Valeria terbangun dengan napas tersengal, dadanya terasa berat, dan suara bising memenuhi telinganya. Matanya yang masih buram menangkap pemandangan langit-langit rumah sakit, lampu-lampu menyilaukan yang bergerak cepat di atasnya.Dia sadar dia sedang dibawa ke ruang gawat darurat. Tubuhnya terasa sakit di mana-mana, tapi yang pertama kali dia cari adalah Salvatore.Saat matanya bergerak ke samping, dia melihat sosok Salvatore terbaring di brankar lain, tak jauh darinya. Wajahnya penuh luka, darah mengalir dari pelipisnya, dan yang paling membuat aleria terkejut-ada bekas terbakar di baju Salvatore."Sa .... Salvatore ...." Suaranya nyaris takterdengar.Namun, dia tidak bisa memastikan apakah Salvatore sadar atau tidak. Para petugas medis berlarian, panik, berteriak satu samalain."Lukanya parah! Segera bawa ke ICU!""Luka bakar di lengan kiri butuh perawatan segera!""Pasien wanita kehilangan banyak darah!""Darah tipe O negatif! Cepat!"Pikiran Valeria kacau. Dia ingin tahu apa
Saat Valeria masih menggenggam tangan Salvatore yang dingin, suara langkah cepat terdengar dari luar. Pintu kamar inap terbuka dengan kasar, dan di ambang pintu berdiri seseorang yang tak ingin Valeria lihat saat ini—Amara.Valeria menoleh dengan ekspresi kaget, tapi sebelum dia sempat mengatakan apapun, Amara langsung menghampirinya dengan tatapan penuh amarah."Dasar wanita jalang!" Amara hendak menjambak rambut Valeria tapi Morgan segera menghadangnya.Matanya penuh amarah dan air mata. Sepertinya Amara baru saja menggila."Nona, ini adalah rumah sakit. Aku akan memanggil keamanan jika kau tidak bisa mengendalikan diri," ancam Morgan."Diam kau! Minggir! Aku ingin memberikan pelajaran pada wanita itu karena telah melukai Salvatoreku," teriak Amara.Dia meronta-ronta dan Morgan mendorongnya perlahan ke arah pintu agar menjauhi Valeria. Valeria sendiri juga terlihat sangat tidak peduli dengan keadaan Amara di sana."Lepas! Ini semua salahmu, Valeria!" Suara Amara melengking, nyaris hi
Saat Morgan menggendong tubuh lemah Valeria kembali ke kamar inapnya, wajah pria itu dipenuhi kekhawatiran. Valeria terlalu memaksakan diri, padahal kondisinya masih sangat buruk. Luka di kakinya belum sepenuhnya mengering, dan dia masih kehilangan banyak darah.Begitu mereka tiba di kamar, seorang perawat segera menghampiri. "Dia butuh istirahat total," kata perawat itu tegas.Morgan hanya mengangguk, meletakkan Valeria perlahan di atas ranjang, memastikan tubuhnya nyaman. Valeria masih terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat, efek dari emosi dan rasa sakit yang bercampur menjadi satu. Namun, setelah disuntikkan obat penenang ringan, napasnya mulai melambat. Matanya yang semula penuh kegelisahan kini perlahan tertutup.Morgan duduk di kursi samping ranjang, menatap Valeria dengan ekspresi penuh perhatian selagi perawat memasang kembali infus di tangan Valeria. Dia tidak berniat meninggalkan Valeria sendirian. Keluarga Valeria belum tiba, dan hanya dia yang bisa memastikan wan
Begitu tiba di rumah sakit, Lorenzo, Elena, Roberto, dan Giulia langsung bergegas masuk ke dalam dengan wajah penuh kekhawatiran. Mereka disambut pemandangan yang membuat hati mereka mencelos—Valeria tampak begitu berantakan, wajahnya pucat seperti kehilangan semua darah dalam tubuhnya, matanya sembab, dan tubuhnya terlihat begitu lemah di atas kursi roda.Di sampingnya, Morgan berdiri tegap, berbicara dengan beberapa anak buah Salvatore yang masih sibuk mencari keberadaan pria itu. Suasana di lorong rumah sakit terasa tegang, udara seakan dipenuhi dengan kecemasan yang berat."Valeria!" Elena segera berjongkok di samping putrinya, matanya membasah melihat kondisi Valeria yang begitu menyedihkan.Namun, Valeria hanya tersenyum kecil, mencoba menenangkan ibunya meskipun air mata masih menggantung di pelupuk matanya. "Aku baik-baik saja, Mom."Lorenzo menatap putrinya dengan ekspresi penuh kekhawatiran, sementara Roberto dan Giulia saling bertukar pandang dengan raut serius. "Baik-baik
Satu minggu telah berlalu, dan Salvatore masih belum ditemukan. Di dalam ruangan yang diterangi cahaya temaram, Valeria duduk di kursi roda dengan wajah pucat dan mata yang sembab karena kurang tidur. Di hadapannya, beberapa layar memperlihatkan rekaman CCTV yang dikumpulkan oleh anak buah Salvatore. Tangannya yang lemah menggenggam remote kontrol, terus memutar ulang setiap detik dari rekaman yang ia tonton.Di sampingnya, Morgan menghela napas berat. "Valeria, sudah cukup," ucapnya terdengar penuh kekhawatiran, "kau baru saja keluar dari rumah sakit, kau harus beristirahat."Valeria menggeleng lemah tanpa menoleh ke arah Morgan. Matanya masih terpaku pada layar, mencari sekecil apa pun petunjuk tentang keberadaan Salvatore."Aku tidak bisa berhenti, Morgan." Suaranya serak, "Semakin lama aku diam, semakin besar kemungkinan Salvatore berada dalam bahaya."Morgan mengusap wajahnya dengan frustrasi. Dia tahu keras kepala Valeria, tapi wanita itu sudah berada di batas fisiknya."Salvato
Valeria duduk di tepi jendela kamar, tatapannya kosong menembus langit sore yang mulai memerah. Tangannya perlahan mengusap perutnya yang masih rata, merasakan kehangatan yang kini tumbuh di dalam dirinya."Salvatore …," bisiknya lirih.Janin yang tumbuh di dalam perutnya, Valeria bisa menduga itu adalah hasil dengan hubungannya terakhir kali dengan Salvatore. Entah ini membuatnya bahagia atau sedih.Seandainya pria itu ada di sini, tentu ini akan menjadi kabar yang membahagiakan. Mereka akan merayakan kehamilan ini bersama, Salvatore pasti akan melindungi dirinya dan bayi mereka dengan segala cara.Tapi kenyataannya… Salvatore menghilang.Selama seminggu terakhir, Valeria telah mencari ke berbagai tempat. Ia sudah mendatangi mansion Salvatore, berharap pria itu kembali ke rumah mereka—tapi yang ia temui hanyalah rumah kosong yang sunyi.Ia juga telah pergi ke markas Salvatore, tempat semua rencana dan strategi bisnisnya dijalankan. Morgan membantunya, tetapi tidak ada jejak Salvatore
Hari itu, langit tampak mendung saat Valeria tiba di markas Salvatore. Meski tubuhnya masih lemah dan perutnya mulai terasa lebih sensitif karena kehamilannya, tekadnya tak tergoyahkan.Morgan menuntun Valeria keluar dari mobil. Begitu turun dari mobil, semua anak buah Salvatore yang masih setia kepadanya segera menyambut."Nyonya Marino." Salah satu pria berbadan tegap membungkuk hormat.Mereka tidak lagi menyebutnya dengan nama gadisnya—karena Valeria kini adalah istri sah dari Salvatore Marino. Dengan status itu, ia juga otomatis menjadi pemilik markas ini, menggantikan Salvatore yang masih menghilang."Kami siap menerima perintah Anda," lanjut pria itu."Apa ini tidak masalah?" bisik Morgan merasa khawatir karena Valeria seperti masuk ke sarang pembunuh.Valeria mengangguk, menepuk punggung Morgan untuk meyakinkan pria itu. Lalu bergantian menatap semua orang di sana dengan tatapan tajam dan penuh wibawa."Terima kasih," jawabnya dengan suara tenang, tapi berisi. "Mulai hari ini,
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar ruang makan keluarga Moretti. Valeria baru saja keluar dari lift, menuju ke ruang makan.Aroma kopi dan roti panggang mengisi ruangan, tapi suasana di meja makan terasa tegang. Lorenzo nampak tak seperti biasanya, terlihat ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan putrinya itu.Valeria duduk di kursinya dengan ekspresi kosong. Di depannya, Lorenzo dan Elena saling bertukar pandang, menyadari perubahan drastis pada putri mereka selama beberapa hari ini.Valeria menyendok makanannya tanpa benar-benar menikmatinya. Sikapnya dingin. Tatapannya tajam, pikirannya jelas tidak ada di sini.Lorenzo akhirnya membuka suara. "Valeria," panggilnya, suaranya tegas. "Aku ingin kau mendengarkan dengan baik."Valeria tetap diam, matanya masih fokus pada makanan di piringnya. Dia seperti kehilangan jiwanya karena hampir dua bulan ini tidak bisa menemukan petunjuk apapun tentang keberadaan Salvatore."Kau harus berhenti mencarinya. Serahkan urusan ini kep
Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da
Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba
Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t
Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi
Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa
Kamar tidur itu terasa hangat dengan cahaya lembut yang memancar dari lampu meja. Udara malam yang sejuk menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang mengalir seperti ombak tenang. Di depan cermin besar yang terpasang di dinding, Valeria berdiri dengan ekspresi frustrasi.Tangannya sibuk menarik-narik gaun berwarna pastel yang kini tampak terlalu ketat di bagian perutnya yang membuncit. Pakaian lain berserakan di sekitar kakinya, menandakan betapa keras usahanya untuk menemukan sesuatu yang nyaman dikenakan."Kenapa sih nggak ada satu pun yang muat? Apa aku harus pakai bajunya Aunty Giulia aja mulai sekarang?" Valeria mengomel sendiri, wajahnya berkerut lucu.Pintu kamar berderit pelan, dan Salvatore muncul di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun sorot matanya dipenuhi rasa cinta yang mendalam.Setelah percakapannya dengan Lorenzo di tepi kolam, perasaannya seolah memuncak—seakan ada benang merah yang mengikat hatinya lebih erat kepada Valeria. Rasa
Malam merambat pelan, membawa kesunyian yang menenangkan di sekitar rumah keluarga Morreti. Angin sepoi-sepoi membelai permukaan kolam renang, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di tepi kolam itu, Salvatore duduk di bangku kayu, membiarkan pikirannya melayang.Bersama semua kegugupan dan ketakutannya, akhirnya dia merasa lega. Keluarga Valeria menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu embel-embel masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Namun, di tengah kelegaan itu, terselip perasaan kosong—seperti ada bagian dirinya yang masih hilang di dalam kabut ingatan yang gelap."Kau sendirian di sini?"Suara berat namun lembut itu membuat Salvatore menoleh. Lorenzo berdiri di belakangnya, membawa dua gelas wine di tangannya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik mata yang bijak itu, ada rasa lelah yang terpendam."Ya, aku hanya ..., mencoba menenangkan diri dan mencari udara segar." Salvatore tersenyum tipis.Lorenzo menyerahkan salah satu gelas wine kepada Salvatore dan
Sebuah mobil hitam mengawal perjalanan Salvatore menuju ke kediaman Morreti dan rombongan lainnya kembali ke markas. Morgan yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik Salvatore lewat kaca spion, melihat pria itu menggigit bibir bawahnya, tanda jelas kegugupan."Hei, tenang saja." Morgan membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Keluarga Valeria tidak menggigit, kok."Salvatore menghela napas panjang. "Itu bukan masalahnya. Aku tidak ingat apa-apa. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"Valeria, yang duduk di samping Salvatore, menggenggam tangannya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan mencintaimu, Salvatore. Lagipula, aku di sini bersamamu."Salvatore menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh keyakinan Valeria. Perlahan, kegugupannya sedikit mereda."Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya?" bisik Salvatore, suaranya penuh harap."Tidak akan." Valeria tersenyum lembut.Morgan sedikit merinding dan tertawa geli diam-diam. Salv