Di tempat yang jauh. Leonardo baru tiba dengan wajah yang lelah. Sudah seharian ia mencari keberadaan Alice, tetapi tidak juga menemukan petunjuk. Ia bahkan sudah menemui Arsen—pria yang kemungkinan yang paling tahu keberadaan Alice.“Aku sungguh tidak tahu,” kata Arsen yang masih diingatnya dengan wajah serius ketika ditanya.Leonardo berdecak karena semakin frustasi, jika bukan bersama Arsen, lalu dengan siapa Alice pergi? Apakah pulang ke rumah orang tuanya? Leonardo memejamkan mata, menyandarkan kepala pada sandaran mobil dengan mata tertutup. “Wanita itu mempermainkan aku.”“Dia membuatku seperti orang bodoh selama ini,” katanya lagi masih tidak percaya jika Alice adalah putri Oscar. Namun, jika diperhatikan dengan baik, keduanya memang terlihat sangat mirip. Leonardo mengendus kasar, bayangan dia menampar Alice kembali terlintas di benaknya.Hingga dering telepon menyadarkan dirinya. Leonardo meraih ponselnya dan menerima tanpa melihat siapa yang memanggil. Kepalanya terangkat
Di kediaman Leonardo, beberapa hari setelah pencarian Alice yang gagal. Horison sudah kembali sehat seperti biasanya. Ia kembali memimpin perusahaan walaupun Leonardo sudah siap untuk kerja kembali.“Fokus mencari istrimu. Kakek yang akan mengurus perusahaan sampai semua selesai,” kata Horison dengan tatapan datar pada cucunya.“Kakek, aku sudah mencarinya kesemua tempat, tetapi wanita itu tidak menampakkan diri,” jawab Leonardo tidak kalah dinginnya. Ia mendengus beberapa kali karena keras kepala kakeknya sangat mirip dengan ayahnya.“Kakek tahu, kamu tidak tahan berlama-lama pisah dengan sekretaris itu, kan?” tebak Horison, “apakah karena dia kamu tidak bisa menerima istrimu, Leo?”Leonardo terdiam, tidak berniat menjawab ataupun membantah, selama ini, apa pun yang ia pikirkan akan tetap salah di mata kakeknya. Jadi, biarkan saja semua seperti yang kakeknya ucapkan.“Kakek tidak percaya kamu seperti ini, Leo. Apa yang kamu lihat darinya,” kata Horison sekali lagi menatap kecewa pad
“Ibu tidak sabar membawa Dara pada pertemuan penting ini, Leo,” ujar Luna sumringah mendapatkan undangan dari orang paling berpengaruh di antara mereka semua. Siapa yang tidak mengenal keluarga Oscar, keluarga paling terpandang dan tidak terkalahkan oleh siapa pun, termasuk keluarga suaminya.Leo hanya memasang wajah datar, sudah menjelaskan pada ibunya jika mereka tidak bisa membawa Dara, tetapi rupanya Luna tidak bisa menerima peringatan dari siapa pun karena sudah terlalu benci mendengar nama Alice. Baginya, siapa yang sudah pergi sudah seharusnya tidak perlu di ingat.“Bu, aku tidak ikut campur jika terjadi hal buruk karena ibu membawa Dara,” kata Leo sengaja menakuti ibunya. Dia bahkan mereka tidak percaya diri menginjakkan kaki di kediaman itu karena tahu fakta yang kakeknya beritahu.Namun, sepertinya Luna memang tidak terpengaruh sedikit pun, baginya Alice tetaplah wanita yang tidak terlalu penting dan tidak perlu lagi diingat.“Ibu sudah menyiapkan pakaianmu. Kamu dan Dara
Sepulang dari kantornya, Silviana tidak langsung masuk ke kamarnya, ia memilih langsung ke kamar ibunya. Langkahnya pasti dan juga cepat, sampai di depan pintu, ia menghela napas panjang, takut hal yang pernah ia lihat terjadi lagi.Silviana mengetuk pintu pelan, kemudian memutar gagang pintu dan masuk. Delima menelpon tatkala melihat putrinya masuk, ia memberi senyum dan menghampiri Silviana.“Jangan memelukku, Bu,” tolak Silviana, “aku hanya ingin tahu apa yang ayah katakan padamu, tadi.”Delima menghela napas pelan dan mengangguk, ia harus menerima semua dengan lapang dada. Suami dan anaknya sudah tidak ingin disentuh olehnya lagi.Delima berjalan ke arah sofa, duduk di sana dengan wajah sendu. Begitu pun dengan Silviana, tanpa banyak bertanya ia mengekor dan duduk di hadapan ibunya. “Apa benar yang ibu katakan, Amelia akan kembali?” tanya Silviana, ia sampai tidak tenang seharian di kantor.“Ayahmu yang mengatakan itu,” jawab Delima gusar, “Ibu khawatir jika anak itu sampai menga
Di kediaman Oscar, semua sudah siap dengan sangat sempurna. Aula sudah dihias dengan sangat menarik dan indah. Maulida yang melakukan semua. Bahkan wanita itu sampai kurang tidur agar agar acara suaminya berjalan lancar. Ini adalah kesempatan untuknya, mendapat maaf dari Oscar dan juga Silviana.Sementara itu, di dalam ruang kerjanya, Oscar tidak sabar lagi mendengar semua yang Hary laporkan padanya. Hari ini adalah hari yang sangat ia tunggu sejak beberapa minggu terakhir, kedatangan putrinya kembali ke dalam rumah mereka."Bagaimana? Apa semua sudah seperti yang direncanakan?" tanya Oscar pada Hary dengan serius.Hary yang baru saja memasuki ruangan tentu terkejut karena dirinya belum juga berada di tengah ruangan, tetapi Oscar sudah bertanya padanya.Hary melangkah masuk, ia menutup pintu dengan sangat hati-hati. Kemudian berdiri di tengah ruangan dengan tubuh yang tegap.“Seperti yang Anda inginkan, Tuan,” jawab Hary, “nona sudah berada di kamarnya sejak beberapa menit yang lalu.
Lampu aula kembali menyala dengan riuh tepuk tangan yang begitu meraih. Dara dan Luna melakukan hal yang sama dengan mata berbinar, dekorasi sangat mewah dan luar biasa. Yang mereka undang pun orang-orang besar. Tidak heran melihat siapa yang mengadakan acara.Silvia menoleh pada Dara dan wanita di sebelahnya yang ia kira adalah ibu Dara, mereka terlihat sama dalam ucapan, jadi Silvia menyimpulkan seperti itu.“Kalian nikmati makanannya, ya. Aku harus menemani ayah dan ibuku di depan,” kata Silviana dengan senyum yang tulus. Dara dan Luna mengangguk, memujiku sikap Silviana yang sangat baik dan ramah. Mereka berdua bahkan sangat senang karena Silviana tidak memilih-milih berbicara dengan siapa.“Tante, nona Silviana sangat baik, ya,” kata Dara menatap Silvana yang sudah jalan menjauh.“Kamu benar, Dara,” kata Luna mulai memikirkan hal lain, “dia wanita yang sangat sempurna.”Dara yang melihat gelagat calon ibu mertuanya langsung tersadar, dengan senyum yang lembut ia pun berkata, “Ke
Dara langsung terdiam tatkala mendengar suara seseorang mendekat ke arahnya. Bukan hanya Dara, tetapi Alice juga merasakan hal yang sama. Kali ini, bukan hanya wajah bekas tamparan Luna saja yang sakit, tetapi hatinya juga.Silviana berdiri di sebelah Arsen, wanita itu seolah menunjukkan pada semua orang jika pria itu adalah miliknya, bukan milik Alice atau wanita lain.“Alice … kamu–”“Selamat malam, Leon, senang bertemu lagi denganmu,” kata Alice menyembunyikan rasa sesak di dalam dada. Rindu dan juga sakit menganyam dirinya secara bersamaan. Mereka baru berpisah selama satu bulan, tentu rasa rasa rindu itu masih terasa kuat.Silviana yang berada di sana menengahi, menatap semua orang yang berada di sana termasuk kakak—nya.“Amelia, senang bertemu denganmu,” kata Silviana memanggil Alice dengan sebutan akrab.Alice hanya tersenyum sebagai tanda menerima, ia tidak akan membahas Silvia untuk kali ini. Ia menatap Leonardo dengan tatapan berbeda kali ini, “Baiklah, aku dan Arsen akan–”
Ketegangan terasa di antara keduanya. Alice dengan wajah tenangnya, sementara Dara dengan wajah terlihat sedikit terganggu. Alice melihat ke arah Dara yang terus menatap Leonardo.“Jaga dia semampumu, selamat menikmati pesta Nona Dara.” Alice melangkah ke arah pria yang sejak tadi berdiri menunggunya, ada wanita cantik di sebelahnya yang berdiri dengan wajah tidak tenang.“Bagaimana?” tanya Arsen terlihat geram sejak tadi.“Jangan dipikirkan,” jawab Alice kemudian melirik ke arah Silviana yang tersenyum kaku ke arahnya.“Selamat malam, Adik.”Baru saja Silviana akan menjawab, suara seseorang kembali terdengar dari arah belakang. Luna lagi-lagi datang dengan wajah tak sedapnya. Menarik punggung Alice hingga hampir terjatuh ke belakang. Arsen ingin menolong tetapi tatapan Alice kembali mencegahnya.“Tidak tahu malu. Kamu mendekati kekasih nona Silvia, rupanya?” kata Luna lantang di hadapan Silvia dan Arsen.“Ibu, apa maksudmu? Aku–”“Jangan bicara lagi. Aku sekarang mengerti kenapa putr
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t
“Aku akan memikirkan ini dengan segera,” kata Bram pada akhirnya.Dara mengangguk. “Terima kasih, aku hanya ingin Sera baik-baik saja dan jauh dari mereka.”Dara teringat sesuatu. Ia menatap Bram dengan rasa khawatiran yang semakin mencuat. “Bram, bukankah kamu pergi menjemput pak Leo? Kamu tidak memberitahu siapa Sera padanya kan?” tanyanya serius.Bram terdiam, ia memaksa untuk tersenyum, “Dara, aku–”“Jangan katakan jika pak Leo sudah tahu siapa Sera, Bram?” Dara semakin khawatir, ia mencoba percaya pada Bram sepenuhnya.“Pak Leo sudah tahu,” jawabnya tanpa menoleh, pria itu sebenarnya lebih khawatir pada Alice, apalagi tatapannya tadi seolah sudah mengetahui semuanya.“Ba-bagaimana kamu bisa memberitahunya, Bram?” pekik Dara tertahan, takut jika Sera mendengar obrolan mereka.“Jika pak Leo tahu, istrinya sudah pasti–” Dara terdiam lagi, ia menatap Bram semakin lamat, “apakah kamu membawa Sera ke rumahnya? Kamu pergi membawa anakku mengantarnya ke rumah?”Leo membuang napas kasar,
“Leon, siapa gadis yang bersama Bram tadi?” Alice yang hendak memejamkan mata menoleh ke belakang. Ia tidak bisa memejamkan mata mengingat tatapan gadis tadi padanya.“Dia Sera,” jawab Leo singkat, “ayo kita tidur.”Alice mengerutkan kening, tak biasa Leo seperti menolak obrolan mereka. Ibu dari tiga anak itu kembali berkata, “Sera? Aku tidak tahu jika Bram memiliki kekuarga–”“Alice, lebih baik kita–”“Aku hanya ingin tahu, tatapan gadis tadi seperti tidak asing,” imbuhnya, selama Bram bekerja dengannya, ia tak tahu jika pria itu memiliki keluarga.“Apakah dia keluarga Bram? Kenapa kita tidak tahu jika selama ini–”“Alice, kita bahas besok ya,” katanya, “aku sangat mengantuk dan lelah.” Leo meraih Alice dalam dekapannya, ia memeluk istrinya dan mulai memejamkan mata hingga tertidur dengan lelapnya.Alice mendesah pelan, ia menyesal karena telah memaksa Leo menjawab pertanyaan, “Maafkan aku, seharusnya tadi tidak memaksamu untuk menjawab,” gumamnya pelan seperti berbisik.Sementara it
“Ibu … Damian jatuh cinta,” teriak jatuh Laila dari arah luar. Gadis berusia 18 tahun dengan suara melengking itu, berlari dengan sangat kencang.Alice yang masih berada di dapur sampai berdecak karena terkejut. “Ibu, aku yakin kak Laila sangat ditakuti di sekolahnya,” kata gadis kecil berusia sembilan tahu dengan susu di tangan kanannya.Alice menggeleng sembari meletakkan telunjuk di ujung bibir. “Jangan sampai kakakmu dengar, Ibu tidak ingin kamu mendapatkan masalah.”Clara mendengus kecil, “Dia sangat kejam, Ibu. Aku–”“Kamu membicarakanku, Clara?” Laila mendekat dengan tatapan memicing tajam pada adiknya. “Tidak. Mana mungkin aku berani membicarakan wanita angin badai sepertimu, Kak,” katanya dengan senyum yang manis.Laila membuang napas kasar, ia duduk di dekat Clara dan meraih gelas susu adiknya.“Itu milik–”“Mengalah saja. Andaikan dulu kamu lahir lelaki, kamu tidak akan menyusahkan aku,” ketusnya, ia tersenyum lega setelah menghabiskan susu milik adiknya.“Laila …,” tegur
Alice membuang napas pelan, kemudian menatap Leo yang masih terpaku. Bibirnya tersenyum kecil, kemudian melirik pada mertuanya yang terlihat syok di belakang Leo.“Satu lagi,” kata Alice tetapi tatapannya lurus pada Leo, “aku tidak akan menjamin keselamatanmu. Bisnis, dan apa pun yang kamu perjuangkan selama ini, aku tidak akan bertanggung jawab lagi.”Dara mengepalkan tangan, ia semakin yakin jika Alice bukan wanita baik. “Kamu berani melakukan itu pada Pak Leo? Dia–”“Ini bukan untuknya, tetapi untukmu.” Alice menoleh ke arah Dara yang langsung terdiam.Tersenyum kecil, Alice mengulurkan tangan dan menepuk wajah Dara yang sudah bengkak dengan pelan. “Aku memperingatkan dirimu, Nona Dara. Keluargamu, mereka tidak bersalah tetapi dengan cerobohnya, kamu menyeret mereka dalam kebusukanmu.”Alisa mengerutkan kening, tahu jika Dara tak memiliki keluarga, lalu ancaman macam apa yang Alice katakan. Namun, ketika wanita yang terlalu menggilai kakaknya itu bersuara, rasa penasarannya terjawa
Dara bersedekap, ia tak sabar menunggu kehadiran Leo. Dara yakin pria itu akan langsung datang apalagi ketika Alisa yang tak menjawab panggilan darinya.“Walaupun kakak datang, aku yakin dia akan langsung mengusirmu,” kata Alisa, ia sengaja tak menerima panggilan kakaknya, ingin melihat langsung apa yang akan kakaknya lakukan.Dara mendesah mengejek, “Kamu hanya tidak tahu sebesar apa kakakmu mencintaiku, Lisa. Aku yakin dia akan berlari dan meninggalkan istrinya yang sombong itu,” katanya percaya diri.“Oh, aku sangat tidak sabar. Jika benar seperti itu, kenapa harus datang ke sini? Kenapa tidak meminta kakakku datang ke tempatmu saja?” celetuk Lisa jengah.Dara terkekeh. Ia duduk dengan kaki menyilang. “Aku sengaja, aku ingin menunjukkan pada kalian jika Leo memang mencintaiku.”Alisa mendengus dingin, tetapi di dalam hati ia begitu takut dengan apa yang terjadi. Jika benar kakaknya datang, ia berjanji akan keluar dari perusahaan.Suara mobil terdengar, tidak hanya Dara dan Alisa, L
Malam yang mereka nantikan akhirnya tiba. Keluarga inti telah hadir semua, kecuali Luna dan Delima. Delima jelas menolak dengan keras, sementara Luna, Leonardo tidak mengizinkan ibunya bergabung karena kesehatan.“Terima kasih atas jamuan yang sangat istimewa,” kata pihak dari lelaki. Mereka semua sudah berkumpul di ruang keluarga setelah makan malam yang luar biasa.“Kita adalah keluarga. Menjamu keluarga dengan baik adalah kewajiban,” balas Amanda ramah, ia duduk di sebelah Silvia yang sejak tadi belum juga mengeluarkan suara.“Silvia, adalah putri kami, kebahagiaannya adalah kebahagiaan kami,” imbuh Amanda lagi.“Terima kasih Nyonya, Anda adalah Ibu yang baik,” timpal ibu Daniel, saya tidak mempermasalahkan nyonya Delima tidak hadir, saya akan berdoa atas kebahagiaan dirinya.”“Terima kasih, Bi. Saya sungguh sangat menyesal karena tidak bisa membawa ibu saya datang,” balas Silviana akhirnya.“Tidak apa. Aku mengerti,” katanya, “panggil aku Ibu, sebentar lagi kamu dan putraku ini ak