam gendongan Kendra. "Ayo, Cia. Om Kendra mau pulang. Dia ada banyak kerjaan," bujuk Anita. Anita mengambil Cia dari gendongan Kendra. Tidak disangka, Cia menunjukkan ekspresi sedih. Hendak mewek dengan bibir melebar dan kedua matanya tampak berkaca. "Udah, sana pulang dulu. Aku bisa atasi," desis Anita pada Kendra. "Beneran nggak apa-apa?" tanya Kendra dengan wajah khawatir karena sedikit lagi dipastikan Cia akan meledakkan tangis. "Iya, nggak apa-apa. Kamu kan banyak kerjaan pastinya. Iya, kan?" tanya Anita mendorong Kendra agar segera masuk ke mobilnya. "O-oke," sahut Kendra yang masih melekatkan pandangan ke Cia yang berharap digendong lagi olehnya. "Udah, buruan," desak Anita. Kendra mengangguk. Sebelum Kendra p
"Oh, jadi kayak gitu. Menuntut cerai, lalu dengan cepat gandeng dengan pria lain. Kamu, lelaki yang waktu itu, kan?" Kendra dan Anita menoleh ke sumber suara. Di sana, berdirilah Bagas yang sedang memakai baju kerjanya. Bagas hendak bertemu dengan klien di sebuah hotel dekat dengan taman, tapi saat berjalan dia melihat sepasang pria dan wanita sedang asyik di dalam taman. Semula, dia mendapat tempat parkir jauh dari hotel hingga harus membuatnya berjalan melintasi taman. Malahan, dia melihat pemandangan di dalam taman. Hati Anita masih bergetar saat melihat Bagas. Dia ingin menggelengkan kepala, tapi Kendra sudah berjalan menjauh, untuk mendekati Bagas. Anita menjadi gelisah melihat itu. "Kalo iya, kenapa?" tanya Kendra. Dua lelaki itu sekarang berdiri berhadapan. Bagas meletakkan kedua tangan di pinggang, tapi Kendra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan santai. "Kamu tau etika, nggak? Dia itu belum cerai. Kenapa kalian berduaan di sini?" tanya Bagas, menunjuk d
Bagas tidak menyahut lagi. Sebagai seorang lelaki, dia tidak ingin banyak berdebat. Selama ini, dengan Anita juga begitu. Jika ada sesuatu yang salah menurutnya, maka Anita hanya diam menurut. Isti memandangnya dengan pandangan aneh, mulutnya komat-kamit mengomeli Bagas yang ternyata di luar ekspektasinya. Bagas berjalan ke warung sore itu. Jarang, bahkan tidak pernah dia pergi ke warung setelah menikah dengan Anita. Karena itu, semua orang menatapnya dengan heran. Termasuk pemilik warung. "Oh, Mas Bagas. Kok tumben?" tanyanya. "Iya, mau beli beras dua kilo, Bu. Sama ayam sekilo aja," ujar Bagas tanpa menunggu pertanyaan lain dari mulut pemilik warung. "Oh, baik, Mas. Dua kilo, ya? Tumben banyak? Ada tamu, kah?" cecar pemilik warung.Bagas memutar kedua bola matanya. Kenapa orang-orang selalu mengurusi urusan orang lain? Dia malas sekali. Andai dia tahu akan jadi seperti itu, dia memilih berbelanja ke supermarket saja. Namun, dengan pertanyaan itu, dia penasaran juga bagaimana k
"Ambilkan nasi dan sayurnya buat Kendra, Nita," titah Rahma saat mereka sudah berada di ruang makan. "Eh, saya bisa ambil sendiri kok, Tante." Kendra meraih sendok nasi, segera mengambil nasi dan sayurnya sendiri. Rahma memperhatikan Kendra yang melakukannya secara mandiri. Anita juga bengong melihat itu. Kendra menatap keduanya dengan tidak mengerti. "Eh, kamu mandiri sekali, Kendra." Rahma takjub dengan pria macam Kendra. Kendra hanya tersenyum. Meski kaya, tapi sedari kecil dia selalu diajari soal kemandirian. Jadi dari kecil dia selalu melakukan hal-hal yang diremehkan lelaki, seperti mencuci piring. "Ya udah, aku ambilkan sayurnya aja," sahut Anita. Tangannya langsung mengambilkan sayur untuk Kendra yang menyodorkan piring berisi nasinya. Rahma melihat itu seraya tersenyum-senyum. Begitulah yang dia ingin lihat dari rumah tangga anaknya. Selama ini, dia belum pernah melihat pemandangan harmonis di rumah tangga Anita. Makan di rumahnya saja Bagas tidak pernah, apalagi meliha
Anita menyuapi dirinya sendiri dengan bubur yang dibawakan oleh Kendra. Mereka berdua makan sambil duduk di atas rerumputan. "Kamu nggak risih duduk di bawah sini?" tanya Anita sambil usai menelan buburnya. Kendra menoleh ke Anita dan terkekeh. "Risih kenapa? Manusia asalnya dari tanah kan? Nantinya juga pulang ke tanah. Rerumputan malah berada di atas tanah," sahut Kendra, merasakan segarnya rumput yang bersemi di musim hujan itu. Apalagi, mereka sekarang berada di bawah pohon besar dan teduh. Cia tertidur pulas di dalam strollernya. Nikmat sekali merasakan segarnya angin sepoi-sepoi di taman itu. Anita tersenyum mendengar sahutan Kendra. Rumah Kendra besar dan mewah untuk ukurannya. Tambah juga Kendra memiliki posisi tinggi di perusahaannya, tapi dia kagum pada kata-kata yang diucapkan oleh Kendra. Dia selalu merendah. Bahkan, mungkin orang-orang tidak tahu bahwa pria yang duduk di atas rumput itu adalah seorang pemilik sebuah perusahaan. "Kamu seharusnya bisa sombong dengan a