“Tuan, jam tangan Anda.”Leo menoleh dan mendapati wanita yang bekerja di pesawat berlari mengejarnya. Leo melirik pada apa yang dibawa, baru tersadar tatkala jam tangan miliknya tertinggal.“Terima kasih.” Leonardo meraih jam tangan miliknya dan memakannya.“Sama-sama, Tuan,” katanya dengan tatapan berbinar, “saya–”“Bos, silakan!” Bram datang lebih cepat tatkala menyadari niat buruk di wanita, pria yang tidak ingin terjadi rumor itu membawa bosnya menjauh.“Sialan! Belum berhasil sudah menghilang,” hentaknya menatap kesal pada Bram yang membawa Leo menjauh.Teman wanitanya mendekat, menepuk pundaknya pelan. “Kamu masih ada waktu untuk mendekatinya. Ayo!”Sementara Bram yang sudah berada di dalam mobil melirik pada wanita yang menjauh, ia menggeleng kepala karena selalu saja ada yang berusaha mendekati tuannya.“Kamu sudah memesan hotel untuk kita?” tanya Leo.“Sudah Pak. Semua sudah aman,” jawabnya.Leo mengangguk, ia mengeluarkan ponsel dan menghidupkan, seketika ia mendapati banya
Mobil Alice meluncur dengan mulus ke arah rumah. Ia begitu prihatin mendengar laporan Silvia jika ibunya tidak ingin memperhatikan kesehatan lagi, wanita itu bahkan telah memutuskan hubungan dengan Eldhan setelah dirinya diceraikan oleh Oscar.Alice memandang ke luar jendela, mengingat semua yang terjadi pada hidupnya beberapa tahun yang lalu. “Ibu merindukan Ayah, ya,” tegur Laila yang menyadari ibunya tengah melamun.Alice menoleh dan menggeleng. “Tidak. Ini hanya teringat dengan nenekmu.”Damian mengerutkan kening halus, “Nenek yang mana? Luna atau Amanda?” tanyanya tak ingin menyebut satu neneknya yang lain.“Semuanya, mereka berdua adalah orang-orang yang sangat berarti untuk Ibu,” katanya, “nenek Delima juga, dia hanya sedang sakit jadi sedikit pemarah.”Laila dan Damian mengangguk. Mereka berdua mendengarkan apa saja yang ibunya katakan. Karena masih terlalu siang, Alice membawa kedua anaknya berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan.“Ibu, aku ingin bermain sebentar, ya.” Laila le
“Pak, saya dengar ponsel Anda bergetar sejak tadi,” kata Dara pelan, di sana sudah ada Bram dengan tatapan serius pada makanan mereka.Leo memang merasakannya, tetapi entah kenapa ia merasa malas saja. Namun, karena terlalu sering, ia pun akhirnya undur diri dan melihat siapa yang menelepon.Setelah jauh dari jarak antara dirinya dan Dara, ia merogoh ponsel di dalam kantong celana, melihat siapa yang menelepon dirinya sejak tadi.Matanya terbelalak, ia melupakan jika kemungkinan Alice akan menelepon. Sejak tadi, ia hanya mengira jika itu adalah perbuatan Alisa seperti biasa.“Halo.” Leo menerima panggilan dengan nada khawatir.“[Leon, apa aku mengganggumu? Damian sejak tadi ingin membicara,]” katanya memberitahu apa yang terjadi.“Ah, aku … ya, aku sedikit sibuk tadi,” jawabnya meredam debaran jantungnya, takut sekali jika Alice mengulik keberadaannya.“[Ah, maafkan aku. Jika masih sibuk aku–]”“Pak, ayo makan dulu.”Leo memejamkan mata, ia menoleh dan mendapati Dara tersenyum lembut
Sementara itu, di apartemen yang tidak terlalu besar, Dara duduk di ruang tamu dengan wajah dinginnya. Ia tahu jika Leo dan Alice kembali bermasalah karena dirinya. “Aku sudah katakan, aku akan merusak hubungan kalian lagi,” katanya dengan tekad yang kuat.“Wanita itu telah membawa Leo terlalu jauh,” katanya, “dan bodohnya Leo tetap saja berlari ke arahnya meski aku sudah berdiri dan menerima uluran tangan darinya.”Dara menghembuskan napas kasar. Ia merebahkan kepala pada sandaran sofa, memejamkan dengan bibir tersenyum tipis. Bayangan dirinya dan Leo di masa muda kembali terlintas dengan jelas di pelupuk mata.“Leonardo dan Dara, dua pasangan yang serasi,” gumamnya dengan jantung berdebar, cintanya pada Leo begitu besar, seperti cinta Leo padanya, itu yang Dara yakini.Sepanjang malam, wanita dengan wajah cantik itu masih setia di sofa, menunggu telepon dari Leo atau siapa pun yang bisa menemaninya. Namun, hingga hari berganti, tak seorang pun menelpon termaksud—Bram.Dara bangkit
Leo membuang napas pelan, lalu menatap pelayan di hadapannya yang terlihat kebingungan“Di mana istriku?” tanyanya dengan pelan.Baru saja si pelayan hendak bersuara, Leo kembali berucap, “Jangan mengatakan jika dia pergi dan kalian tidak ada yang bisa menghentikan.“Di mana istriku?” tanyanya lagi, mengulang pertanyaan awalnya.“Nyonya sudah pergi–”“Pergi? Sudah aku katakan jangan katakan hal yang menyakitkan hatiku!” sentak Leon.“Tuan …,” kata si pelayan ragu, ia tidak tahu apa yang terjadi.“Nyonya di belakang Anda,” katanya dengan suara teramat pelan seperti berbisik.Leo membeku, ia menoleh cepat dan menemukan Alice dengan tatapan datar pada dirinya. “Alice …,” cicit Leo.Alice meminta pelayan meninggalkam mereka, setelah itu berjalan melewati suaminya tanpa sepatah kata.Terlalu senang, Leo memeluk istrinya dari belakang, berharap ini bukan hanya mimpi.“Aku sangat takut,” katanya, “aku hampir saja mencari Arsen dan mematahkan tulangnya.”Alice tak mengatakan apa pun, ia teta
Silvia bergabung dengan Amanda dan juga Alice. Keduanya terlihat saling tertawa bersama. Menyaksikan itu, Silvia merasa cemburu, selama ini, ibunya tak pernah sekalipun mengajaknya tertawa bersama.“Eh, Silvia. Kemarilah!” Amanda meminta Silvia yang terlihat melamun di depan pintu.Wanita yang sebentar lagi melakukan proses lamaran itu mendekat dengan senyum yang masih terpatri cantik.“Ibu, maaf karena aku merusak momen kalian,” katanya.Amanda menepuk sebelah sisinya. “Duduklah. Kami hanya membicarakan Laila dan Damian yang semakin pintar.”Silvia duduk di sebelah Amanda, di sambut oleh Alice yang tak keberatan sama sekali. “Kenapa tidak membawa mereka, Kak?” tanyanya pada Alice.“Mereka ingin menjaga Ayahnya. Leo ... dia sakit,” jawab Alice ragu.Amanda dan Silvia saling lirik. “Sakit? Bukankah suamimu ke luar kota?”“Hum, pagi tadi dia kembali, alasannya karena merindukan Laila dan Damian,” kilah Alice tak ingin ibunya tahu apa yang telah terjadi.Wanita cantik itu tersenyum lemb
Setibanya di rumah, Alice langsung bergegas ke lantai atas, memastikan keberadaan tiga orang kesayangannya. Sepanjang perjalanan ia memikirkan semua. Jika ia menyerah, ada dua orang yang Kana tersakiti. Laila dan Damian tidak akan memaafkan dirinya karena telah memisahkan mereka lagi.Langkah kakinya terhenti tatkala mendengar tawa renyah kedua anaknya. Alice melangkah pelan dan mengintip melalui celah pintu yang tidak tertutup rapat.“Ayah, jangan seperti itu, ini sangat aneh,” kata Laila sembari tertawa terbahak.Alice memicingkan mata, mencari sosok yang anaknya tertawakan. Matanya terbelalak tak percaya ketika mendapati Leo yang tengah berpose menggelikan di depan cermin.“Apa yang kalian lakukan?” pekik Alice tidak tahan. Bagaimana tidak, Leo mengenakan pakaian tidur miliknya yang bermotif bunga dengan hiasan bando di atas kepala.Sementara Leo yang begitu terkejut, ia sampai terjatuh karena malu bercampur kaget.Laila dan Damian yang senang karena ibunya kembali langsung berhamb
“Ibu, aku dengar jika kakak ada di rumahnya,” lapor Alisa pada ibunya.Luna yang akan bersiap untuk istirahat, kembali menegakkan tubuh dan duduk di pinggir ranjang dengan kening mengkerut.“Bukankah dia di luar kota? Siapa yang memberitahumu?” Luna bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah sofa, duduk di sebelah Alisa yang baru saja kembali dari kantor.“Pelayan yang kita bayar. Pagi sekali, kakak kembali ke rumah dengan wajah yang cemas,” kata Alisa lagi, “apakah Ibu tahu jika sebelumnya kakak bertemu dengan Dara?”“Dara? Apa maksudmu?” Luna sampai menoleh karena terkejut.“Kakak dan Bram memang pergi untuk bekerja mengurus restoran yang akan dihadiahkan untuk Alice, tetapi tanpa ada yang tahu, di sana ternyata ada Dara,” bisik Alisa dengan wajah yang serius.“Ya ampun, Leo. Apakah dia tidak mengerti jika apa yang dilakukannya itu sangat berbahaya,” kata Luna, “sudah sering Ibu ingatkan, jika tidak lagi mencintai wanita itu lebih baik bercerai.”“Ibu …,” tegur Alisa.“Ini lebih
Luna menghela napas berulang kali, ia duduk dan menatap menantunya. “Ibu hanya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Laila di sana.”Leo mengangguk paham. Ia meraih tangan ibunya. “Ibu, Damian akan menjaganya selama satu bulan, lagipula ada Arsen di sana.”“Arsen? Kamu masih percaya pada pria itu? Bagaimana jika–”“Ibu, tolong percaya dengan keputusan yang sudah aku ambil, Arsen adalah satu-satunya yang bisa menjaga Laila setelah Damian.”Lagi-lagi Luna mendengus, ia tak suka dengan pria bernama Arsen. Pria itu ingin merebut Alice dari putranya bahkan dengan terang-terangan mengakui Laila dan Damian sebagai anak.“Kalian tidak ada yang mengerti dengan kekhawatiranku. Aku hanya ingin cucuku hidup dengan damai, tidak perlu sekolah di tempat jauh, kita bisa–”“Maafkan aku karena memotong ucapanmu Bu. Tetapi ini adalah keputusan mereka. Laila ingin sekolah bisnis seperti Silviana, sementara Damian, putraku adalah penerus, dia harus memiliki pendidikan yang jauh lebih hebat.”Membuang na
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t