“Ibu, aku dengar jika kakak ada di rumahnya,” lapor Alisa pada ibunya.Luna yang akan bersiap untuk istirahat, kembali menegakkan tubuh dan duduk di pinggir ranjang dengan kening mengkerut.“Bukankah dia di luar kota? Siapa yang memberitahumu?” Luna bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah sofa, duduk di sebelah Alisa yang baru saja kembali dari kantor.“Pelayan yang kita bayar. Pagi sekali, kakak kembali ke rumah dengan wajah yang cemas,” kata Alisa lagi, “apakah Ibu tahu jika sebelumnya kakak bertemu dengan Dara?”“Dara? Apa maksudmu?” Luna sampai menoleh karena terkejut.“Kakak dan Bram memang pergi untuk bekerja mengurus restoran yang akan dihadiahkan untuk Alice, tetapi tanpa ada yang tahu, di sana ternyata ada Dara,” bisik Alisa dengan wajah yang serius.“Ya ampun, Leo. Apakah dia tidak mengerti jika apa yang dilakukannya itu sangat berbahaya,” kata Luna, “sudah sering Ibu ingatkan, jika tidak lagi mencintai wanita itu lebih baik bercerai.”“Ibu …,” tegur Alisa.“Ini lebih
Hari berganti hari, acara pertunangan Silvia akhirnya berlangsung sesuai dengan harapan. Wanita itu, tak bisa menghentikan semua meski Arsen tak datang dengan satu wanita pun.“Selamat atas pertunanganmu,” katanya, menatap Silvia yang menatap datar ke arahnya. “Aku tidak percaya kamu sampai melakukan ini, Arsen,” desis Silvia, ia melihat sekeliling, para tamu tengah asyik dengan tunangannya, sementara dirinya yang tak suka dengan acara berlangsung memilih menyendiri dengan minumannya.“Aku tidak ingin menyakiti siapa pun, Silva,” jawabnya, “kamu wanita baik, harus mendapat pria yang baik yang bisa membuatmu bahagia, bukan aku.”Silvia mendengus kasar, ia memalingkan wajah menahan air mata yang hendak keluar. “Pergilah! Bukankah ini yang kamu inginkan? Sengaja datang terlambat agar semua terjadi? Lihat, sekarang semua sudah terjadi seperti keinginanmu.”Senyum kecil di bibir Arsen terpatri, ia menghembuskan napas pelan, “Silvia. Kamu mengerti dengan perasaanku. Kamu tahu bagaimana aku
Keduanya menoleh tatkala pintu terbuka. Delima berdecak melihat wanita cantik masuk dengan anggunnya.“Selamat malam, Delima.” Amanda mendekat dengan anggun, berdiri di sebelah suaminya yang tersayang.Delima mendengus, ia menatap Amanda dengan tatapan tak suka, “Apakah kamu ingin memamerkan keberhasilanmu? Berdiri di depan umum saja tidak berani,” katanya mencemooh.“Deli–”“Jika aku berdiri di depan umum, bukankah namamu juga yang rusak? Dunia akan tahu bagaimana jahatnya wanita yang menyebabkan putriku menjadi gelandangan di luaran sana,” cibir Amanda berhasil membungkam Delima.Oscar meminta Amanda untuk duduk dulu dan memberinya waktu untuk berbicara pada Delima. Wanita itu, tak keberatan, ia duduk menjauh, meninggalkan suaminya dengan mantan istrinya yang pernah disayang.“Untuk kali ini, tolong jangan lakukan apa pun. Biarkan Silvia bahagia dengan pilihannya sendiri,” pinta Oscar, “bukankah kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, rumah dan dan tempat usaha?”Delima mende
Silvia terduduk lemas di ujung koridor, wanita itu, menatap nanar pada sosok yang semakin menjauh masuk ke dalam mesin besi yang membawanya turun kelantai bawah.Silvia meremas lutut, hatinya hancur tak berkeping, tamparan yang diterima begitu menyakitkan apalagi dengan perkataan Arsen yang mengatakan dirinya bukan wanita baik.“Kamu begitu tega, Arsen. Aku … aku hanya menginginkan kamu, tetapi mengapa tidak mengerti juga?” desahnya dengan napas terengah.Silvia berdiri dengan lemah sembari berpegang pada dinding yang dingin. Saat berbalik dan hendak ke kamarnya, ia terkejut mendapati pria dengan wajah datar menatap dengan tatapan yang—dingin.“Da–daniel,” katanya dengan terbata. Ia menelan ludah kasar.Si pria terlihat melangkah ke arahnya, tangan masih berada di kantong dengan aura yang kuat.“Di sini dingin, ayo kita masuk ke dalam,” katanya langsung merubah wajah menjadi bersahabat.“Daniel, kamu … aku–”“Ingin aku gendong atau jalan sendiri?” katanya memotong ucapan Silvia yang
Amanda mengusap tangan Silvia, mengingatkan jika saat ini ada banyak orang. Wanita itu mengusap air matanya dan meminta maaf pada Luna dan juga Alisa.“Maafkan saya Nyonya, saya begitu terharu karena bisa diterima dalam keluarga ini,” katanya dengan suara yang terdengar pelan.Alice mengusap lengan adiknya, kemudian menatap Luna dan Alisa, “Aku membawa sesuatu untukmu di mobil, nanti supir akan membawanya untuk kalian.”Luna mengerutkan kening, “Sesuatu?”“Ya, beberapa alat make up yang Leo beli terlalu banyak. Semoga Ibu cocok. Ada untuk Alisa juga,” katanya cepat.“Aku juga membawa beberapa untukmu Ibu,” kata Alice pada ibunya. Amanda tersenyum kecil, “Dia beli sebanyak apa?”Alice terkekeh dan menceritakan semuanya. Mendengar itu, Alisa dan Luna saling lirik, uang seperti itu sangat banyak hanya untuk alat make up saja. “Sebanyak itu?” kata Amanda.“Iya, Ibu sebanyak itu. Kami bahkan sudah berniat meminta Silvia menjualnya sebagia.”“Aku akan membantu kalian menjualnya kembali, K
Luna menghembuskan napas berat, ia berharap setelah kedatangannya ke rumah Oscar, hatinya bisa sedikit lega, tetapi tetap saja hatinya tidak nyaman“Ibu, kenapa lagi?” tanya Alisa melihat kemurungan ibunya.Luna berdecak, “Apakah kamu merasa jika nyonya Amanda sengaja menyindir kita?” katanya merasa setiap ucapan dari Amanda menyindir dirinya.“Ibu, tidak ada yang seperti itu, nyonya Amanda hanya khawatir jika ada wanita yang mendekati kakak dan Alice–”“Sama saja, intinya dia meragukan putraku, dia tidak percaya dengan Leo,” bantahnya dengan wajah kesal.Alisa membuang napas pelan, sebenarnya ia merasa jika ibunya hanya merasa bersalah saja. Setiap kali tertangkap basah menemui Dara yang jelas-jelas ingin merusak keluarga kakaknya.“Bagaimana kalau kita ke rumah sakit, aku khawatir padamu, Ibu.” Alisa meraih ponselnya di dalam tas, hendak menelpon seseorang, tetapi dengan cepat Luna mencegahnya.“Kamu pikir Ibu gila? Lebih baik kita segera pulang setelah itu, kami berangkat ke kantor
Alice datang dengan tergesa, ia tidak membawa Damian dan juga Laila, karena keduanya telah tertidur di kamar ayahnya.“Ibu, bagaimana keadaanmu?” tanyanya khawatir.Luna yang sudah mendapatkan pengobatan dari dokter sudah mulai mengantuk, tetapi ia masih bisa mengetahui jika menantunya hanya datang seorang diri.“Di mana cucuku?” katanya tak menjawab pertanyaan Alice.Alice duduk di kursi dekat dengan ranjang mertuanya. Wanita itu begitu cemas ketika Leo memberitahu tentang keadaan Luna yang sakit.“Aku hanya membutuhkan cucuku, kenapa tidak membawanya?” katanya lagi, “apakah karena aku tidak sekaya keluargamu?” sinisnya pada sang menantu.Alice menghela napas, ia mengusap lengan ibunya yang terdapat selang kecil di sana.“Mereka tertidur, aku tidak tega membangunkan mereka, Ibu,” katanya masih berkata lembut.Luna mendengus kasar, “Katakan saja jika–” Luna merasa semakin mengantuk, “jika kamu–”Alice mendesah pelan tatkala ibunya tertidur, wanita itu begitu prihatin dan menyesal kare
Leonardo menepikan mobil di pinggir jalan. Jantungnya berdebar begitu kencang dengan pertanyaan Laila padanya. Pria itu menoleh, menatap pada kedua anaknya dengan seksama.“Fo-foto apa yang kalian lihat?”Laila menghembuskan napas pelan, “Foto Tante yang saat itu memarahi Laila, di mall,” ucapnya, “jika Ayah lupa, dia adalah tante yang datang ke rumah kita saat itu.”Leonardo membeku mendengar ucapan putrinya. Ia merasa dikuliti terang-terangan oleh Laila dan tatapan Damian.“Di mana foto itu sekarang?” tanyanya pelan, “maksud Ayah, apakah foto itu ada yang melihat selain kalian bersih?”Laila mengangguk. “Ibu yang mengambil dan menyimpannya.”“I-ibu?” tanyanya tergagap.“Benar. Kami memberikannya pada ibu saat itu,” jawabnya polos, “dan ibu menyimpannya.”Leo menelan ludah kasar, mengetahui Alice melihat dan mendengar cerita Laila pasti situasi saat itu sangat mencekam.“Ayah ada apa?” tanya Laila memperhatikan wajah ayahnya yang tiba-tiba pucat dan berkeringat.“Ayah baik-baik saja,
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t
“Aku akan memikirkan ini dengan segera,” kata Bram pada akhirnya.Dara mengangguk. “Terima kasih, aku hanya ingin Sera baik-baik saja dan jauh dari mereka.”Dara teringat sesuatu. Ia menatap Bram dengan rasa khawatiran yang semakin mencuat. “Bram, bukankah kamu pergi menjemput pak Leo? Kamu tidak memberitahu siapa Sera padanya kan?” tanyanya serius.Bram terdiam, ia memaksa untuk tersenyum, “Dara, aku–”“Jangan katakan jika pak Leo sudah tahu siapa Sera, Bram?” Dara semakin khawatir, ia mencoba percaya pada Bram sepenuhnya.“Pak Leo sudah tahu,” jawabnya tanpa menoleh, pria itu sebenarnya lebih khawatir pada Alice, apalagi tatapannya tadi seolah sudah mengetahui semuanya.“Ba-bagaimana kamu bisa memberitahunya, Bram?” pekik Dara tertahan, takut jika Sera mendengar obrolan mereka.“Jika pak Leo tahu, istrinya sudah pasti–” Dara terdiam lagi, ia menatap Bram semakin lamat, “apakah kamu membawa Sera ke rumahnya? Kamu pergi membawa anakku mengantarnya ke rumah?”Leo membuang napas kasar,
“Leon, siapa gadis yang bersama Bram tadi?” Alice yang hendak memejamkan mata menoleh ke belakang. Ia tidak bisa memejamkan mata mengingat tatapan gadis tadi padanya.“Dia Sera,” jawab Leo singkat, “ayo kita tidur.”Alice mengerutkan kening, tak biasa Leo seperti menolak obrolan mereka. Ibu dari tiga anak itu kembali berkata, “Sera? Aku tidak tahu jika Bram memiliki kekuarga–”“Alice, lebih baik kita–”“Aku hanya ingin tahu, tatapan gadis tadi seperti tidak asing,” imbuhnya, selama Bram bekerja dengannya, ia tak tahu jika pria itu memiliki keluarga.“Apakah dia keluarga Bram? Kenapa kita tidak tahu jika selama ini–”“Alice, kita bahas besok ya,” katanya, “aku sangat mengantuk dan lelah.” Leo meraih Alice dalam dekapannya, ia memeluk istrinya dan mulai memejamkan mata hingga tertidur dengan lelapnya.Alice mendesah pelan, ia menyesal karena telah memaksa Leo menjawab pertanyaan, “Maafkan aku, seharusnya tadi tidak memaksamu untuk menjawab,” gumamnya pelan seperti berbisik.Sementara it
“Ibu … Damian jatuh cinta,” teriak jatuh Laila dari arah luar. Gadis berusia 18 tahun dengan suara melengking itu, berlari dengan sangat kencang.Alice yang masih berada di dapur sampai berdecak karena terkejut. “Ibu, aku yakin kak Laila sangat ditakuti di sekolahnya,” kata gadis kecil berusia sembilan tahu dengan susu di tangan kanannya.Alice menggeleng sembari meletakkan telunjuk di ujung bibir. “Jangan sampai kakakmu dengar, Ibu tidak ingin kamu mendapatkan masalah.”Clara mendengus kecil, “Dia sangat kejam, Ibu. Aku–”“Kamu membicarakanku, Clara?” Laila mendekat dengan tatapan memicing tajam pada adiknya. “Tidak. Mana mungkin aku berani membicarakan wanita angin badai sepertimu, Kak,” katanya dengan senyum yang manis.Laila membuang napas kasar, ia duduk di dekat Clara dan meraih gelas susu adiknya.“Itu milik–”“Mengalah saja. Andaikan dulu kamu lahir lelaki, kamu tidak akan menyusahkan aku,” ketusnya, ia tersenyum lega setelah menghabiskan susu milik adiknya.“Laila …,” tegur