Hary dan Burhan saling pandang, mereka berdua pun sudah mengetahui hal ini sudah lama. Namun, mereka tidak bisa melakukan apa pun karena tidak berani dengan kemurkaan tuannya. Hary mendekat ke arah Eldhan yang masih berlutut di atas lantai. Pria itu terlihat sangat rapuh tidak seperti biasanya.“Tuan Eldhan. Ayo kita ke rumah belakang,” katanya meminta agar Eldhan berdiri dan ikut dengannya.Eldhan mengangkat wajah, melihat bagaimana Delima yang terus mengetuk pintu kamar suaminya. Pria itu merasa bersalah, tetapi jauh lebih merasa marah karena Oscar yang memperlakukan Delima dengan tidak baik.Eldhan berdiri dan menyingkirkan tangan Hary di pundaknya, kemudian dia berjalan ke arah Delima yang terus histeris memanggil Oscar agar dimaafkan.“Kita pergi!” ajak Eldhan lembut, tetapi Delima menggeleng dan masih terus meminta agar Oscar membukakan pintu untuknya.“Dia tidak akan membuka pintu, Delima. Dia–”“Panggil aku nyonya Delima Eldhan. Ingat aku adalah istri dari tuanmu!” ucap Delima
Di tempat yang jauh. Leonardo baru tiba dengan wajah yang lelah. Sudah seharian ia mencari keberadaan Alice, tetapi tidak juga menemukan petunjuk. Ia bahkan sudah menemui Arsen—pria yang kemungkinan yang paling tahu keberadaan Alice.“Aku sungguh tidak tahu,” kata Arsen yang masih diingatnya dengan wajah serius ketika ditanya.Leonardo berdecak karena semakin frustasi, jika bukan bersama Arsen, lalu dengan siapa Alice pergi? Apakah pulang ke rumah orang tuanya? Leonardo memejamkan mata, menyandarkan kepala pada sandaran mobil dengan mata tertutup. “Wanita itu mempermainkan aku.”“Dia membuatku seperti orang bodoh selama ini,” katanya lagi masih tidak percaya jika Alice adalah putri Oscar. Namun, jika diperhatikan dengan baik, keduanya memang terlihat sangat mirip. Leonardo mengendus kasar, bayangan dia menampar Alice kembali terlintas di benaknya.Hingga dering telepon menyadarkan dirinya. Leonardo meraih ponselnya dan menerima tanpa melihat siapa yang memanggil. Kepalanya terangkat
Di kediaman Leonardo, beberapa hari setelah pencarian Alice yang gagal. Horison sudah kembali sehat seperti biasanya. Ia kembali memimpin perusahaan walaupun Leonardo sudah siap untuk kerja kembali.“Fokus mencari istrimu. Kakek yang akan mengurus perusahaan sampai semua selesai,” kata Horison dengan tatapan datar pada cucunya.“Kakek, aku sudah mencarinya kesemua tempat, tetapi wanita itu tidak menampakkan diri,” jawab Leonardo tidak kalah dinginnya. Ia mendengus beberapa kali karena keras kepala kakeknya sangat mirip dengan ayahnya.“Kakek tahu, kamu tidak tahan berlama-lama pisah dengan sekretaris itu, kan?” tebak Horison, “apakah karena dia kamu tidak bisa menerima istrimu, Leo?”Leonardo terdiam, tidak berniat menjawab ataupun membantah, selama ini, apa pun yang ia pikirkan akan tetap salah di mata kakeknya. Jadi, biarkan saja semua seperti yang kakeknya ucapkan.“Kakek tidak percaya kamu seperti ini, Leo. Apa yang kamu lihat darinya,” kata Horison sekali lagi menatap kecewa pad
“Ibu tidak sabar membawa Dara pada pertemuan penting ini, Leo,” ujar Luna sumringah mendapatkan undangan dari orang paling berpengaruh di antara mereka semua. Siapa yang tidak mengenal keluarga Oscar, keluarga paling terpandang dan tidak terkalahkan oleh siapa pun, termasuk keluarga suaminya.Leo hanya memasang wajah datar, sudah menjelaskan pada ibunya jika mereka tidak bisa membawa Dara, tetapi rupanya Luna tidak bisa menerima peringatan dari siapa pun karena sudah terlalu benci mendengar nama Alice. Baginya, siapa yang sudah pergi sudah seharusnya tidak perlu di ingat.“Bu, aku tidak ikut campur jika terjadi hal buruk karena ibu membawa Dara,” kata Leo sengaja menakuti ibunya. Dia bahkan mereka tidak percaya diri menginjakkan kaki di kediaman itu karena tahu fakta yang kakeknya beritahu.Namun, sepertinya Luna memang tidak terpengaruh sedikit pun, baginya Alice tetaplah wanita yang tidak terlalu penting dan tidak perlu lagi diingat.“Ibu sudah menyiapkan pakaianmu. Kamu dan Dara
Sepulang dari kantornya, Silviana tidak langsung masuk ke kamarnya, ia memilih langsung ke kamar ibunya. Langkahnya pasti dan juga cepat, sampai di depan pintu, ia menghela napas panjang, takut hal yang pernah ia lihat terjadi lagi.Silviana mengetuk pintu pelan, kemudian memutar gagang pintu dan masuk. Delima menelpon tatkala melihat putrinya masuk, ia memberi senyum dan menghampiri Silviana.“Jangan memelukku, Bu,” tolak Silviana, “aku hanya ingin tahu apa yang ayah katakan padamu, tadi.”Delima menghela napas pelan dan mengangguk, ia harus menerima semua dengan lapang dada. Suami dan anaknya sudah tidak ingin disentuh olehnya lagi.Delima berjalan ke arah sofa, duduk di sana dengan wajah sendu. Begitu pun dengan Silviana, tanpa banyak bertanya ia mengekor dan duduk di hadapan ibunya. “Apa benar yang ibu katakan, Amelia akan kembali?” tanya Silviana, ia sampai tidak tenang seharian di kantor.“Ayahmu yang mengatakan itu,” jawab Delima gusar, “Ibu khawatir jika anak itu sampai menga
Di kediaman Oscar, semua sudah siap dengan sangat sempurna. Aula sudah dihias dengan sangat menarik dan indah. Maulida yang melakukan semua. Bahkan wanita itu sampai kurang tidur agar agar acara suaminya berjalan lancar. Ini adalah kesempatan untuknya, mendapat maaf dari Oscar dan juga Silviana.Sementara itu, di dalam ruang kerjanya, Oscar tidak sabar lagi mendengar semua yang Hary laporkan padanya. Hari ini adalah hari yang sangat ia tunggu sejak beberapa minggu terakhir, kedatangan putrinya kembali ke dalam rumah mereka."Bagaimana? Apa semua sudah seperti yang direncanakan?" tanya Oscar pada Hary dengan serius.Hary yang baru saja memasuki ruangan tentu terkejut karena dirinya belum juga berada di tengah ruangan, tetapi Oscar sudah bertanya padanya.Hary melangkah masuk, ia menutup pintu dengan sangat hati-hati. Kemudian berdiri di tengah ruangan dengan tubuh yang tegap.“Seperti yang Anda inginkan, Tuan,” jawab Hary, “nona sudah berada di kamarnya sejak beberapa menit yang lalu.
Lampu aula kembali menyala dengan riuh tepuk tangan yang begitu meraih. Dara dan Luna melakukan hal yang sama dengan mata berbinar, dekorasi sangat mewah dan luar biasa. Yang mereka undang pun orang-orang besar. Tidak heran melihat siapa yang mengadakan acara.Silvia menoleh pada Dara dan wanita di sebelahnya yang ia kira adalah ibu Dara, mereka terlihat sama dalam ucapan, jadi Silvia menyimpulkan seperti itu.“Kalian nikmati makanannya, ya. Aku harus menemani ayah dan ibuku di depan,” kata Silviana dengan senyum yang tulus. Dara dan Luna mengangguk, memujiku sikap Silviana yang sangat baik dan ramah. Mereka berdua bahkan sangat senang karena Silviana tidak memilih-milih berbicara dengan siapa.“Tante, nona Silviana sangat baik, ya,” kata Dara menatap Silvana yang sudah jalan menjauh.“Kamu benar, Dara,” kata Luna mulai memikirkan hal lain, “dia wanita yang sangat sempurna.”Dara yang melihat gelagat calon ibu mertuanya langsung tersadar, dengan senyum yang lembut ia pun berkata, “Ke
Dara langsung terdiam tatkala mendengar suara seseorang mendekat ke arahnya. Bukan hanya Dara, tetapi Alice juga merasakan hal yang sama. Kali ini, bukan hanya wajah bekas tamparan Luna saja yang sakit, tetapi hatinya juga.Silviana berdiri di sebelah Arsen, wanita itu seolah menunjukkan pada semua orang jika pria itu adalah miliknya, bukan milik Alice atau wanita lain.“Alice … kamu–”“Selamat malam, Leon, senang bertemu lagi denganmu,” kata Alice menyembunyikan rasa sesak di dalam dada. Rindu dan juga sakit menganyam dirinya secara bersamaan. Mereka baru berpisah selama satu bulan, tentu rasa rasa rindu itu masih terasa kuat.Silviana yang berada di sana menengahi, menatap semua orang yang berada di sana termasuk kakak—nya.“Amelia, senang bertemu denganmu,” kata Silviana memanggil Alice dengan sebutan akrab.Alice hanya tersenyum sebagai tanda menerima, ia tidak akan membahas Silvia untuk kali ini. Ia menatap Leonardo dengan tatapan berbeda kali ini, “Baiklah, aku dan Arsen akan–”
Di dalam kamar yang begitu besar dan mewah. Boneka serta mobil-mobilan berbagai ukuran ditata dengan sangat rapi. Tidak hanya itu, foto Alice dan Leo terpasang begitu besar di dalam kamar tersebut, entah apa yang Oscar pikirkan hingga tetap memberikan tempat untuk menantu lelakinya.Di dalam kamar tersebut, dua orang dewasa sesaat saling terpaku tatkala menyaksikan dekorasi yang begitu indah dan terkesan menyentuh hati.Menghela napas, perlahan Leo meletakkan anaknya di sisi sebelah kiri, pun dengan Alice yang melakukan hal yang sama. Setelah itu, Alice mengecup kening kedua anaknya.“Terima kasih karena telah menjemput kami,” kata Alice masih terkesan dingin dan acuh.Leonardo mendengus, sikap Alice semakin memberikan kebimbangan pada dirinya. Ia menahan tangan sang istri yang hendak meninggalkan kamar. Pria itu, dengan kasar menarik tangan Alice dan merapatkannya dalam pelukan. Alice melototkan kata, ia tak bisa mengeluarkan suara kencang karena takut kedua anaknya terbangun dan me
Langit begitu cerah seolah bersaksi jika pertemuan ini adalah yang paling dinanti. Di antara hamparan bunga mawar yang tertata rapi, dua orang dewasa tengah duduk di bangku taman dengan tatapan lurus pada ayunan yang bergoyang.Di depan sana, kedua anak kembar dengan nama yang berbeda tengah bermain sambil bercengkrama.“Alice …,” ujar Leo dalam.“Bagaimana bisa kamu sampai di tempat ini?” balas Alice tanpa menoleh.Sudut bibir Leo terangkat sebelah, membentuk sebuah seringai tajam, “Bukankah seharusnya kamu minta maaf padaku? Kamu mencuci otak anakku dengan kejamnya.”Terdiam dengan napas terengah, ia menelengkan kepala menatap pria yang telah banyak berubah bentuk fisiknya.“Mencuci? Tidakkah kamu merasa jika kata-kata itu terlalu menyakitkan?” desis Alice tak menerima tuduhan itu.“Lalu apa?” balas Leo membalas tatapan wanitanya, jantungnya berdebar, ia bahkan menahan diri dengan keras untuk tidak memeluk, “jelas sekali kedua anakku tidak menyambutku, mereka bahkan melihat asing pa
“Tentu saja, ayah harus ikut,” kata Alice pada kedua anaknya. Untungnya kini kedua anaknya tidak lagi bertanya banyak hal padanya. “Syukurlah! Aku sangat khawatir jika Ayah tidak datang," katanya jujur.“Panggil dia paman setelah kita sampai di sana, ya.” Alice mengusap kepala anaknya. Ia merasa takut Arsen semakin risih dengan panggilan itu.“Kenapa? Apakah karena kalian tidak bisa bersama?” tanya Laila polos, “Ibu, tidak apa jika tidak bersama, dia tetap ayahku.”Damian melirik adiknya. Sebenarnya dia begitu penasaran dengan orang dewasa. Ibunya tidak memasang foto ayahnya di manapun, tetapi memasang foto pria lain di ponselnya.“Ibu, bolehkah aku bertanya?” Damian meriah tangan ibunya kemudian mendekapnya di dada.“Katakan saja, Sayang?” jawab Alice dengan lembut.Damian dan Laila saling lirik, bocah kecil itu berkata dengan sangat hati-hati, “Foto siapa yang berada di ponsel ibu? Matanya … sangat mirip dengan mataku.”Jantung Alice berdebar kencang, hal ini yang paling ditakutkan
Sampai di rumah sang kakak, Alisa langsung sigap memantau semua pekerjaan tukang. Sebenarnya, di rumah ibunya, kamar bayi sudah disiapkan oleh kakeknya.Sangat disayangkan sekali, Alice meninggalkan rumah dengan alasan yang sampai sekarang pun tak diketahui penyebabnya.Syukurnya, kakeknya—Horison berjiwa yang lapang, dua kamar bayi yang disiapkan masih tetap bersih hingga sekarang.Pria itu, yakin penerus keluarganya pasti akan kembali ke rumahnya.“Nona, bagaimana dengan foto ini, kami letakkan di mana?” tanya si tukang pada Alisa, memang Alisa yang meminta mereka menunggu untuk urusan foto tersebut.Alisa masuk ke dalam kamar yang hampir selesai, terlihat indah dengan satu ranjang besar sesuai dengan keinginan kakaknya."Letakkan saja di atas. Aku rasa di sanalah tempat yang paling baik," katanya setelah lama menimbang.“Baik Nona,” jawabnya langsung meminta para pekerja yang lain untuk melakukan pekerjaannya. Ini adalah pekerjaan terbaik bagi mereka karena diberi kesempatan untuk
Di bawah pohon yang rindang, empat kepala tengah berbaring menghadap ke atas. Di sekeliling mereka rumput hijau yang berbunga tumbuh subur semakin menambah keindahan.“Jadi, kalian tidak ingin jujur kepada Ibu?” tanya Alice mencoba mengulik apa yang terjadi. Damian dan Laila saling lirik, “Ibu, kami tidak merahasiakan apa pun darimu,” kilah Damian menolong adiknya.“Benarkah? Kenapa ibu mereka jika kalian berdua mulai menyembunyikan sesuatu, ya.” Alice membalik tubuhnya seperti tengkurap, menatap ketiga orang di hadapannya masih berbaring menatap ke langit biru. “Ayah, tolong beritahu ibu,” bujuk Laila berkata lembut.Baru saja Arsen akan bersuara, Alice langsung berdehem, “Jangan meminta tolong pada Ayahmu. Dia masih Ibu hukum karena kesalahan yang lain,” tukas Alice memicing tajam.Damian dan Laila terkekeh bersama, "Ayah, kali ini, kami tidak bisa menolong," kata Damian, ia menarik adiknya dan bermain bersama.Mendengus pelan, Damian dan Alice pun ikut bangkit dari tidurnya.“Ka
Di sebuah ruangan yang gelap. Seorang pria tengah duduk dengan kedua tangan menutup wajah. Bayangan sang istri terus berputar di dalam benaknya. “Bahkan dia tidak ingin membalas pelukanku dariku,” gumamnya memecah keheningan malam. “Di mana dia menyimpan anak-anakku. Wanita itu …,” geramnya menyadari jika tadi ia tak melihat dua anak yang Bram ungkapkan padanya.Leonardo menoleh tatkala mendengar suara ketukan pintu, ia melangkah malas ke arah sumber suara. Membuka pintu dan menemukan pelayan perempuan berdiri di sana.“Katakan!” serunya malas. Cahaya dari luar menerangi kamarnya yang masih gelap. Hal yang selalu Leo lakukan selama kepergian istrinya.“Saya sudah meminta nona Dara seperti yang Anda perintahkan, tetapi beliau memutuskan untuk tetap tinggal di luar rumah, Tuan,” lapornya.Leonardo mendengus kasar, “Biarkan saja. Kalian lebih baik tidur karena besok pagi Alisa dan beberapa tukang akan datang,” kata Leo, “siapkan apa saja yang seharusnya kalian siapkan,” sambungnya lagi
Mendengus kasar, Leo menarik Alice masuk ke dalam mobilnya, mengabaikan panggilan dari supir istrinya yang terlihat khawatir.“Lepaskan aku!” sentak Alice lagi, ia mencoba keluar, tetapi Leo mengunci pintu mobil dengan cepat.“Leon, tolong biarkan aku pergi,” katanya dengan tatapan memelas. Ia tidak bisa pulang terlambat malam ini.“Tidak akan! Aku tidak akan melepaskan dirimu lagi, Alice! Tidak akan!” balas Leo dengan nada marah.Berdecak, Alice berpikir cepat, kedua anaknya bisa marah jika dia tak kembali lebih awal malam ini. Namun, bagaimana cara membicarakan ini pada Leon? Pria di sebelahnya tak boleh mengetahui keberadaan mereka berdua.Leo yang melihat istrinya tengah gelisah, hanya menyeringai, ia tahu jika Alice tengah dilanda kekhawatiran yang dalam saat ini.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkan aku lagi, Alice. Jadi jangan harap kamu bisa lepas dariku,” desis Leo dengan suara yang berat.“Leon jangan bercanda. Aku tidak bisa ikut denganmu malam ini,” katanya memelas.
“Beri aku 500 dolar,” kata Silvia pada sang kakak. Wanita bermata indah itu berdecak karena gaun miliknya kini tidak bisa dikenakan lagi.Tidak sampai lima menit, ponsel mahal milik Silvia mengeluarkan bunyi notifikasi. Wanita cantik itu lantas menatap kakaknya dengan tatapan tidak percaya.“Wah, uangku langsung masuk,” decak Alisa dengan mata berbinar pada nominal yang masuk di ponselnya. Ia mendapatkan nilai lebih.“Gunakan dengan baik. Itu karena kamu sudah menyelamatkan hidupku tadi,” seloroh Leo senang karena akhirnya terbebas dari Lucas dan putrinya.“Ya. Aku berharap Kakak tidak menjatuhkan hati padanya. Lihatlah, tubuhnya sangat kurus dan … riasannya sangat mencolok.”“Alisa,” tegur Leo lembut, tetapi penuh ketegasan, ia tidak ingin adiknya menjadi terbiasa membicarakan keburukan orang lain.“Ya. Baiklah!”Lisa menyandarkan punggung di sandaran mobil, mengingat kembali apa yang dilihatnya di pesta tadi. Ia melirik kakaknya yang tengah serius menatap foto wanita hamil di layar
“Sudahlah Kak, jangan lagi membahas ini,” kata Alisa jengah. Setiap bertemu kakaknya yang dibahas adalah pertunangan yang sudah terlanjur terjadi.Leo mendengus, “Semoga kamu dan dia bahagia,” kata Leo mendoakan, ia tidak ingin adiknya menyesal karena terpaksa memilih jalan lain.“Aku bahagia. Lagipula, aku bukan wanita bodoh yang harus menunggu pria tidak peka seperti dia,” sindir Alisa pada Bram yang sudah berada di dalam ruangannya.Alisa menghela napas pelan, “Ada apa Kakak memanggilku?”Mendesah dengan jawaban adiknya, “Aku ingin kamu membantuku mencari model kamar anak yang lucu. Aku–”“Kakak ingin mengadopsi anak? Tidak boleh, Kak!” potong Alisa cepat.“Ibu tidak akan suka, lagipula, kamu bisa menikah dan dapatkan anak dengan mudah,” papar Alisa lagi. Sudah lima tahun, ini bukan waktu yang sebentar untuk menahan rindu, ia yakin kakaknya sangat kesepian dan menderita selama ini.“Jaga ucapanmu. Patuhi saja, besok kamu libur, datang kerumah dan minta tukang untuk menyelesaikan se