Valeria duduk di tepi jendela kamar, tatapannya kosong menembus langit sore yang mulai memerah. Tangannya perlahan mengusap perutnya yang masih rata, merasakan kehangatan yang kini tumbuh di dalam dirinya."Salvatore …," bisiknya lirih.Janin yang tumbuh di dalam perutnya, Valeria bisa menduga itu adalah hasil dengan hubungannya terakhir kali dengan Salvatore. Entah ini membuatnya bahagia atau sedih.Seandainya pria itu ada di sini, tentu ini akan menjadi kabar yang membahagiakan. Mereka akan merayakan kehamilan ini bersama, Salvatore pasti akan melindungi dirinya dan bayi mereka dengan segala cara.Tapi kenyataannya… Salvatore menghilang.Selama seminggu terakhir, Valeria telah mencari ke berbagai tempat. Ia sudah mendatangi mansion Salvatore, berharap pria itu kembali ke rumah mereka—tapi yang ia temui hanyalah rumah kosong yang sunyi.Ia juga telah pergi ke markas Salvatore, tempat semua rencana dan strategi bisnisnya dijalankan. Morgan membantunya, tetapi tidak ada jejak Salvatore
Hari itu, langit tampak mendung saat Valeria tiba di markas Salvatore. Meski tubuhnya masih lemah dan perutnya mulai terasa lebih sensitif karena kehamilannya, tekadnya tak tergoyahkan.Morgan menuntun Valeria keluar dari mobil. Begitu turun dari mobil, semua anak buah Salvatore yang masih setia kepadanya segera menyambut."Nyonya Marino." Salah satu pria berbadan tegap membungkuk hormat.Mereka tidak lagi menyebutnya dengan nama gadisnya—karena Valeria kini adalah istri sah dari Salvatore Marino. Dengan status itu, ia juga otomatis menjadi pemilik markas ini, menggantikan Salvatore yang masih menghilang."Kami siap menerima perintah Anda," lanjut pria itu."Apa ini tidak masalah?" bisik Morgan merasa khawatir karena Valeria seperti masuk ke sarang pembunuh.Valeria mengangguk, menepuk punggung Morgan untuk meyakinkan pria itu. Lalu bergantian menatap semua orang di sana dengan tatapan tajam dan penuh wibawa."Terima kasih," jawabnya dengan suara tenang, tapi berisi. "Mulai hari ini,
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar ruang makan keluarga Moretti. Valeria baru saja keluar dari lift, menuju ke ruang makan.Aroma kopi dan roti panggang mengisi ruangan, tapi suasana di meja makan terasa tegang. Lorenzo nampak tak seperti biasanya, terlihat ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan putrinya itu.Valeria duduk di kursinya dengan ekspresi kosong. Di depannya, Lorenzo dan Elena saling bertukar pandang, menyadari perubahan drastis pada putri mereka selama beberapa hari ini.Valeria menyendok makanannya tanpa benar-benar menikmatinya. Sikapnya dingin. Tatapannya tajam, pikirannya jelas tidak ada di sini.Lorenzo akhirnya membuka suara. "Valeria," panggilnya, suaranya tegas. "Aku ingin kau mendengarkan dengan baik."Valeria tetap diam, matanya masih fokus pada makanan di piringnya. Dia seperti kehilangan jiwanya karena hampir dua bulan ini tidak bisa menemukan petunjuk apapun tentang keberadaan Salvatore."Kau harus berhenti mencarinya. Serahkan urusan ini kep
Di dalam mobil, Valeria duduk dengan wajah pucat, matanya sayu, tapi sorotnya tetap tajam. Tangannya bertumpu di paha, sedikit gemetar karena kelelahan. Perutnya terasa sedikit mual, tapi pikirannya terlalu sibuk untuk peduli.Morgan, yang mengemudikan mobil dengan fokus, sesekali melirik Valeria melalui kaca spion. Dia melihat bagaimana Valeria terlihat semakin lemah.Akhirnya, dia membuka suara. "Valeria, kau harus kembali ke rumah." Suaranya tegas tapi tetap lembut.Valeria hanya diam, tatapannya tetap fokus ke layar ponsel yang memutar rekaman CCTV. Dia baru saja mendapatkan laporan dari anak buah Salvatore tentang apa yang mereka temukan.Morgan melanjutkan, "kau terlihat sangat lemah. Aku bisa mengurus ini, kau istirahat saja."Tanpa mengalihkan tatapannya, Valeria menjawab dengan nada datar. "Tidak."Morgan menghela napas. Dia tahu Valeria keras kepala, tapi ini sudah keterlaluan."Kau tidak bisa terus seperti ini," desaknya. "Jika kau terus memaksakan diri, bukan hanya kau yan
Hujan turun perlahan, membasahi jalanan kota yang mulai gelap. Lampu-lampu kota bersinar redup, mencerminkan suasana hati Valeria yang kacau.Tanpa sadar, mobil yang dia kemudikan berhenti di depan Filarete Tower. Jari-jarinya masih mencengkeram setir dengan erat, tetapi pikirannya melayang jauh. Dadanya terasa sesak, hatinya penuh dengan kehampaan yang menyesakkan.Tangan Valeria berlumur darah. Jejak perlawanan dari perawat yang tadi dia siksa demi mendapatkan jawaban. Bajunya pun kotor, bercampur antara darah dan air hujan yang mulai merembes dari jendela mobil yang sedikit terbuka.Dengan langkah berat, Valeria turun dari mobil. Tumit sepatunya beradu dengan trotoar yang basah, menghasilkan suara yang bergema di antara kesunyian malam.Matanya menatap gedung menjulang tinggi di hadapannya. Filarete Tower, bangunan yang pernah menjadi saksi bisu pertemuannya dengan Salvatore. Tempat di mana awal Valeria mulai mengagumi pria itu.Namun sekarang… Salvatore menghilang, dan Valeria mer
Suara deburan ombak terdengar sayup-sayup dari kejauhan, menyatu dengan hembusan angin laut yang menerobos masuk melalui jendela besar vila mewah itu.Di dalam kamar bernuansa klasik dengan lampu kuning temaram, seorang wanita duduk di samping ranjang. Matanya teduh, jemarinya menggenggam erat tangan seorang pria yang tengah terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang berlapis seprai sutra putih.Salvatore.Wajah pria itu tampak pucat, napasnya teratur tetapi lemah. Perban melilit sebagian dahinya, beberapa ada di tangannya, dan tubuhnya tampak tak berdaya.Amara menggenggam tangan Salvatore semakin erat. Pikirannya mengenang waktu tiga bulan yang lalu saat Alessio membawanya ke sini dan bertemu Salvatore yang tak berdaya di kamar ini.Waktu itu, dia menatap wajah Salvatore dengan ekspresi yang sulit diartikan—entah kasihan, entah sesuatu yang lebih dalam lagi. Satu tangannya terangkat, mengelus pipi Salvatore dengan lembut."Salvatore ..., kau di sini," bisiknya pelan, hampir seperti
Malam itu, hujan turun deras, membasahi kaca besar di kamar Valeria.Di balik jendela yang dipenuhi embun, Valeria berdiri diam, menatap kelam ke luar sana. Cahaya kilat sesekali menerangi wajahnya yang terlihat semakin pucat dan lelah.Tangan Valeria perlahan menyentuh perutnya yang masih rata. "Salvatore ..., di mana kau?" bisiknya lirih.Hampir tiga bulan berlalu. Tiga bulan penuh pencarian. Tiga bulan penuh harapan yang semakin hari semakin terkikis.Dia sudah mengerahkan segalanya, menghancurkan semua yang menghalangi jalannya, menyiksa siapa pun yang mencurigakan. Tapi hasilnya tetap sama. Kosong, buntu.Bahkan perawat yang dia siksa habis-habisan pun hanya menangis dan mengaku tak tahu apa pun. Hanya sebuah pengantar yang menjalankan tugas. Tanpa petunjuk ke mana Salvatore dibawa. Tanpa sedikit pun jejak untuk diikuti.Valeria menggigit bibirnya, menahan kepedihan yang membuncah. Tangannya terkepal, tubuhnya bergetar menahan emosi yang hampir habis terkuras. Haruskah dia menyer
Di malam berikutnya, angin berhembus dingin di sepanjang jalan kota. Langit dipenuhi bintang, tetapi bagi Valeria, malam ini terasa kosong dan gelap.Dia menutup pintu mobil dengan tenang, matanya menatap restoran mewah di hadapannya—tempat di mana dia dan Salvatore biasa makan bersama. Setiap sudut restoran itu menyimpan kenangan yang kini terasa seperti belati yang menusuk hatinya. Valeria memang berniat pergi ke restoran ini sendirian karena sangat merindukan Salvatore.Dia menghela napas, mencoba menenangkan diri. Namun, baru saja dia melangkahkan kaki ke depan, sesuatu menarik bajunya dengan kasar dari belakang."Dasar perempuan jalang! Apa kau pikir hidupmu akan terus bahagia setelah menghancurkan keluargaku?!" Suara nyaring dan penuh kebencian itu memenuhi telinganya.Valeria tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang berbicara. Isabella Ricci.Perempuan itu tampak begitu berantakan—rambutnya acak-acakan, wajahnya kuyu, dan pakaian yang ia kenakan lusuh. Jelas sekali hidup
Matahari siang di Milan menyinari jendela kamar rumah sakit, menciptakan bayangan lembut di lantai keramik putih. Sofia duduk di tepi ranjangnya, jemarinya gemetar saat merapikan pakaian ke dalam koper kecil. Tubuhnya sudah membaik, dan sesuai keputusan pengadilan, hari ini dia harus kembali ke penjara.Isabella, ibunya, dengan sabar membantu melipat baju dan memasukkannya ke dalam koper. Namun, keheningan di antara mereka terasa berat.Tak ada lagi percakapan ringan atau tawa seperti dulu. Hanya suara gesekan kain dan resleting koper yang mengisi ruangan.Pintu kamar terbuka perlahan. Julian, muncul di ambang pintu dengan ekspresi datar. "Mom, dokter memanggilmu," katanya singkat.Isabella menoleh, sejenak ragu. "Julian, tolong bantu adikmu berkemas, ya? Mommy akan segera kembali."Tanpa menunggu jawaban, Isabella melangkah keluar, meninggalkan Julian dan Sofia berdua.Julian mengambil alih koper, tangannya dengan terampil memasukkan barang-barang Sofia tanpa suara. Gerakannya efisie
Musim semi di Jepang selalu memancarkan pesona tersendiri. Bunga sakura yang bermekaran, angin sepoi-sepoi yang membawa harum bunga, dan sinar matahari yang hangat menyelimuti halaman rumah sakit.Valeria duduk di kursi roda, menikmati pemandangan itu dengan senyum tipis di wajahnya. Firgo mendorong kursi rodanya perlahan, memastikan Valeria merasa nyaman."Indah, ya?" gumam Valeria, matanya tak lepas dari kelopak bunga sakura yang beterbangan tertiup angin."Memang," jawab Firgo. "Seindah keberanianmu malam itu. Kau tahu, aku masih tidak habis pikir kenapa kau begitu nekat."Valeria menoleh, keningnya sedikit berkerut. "Kau marah padaku?""Bukan marah." Firgo menghela napas. "Lebih ke jengkel. Kau tidak memikirkan keselamatanmu sendiri dan itu membuat panik seluruh pasukan saat melihatmu berlari ke arah Tuan Salvatore dan menodong pria yang menyerangnya dengan pistol. Tapi ..., aku salut. Kau benar-benar berbeda dari kebanyakan wanita."Valeria tersenyum. "Aku hanya melakukan apa yan
Antonio berdiri di samping brankar tidurnya, tubuhnya yang masih dipenuhi perban bergerak perlahan saat dia mengganti pakaian rumah sakit dengan setelan kasual. Luka-luka di tubuhnya masih terlihat jelas, namun dia sepertinya tidak terganggu dengan itu. Pintu kamar rawat terbuka perlahan, dan Salvatore masuk dengan langkah hati-hati."Kau sudah mau pergi?" tanya Salvatore dengan nada khawatir.Antonio tersenyum tipis. "Aku sudah terlalu lama di sini. Ada banyak hal yang harus kuurus."Salvatore berjalan mendekat, meski kakinya masih gemetar, ia mencoba menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. "Biar aku yang bantu. Apa yang bisa kulakukan?""Tidak perlu." Antonio menggeleng pelan, memasukkan kemejanya ke dalam celana. "Kau percayalah padaku. Aku akan mengurus semuanya. Saat ini, yang perlu kau lakukan adalah fokus pada kesembuhanmu."Salvatore menghela napas. "Tapi—""Jangan khawatir." Antonio menepuk bahu Salvatore, "kita sudah sejauh ini. Kau hanya perlu pulih dulu. Biar aku yang jaga se
Sinar matahari sore menembus jendela rumah sakit, memberikan kilau hangat di ruangan putih yang biasanya terasa dingin. Salvatore mendorong pintu perlahan, mencoba tidak membuat suara yang mengganggu. Matanya langsung tertuju pada Valeria, yang masih terbaring di ranjangnya dengan wajah pucat namun tersenyum manis begitu melihatnya."Hei," sapa Salvatore dengan lembut.Valeria langsung menoleh ke arahnya dan tersenyum ceria. Senyuman itu—senyuman yang sejak dulu selalu membuatnya merasa tenang, Salvatore mengingat rasa itu. Namun senyuman itu kini justru membuat dadanya berdegup lebih kencang.Valeria membalas sapaan itu dengan suara pelan. "Kau kembali.""Ya, bagaimana keadaanmu? Merasa lebih baik?"Valeria mengangguk pelan. "Hm, lebih baik daripada kemarin."Salvatore mengangkat kantong belanja di tangannya. "Aku membawakanmu makanan dan buah-buahan. Juga susu vanilla, seperti yang kau inginkan."Tatapan Valeria berbinar. "Susu vanilla? Kau ingat?"Salvatore tersipu, meletakkan bara
Firgo mengetuk pintu kamar rawat inap Valeria sebelum masuk. Wajahnya tenang, tetapi matanya menyiratkan kekhawatiran. Dia menyerahkan telepon genggamnya kepada Valeria. "Morgan ingin bicara."Valeria mengangkat alis, "Oh, sepertinya akan ada sesi ceramah gratis."Begitu telepon menempel di telinganya, suara Morgan langsung terdengar—keras dan penuh emosi."Valeria! Apa yang kau pikirkan?! Pergi tanpa bilang apa-apa, ikut operasi berbahaya dalam keadaan hamil pula! Kau tahu betapa gilanya aku mencari-cari kabar tentangmu?!"Valeria menarik napas panjang, memegang telepon dengan satu tangan, sementara tangan lainnya dengan lembut mengelus perutnya yang masih terasa perih. "Aku baik-baik saja, Morgan. Kau tidak perlu berteriak begitu.""Jangan bilang aku tidak perlu berteriak! Kau pikir ini lelucon? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?! Dan bayi itu?!" Di ujung sana Morgan sedang mondar-mandir di lobi markas Il Leone d'Ombra.Senyum kecil menghiasi wajah Valeria. "Bayi ini baik-baik s
Valeria membuka matanya perlahan. Cahaya lampu kamar rawat terasa menyilaukan, tetapi bukan itu yang membuatnya tercekat. Di sampingnya, Salvatore duduk dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Tatapan pria itu tajam, tetapi terselip kegelisahan yang sulit disembunyikan."Salvatore ...." Suara Valeria serak, hampir berbisik. "Bagaimana dengan bayiku?"Begitu mendengar suaranya, Salvatore langsung menggenggam tangannya erat. "Kau sudah sadar? Dia ..., baik-baik saja."Valeria menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Rasa sakit di perutnya masih terasa, tetapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat dadanya sesak—haru, rindu, dan kelegaan yang begitu mendalam.Salvatore ada di sini.Tangannya gemetar saat dia mengangkatnya, menyentuh pipi pria itu dengan lembut. "Aku ..., aku pikir aku tak akan pernah melihatmu lagi." Suaranya pecah dalam isakan kecil.Salvatore mengeraskan rahangnya, menahan emosinya sendiri. "Aku di sini. Aku ..., tidak akan ke mana-mana."Air mata Valeria ak
Malam di Milan terasa dingin. Julian berjalan keluar dari rumah sakit dengan langkah tenang, tetapi pikirannya kacau. Ibunya masih di dalam, menjaga Sofia—adiknya yang telah menghancurkan hidupnya. Sang ayah, Giovani, bahkan tak peduli lagi dengan keluarga mereka sejak nama besar Ricci runtuh.Saat Julian hendak berjalan ke mobilnya, suara familiar menghentikan langkahnya."Julian?"Dia mendesah pelan, lalu menoleh. Margareta berdiri tak jauh darinya, mengenakan mantel mahal yang dulu mungkin ia beli dari uang Julian sendiri. Wajah wanita itu masih sama—cantik, angkuh, penuh percaya diri. Tapi Julian tak lagi melihatnya seperti dulu."Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya datar.Margareta tersenyum, mendekatinya dengan langkah gemulai. "Aku kebetulan lewat. Lalu aku melihatmu ..., jadi aku ingin menyapa."Julian mengangkat alis. "Kebetulan lewat di rumah sakit, malam-malam begini?" Nada suaranya terdengar sarkastik.Margareta tertawa kecil. "Aku ingin tahu ..., bagaimana keadaanmu s
Begitu roda pesawat menyentuh landasan Jepang, Salvatore segera bangkit dari kursinya. Dia tak peduli pada tubuhnya yang masih lemah, langkahnya langsung mengikuti para anak buah yang membawa Valeria ke luar pesawat dengan tandu.Udara malam Jepang yang dingin menusuk kulit, tetapi keringat dingin tetap mengalir di pelipisnya. Mereka semua bergerak cepat menuju kendaraan yang sudah disiapkan. Firgo sudah lebih dulu mengatur segalanya—termasuk mencari rumah sakit yang aman, tempat dokter-dokternya bisa dibayar untuk menutup mulut.Di perjalanan menuju rumah sakit, Salvatore duduk diam di samping Valeria. Matanya terus mengamati wajah wanita itu. Wajah yang seharusnya asing, tetapi justru terasa familiar. Wajah yang entah mengapa, menjadi yang pertama muncul dalam pikirannya saat dia mulai sadar dari kegelapan ingatannya yang hilang.Jika dia istriku… berarti aku sangat mencintainya, bukan?Tapi kenapa? Kenapa dia tidak bisa mengingatnya?Salvatore menggigit bibir bawahnya, frustrasi de
Di dalam pesawat pribadi yang terbang di atas Samudra Pasifik, suasana terasa tegang. Lampu-lampu kabin berpendar samar, menciptakan bayangan-bayangan panjang di wajah-wajah yang kelelahan dan terluka.Di salah satu kursi, Valeria terbaring lemah dengan napas tersengal. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi dahinya, dan matanya sesekali terpejam menahan rasa sakit. Wanita itu sudah setengah kehilangan kesadarannya. Darah masih merembes dari perban darurat yang melilit perutnya, bukti dari luka yang Alessio tinggalkan.Salvatore duduk di sampingnya, menggenggam erat tangannya yang juga berlumuran darah. Jari-jarinya sedikit gemetar, bukan karena rasa takut, melainkan karena sesuatu yang mengusik pikirannya.Dia masih belum sepenuhnya memahami kenapa melihat Valeria seperti ini membuat hatinya terasa seakan diremas. Sebuah perasaan yang familiar, namun asing pada saat yang bersamaan.Antonio, yang duduk tak jauh dari mereka, tampak lelah dengan luka di lengannya yang terus mengalirk