Hari itu, langit tampak mendung saat Valeria tiba di markas Salvatore. Meski tubuhnya masih lemah dan perutnya mulai terasa lebih sensitif karena kehamilannya, tekadnya tak tergoyahkan.Morgan menuntun Valeria keluar dari mobil. Begitu turun dari mobil, semua anak buah Salvatore yang masih setia kepadanya segera menyambut."Nyonya Marino." Salah satu pria berbadan tegap membungkuk hormat.Mereka tidak lagi menyebutnya dengan nama gadisnya—karena Valeria kini adalah istri sah dari Salvatore Marino. Dengan status itu, ia juga otomatis menjadi pemilik markas ini, menggantikan Salvatore yang masih menghilang."Kami siap menerima perintah Anda," lanjut pria itu."Apa ini tidak masalah?" bisik Morgan merasa khawatir karena Valeria seperti masuk ke sarang pembunuh.Valeria mengangguk, menepuk punggung Morgan untuk meyakinkan pria itu. Lalu bergantian menatap semua orang di sana dengan tatapan tajam dan penuh wibawa."Terima kasih," jawabnya dengan suara tenang, tapi berisi. "Mulai hari ini,
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar ruang makan keluarga Moretti. Valeria baru saja keluar dari lift, menuju ke ruang makan.Aroma kopi dan roti panggang mengisi ruangan, tapi suasana di meja makan terasa tegang. Lorenzo nampak tak seperti biasanya, terlihat ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan putrinya itu.Valeria duduk di kursinya dengan ekspresi kosong. Di depannya, Lorenzo dan Elena saling bertukar pandang, menyadari perubahan drastis pada putri mereka selama beberapa hari ini.Valeria menyendok makanannya tanpa benar-benar menikmatinya. Sikapnya dingin. Tatapannya tajam, pikirannya jelas tidak ada di sini.Lorenzo akhirnya membuka suara. "Valeria," panggilnya, suaranya tegas. "Aku ingin kau mendengarkan dengan baik."Valeria tetap diam, matanya masih fokus pada makanan di piringnya. Dia seperti kehilangan jiwanya karena hampir dua bulan ini tidak bisa menemukan petunjuk apapun tentang keberadaan Salvatore."Kau harus berhenti mencarinya. Serahkan urusan ini kep
Di dalam mobil, Valeria duduk dengan wajah pucat, matanya sayu, tapi sorotnya tetap tajam. Tangannya bertumpu di paha, sedikit gemetar karena kelelahan. Perutnya terasa sedikit mual, tapi pikirannya terlalu sibuk untuk peduli.Morgan, yang mengemudikan mobil dengan fokus, sesekali melirik Valeria melalui kaca spion. Dia melihat bagaimana Valeria terlihat semakin lemah.Akhirnya, dia membuka suara. "Valeria, kau harus kembali ke rumah." Suaranya tegas tapi tetap lembut.Valeria hanya diam, tatapannya tetap fokus ke layar ponsel yang memutar rekaman CCTV. Dia baru saja mendapatkan laporan dari anak buah Salvatore tentang apa yang mereka temukan.Morgan melanjutkan, "kau terlihat sangat lemah. Aku bisa mengurus ini, kau istirahat saja."Tanpa mengalihkan tatapannya, Valeria menjawab dengan nada datar. "Tidak."Morgan menghela napas. Dia tahu Valeria keras kepala, tapi ini sudah keterlaluan."Kau tidak bisa terus seperti ini," desaknya. "Jika kau terus memaksakan diri, bukan hanya kau yan
Hujan turun perlahan, membasahi jalanan kota yang mulai gelap. Lampu-lampu kota bersinar redup, mencerminkan suasana hati Valeria yang kacau.Tanpa sadar, mobil yang dia kemudikan berhenti di depan Filarete Tower. Jari-jarinya masih mencengkeram setir dengan erat, tetapi pikirannya melayang jauh. Dadanya terasa sesak, hatinya penuh dengan kehampaan yang menyesakkan.Tangan Valeria berlumur darah. Jejak perlawanan dari perawat yang tadi dia siksa demi mendapatkan jawaban. Bajunya pun kotor, bercampur antara darah dan air hujan yang mulai merembes dari jendela mobil yang sedikit terbuka.Dengan langkah berat, Valeria turun dari mobil. Tumit sepatunya beradu dengan trotoar yang basah, menghasilkan suara yang bergema di antara kesunyian malam.Matanya menatap gedung menjulang tinggi di hadapannya. Filarete Tower, bangunan yang pernah menjadi saksi bisu pertemuannya dengan Salvatore. Tempat di mana awal Valeria mulai mengagumi pria itu.Namun sekarang… Salvatore menghilang, dan Valeria mer
Suara deburan ombak terdengar sayup-sayup dari kejauhan, menyatu dengan hembusan angin laut yang menerobos masuk melalui jendela besar vila mewah itu.Di dalam kamar bernuansa klasik dengan lampu kuning temaram, seorang wanita duduk di samping ranjang. Matanya teduh, jemarinya menggenggam erat tangan seorang pria yang tengah terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang berlapis seprai sutra putih.Salvatore.Wajah pria itu tampak pucat, napasnya teratur tetapi lemah. Perban melilit sebagian dahinya, beberapa ada di tangannya, dan tubuhnya tampak tak berdaya.Amara menggenggam tangan Salvatore semakin erat. Pikirannya mengenang waktu tiga bulan yang lalu saat Alessio membawanya ke sini dan bertemu Salvatore yang tak berdaya di kamar ini.Waktu itu, dia menatap wajah Salvatore dengan ekspresi yang sulit diartikan—entah kasihan, entah sesuatu yang lebih dalam lagi. Satu tangannya terangkat, mengelus pipi Salvatore dengan lembut."Salvatore ..., kau di sini," bisiknya pelan, hampir seperti
Malam itu, hujan turun deras, membasahi kaca besar di kamar Valeria.Di balik jendela yang dipenuhi embun, Valeria berdiri diam, menatap kelam ke luar sana. Cahaya kilat sesekali menerangi wajahnya yang terlihat semakin pucat dan lelah.Tangan Valeria perlahan menyentuh perutnya yang masih rata. "Salvatore ..., di mana kau?" bisiknya lirih.Hampir tiga bulan berlalu. Tiga bulan penuh pencarian. Tiga bulan penuh harapan yang semakin hari semakin terkikis.Dia sudah mengerahkan segalanya, menghancurkan semua yang menghalangi jalannya, menyiksa siapa pun yang mencurigakan. Tapi hasilnya tetap sama. Kosong, buntu.Bahkan perawat yang dia siksa habis-habisan pun hanya menangis dan mengaku tak tahu apa pun. Hanya sebuah pengantar yang menjalankan tugas. Tanpa petunjuk ke mana Salvatore dibawa. Tanpa sedikit pun jejak untuk diikuti.Valeria menggigit bibirnya, menahan kepedihan yang membuncah. Tangannya terkepal, tubuhnya bergetar menahan emosi yang hampir habis terkuras. Haruskah dia menyer
Di malam berikutnya, angin berhembus dingin di sepanjang jalan kota. Langit dipenuhi bintang, tetapi bagi Valeria, malam ini terasa kosong dan gelap.Dia menutup pintu mobil dengan tenang, matanya menatap restoran mewah di hadapannya—tempat di mana dia dan Salvatore biasa makan bersama. Setiap sudut restoran itu menyimpan kenangan yang kini terasa seperti belati yang menusuk hatinya. Valeria memang berniat pergi ke restoran ini sendirian karena sangat merindukan Salvatore.Dia menghela napas, mencoba menenangkan diri. Namun, baru saja dia melangkahkan kaki ke depan, sesuatu menarik bajunya dengan kasar dari belakang."Dasar perempuan jalang! Apa kau pikir hidupmu akan terus bahagia setelah menghancurkan keluargaku?!" Suara nyaring dan penuh kebencian itu memenuhi telinganya.Valeria tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang berbicara. Isabella Ricci.Perempuan itu tampak begitu berantakan—rambutnya acak-acakan, wajahnya kuyu, dan pakaian yang ia kenakan lusuh. Jelas sekali hidup
Suara monitor detak jantung semakin cepat, memantul di seluruh ruangan dengan irama yang tidak biasa. Amara, yang baru saja membuka pintu kamar, langsung membelalak melihat pemandangan di hadapannya.Salvatore mengejang. Tubuhnya bergetar hebat, kedua tangannya mengepal di atas ranjang, napasnya tersengal, dan wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan yang luar biasa."Salvatore?!" Suara Amara bergetar saat dia berlari mendekat.Ini buruk. Sangat buruk.Keringat dingin membasahi pelipis pria itu, dadanya naik turun dengan tidak normal. Dia masih belum sadar, namun tubuhnya seolah sedang berjuang melawan sesuatu yang tak kasat mata.Amara meraih tangannya, berusaha menggenggamnya erat, tapi tubuh Salvatore begitu panas—seolah dia sedang terbakar dari dalam."T-Tidak ...! Bertahanlah!"Amara hampir menangis. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ini pertama kalinya dia melihat Salvatore dalam kondisi seperti ini.Dari mana asal reaksi ini?! Apakah karena obatnya?!Pikiran Amara kalut. Dia seg
Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da
Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba
Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t
Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi
Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa
Kamar tidur itu terasa hangat dengan cahaya lembut yang memancar dari lampu meja. Udara malam yang sejuk menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang mengalir seperti ombak tenang. Di depan cermin besar yang terpasang di dinding, Valeria berdiri dengan ekspresi frustrasi.Tangannya sibuk menarik-narik gaun berwarna pastel yang kini tampak terlalu ketat di bagian perutnya yang membuncit. Pakaian lain berserakan di sekitar kakinya, menandakan betapa keras usahanya untuk menemukan sesuatu yang nyaman dikenakan."Kenapa sih nggak ada satu pun yang muat? Apa aku harus pakai bajunya Aunty Giulia aja mulai sekarang?" Valeria mengomel sendiri, wajahnya berkerut lucu.Pintu kamar berderit pelan, dan Salvatore muncul di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun sorot matanya dipenuhi rasa cinta yang mendalam.Setelah percakapannya dengan Lorenzo di tepi kolam, perasaannya seolah memuncak—seakan ada benang merah yang mengikat hatinya lebih erat kepada Valeria. Rasa
Malam merambat pelan, membawa kesunyian yang menenangkan di sekitar rumah keluarga Morreti. Angin sepoi-sepoi membelai permukaan kolam renang, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di tepi kolam itu, Salvatore duduk di bangku kayu, membiarkan pikirannya melayang.Bersama semua kegugupan dan ketakutannya, akhirnya dia merasa lega. Keluarga Valeria menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu embel-embel masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Namun, di tengah kelegaan itu, terselip perasaan kosong—seperti ada bagian dirinya yang masih hilang di dalam kabut ingatan yang gelap."Kau sendirian di sini?"Suara berat namun lembut itu membuat Salvatore menoleh. Lorenzo berdiri di belakangnya, membawa dua gelas wine di tangannya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik mata yang bijak itu, ada rasa lelah yang terpendam."Ya, aku hanya ..., mencoba menenangkan diri dan mencari udara segar." Salvatore tersenyum tipis.Lorenzo menyerahkan salah satu gelas wine kepada Salvatore dan
Sebuah mobil hitam mengawal perjalanan Salvatore menuju ke kediaman Morreti dan rombongan lainnya kembali ke markas. Morgan yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik Salvatore lewat kaca spion, melihat pria itu menggigit bibir bawahnya, tanda jelas kegugupan."Hei, tenang saja." Morgan membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Keluarga Valeria tidak menggigit, kok."Salvatore menghela napas panjang. "Itu bukan masalahnya. Aku tidak ingat apa-apa. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"Valeria, yang duduk di samping Salvatore, menggenggam tangannya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan mencintaimu, Salvatore. Lagipula, aku di sini bersamamu."Salvatore menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh keyakinan Valeria. Perlahan, kegugupannya sedikit mereda."Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya?" bisik Salvatore, suaranya penuh harap."Tidak akan." Valeria tersenyum lembut.Morgan sedikit merinding dan tertawa geli diam-diam. Salv