Dara langsung terdiam tatkala mendengar suara seseorang mendekat ke arahnya. Bukan hanya Dara, tetapi Alice juga merasakan hal yang sama. Kali ini, bukan hanya wajah bekas tamparan Luna saja yang sakit, tetapi hatinya juga.Silviana berdiri di sebelah Arsen, wanita itu seolah menunjukkan pada semua orang jika pria itu adalah miliknya, bukan milik Alice atau wanita lain.“Alice … kamu–”“Selamat malam, Leon, senang bertemu lagi denganmu,” kata Alice menyembunyikan rasa sesak di dalam dada. Rindu dan juga sakit menganyam dirinya secara bersamaan. Mereka baru berpisah selama satu bulan, tentu rasa rasa rindu itu masih terasa kuat.Silviana yang berada di sana menengahi, menatap semua orang yang berada di sana termasuk kakak—nya.“Amelia, senang bertemu denganmu,” kata Silviana memanggil Alice dengan sebutan akrab.Alice hanya tersenyum sebagai tanda menerima, ia tidak akan membahas Silvia untuk kali ini. Ia menatap Leonardo dengan tatapan berbeda kali ini, “Baiklah, aku dan Arsen akan–”
Ketegangan terasa di antara keduanya. Alice dengan wajah tenangnya, sementara Dara dengan wajah terlihat sedikit terganggu. Alice melihat ke arah Dara yang terus menatap Leonardo.“Jaga dia semampumu, selamat menikmati pesta Nona Dara.” Alice melangkah ke arah pria yang sejak tadi berdiri menunggunya, ada wanita cantik di sebelahnya yang berdiri dengan wajah tidak tenang.“Bagaimana?” tanya Arsen terlihat geram sejak tadi.“Jangan dipikirkan,” jawab Alice kemudian melirik ke arah Silviana yang tersenyum kaku ke arahnya.“Selamat malam, Adik.”Baru saja Silviana akan menjawab, suara seseorang kembali terdengar dari arah belakang. Luna lagi-lagi datang dengan wajah tak sedapnya. Menarik punggung Alice hingga hampir terjatuh ke belakang. Arsen ingin menolong tetapi tatapan Alice kembali mencegahnya.“Tidak tahu malu. Kamu mendekati kekasih nona Silvia, rupanya?” kata Luna lantang di hadapan Silvia dan Arsen.“Ibu, apa maksudmu? Aku–”“Jangan bicara lagi. Aku sekarang mengerti kenapa putr
Setibanya di rumah, Luna terus menggerutu, membuang tas kecil miliknya ke atas sofa dan langsung duduk dengan dada turun naik. Dia marah dan juga benci dengan kejadian beberapa waktu lalu.Dara yang ikut pulang bersamanya langsung menuju dapur menyiapkan air putih untuk calon mertuanya. Sedangkan Leonardo ia masih berdiri memegang pangkal hidung dan menekannya kuat. Andai saja, ibunya tidak ikut bersamanya dia akan membujuk Alice kembali ke rumah.“Tante, silakan minum dulu.” Dara memberikan gelas yang berisi air putih pada Luna. Setelah itu, gadis yang mengenakan gaun mewah itu duduk tidak jauh dari Leonardo.“Ini semua karena kamu, Leo,” ucap Luna dengan tatapan marah pada putranya. Leonardo yang namanya disebutkan langsung menolah pada ibunya dengan tatapan bingung. “Aku? Kenapa ibu menyalahkan?Luna mendengus, “Andai saja kamu tidak mencegah ibu memberinya pelajaran, wanita itu tidak akan bersikap seperti tadi.”“Ibu, dia bahkan tidak melawan ketika ibu mempermalukannya di depan
Pagi itu, Leonardo turun dari lantai atas sambil membenarkan dasi yang tidak pernah sesuai sejak tadi. Dara yang melihat itu langsung mendekat dan membatu Leonardo memperbaikinya.“Tuan biar saya bantu,” kata Dara langsung. Leonardo diam membiarkan Dara membantunya karena suasana hatinya tengah dilanda kekacauan sejak semalam.Dara tersenyum kecil, langkah pertama yang harus ia lakukan adalah membuka hati Leonardo lagi, mungkin sedikit sulit karena saingannya adalah putri orang berpengaruh, tetapi Dara yakin sebenarnya Leonardo memang tidak pernah mencintai Alice dan itu keuntungan baginya.“Sekarang sudah rapi,” ucap Dara senang karena karyanya terlihat sempurna.“Terima kasih.” Leonardo langsung berjalan ke arah ruang makan. Meninggalkan Dara yang berdiri dengan senyum manis sebab Leonardo menerima karyanya.Sementara itu, Luna yang menyaksikan putranya yang seperti orang kebingungan mendekat. Dalam hati ia juga tidak tahu jika ini akan terjadi, tetapi semua sudah terjadi. Lagipula
Suasana meja makan terasa lebih hangat dari biasanya. Itu karena Oscar yang lebih banyak bercerita. Ini pertama kali setelah sekian lama pria itu memilih makan di ruangannya. Menikmati kesendiriannya dengan menatap wajah putrinya yang menghilangkan.‘Ayah terlihat lebih bahagia setelah Amelia kembali,’ batin Silvana tersenyum kecil. Ia menikmati makanannya dengan rasa yang hambar.Sementara Delima, wanita itu terus mengepalkan tangan, ia tidak menyangka jika Alice berani kembali setelah menghilang begitu lama. Sama dengan Silviana, Delima menelan makannya dengan tenggorokan yang terasa perih.“Ibu bagaimana rasanya?” tanya Alice pada Delima yang ia sadari sejak tadi terus diam tanpa kata-kata.Delima tertarik dari lamunan, ia menatap Alice yang menatapnya dengan tatapan menunggumu. Kemudian melirik Silvia meminta pertolongan Marena dia tidak mendengar apa yang Alice tanyakan padanya.“Ibu, aku bertanya bagaimana rasanya, apakah ini cocok di lidahmu?” tanya Alice lagi, tahu jika ibuny
Setibanya di apartemen milik Arsen, Silviana bertemu dengan Jhon. Pria yang selalu setia menami Arsen dalam keadaan suka dan senang. Jhon yang baru turun dari mobil mendekat pada Silviana yang tidak pernah bermuka manis padanya.“Selamat pagi, Nona Silviana,” sapa Jhon seperti biasa. “Jhon. Apa tugasmu setiap hari adalah memantau Arsen. Aku tidak percaya kau selalu datang menjenguknya,” kata Silviana menatap Jhon curiga.Jhon terkekeh, “Nona, itu adalah salah satu tugas saya. Menjaga keselamatan Pak Arsen dari kucing betina,” kata Jhon melirik kucing yang kebetulan berjalan di antara dia dan Silviana.“Kamu!” ucap Silviana membuang napas pelan, “sudahlah! Aku tidak ingin merusak suasana hatiku dengan mendebat denganmu.” Silviana berjalan lebih dulu, melangkah dengan langkah anggun dan berkarisma. Jhon yang masih berdiri di belakang sampai menundukkan kepala karena takut tergoda.Setelah Silviana lebih jauh, barulah Jhon melangkah masuk, menyapa siapa pun yang kebetulan berpapasan den
Hening. Hanya suara jarum jam saja yang terdengar berbunyi. Leonardo menghela napas lagi. Ia menatap kertas yang berada di tangannya kemudian merobeknya menjadi bagian-bagian terkecil.Alice mengerutkan kening. “Kamu merobeknya … lagi?” Leonardo menyeringai kecil. Melangkah ke arah Alice yang langsung mundur ke belakang. “Lalu, apakah aku harus menandatangani surat itu?” katanya dengan tatapan lembut tetapi begitu menusuk.Alice terpojok dengan kepala membentur di dinding. Melihat itu, Leonardo tidak melakukan apa pun seperti kebanyakan kebanyakan lain.“Apakah kamu sangat ingin berpisah denganku?” tanya Leonardo menatap lurus pada bibir Alice yang terbuka sedikit.“Kenapa bertanya? Bukankah ini yang kamu inginkan sejak setahun lalu?” balas Alice mencoba tidak goyah.Leonardo terdiam, ada sesuatu di dalam hatinya yang menandakan begitu meresahkan. Entah sejak kapan, tetapi hatinya sakit setiap kali Alice meminta bercerai darinya.Perlahan tangannya naik ke atas, membenarkan anak ramb
“Apa maksudmu?” tanya Leonardo dengan tatapan tajam. Ia merasa jika Alice sudah berani melawan dirinya. Saat ini mereka berdua sudah berada di dalam mobil. Pertemuan sudah diakhiri beberapa menit lalu dengan akhir yang tidak menguntungkan bagi pihak Leonardo.Alice menahan diri agar tidak terpedaya. Aroma tubuh Leonardo yang memabukkan begitu kenyal masuk ke dalam hidungnya.“Apa ini caramu membalasku, Alice?”Alice menoleh cepat, ia mengerutkan menjaga sangat halus. Sejak bertemu dengan Leonardo, pria ini tidak pernah berkata yang mudah untuk ia mengerti.“Membalas bagaimana, Leon? Aku tidak pernah berpikir seperti yang kamu pikirkan,” jawab Alice bingung. Membalas seperti apa yang Leonardo ucapkan sebenarnya.“Berhenti berpura-pura bodoh dan tidak tahu apa pun Alice. Aku tidak akan termakan dengan cara itu lagi,” balas Leonardo tetap saja menganggap jika Alice memang ingin membalas sakit hatinya.Alice meneliti wajah Leonardo dengan Lamat. Memperhatikan dengan baik setiap pahatan in
“Beri aku 500 dolar,” kata Silvia pada sang kakak. Wanita bermata indah itu berdecak karena gaun miliknya kini tidak bisa dikenakan lagi.Tidak sampai lima menit, ponsel mahal milik Silvia mengeluarkan bunyi notifikasi. Wanita cantik itu lantas menatap kakaknya dengan tatapan tidak percaya.“Wah, uangku langsung masuk,” decak Alisa dengan mata berbinar pada nominal yang masuk di ponselnya. Ia mendapatkan nilai lebih.“Gunakan dengan baik. Itu karena kamu sudah menyelamatkan hidupku tadi,” seloroh Leo senang karena akhirnya terbebas dari Lucas dan putrinya.“Ya. Aku berharap Kakak tidak menjatuhkan hati padanya. Lihatlah, tubuhnya sangat kurus dan … riasannya sangat mencolok.”“Alisa,” tegur Leo lembut, tetapi penuh ketegasan, ia tidak ingin adiknya menjadi terbiasa membicarakan keburukan orang lain.“Ya. Baiklah!”Lisa menyandarkan punggung di sandaran mobil, mengingat kembali apa yang dilihatnya di pesta tadi. Ia melirik kakaknya yang tengah serius menatap foto wanita hamil di layar
“Sudahlah Kak, jangan lagi membahas ini,” kata Alisa jengah. Setiap bertemu kakaknya yang dibahas adalah pertunangan yang sudah terlanjur terjadi.Leo mendengus, “Semoga kamu dan dia bahagia,” kata Leo mendoakan, ia tidak ingin adiknya menyesal karena terpaksa memilih jalan lain.“Aku bahagia. Lagipula, aku bukan wanita bodoh yang harus menunggu pria tidak peka seperti dia,” sindir Alisa pada Bram yang sudah berada di dalam ruangannya.Alisa menghela napas pelan, “Ada apa Kakak memanggilku?”Mendesah dengan jawaban adiknya, “Aku ingin kamu membantuku mencari model kamar anak yang lucu. Aku–”“Kakak ingin mengadopsi anak? Tidak boleh, Kak!” potong Alisa cepat.“Ibu tidak akan suka, lagipula, kamu bisa menikah dan dapatkan anak dengan mudah,” papar Alisa lagi. Sudah lima tahun, ini bukan waktu yang sebentar untuk menahan rindu, ia yakin kakaknya sangat kesepian dan menderita selama ini.“Jaga ucapanmu. Patuhi saja, besok kamu libur, datang kerumah dan minta tukang untuk menyelesaikan se
Leo kembali ke rumahnya dengan rasa malu yang besar. Ayah mertuanya menguliti dirinya dengan begitu santai. “Ayah memang benar, aku memang tidak bisa mengambil keputusan dengan benar,” gumamnya.“Aku senang karena akhirnya ayah menjagamu, Alice. Akan tetapi, tetap saja aku khawatir, siapa yang mengurus makanmu ketika kamu malas untuk bergerak?”Leonardo menghempaskan diri di atas sofa, menutup wajah dengan tangan kekar. Penyesalan yang teramat besar dan mendalam, ia tahu istrinya baik-baik saja, tetapi tak memiliki kekuatan untuk berjumpa bahkan melihat wajahnya.Leonardo mendesah, ia menatap foto yang berada di dinding, foto—Alice dengan senyum indah ketika mereka liburan. “Apakah kamu tidak merindukanku, sudah dua malam dan kita tidak saling memeluk, Sayang,” gumamnya merasa dunianya hancur.Beralih dari tempatnya, Leonardo masuk ke dalam bilik ruangannya, ruangan yang memisahkan dirinya dan Alice dalam jangka waktu yang lama. Bilik yang membuatnya banyak menyesal karena tak banya
Leo membuang napas, menatap tumpukan berkas yang Bram bawa untuknya. Sementara, hatinya masih gelisah karena Alice belum ditemukan.Ia meraih ponselnya yang terletak tidak jauh dari tumpukan, masih berharap ada kabar baik untuk menemukan keberadaan istrinya.Dalam keheningan dan kekacauan pikirannya, ia menekan nomor seseorang, berharap kali ini ia mendapatkan informasi yang lebih akurat.“Halo, Silvia,” katanya setelah wanita di belahan sana menerima cepat panggilan darinya.“[Halo, kakak ipar, tidak biasanya menelepon, ada apa?]” jawab Silvia langsung tanpa basa-basi.“Alice. Sejak pagi dia belum kembali, apakah dia menemuimu?”Beberapa saat hening, mengantarkan rasa khawatir semakin membesar, “Kak, sudah beberapa hari aku tidak bertemu Kak Amelia,” jawab Silvia, “saat ini aku berada di kediaman ibuku, jadi kami belum bertemu sama sekali.”Semakin gelisah dan rapuh, harus bagaimana sekarang? Tidak seorang pun mengetahui keberadaan istrinya. Tidak ibu mertuanya bahkan adik iparnya.“
Seorang wanita paruh baya sedikit berlari ke arah ruang tamu setelah mendapat laporan dari pelayan.Ia begitu terkejut karena belum beberapa hari tinggal di rumah ini, sudah beberapa tamu yang mendatangi dirinya.Leonardo menoleh dan langsung berdiri. Ia terpaku melihat wanita yang pernah ditemui kini terlihat lebih cantik dan segar.“Nyonya, senang bertemu lagi denganmu,” kata Leo masih belum terbiasa.Amanda mendekat dengan senyum ramah. “Panggil aku Ibu. Kamu menikahi putriku,” ujarnya masih ramah.“Ibu, maafkan aku,” ucap Leo menyesal.Amanda mengangguk meminta Leo duduk meski ia merasa sedikit aneh. “Kamu sendiri, di mana Alice?” Leonardo terpaku, tak menyangka jika pernyataan itu akan keluar. Menelan saliva, “Ibu, sebenarnya tujuanku datang untuk mencari Alice,” kata Leo berterus terang, “dia meninggalkan rumah dan belum kembali.”Terkejut, tetapi Amanda mencoba untuk tenang, ia bisa melihat bagaimana ke khawatiran Leonardo atas kepergian putrinya.“Sudah mencari di rumah ayah
Leo mengendarai kembali mobil miliknya dengan kecepatan penuh. Pria itu, tak mementingkan keselamatan agar lebih cepat sampai dan menemukan Alice—istrinya.“Aku tidak akan membiarkan Arsen mengambil kesempatan atas keterpurukan istriku. Tidak akan,” katanya dengan tatapan marah.Karena terlalu laju membawa mobilnya, pria yang tengah gelisah itu, hampir saja menabrak mobil yang tiba-tiba berhenti dipinggir jalan. Suara decitan terdengar memekakkan telinga pengedara yang lain.Tak ada waktu untuk meminta maaf, Leo dengan cepat melajukan mobil ke arah kediaman Arsen. Pria itu, menang yang paling memungkinkan mendekati istrinya.Sesampainya di kediaman Arsen, Leo melihat mobil pria yang menjadi rivalnya dalam cinta itu melaju ke arah berlawanan. Terlihat terburu dan mencurigakan.“Sial. Apakah dia tahu aku akan datang,” kata Leo, ia menghidupkan lagi mesin mobil menyusul Arsen yang terlihat terburu-buru.Seperti terlihat saling kejar, tetapi jelas Arsen tidak tahu jika dirinya diikuti dar
“Selamat pagi, Kak,” sapa Alisa, “eh maksud saya, Pak.”Alisa menggaruk tengkuk karena ketahuan lupa lagi. Wanita dengan penampilan modis serta riasan sedikit berani itu berjalan di belakang Leo dengan langkah yang seksi.Di belakang, Bram sampai menunduk karena tak sanggup dengan cara Alisa yang semakin berani berpenampilan.“Pak, bagaimana tidur Anda, kulihat–”“Apa jadwalku hari ini?” tanya Leo memotong ucapan tidak masuk akal dari Lisa.Mendengus kasar, “Pak kita bahkan belum sampai di ruangan, biarkan saya bernapas dulu,” jawab Lisa kesal karena kakaknya terlalu menekan dirinya.Leonardo menatap sinis pada adiknya, hari ini suasana hatinya sedang kacau, tetapi Alisa sengaja membuatnya semakin buruk.“Maaf saya terlambat.” Bram masuk ke dalam ruang besi, menekan tombol paling atas setelah mengatur napas.Leonardo berdecak, “Lain kali jangan terlalu banyak mengobrol pada mereka Bram. Fokus pada dirimu saja,” kata Leo sembari melirik sinis pada adiknya yang langsung melakukan aksi g
“Terima kasih, Pak.” Dara melingkarkan tangan erat pada pinggang alot Leonardo. Wanita yang hampir saja melompat dari gedung apartemen itu, berhasil dibujuk dan diselamatkan.Tangan Leo masih menggantung, tak membalas pelukan itu sama sekali. Dara—merasa hatinya tercubit dengan sikap Leo yang semakin dingin padanya.“Pak …,” ucap Dara lirih.“Apa kamu gila? Kamu bisa mati sia-sia Dara.” Leo melepaskan pelukan Dara sedikit kasar. Pria itu, menatap kesal pada sekretarisnya yang semakin tidak masuk akal.Dara menunduk takut. Tangannya saling bertaut dengan air mata yang mulai bercucuran.“Saya tidak bisa berpikir dengan benar, Pak. Rasa cinta saya yang begitu besar membuat saya tidak tahu harus melakukan apa,” kata Dara masih dengan posisi menunduk.“Kenapa tidak mengerti juga Dara, ini salah. Kamu menutup hati untuk orang lain hanya untuk rasa yang tak terbalas,” balas Leo mulai melembutkan suaranya.Dara mendongak, tatapannya sayu dengan air masih mengenang di kelopak mata. “Pak, ini s
Mereka berdua sama-sama terdiam beberapa menit. Hingga Alice mengusap perutnya pelan. “Lapar lagi?” tanya Leo terkekeh. Alice tersenyum kecil, ia menampilkan gigi rapi dengan wajah yang merah karena malu, “Tadi, hanya makan sedikit,” katanya. Leonardo mencubit pelan pipi yang mulai mengembang. “Kalau begitu, ayo kita makan lagi. Sepertinya aku juga mulai lapar." Alice mengangguk setuju, dengan hati-hati ia turun dari pangkuan Leonardo—suaminya. Wanita dengan perut buncit itu, melangkah ke arah sofa, duduk dengan rapi, menunggu Leo menyiapkan makan malam yang kesekian untuknya. “Suami yang manis,” kata Alice sembari tersenyum hangat. Leonardo yang mendengar ucapan Alice hanya menggeleng pelan, ia dengan cekatan membuat susu dan juga membuat makan malam ringan untuk sang istri. Setelah selesai, Leo membawa semua pada sang istri. “Minum susunya dulu.” Leonardo menyerahkan gelas susu hangat, kemudian menyerahkan semangkuk buah dan beberapa roti di piring yang lain. “Teri