Sementara itu, di apartemen yang tidak terlalu besar, Dara duduk di ruang tamu dengan wajah dinginnya. Ia tahu jika Leo dan Alice kembali bermasalah karena dirinya. “Aku sudah katakan, aku akan merusak hubungan kalian lagi,” katanya dengan tekad yang kuat.“Wanita itu telah membawa Leo terlalu jauh,” katanya, “dan bodohnya Leo tetap saja berlari ke arahnya meski aku sudah berdiri dan menerima uluran tangan darinya.”Dara menghembuskan napas kasar. Ia merebahkan kepala pada sandaran sofa, memejamkan dengan bibir tersenyum tipis. Bayangan dirinya dan Leo di masa muda kembali terlintas dengan jelas di pelupuk mata.“Leonardo dan Dara, dua pasangan yang serasi,” gumamnya dengan jantung berdebar, cintanya pada Leo begitu besar, seperti cinta Leo padanya, itu yang Dara yakini.Sepanjang malam, wanita dengan wajah cantik itu masih setia di sofa, menunggu telepon dari Leo atau siapa pun yang bisa menemaninya. Namun, hingga hari berganti, tak seorang pun menelpon termaksud—Bram.Dara bangkit
Leo membuang napas pelan, lalu menatap pelayan di hadapannya yang terlihat kebingungan“Di mana istriku?” tanyanya dengan pelan.Baru saja si pelayan hendak bersuara, Leo kembali berucap, “Jangan mengatakan jika dia pergi dan kalian tidak ada yang bisa menghentikan.“Di mana istriku?” tanyanya lagi, mengulang pertanyaan awalnya.“Nyonya sudah pergi–”“Pergi? Sudah aku katakan jangan katakan hal yang menyakitkan hatiku!” sentak Leon.“Tuan …,” kata si pelayan ragu, ia tidak tahu apa yang terjadi.“Nyonya di belakang Anda,” katanya dengan suara teramat pelan seperti berbisik.Leo membeku, ia menoleh cepat dan menemukan Alice dengan tatapan datar pada dirinya. “Alice …,” cicit Leo.Alice meminta pelayan meninggalkam mereka, setelah itu berjalan melewati suaminya tanpa sepatah kata.Terlalu senang, Leo memeluk istrinya dari belakang, berharap ini bukan hanya mimpi.“Aku sangat takut,” katanya, “aku hampir saja mencari Arsen dan mematahkan tulangnya.”Alice tak mengatakan apa pun, ia teta
Silvia bergabung dengan Amanda dan juga Alice. Keduanya terlihat saling tertawa bersama. Menyaksikan itu, Silvia merasa cemburu, selama ini, ibunya tak pernah sekalipun mengajaknya tertawa bersama.“Eh, Silvia. Kemarilah!” Amanda meminta Silvia yang terlihat melamun di depan pintu.Wanita yang sebentar lagi melakukan proses lamaran itu mendekat dengan senyum yang masih terpatri cantik.“Ibu, maaf karena aku merusak momen kalian,” katanya.Amanda menepuk sebelah sisinya. “Duduklah. Kami hanya membicarakan Laila dan Damian yang semakin pintar.”Silvia duduk di sebelah Amanda, di sambut oleh Alice yang tak keberatan sama sekali. “Kenapa tidak membawa mereka, Kak?” tanyanya pada Alice.“Mereka ingin menjaga Ayahnya. Leo ... dia sakit,” jawab Alice ragu.Amanda dan Silvia saling lirik. “Sakit? Bukankah suamimu ke luar kota?”“Hum, pagi tadi dia kembali, alasannya karena merindukan Laila dan Damian,” kilah Alice tak ingin ibunya tahu apa yang telah terjadi.Wanita cantik itu tersenyum lemb
Setibanya di rumah, Alice langsung bergegas ke lantai atas, memastikan keberadaan tiga orang kesayangannya. Sepanjang perjalanan ia memikirkan semua. Jika ia menyerah, ada dua orang yang Kana tersakiti. Laila dan Damian tidak akan memaafkan dirinya karena telah memisahkan mereka lagi.Langkah kakinya terhenti tatkala mendengar tawa renyah kedua anaknya. Alice melangkah pelan dan mengintip melalui celah pintu yang tidak tertutup rapat.“Ayah, jangan seperti itu, ini sangat aneh,” kata Laila sembari tertawa terbahak.Alice memicingkan mata, mencari sosok yang anaknya tertawakan. Matanya terbelalak tak percaya ketika mendapati Leo yang tengah berpose menggelikan di depan cermin.“Apa yang kalian lakukan?” pekik Alice tidak tahan. Bagaimana tidak, Leo mengenakan pakaian tidur miliknya yang bermotif bunga dengan hiasan bando di atas kepala.Sementara Leo yang begitu terkejut, ia sampai terjatuh karena malu bercampur kaget.Laila dan Damian yang senang karena ibunya kembali langsung berhamb
“Ibu, aku dengar jika kakak ada di rumahnya,” lapor Alisa pada ibunya.Luna yang akan bersiap untuk istirahat, kembali menegakkan tubuh dan duduk di pinggir ranjang dengan kening mengkerut.“Bukankah dia di luar kota? Siapa yang memberitahumu?” Luna bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah sofa, duduk di sebelah Alisa yang baru saja kembali dari kantor.“Pelayan yang kita bayar. Pagi sekali, kakak kembali ke rumah dengan wajah yang cemas,” kata Alisa lagi, “apakah Ibu tahu jika sebelumnya kakak bertemu dengan Dara?”“Dara? Apa maksudmu?” Luna sampai menoleh karena terkejut.“Kakak dan Bram memang pergi untuk bekerja mengurus restoran yang akan dihadiahkan untuk Alice, tetapi tanpa ada yang tahu, di sana ternyata ada Dara,” bisik Alisa dengan wajah yang serius.“Ya ampun, Leo. Apakah dia tidak mengerti jika apa yang dilakukannya itu sangat berbahaya,” kata Luna, “sudah sering Ibu ingatkan, jika tidak lagi mencintai wanita itu lebih baik bercerai.”“Ibu …,” tegur Alisa.“Ini lebih
Hari berganti hari, acara pertunangan Silvia akhirnya berlangsung sesuai dengan harapan. Wanita itu, tak bisa menghentikan semua meski Arsen tak datang dengan satu wanita pun.“Selamat atas pertunanganmu,” katanya, menatap Silvia yang menatap datar ke arahnya. “Aku tidak percaya kamu sampai melakukan ini, Arsen,” desis Silvia, ia melihat sekeliling, para tamu tengah asyik dengan tunangannya, sementara dirinya yang tak suka dengan acara berlangsung memilih menyendiri dengan minumannya.“Aku tidak ingin menyakiti siapa pun, Silva,” jawabnya, “kamu wanita baik, harus mendapat pria yang baik yang bisa membuatmu bahagia, bukan aku.”Silvia mendengus kasar, ia memalingkan wajah menahan air mata yang hendak keluar. “Pergilah! Bukankah ini yang kamu inginkan? Sengaja datang terlambat agar semua terjadi? Lihat, sekarang semua sudah terjadi seperti keinginanmu.”Senyum kecil di bibir Arsen terpatri, ia menghembuskan napas pelan, “Silvia. Kamu mengerti dengan perasaanku. Kamu tahu bagaimana aku
Keduanya menoleh tatkala pintu terbuka. Delima berdecak melihat wanita cantik masuk dengan anggunnya.“Selamat malam, Delima.” Amanda mendekat dengan anggun, berdiri di sebelah suaminya yang tersayang.Delima mendengus, ia menatap Amanda dengan tatapan tak suka, “Apakah kamu ingin memamerkan keberhasilanmu? Berdiri di depan umum saja tidak berani,” katanya mencemooh.“Deli–”“Jika aku berdiri di depan umum, bukankah namamu juga yang rusak? Dunia akan tahu bagaimana jahatnya wanita yang menyebabkan putriku menjadi gelandangan di luaran sana,” cibir Amanda berhasil membungkam Delima.Oscar meminta Amanda untuk duduk dulu dan memberinya waktu untuk berbicara pada Delima. Wanita itu, tak keberatan, ia duduk menjauh, meninggalkan suaminya dengan mantan istrinya yang pernah disayang.“Untuk kali ini, tolong jangan lakukan apa pun. Biarkan Silvia bahagia dengan pilihannya sendiri,” pinta Oscar, “bukankah kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, rumah dan dan tempat usaha?”Delima mende
Silvia terduduk lemas di ujung koridor, wanita itu, menatap nanar pada sosok yang semakin menjauh masuk ke dalam mesin besi yang membawanya turun kelantai bawah.Silvia meremas lutut, hatinya hancur tak berkeping, tamparan yang diterima begitu menyakitkan apalagi dengan perkataan Arsen yang mengatakan dirinya bukan wanita baik.“Kamu begitu tega, Arsen. Aku … aku hanya menginginkan kamu, tetapi mengapa tidak mengerti juga?” desahnya dengan napas terengah.Silvia berdiri dengan lemah sembari berpegang pada dinding yang dingin. Saat berbalik dan hendak ke kamarnya, ia terkejut mendapati pria dengan wajah datar menatap dengan tatapan yang—dingin.“Da–daniel,” katanya dengan terbata. Ia menelan ludah kasar.Si pria terlihat melangkah ke arahnya, tangan masih berada di kantong dengan aura yang kuat.“Di sini dingin, ayo kita masuk ke dalam,” katanya langsung merubah wajah menjadi bersahabat.“Daniel, kamu … aku–”“Ingin aku gendong atau jalan sendiri?” katanya memotong ucapan Silvia yang
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t
“Aku akan memikirkan ini dengan segera,” kata Bram pada akhirnya.Dara mengangguk. “Terima kasih, aku hanya ingin Sera baik-baik saja dan jauh dari mereka.”Dara teringat sesuatu. Ia menatap Bram dengan rasa khawatiran yang semakin mencuat. “Bram, bukankah kamu pergi menjemput pak Leo? Kamu tidak memberitahu siapa Sera padanya kan?” tanyanya serius.Bram terdiam, ia memaksa untuk tersenyum, “Dara, aku–”“Jangan katakan jika pak Leo sudah tahu siapa Sera, Bram?” Dara semakin khawatir, ia mencoba percaya pada Bram sepenuhnya.“Pak Leo sudah tahu,” jawabnya tanpa menoleh, pria itu sebenarnya lebih khawatir pada Alice, apalagi tatapannya tadi seolah sudah mengetahui semuanya.“Ba-bagaimana kamu bisa memberitahunya, Bram?” pekik Dara tertahan, takut jika Sera mendengar obrolan mereka.“Jika pak Leo tahu, istrinya sudah pasti–” Dara terdiam lagi, ia menatap Bram semakin lamat, “apakah kamu membawa Sera ke rumahnya? Kamu pergi membawa anakku mengantarnya ke rumah?”Leo membuang napas kasar,