-Surat Wasiat Ega-
Kian berkata setelah mengembuskan napas keras. Kedua bola matanya tak tenang. Bergerak dengan gelisah. "Ega sakit."Vanilla mengerutkan kening. "Sakit apa maksudmu?""Kalau kau tunangannya saja tidak tahu, bagaimana aku tahu?" Vanilla sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapan Kian. Tapi Kian memotongnya dengan mengangkat tangannya ke depan mulut. "Aku hanya dihubungi oleh Ega dua hari sebelum pernikahan ini.""Kenapa dia tidak menghubungiku? Dan malah menghubungimu?" Vanilla memang sudah dua hari ini tak bisa menghubungi Ega. Seminggu sebelum pernikahan memang kepercayaan keluarganya bahwa calon pengantin tidak boleh bertemu dulu. Istilah yang biasa digunakan yaitu dipingit.Vanilla berkata, "Kami sudah menjalin hubungan selama 5 tahun. Tidak mungkin dia merahasiakan sesuatu dariku. Apalagi tentang penyakitnya. Apapun keadaannya aku pasti bisa menerimanya begitu pula Ega menerimaku.""Lalu di mana dia sekarang? Seharusnya aku menjaganya. Apalagi sekarang dia sedang sakit."Kian menggeleng. "Aku pun tidak diberitahu dia sekarang ada di mana. Tante Rosa hanya memberi tahu Ega butuh ketenangan.""Apakah semua ini akal-akalan Tante Rosa yang tetap tidak setuju dengan pernikahanku dan Ega?""Aku benar-benar tidak tahu, oke. Dia hanya memberiku surat."Vanilla tertawa kering. "Meninggalkan surat? Surat apa, apakah surat wasiat?""Mungkin kau bisa menyebutnya surat wasiat, karena Ega sudah memikirkan kemungkinan terburuknya."Kian berjalan ke nakas di samping tempat tidur, mengambil sebuah map kertas, dan mengangsurkannya kepada Vanilla. "Bacalah."Kian duduk di tepi ranjang. Rambut bergelombang jatuh membingkai wajah putihnya."Dengan surat ini, aku ingin meminta Kian untuk memiliki Vanilla dalam pernikahan yang seharusnya kulakukan. Tidak ada yang bisa memastikan aku bisa sembuh atau tidak. Dan seberapa lama waktu yang kubutuhkan untuk sembuh dari sakit ini. Semua kerugian akan ditanggung oleh keluarga besarku."Vanilla begitu syok membaca surat itu. Ia terduduk di ranjang. Tangannya mengepal di atas pangkuan. Itu memang tulisan tangan Ega juga tanda tangannya. Banyak tanda tanya yang memukul-mukul kepalanya. Membuatnya sakit dan kupingnya berdengung. Apakah selama ini ia barang yang dengan mudahnya dipindahalihkan ke lelaki lain? Apa nilainya bagi Ega selama lima tahun menjalin hubungan ini?"Apakah semua ini bohong? Bisa saja yang mengacaukan pernikahanku adalah mama Ega yang sedari dulu tidak menyukaiku.""Aku tidak tahu. Bisa saja ada campur tangan Tante Rosa." Kian menyebut nama mama Ega.Perempuan itu menatap buku jarinya yang memutih. "Kebahagiaanku tak pernah rumit dan kuusahakan tak mengambil kebahagiaan orang lain. Tapi kenapa kebahagiaanku sendiri selalu dipatahkan?"Kian membisu. Membiarkan Vanilla larut dalam kesedihan, kekecewaan, dan kemarahannya.Perempuan itu menatap Kian lurus. "Kita tidak pernah dekat. Tidak ada keharusan untukmu mau menerima permintaan konyol Ega."Kian mengalihkan pandangannya dari tatapan curiga Vanilla. Ia berbicara perlahan, "Kau tak bisa mendebat karena kau berada di kamar saat akad dan baru keluar ketika menyadari semua janji nikah sudah terucap. Kenapa aku setuju? Karena Ega dan keluarga besarnya akan malu kepada tamu-tamu mereka jika Ega tidak datang, bukan? Selama ini mereka sudha baik kepadaku. Tidak mungkin aku menolak. Oh ya, Ega juga akan memberikan perusahaan penerbitan keluarganya kepadaku... dan kepadamu."Senyum sinis Vanilla menguar. "Wah, hargaku lumayan tinggi ya." Ia bangkit dari ranjang dan akan melewati Kian sebelum Kian meraih tangan Vanilla agar berhenti. "Entah apa yang kau tahu tentangku, Kian. Tapi aku tidak sematre itu. Ambil saja perusahaan Ega. Terserah mau kau apakan. Aku tidak butuh dan aku tidak peduli." Vanilla mengibaskan tangan Kian yang tengah memegang pergelangan tangannya.Kian melepaskan genggamannya dan berujar, "Walaupun kau tidak butuh, tapi kau juga harus memikirkan nenekmu. Beliau butuh tiap minggu kontrol ke rumah sakit. Lalu apa dengan terus bekerja di kafe, kau bisa memenuhi itu?"Vanilla terdiam. Kian melepaskan anak panah tepat sasaran. Selama ini memang Vanilla sudah kelimpungan dengan biaya periksa sebulan sekali dan obat neneknya. Belum kontrakan dan biaya makan sehari-hari. Bayarannya di kafe hanya cukup untuk membayar kontrakan dan biaya sehari-hari. Vanilla sampai sekarang masih merasa bersalah karena tidak bisa memeriksakan neneknya rutin sesuai anjuran dokter.Vanilla terus menimbang-nimbang ragu. Kian yang seorang pebisnis, pasti tidak rela jika kesempatan memiliki perusahaan itu sampai hilang. Benar saja, Kian mencoba merayunya kembali.Lelaki itu berucap, "Berikan waktu satu tahun saja. Lalu kita bisa bercerai. Tepat setelah proses pengalihan kepemilikan perusahaan Ega selesai." Melihat Vanilla masih menimbang-nimbang, Kian melanjutkan, "Jika kau langsung ingin bercerai saat ini juga. Apa nanti yang akan dikatakan orang-orang? Mungkin kau tidak akan peduli. Tapi nenekmu pasti akan ikut sedih. Padahal beliau tidak boleh banyak pikiran, bukan?"Vanilla bertanya, "Apakah pengalihan perusahaan memang butuh waktu selama itu?""Tentu saja. Karena perusahaan Ega besar, prosesnya semakin lama.""Baiklah. Hanya satu tahun. Setelah itu kau harus menyingkir dari kehidupanku.""Wah, sebenci itu kau padaku?" tanya Kian.Vanilla mendengus, "Tentu saja. Bagaimana bisa aku tidak benci denganmu yang telah berselingkuh dari Anin? Lebih marah lagi karena kau selalu ikut-ikut Tante Rosa tidak setuju hubunganku dengan Ega."Anin adalah sahabat Vanilla sejak kecil. Mereka selalu berada di sekolah dan kelas yang sama. Baru ketika masuk perguruan tinggi, mereka berpisah. Anin mengambil jurusan Bisnis, sedangkan Vanilla mengambil jurusan Tata Boga. Namun, mereka tetap bersahabat dan sering menghabiskan waktu bersama.Kian tetap diam. Matanya meredup.Vanilla tidak ambil pusing. Wajah Kian selalu seperti itu setiap mereka bertemu. "Kalau begitu, aku tidur di mana? Tidak mungkin kita tidur sekamar karena satu tahun lagi kita akan bercerai."Kian menatap Vanilla. "Kita tidur di kamar yang sama, ranjang yang sama. Kamar di lantaj 2 hanya ini. Tidak mungkin kau tidur di kamar tamu karena bersebelahan dengan kamar nenekmu. Juga dekat dengan kamar Bik Sri dan Pak Ujang. Asal kau tahu saja, orangtuaku sering tiba-tiba datang. Jadi tidak mungkin kita tidur terpisah.""Bagaimana kalau dimasukkan ranjang lagi ke kamar ini? Atau aku bisa tidur di sofa." Vanilla menunjuk sofa tempat mereka duduk saat ini."Sofa ini tidak akan nyaman untuk tubuh kecilmu. Dan jika aku yang disuruh tidur di sini, aku tidak akan mau. Nenek atau orangtuaku bisa saja tiba-tiba masuk kamar. Apa yang akan mereka pikirkan begitu melihat ada dua ranjang terpisah?"Vanilla mengembuskan napas lelah. "Baiklah."Perdebatan dan perjanjian mereka selesai. Kian masuk ke kamar mandi di dalam kamar itu.Vanilla segera mengambil dua guling yang ada di ranjang dan meletakkannya pas di tengah. Ranjang itu memang luas. Tapi lebih baik meminimalkan risiko Kian kena tendangan Vanilla ketika tidur, bukan? Memang sejak kecil kebiasaan Vanilla yang tidur dengan banyak tingkah menyusahkan neneknya juga.Ia mendengar suara air di kamar mandi. Kian sedang mandi. Bagaimana bisa dia menikah dengan lelaki yang tidak ia inginkan. Lelaki yang ia benci. Dan sekarang malah sedang mendengarkan lelaki itu mandi di sebelah.-Bersambung--Pertama Kali Seranjang-Vanilla membongkar koper yang ditinggalkan oleh Pak Ujang di depan pintu kamar. Lemari built in di salah satu sisi dinding memuat banyak penyimpanan baju. Ia membuka salah satunya. Tak ada gunanya ia malu-malu di sini. Di salah satu pintu lemari, ia menemukan baju-baju lelaki yang digantung dengan rapi. Ia membuka pintu berikutnya. Bagian itu kosong. Entah sejak dulu memang kosong atau baru-baru ini dikosongi. Vanilla segera memasukkan baju-bajunya di sana dengan rapi. Vanilla berteriak ke arah kamar mandi, "Lemari kosong ini aku pakai, ya, Kian."Terdengar jawaban dari kamar mandi. "Pakai saja apa-apa yang ada di sana."Ia berkacak pinggang menatap lemari lalu berbalik. Kamar ini memang kamar bujangan. Dipan ranjangnya terbuat dari kayu keras yang dipernis gelap. Begitu pula lemari, meja nakas, juga gorden. Perpaduan antara warna coklat, hitam, dan abu-abu.Vanilla ingin s
-Kian dan Kisah Patah Hatinya-"Kau mau ke mana?" tanya Vanilla."Aku perlu ke kantor karena selama satu minggu ke Jogja," ucap Kian.Vanilla berseloroh, "Seorang bos juga perlu ke kantor?" Dulu Anin pernah bercerita bahwa Kian mendirikan perusahaan periklanan yang sekarang menjadi sangat besar. Perusahaan Kian berada di pusat kota dengan gedung kantor yang tinggi menjulang. Ia selalu berhasil menjalin kontrak dengan perusahaan besar juga dengan artis-artis papan atas. "Kau pikir bos malah bisa berleha-leha di rumah?"Vanilla mencibir, "Ya tidak akan seberat pekerja seperti aku, kan.""Nah, tentang itu, lebih baik kau berhenti saja kerja di kafe," kata Kian tanpa menatap Vanilla. Ia tetap sibuk dengan sarapan dan tabletnya.Vanilla terkesiap. "Lho kenapa? Aku suka kerja di sana.""Sekarang kau istri Kiandio Reynand. Kau kan bisa membeli apa pun yang kau mau.""Tapi setahun lagi ketika aku tidak lagi menjadi istrimu bagaimana? Seperti katamu, aku membutuhkan uang untuk memeriksakan ne
Kian berkendara membelah kemacetan yang selalu lekat dengan kota ini. Mereka sampai di depan mall yang memiliki banyak butik-butik dengan barang-barang branded dan mahal.Vabilla bertanya, "Untuk apa kita ke sini?" Ia melangkahkan kaki keluar mobil begitu pintu dibukakan oleh Kian.Kian menjawab, "Berkencan."Vanilla menginjak kaki Kian keras. "Aku tidak mau kencan denganmu.""Sayang sekali. Padahal ribuan perempuan lain rela mengorbankan apapun yang dimiliki agar bisa berkencan denganku," ucap Kian bangga."Yang pasti itu bukan aku."Kian memandu Vanilla menuju salah satu butik. Mereka masuk ke dalam. Salah seorang wanita cantik dan rapi menyambut mereka. "Ingin mencari apa, Ibu? Akan saya bantu memenuhi keinginan Ibu dan Bapak."Kian menjawab, "Bawakan gaun, blouse, dan celana untuk istriku."Vanilla memelototi Kian. Ia berbisik, "Aku tidak butuh pakaian, Kian. Ayo kita pergi saja." Vanilla tidak pernah masuk ke butik ini. Pelayanannya yang memuaskan sebandihg dengan harga yang haru
Sejak dulu Vanilla suka naik kereta. Ia juga yang mengusulkan kepada Ega tentang honeymoon ke Jogja naik kereta. Dan di sinilah sekarang Vanilla dan Kian. Stasiun Kota yang akan membawa mereka ke Jogja. Kereta melaju kencang. Vanilla dan Kian duduk berdampingan di kursi eksekutif. Tak banyak yang bisa diceritakan walaupun ia dulu adalah teman SMA Kian dan sekarang menjadi suami istri.Mereka sampai di hotel bintang 5 di sekitar Malioboro. Mereka check in. Kamar di hotel ini sangat susah didapatkan. Memang karena letaknya yang strategis dari pusat-pusat wisata. Jadi, dulu Ega booking kamar jauh-jauh hari."Pemesan atas nama Ega, Mbak," ucap Vanilla kepada resepsionis.Seorang wanita muda tersenyum dari balik meja. "Baik akan saya cek terlebih dahulu." Wanita muda itu menatap layar komputer di mejanya dan menggerakkan mouse. "Sudah terkonfirmasi."Vanilla bertanya kepada resepsionis, "Mbak, apakah ada kamar kosong yang lain?"Wanita muda di balik meja melihat komputernya lalu berkata,
Ia langsung memakaikan dress itu dari atas kepala Vanilla. “Biar aku saja, Ki,” ucap Vanilla walaupun tangannya otomatis terangkat agar dress itu bisa menutupi tubuhnya.“Aku sudah bilang jangan mendebat.”Dua orang lelaki mengetuk pintu. Kian membukakan pintu, menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi. Mereka langsung bekerja. Membereskan segala yang porak poranda. Mungkin para petugas cleaning service itu berpikir. Wah baru kali ini mereka menemukan honeymoon yang seharusnya romantis menjadi sebuah bencana penuh darah dan rasa sakit. Kian mengambil alat P3K dari troli cleaning service. Menyalakan senter ponselnya dan memegang pinset kecil. Vanilla mengambil ponsel dari tangan Kian, “Biarkan aku yang membawa ponselmu.” Perempuan itu mengarahkan sinar senter ponsel ke lukanya. Vanilla bergidik ngeri melihat lukanya sendiri.Kian berjongkok di samping Vanilla. Mengambil pecahan-pecahan gelas yang masih ada di dalam lukanya. “Lukamu cukup dalam. Kita ke rumah sakit saja. Pecah
Mereka kembali ke hotel. Masih tetap dengan berdiam seribu bahasa. Hotel menyediakan kursi roda untuk Vanilla. Petugas hotel juga menyambut mereka berdua di depan pintu lobi hotel. Kian mendorong kursi roda Vanilla ke kamar. Ia membaringkan Vanilla di ranjang. Berhati-hati agar tidak menyentuh luka Vanilla. Kian berjalan menuju lemari untuk berganti baju, namun tiba-tiba Vanilla berkata, "Kita pulang saja."Kian langsung berbalik memandang Vanilla, sedangkan perempuan itu mengalihkan pandangan dari suaminya. "Tunggu lukamu mengering," ucap Kian datar."Lebih baik aku di rumah. Daripada di sini tapi tidak bisa ke mana-mana." Vanilla menunggu reaksi Kian. Ketika Kian tidak berkomentar, ia melanjutkan."Biaya hotel, kan juga tidak murah. Kita bisa minta refund, kan."Kian mendekati Vanilla dengan langkah tegap. "Kau meremehkan kekayaanku? Kau pikir hanya Ega yang bisa menginap di hotel seperti ini?""Bukan begitu. Hanya saja sepertinya level kesialanku sudah melebihi batas. Aku tidak mau
-Telepon Pagi Buta-Vanilla terbangun di tengah malam. Obat biusnya sudah tidak berefek lagi. Sekarang kakinya ngilu dan perih. Ia sedikit mengerang kesakitan. Perempuan itu segera menutup mulutnya ketika dari belakang punggungnya, ia melihat Kian tengah lelap tertidur. Vanilla berusaha bangun, ingin bersandar dan mencari minum. Tangannya meraih nakas di samping tempat tidurnya. Tiba-tiba suara Kian menghentikannya. "Kau akan mencelakai dirimu lagi jika seperti itu."Vanilla menoleh ke belakang punggungnya. Kian sudah bangun sambil bersila menghadapnya. "Aku bisa sendiri. Apa yang bisa terjadi lagi jika aku sudah di fase terburuk begini," sanggah Vanilla keras kepala sambil mengulurkan tangannya lebih jauh. Vanilla terperanjat ketika merasakan tubuh Kian berada tepat di belakangnya dan tangannya panjang terulur. Kian dengan mudah meraih gelas berisi air dan mengangsurkannya kepada Vanilla. Vanilla hanya terbelalak, merasakan jantungnya berdenyut dengan sangat keras. Tapi ia berkata
-Sebelum Menjadi Cinderella dengan Sepatu yang Lepas-Vanilla hanya berguling-guling di ranjangnya yang luas. Matanya nyalang. Besok ia takkan sendiri lagi tidur di sini. Setiap malam akan ada yang senantiasa menemani tidurnya. Membayangkan itu saja, Vanilla sudah terkikik-kikik senang. Gadis itu tak sabar lagi menanti esok hari agar lekas datang. Sudah tak sabar rasanya ingin segera duduk di pelaminan, diminta secara resmi kepada keluarganya. Berjanji akan senantiasa suka duka bersama, dan berjanji akan berbahagia bersama selamanya.Rambut ikalnya berantakan kusut bergesekan dengan kasur. Ia menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Sudah lewat tengah malam. Jika ia adalah Cinderella, saat ini ia akan terbangun dari mimpinya bertemu pangeran. Namun, kebalikan dari Cinderella, begitu lewat hari ini, ia sudah bukan Vanila Amyta lagi. Ia akan menyandang nama Ega Prayogi sebagai suaminya.Matanya memejam. Secepat itu pu
-Telepon Pagi Buta-Vanilla terbangun di tengah malam. Obat biusnya sudah tidak berefek lagi. Sekarang kakinya ngilu dan perih. Ia sedikit mengerang kesakitan. Perempuan itu segera menutup mulutnya ketika dari belakang punggungnya, ia melihat Kian tengah lelap tertidur. Vanilla berusaha bangun, ingin bersandar dan mencari minum. Tangannya meraih nakas di samping tempat tidurnya. Tiba-tiba suara Kian menghentikannya. "Kau akan mencelakai dirimu lagi jika seperti itu."Vanilla menoleh ke belakang punggungnya. Kian sudah bangun sambil bersila menghadapnya. "Aku bisa sendiri. Apa yang bisa terjadi lagi jika aku sudah di fase terburuk begini," sanggah Vanilla keras kepala sambil mengulurkan tangannya lebih jauh. Vanilla terperanjat ketika merasakan tubuh Kian berada tepat di belakangnya dan tangannya panjang terulur. Kian dengan mudah meraih gelas berisi air dan mengangsurkannya kepada Vanilla. Vanilla hanya terbelalak, merasakan jantungnya berdenyut dengan sangat keras. Tapi ia berkata
Mereka kembali ke hotel. Masih tetap dengan berdiam seribu bahasa. Hotel menyediakan kursi roda untuk Vanilla. Petugas hotel juga menyambut mereka berdua di depan pintu lobi hotel. Kian mendorong kursi roda Vanilla ke kamar. Ia membaringkan Vanilla di ranjang. Berhati-hati agar tidak menyentuh luka Vanilla. Kian berjalan menuju lemari untuk berganti baju, namun tiba-tiba Vanilla berkata, "Kita pulang saja."Kian langsung berbalik memandang Vanilla, sedangkan perempuan itu mengalihkan pandangan dari suaminya. "Tunggu lukamu mengering," ucap Kian datar."Lebih baik aku di rumah. Daripada di sini tapi tidak bisa ke mana-mana." Vanilla menunggu reaksi Kian. Ketika Kian tidak berkomentar, ia melanjutkan."Biaya hotel, kan juga tidak murah. Kita bisa minta refund, kan."Kian mendekati Vanilla dengan langkah tegap. "Kau meremehkan kekayaanku? Kau pikir hanya Ega yang bisa menginap di hotel seperti ini?""Bukan begitu. Hanya saja sepertinya level kesialanku sudah melebihi batas. Aku tidak mau
Ia langsung memakaikan dress itu dari atas kepala Vanilla. “Biar aku saja, Ki,” ucap Vanilla walaupun tangannya otomatis terangkat agar dress itu bisa menutupi tubuhnya.“Aku sudah bilang jangan mendebat.”Dua orang lelaki mengetuk pintu. Kian membukakan pintu, menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi. Mereka langsung bekerja. Membereskan segala yang porak poranda. Mungkin para petugas cleaning service itu berpikir. Wah baru kali ini mereka menemukan honeymoon yang seharusnya romantis menjadi sebuah bencana penuh darah dan rasa sakit. Kian mengambil alat P3K dari troli cleaning service. Menyalakan senter ponselnya dan memegang pinset kecil. Vanilla mengambil ponsel dari tangan Kian, “Biarkan aku yang membawa ponselmu.” Perempuan itu mengarahkan sinar senter ponsel ke lukanya. Vanilla bergidik ngeri melihat lukanya sendiri.Kian berjongkok di samping Vanilla. Mengambil pecahan-pecahan gelas yang masih ada di dalam lukanya. “Lukamu cukup dalam. Kita ke rumah sakit saja. Pecah
Sejak dulu Vanilla suka naik kereta. Ia juga yang mengusulkan kepada Ega tentang honeymoon ke Jogja naik kereta. Dan di sinilah sekarang Vanilla dan Kian. Stasiun Kota yang akan membawa mereka ke Jogja. Kereta melaju kencang. Vanilla dan Kian duduk berdampingan di kursi eksekutif. Tak banyak yang bisa diceritakan walaupun ia dulu adalah teman SMA Kian dan sekarang menjadi suami istri.Mereka sampai di hotel bintang 5 di sekitar Malioboro. Mereka check in. Kamar di hotel ini sangat susah didapatkan. Memang karena letaknya yang strategis dari pusat-pusat wisata. Jadi, dulu Ega booking kamar jauh-jauh hari."Pemesan atas nama Ega, Mbak," ucap Vanilla kepada resepsionis.Seorang wanita muda tersenyum dari balik meja. "Baik akan saya cek terlebih dahulu." Wanita muda itu menatap layar komputer di mejanya dan menggerakkan mouse. "Sudah terkonfirmasi."Vanilla bertanya kepada resepsionis, "Mbak, apakah ada kamar kosong yang lain?"Wanita muda di balik meja melihat komputernya lalu berkata,
Kian berkendara membelah kemacetan yang selalu lekat dengan kota ini. Mereka sampai di depan mall yang memiliki banyak butik-butik dengan barang-barang branded dan mahal.Vabilla bertanya, "Untuk apa kita ke sini?" Ia melangkahkan kaki keluar mobil begitu pintu dibukakan oleh Kian.Kian menjawab, "Berkencan."Vanilla menginjak kaki Kian keras. "Aku tidak mau kencan denganmu.""Sayang sekali. Padahal ribuan perempuan lain rela mengorbankan apapun yang dimiliki agar bisa berkencan denganku," ucap Kian bangga."Yang pasti itu bukan aku."Kian memandu Vanilla menuju salah satu butik. Mereka masuk ke dalam. Salah seorang wanita cantik dan rapi menyambut mereka. "Ingin mencari apa, Ibu? Akan saya bantu memenuhi keinginan Ibu dan Bapak."Kian menjawab, "Bawakan gaun, blouse, dan celana untuk istriku."Vanilla memelototi Kian. Ia berbisik, "Aku tidak butuh pakaian, Kian. Ayo kita pergi saja." Vanilla tidak pernah masuk ke butik ini. Pelayanannya yang memuaskan sebandihg dengan harga yang haru
-Kian dan Kisah Patah Hatinya-"Kau mau ke mana?" tanya Vanilla."Aku perlu ke kantor karena selama satu minggu ke Jogja," ucap Kian.Vanilla berseloroh, "Seorang bos juga perlu ke kantor?" Dulu Anin pernah bercerita bahwa Kian mendirikan perusahaan periklanan yang sekarang menjadi sangat besar. Perusahaan Kian berada di pusat kota dengan gedung kantor yang tinggi menjulang. Ia selalu berhasil menjalin kontrak dengan perusahaan besar juga dengan artis-artis papan atas. "Kau pikir bos malah bisa berleha-leha di rumah?"Vanilla mencibir, "Ya tidak akan seberat pekerja seperti aku, kan.""Nah, tentang itu, lebih baik kau berhenti saja kerja di kafe," kata Kian tanpa menatap Vanilla. Ia tetap sibuk dengan sarapan dan tabletnya.Vanilla terkesiap. "Lho kenapa? Aku suka kerja di sana.""Sekarang kau istri Kiandio Reynand. Kau kan bisa membeli apa pun yang kau mau.""Tapi setahun lagi ketika aku tidak lagi menjadi istrimu bagaimana? Seperti katamu, aku membutuhkan uang untuk memeriksakan ne
-Pertama Kali Seranjang-Vanilla membongkar koper yang ditinggalkan oleh Pak Ujang di depan pintu kamar. Lemari built in di salah satu sisi dinding memuat banyak penyimpanan baju. Ia membuka salah satunya. Tak ada gunanya ia malu-malu di sini. Di salah satu pintu lemari, ia menemukan baju-baju lelaki yang digantung dengan rapi. Ia membuka pintu berikutnya. Bagian itu kosong. Entah sejak dulu memang kosong atau baru-baru ini dikosongi. Vanilla segera memasukkan baju-bajunya di sana dengan rapi. Vanilla berteriak ke arah kamar mandi, "Lemari kosong ini aku pakai, ya, Kian."Terdengar jawaban dari kamar mandi. "Pakai saja apa-apa yang ada di sana."Ia berkacak pinggang menatap lemari lalu berbalik. Kamar ini memang kamar bujangan. Dipan ranjangnya terbuat dari kayu keras yang dipernis gelap. Begitu pula lemari, meja nakas, juga gorden. Perpaduan antara warna coklat, hitam, dan abu-abu.Vanilla ingin s
-Surat Wasiat Ega-Kian berkata setelah mengembuskan napas keras. Kedua bola matanya tak tenang. Bergerak dengan gelisah. "Ega sakit."Vanilla mengerutkan kening. "Sakit apa maksudmu?""Kalau kau tunangannya saja tidak tahu, bagaimana aku tahu?" Vanilla sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapan Kian. Tapi Kian memotongnya dengan mengangkat tangannya ke depan mulut. "Aku hanya dihubungi oleh Ega dua hari sebelum pernikahan ini.""Kenapa dia tidak menghubungiku? Dan malah menghubungimu?" Vanilla memang sudah dua hari ini tak bisa menghubungi Ega. Seminggu sebelum pernikahan memang kepercayaan keluarganya bahwa calon pengantin tidak boleh bertemu dulu. Istilah yang biasa digunakan yaitu dipingit. Vanilla berkata, "Kami sudah menjalin hubungan selama 5 tahun. Tidak mungkin dia merahasiakan sesuatu dariku. Apalagi tentang penyakitnya. Apapun keadaannya aku pasti bisa menerimanya begitu pula Ega menerimaku.""La
-Pengantin Tak Diinginkan-Mobil merah SUV Kian melesat membelah keramaian malam Minggu itu. Vanilla melihat dari balik kaca kursi penumpang depan, banyak pasangan kekasih yang tengah menghabiskan hari mereka dengan kencan romantis. Pemandangan itu semakin mengiris perih hatinya. Ia mencuri pandang lelaki di sebelahnya. Kian menyetir mobil dalam diam. Pandangannya terfokus ke depan. Tak menggubris sama sekali kehadiran Vanilla. Bukannya Vanilla ingin digubris, hanya saja suasana di dalam mobil sama seperti di kuburan. Hening dan mati.Perempuan itu kembali memandang ke jalanan sambil tangannya menopang wajahnya. Selesai ia menanggalkan gaunnya, neneknya datang dan berkata, "Apa pun yang terjadi, Kian sudah menjadi suamimu. Memang sudah sepantasnya kita pindah dari rumah yang dibeli Ega ini." "Iya, Nek. Kupikir juga begitu."Neneknya membantu melepas jepitan yang trsisa dari rambut Vanilla. "Ayahmu, maksud Nenek, Bagas ingin be