Beranda / Pernikahan / Istri Warisan / Sebelum Menjadi Cinderella dengan Sepatu yang Lepas

Share

Istri Warisan
Istri Warisan
Penulis: Vryda

Sebelum Menjadi Cinderella dengan Sepatu yang Lepas

Penulis: Vryda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

-Sebelum Menjadi Cinderella dengan Sepatu yang Lepas-

Vanilla hanya berguling-guling di ranjangnya yang luas. Matanya nyalang. Besok ia takkan sendiri lagi tidur di sini. Setiap malam akan ada yang senantiasa menemani tidurnya. Membayangkan itu saja, Vanilla sudah terkikik-kikik senang.

Gadis itu tak sabar lagi menanti esok hari agar lekas datang. Sudah tak sabar rasanya ingin segera duduk di pelaminan, diminta secara resmi kepada keluarganya. Berjanji akan senantiasa suka duka bersama, dan berjanji akan berbahagia bersama selamanya.

Rambut ikalnya berantakan kusut bergesekan dengan kasur. Ia menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Sudah lewat tengah malam. Jika ia adalah Cinderella, saat ini ia akan terbangun dari mimpinya bertemu pangeran. Namun, kebalikan dari Cinderella, begitu lewat hari ini, ia sudah bukan Vanila Amyta lagi. Ia akan menyandang nama Ega Prayogi sebagai suaminya.

Matanya memejam. Secepat itu pula matanya kembali terbuka. Ia benar-benar tak bisa tidur. Vanilla mengembuskan napasnya keras. Di luar kamarnya masih terdengar suara-suara bising piring yang beradu, atau suara air yang dituang. Semuanya bercampur menjadi satu, hingga membuat Vanilla tak bisa memejamkan mata.

Akhirnya ia menyerah. Ia putuskan untuk mandi sembari menunggu penata riasnya datang. Tinggal sebentar lagi juga.

Sembari berjalan ke kamar mandi, ia bersenandung ringan. Akad nikah akan diadakan di rumahnya ini. Rumah yang ia beli bersama Ega ini terletak di salah satu kompleks perumahan elite di Malang. Cukup besar juga untuk menampung para tamu. Selesai akad nikah, Vanilla juga Ega akan langsung menuju ballroom hotel Mercure, tempat akan dilangsungkan resepsi pernikahan.

Tak habis di situ saja, setelah bayangan semua kesemarakan dan keriuhan pernikahannya, ia dan suaminya nanti akan langsung pergi bulan madu ke Jogja. Tempat yang memang sejak dulu ingin mereka singgahi kembali. Pernah Vanilla bercanda berkata, "Aku ingin bulan madu ke Jogja, kota yang sangat indah. Kalau kau tak mengajakku, aku akan mengajak lelaki lain ke sana." Lalu Ega akan mencubit kedua pipi Vanilla dengan gemas.

Ternyata Vanilla mandi memakan waktu lebih lama dari biasanya. Begitu ia keluar dari kamar mandi, penata rias sudah menunggu di kamar dengan koper-koper abu-abu besar berisi gaun, alat make up, juga segala asesoris yang akan ia kenakan seharian ini.

“Eh, Mbak Denik, kok sudah datang?” sapa Vanilla kepada perempuan yang tengah menyiapkan koper berkaca dengan bohlam-bohlam menyala di pinggiran cerminnya.

“Iya, Mbak Vani. Tadi takut macet, jadi berangkat tengah malam. Ternyata lumayan lengang.”

Vanilla langsung duduk di kursi meja rias yang sudah dipersiapkan Mbak Denik. “Mending begitu, Mbak. Daripada telat, malah tidak jadi nikah aku nanti,” ucap Vanilla sambil tertawa bercanda.

“Hush, tidak boleh bilang begitu. Pamali, Mbak.”

Vanilla melepaskan handuk putih yang masih melingkar di pundaknya. “Bercanda, Mbak.”

“Mbak Vani sarapan dulu saja, nanti malah tidak bisa makan jika tidak sekarang.”

Vanilla beringsut pergi ke dapur. Ia mendapati neneknya tengah membungkus adonan hijau lengket dengan daun pisang. “Nenek kenapa belum tidur? Kue bugis itu biar dikerjakan ibu-ibu yang lain.”

Nenek tersenyum hangat mendapati cucunya mendekatinya. “Cucu kesayangan Nenek menikah, bagaimana Nenek bisa tidur? Lagian bugis ini harus nenek sendiri yang membuat. Punya cita rasa khas sendiri.” Vanilla memakan kue bugis berisi kinco- kelapa yang sudah diberi gula. Nenek memberinya piring berisi nasi dan soto daging. “Makan ini juga. Seharian nanti pasti tidak akan sempat makan.”

Dengan anggukan singkat, Vanilla mulai melahap habis makanannya.

Selesai Vanilla makan, Mbak Denik mulai meriasnya. Sejak kecil, sejak ibunya meninggal ia tak suka berdandan. Gadis itu menganggap make up akan menutupi dirinya yang asli, dan menampilkan wajah orang lain. Hanya ketika wisuda dan sekarang pernikahannya ini dia ber-make up.

Vanilla mematut dirinya di standing mirror di sudut kamarnya. Kebaya brokat putih tulang dipadu dengan jarit sida asih membalut tubuhnya dengan indah. Rambut panjangnya dicepol rendah dan dihiasi dengan melati serta mawar putih kecil.

Gadis itu tersenyum puas. "Bagaimana kau tidak jatuh cinta padaku, jika aku secantik ini, Ega?" ucapnya sendiri pada cermin di depannya.

Wajah neneknya tiba-tiba menyembul dari balik pintu. "Ayahmu sudah datang."

"Om Bagas, Nek. Bukan ayah."

Neneknya tidak berkomentar lagi jika Vanilla sudah bilang seperti itu. Luka karena ditinggalkan sejak bayi oleh ayah kandungnya membuatnya memendam benci. Namun, apalah daya, akad nikah ini Vanilla harus menjadi walinya.

Vanilla turun dari kamarnya ke lantai 1. Pengantin pria dan rombongannya belum datang. Gadis itu masuk ke kamar neneknya, tempat ia menunggu hingga Ega mengucapkan ijab qobul dan semuanya berkata sah.

Keluarga juga sahabat sudah berkumpul di ruang tamu yang telah dipercantik dengan dekorasi serba putih dan nuansa pink di bunga-bunga yang digunakan. Keluarga besarnya juga beberapa sahabat telah siap dengan seragam kebaya dusty pink dan batik nuansa pink kecoklatan untuk para lelaki.

Om Bagas menghampiri Vanilla dan berucap, "Kau cantik. Mirip sekali dengan ibumu."

"Semoga kau masih ingat namaku, Om, agar tak salah ketika akad nanti," ucap Vanilla sarkas.

Om Bagas tidak membalas ucapannya. Ia sangat tahu bagaimana perasaan anak kandungnya itu. Jadi, ia tak menyalahkannya. Semua memang salahnya hingga Vanilla harus hidup tanpa ibunya yang meninggal dan ayahnya yang pergi dari mereka. Menemukan wanita lain untuk mengisi peran istrinya.

Pikiran mereka berkelana dalam diam. Vanilla sangat menantikan hari ini. Hanya satu yang merusaknya, yaitu rasa benci yang tak bisa hilang walaupun ayahnya sudah datang jauh-jauh dari Bali untuk menikahkannya dengan lelaki yang dicintainya.

Tak berapa lama penghulu datang. Vanilla melihat dari balik pintu penghulu sedang bercakap-cakap dengan Om Bagas juga tamu lelaki lain. Rombongan pengantin pria belum datang. Mungkin macet, pikir Vanilla.

Dari pagi ia memang telah mengirim pesan ke Ega. Namun, belum ada balasan. Pasti persiapan mengantar rombongan itu menyita banyak waktu.

Tak berapa lama, rombongan pengantin pria sampai di depan. Terdengar pintu-pintu mobil dibanting tertutup. Langkah kaki mulai mendekati gerbang dan mereka semua masuk. Vanilla tak berani mengangkat wajahnya. Ia hanya duduk di kasur sembari membayangkan wajah Ega mengenakan beskap putih yang senada dengan kebayanya. Pipi Vanilla sedari tadi sudah bersemu merah membayangkan akan menjadi istri Ega.

Telinga Vanilla menangkap sayup suara-suara berdecak kagum, juga nada bertanya. Vanilla tak bisa menangkap satu pun perkataan mereka karena sibuk dengan dentuman jantungnya sendiri. Semua yang hadir pasti juga tersihir oleh ketampanan Ega. Begitu pula yang terjadi dengan dirinya ketika menerima pernyataan cintanya dulu.

Pengantin pria duduk di kursi akad. Vanilla masih di kamar. Masih tak berani mengangkat wajahnya dan tenggelam dalam senyum bahagia di wajahnya.

Semua berjalan sangat cepat, hingga terdengar suara lelaki yang bukan suara Ega mengucap ijab qobul dengan lantang. "Saya terima nikah dan kawinnya Vanilla Amyta binti Bagas Wicaksono dengan maskawin seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan dengan berat 12,12 gram, tunai."

Vanilla terkesiap. Itu bukan suara Ega, calon suaminya.

-BERSAMBUNG-

Bab terkait

  • Istri Warisan    Bukan Suara Kekasih

    -Bukan Suara Kekasih-Vanilla masih di dalam kamar. Suara itu jelas bukan suara Ega. Ia hanya memandang gelisah neneknya. Neneknya yang sedari tadi menemaninya di kamar mulai merasa ada yang janggal. Neneknya mengintip di celah pintu kamar dan memastikan bahwa itu bukan Ega."Itu siapa, Van? Yang mengucap ijab qobul tadi bukan Ega."Lalu belum pertanyaan neneknya terjawab, juga pertanyaan dalam benak Vanilla, beberapa orang wanita sudah datang menjemputnya untuk keluar dan duduk bersanding di kursi berpita putih dengan 'suami sahnya'.Vanilla seperti berjalan di tepian dengan beling-beling menancap di kakinya. Dia terus memandang belakang tubuh pengantin prianya. Dan itu memang bukan Ega. Semua tamu seperti tersihir, tak ada satu pun yang mempertanyakan kenapa wajah suaminya berganti dengan lelaki lain. Kenapa tidak ada yang merasa aneh?Ketika sudah semakin dekat, Vanilla akhirnya bisa melihat dengan jelas siapa lelaki itu. Lelaki y

  • Istri Warisan    Pengantin Tak Diinginkan

    -Pengantin Tak Diinginkan-Mobil merah SUV Kian melesat membelah keramaian malam Minggu itu. Vanilla melihat dari balik kaca kursi penumpang depan, banyak pasangan kekasih yang tengah menghabiskan hari mereka dengan kencan romantis. Pemandangan itu semakin mengiris perih hatinya. Ia mencuri pandang lelaki di sebelahnya. Kian menyetir mobil dalam diam. Pandangannya terfokus ke depan. Tak menggubris sama sekali kehadiran Vanilla. Bukannya Vanilla ingin digubris, hanya saja suasana di dalam mobil sama seperti di kuburan. Hening dan mati.Perempuan itu kembali memandang ke jalanan sambil tangannya menopang wajahnya. Selesai ia menanggalkan gaunnya, neneknya datang dan berkata, "Apa pun yang terjadi, Kian sudah menjadi suamimu. Memang sudah sepantasnya kita pindah dari rumah yang dibeli Ega ini." "Iya, Nek. Kupikir juga begitu."Neneknya membantu melepas jepitan yang trsisa dari rambut Vanilla. "Ayahmu, maksud Nenek, Bagas ingin be

  • Istri Warisan    Surat Wasiat Ega

    -Surat Wasiat Ega-Kian berkata setelah mengembuskan napas keras. Kedua bola matanya tak tenang. Bergerak dengan gelisah. "Ega sakit."Vanilla mengerutkan kening. "Sakit apa maksudmu?""Kalau kau tunangannya saja tidak tahu, bagaimana aku tahu?" Vanilla sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapan Kian. Tapi Kian memotongnya dengan mengangkat tangannya ke depan mulut. "Aku hanya dihubungi oleh Ega dua hari sebelum pernikahan ini.""Kenapa dia tidak menghubungiku? Dan malah menghubungimu?" Vanilla memang sudah dua hari ini tak bisa menghubungi Ega. Seminggu sebelum pernikahan memang kepercayaan keluarganya bahwa calon pengantin tidak boleh bertemu dulu. Istilah yang biasa digunakan yaitu dipingit. Vanilla berkata, "Kami sudah menjalin hubungan selama 5 tahun. Tidak mungkin dia merahasiakan sesuatu dariku. Apalagi tentang penyakitnya. Apapun keadaannya aku pasti bisa menerimanya begitu pula Ega menerimaku.""La

  • Istri Warisan    Pertama Kali Seranjang

    -Pertama Kali Seranjang-Vanilla membongkar koper yang ditinggalkan oleh Pak Ujang di depan pintu kamar. Lemari built in di salah satu sisi dinding memuat banyak penyimpanan baju. Ia membuka salah satunya. Tak ada gunanya ia malu-malu di sini. Di salah satu pintu lemari, ia menemukan baju-baju lelaki yang digantung dengan rapi. Ia membuka pintu berikutnya. Bagian itu kosong. Entah sejak dulu memang kosong atau baru-baru ini dikosongi. Vanilla segera memasukkan baju-bajunya di sana dengan rapi. Vanilla berteriak ke arah kamar mandi, "Lemari kosong ini aku pakai, ya, Kian."Terdengar jawaban dari kamar mandi. "Pakai saja apa-apa yang ada di sana."Ia berkacak pinggang menatap lemari lalu berbalik. Kamar ini memang kamar bujangan. Dipan ranjangnya terbuat dari kayu keras yang dipernis gelap. Begitu pula lemari, meja nakas, juga gorden. Perpaduan antara warna coklat, hitam, dan abu-abu.Vanilla ingin s

  • Istri Warisan    Kian dan Kisah Patah Hatinya

    -Kian dan Kisah Patah Hatinya-"Kau mau ke mana?" tanya Vanilla."Aku perlu ke kantor karena selama satu minggu ke Jogja," ucap Kian.Vanilla berseloroh, "Seorang bos juga perlu ke kantor?" Dulu Anin pernah bercerita bahwa Kian mendirikan perusahaan periklanan yang sekarang menjadi sangat besar. Perusahaan Kian berada di pusat kota dengan gedung kantor yang tinggi menjulang. Ia selalu berhasil menjalin kontrak dengan perusahaan besar juga dengan artis-artis papan atas. "Kau pikir bos malah bisa berleha-leha di rumah?"Vanilla mencibir, "Ya tidak akan seberat pekerja seperti aku, kan.""Nah, tentang itu, lebih baik kau berhenti saja kerja di kafe," kata Kian tanpa menatap Vanilla. Ia tetap sibuk dengan sarapan dan tabletnya.Vanilla terkesiap. "Lho kenapa? Aku suka kerja di sana.""Sekarang kau istri Kiandio Reynand. Kau kan bisa membeli apa pun yang kau mau.""Tapi setahun lagi ketika aku tidak lagi menjadi istrimu bagaimana? Seperti katamu, aku membutuhkan uang untuk memeriksakan ne

  • Istri Warisan    Bungkus Apapun yang Kau Sentuh

    Kian berkendara membelah kemacetan yang selalu lekat dengan kota ini. Mereka sampai di depan mall yang memiliki banyak butik-butik dengan barang-barang branded dan mahal.Vabilla bertanya, "Untuk apa kita ke sini?" Ia melangkahkan kaki keluar mobil begitu pintu dibukakan oleh Kian.Kian menjawab, "Berkencan."Vanilla menginjak kaki Kian keras. "Aku tidak mau kencan denganmu.""Sayang sekali. Padahal ribuan perempuan lain rela mengorbankan apapun yang dimiliki agar bisa berkencan denganku," ucap Kian bangga."Yang pasti itu bukan aku."Kian memandu Vanilla menuju salah satu butik. Mereka masuk ke dalam. Salah seorang wanita cantik dan rapi menyambut mereka. "Ingin mencari apa, Ibu? Akan saya bantu memenuhi keinginan Ibu dan Bapak."Kian menjawab, "Bawakan gaun, blouse, dan celana untuk istriku."Vanilla memelototi Kian. Ia berbisik, "Aku tidak butuh pakaian, Kian. Ayo kita pergi saja." Vanilla tidak pernah masuk ke butik ini. Pelayanannya yang memuaskan sebandihg dengan harga yang haru

  • Istri Warisan    Honeymoon Sendu

    Sejak dulu Vanilla suka naik kereta. Ia juga yang mengusulkan kepada Ega tentang honeymoon ke Jogja naik kereta. Dan di sinilah sekarang Vanilla dan Kian. Stasiun Kota yang akan membawa mereka ke Jogja. Kereta melaju kencang. Vanilla dan Kian duduk berdampingan di kursi eksekutif. Tak banyak yang bisa diceritakan walaupun ia dulu adalah teman SMA Kian dan sekarang menjadi suami istri.Mereka sampai di hotel bintang 5 di sekitar Malioboro. Mereka check in. Kamar di hotel ini sangat susah didapatkan. Memang karena letaknya yang strategis dari pusat-pusat wisata. Jadi, dulu Ega booking kamar jauh-jauh hari."Pemesan atas nama Ega, Mbak," ucap Vanilla kepada resepsionis.Seorang wanita muda tersenyum dari balik meja. "Baik akan saya cek terlebih dahulu." Wanita muda itu menatap layar komputer di mejanya dan menggerakkan mouse. "Sudah terkonfirmasi."Vanilla bertanya kepada resepsionis, "Mbak, apakah ada kamar kosong yang lain?"Wanita muda di balik meja melihat komputernya lalu berkata,

  • Istri Warisan    Daging yang Terkoyak

    Ia langsung memakaikan dress itu dari atas kepala Vanilla. “Biar aku saja, Ki,” ucap Vanilla walaupun tangannya otomatis terangkat agar dress itu bisa menutupi tubuhnya.“Aku sudah bilang jangan mendebat.”Dua orang lelaki mengetuk pintu. Kian membukakan pintu, menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi. Mereka langsung bekerja. Membereskan segala yang porak poranda. Mungkin para petugas cleaning service itu berpikir. Wah baru kali ini mereka menemukan honeymoon yang seharusnya romantis menjadi sebuah bencana penuh darah dan rasa sakit. Kian mengambil alat P3K dari troli cleaning service. Menyalakan senter ponselnya dan memegang pinset kecil. Vanilla mengambil ponsel dari tangan Kian, “Biarkan aku yang membawa ponselmu.” Perempuan itu mengarahkan sinar senter ponsel ke lukanya. Vanilla bergidik ngeri melihat lukanya sendiri.Kian berjongkok di samping Vanilla. Mengambil pecahan-pecahan gelas yang masih ada di dalam lukanya. “Lukamu cukup dalam. Kita ke rumah sakit saja. Pecah

Bab terbaru

  • Istri Warisan    Telepon Pagi Buta

    -Telepon Pagi Buta-Vanilla terbangun di tengah malam. Obat biusnya sudah tidak berefek lagi. Sekarang kakinya ngilu dan perih. Ia sedikit mengerang kesakitan. Perempuan itu segera menutup mulutnya ketika dari belakang punggungnya, ia melihat Kian tengah lelap tertidur. Vanilla berusaha bangun, ingin bersandar dan mencari minum. Tangannya meraih nakas di samping tempat tidurnya. Tiba-tiba suara Kian menghentikannya. "Kau akan mencelakai dirimu lagi jika seperti itu."Vanilla menoleh ke belakang punggungnya. Kian sudah bangun sambil bersila menghadapnya. "Aku bisa sendiri. Apa yang bisa terjadi lagi jika aku sudah di fase terburuk begini," sanggah Vanilla keras kepala sambil mengulurkan tangannya lebih jauh. Vanilla terperanjat ketika merasakan tubuh Kian berada tepat di belakangnya dan tangannya panjang terulur. Kian dengan mudah meraih gelas berisi air dan mengangsurkannya kepada Vanilla. Vanilla hanya terbelalak, merasakan jantungnya berdenyut dengan sangat keras. Tapi ia berkata

  • Istri Warisan    Pulang

    Mereka kembali ke hotel. Masih tetap dengan berdiam seribu bahasa. Hotel menyediakan kursi roda untuk Vanilla. Petugas hotel juga menyambut mereka berdua di depan pintu lobi hotel. Kian mendorong kursi roda Vanilla ke kamar. Ia membaringkan Vanilla di ranjang. Berhati-hati agar tidak menyentuh luka Vanilla. Kian berjalan menuju lemari untuk berganti baju, namun tiba-tiba Vanilla berkata, "Kita pulang saja."Kian langsung berbalik memandang Vanilla, sedangkan perempuan itu mengalihkan pandangan dari suaminya. "Tunggu lukamu mengering," ucap Kian datar."Lebih baik aku di rumah. Daripada di sini tapi tidak bisa ke mana-mana." Vanilla menunggu reaksi Kian. Ketika Kian tidak berkomentar, ia melanjutkan."Biaya hotel, kan juga tidak murah. Kita bisa minta refund, kan."Kian mendekati Vanilla dengan langkah tegap. "Kau meremehkan kekayaanku? Kau pikir hanya Ega yang bisa menginap di hotel seperti ini?""Bukan begitu. Hanya saja sepertinya level kesialanku sudah melebihi batas. Aku tidak mau

  • Istri Warisan    Daging yang Terkoyak

    Ia langsung memakaikan dress itu dari atas kepala Vanilla. “Biar aku saja, Ki,” ucap Vanilla walaupun tangannya otomatis terangkat agar dress itu bisa menutupi tubuhnya.“Aku sudah bilang jangan mendebat.”Dua orang lelaki mengetuk pintu. Kian membukakan pintu, menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi. Mereka langsung bekerja. Membereskan segala yang porak poranda. Mungkin para petugas cleaning service itu berpikir. Wah baru kali ini mereka menemukan honeymoon yang seharusnya romantis menjadi sebuah bencana penuh darah dan rasa sakit. Kian mengambil alat P3K dari troli cleaning service. Menyalakan senter ponselnya dan memegang pinset kecil. Vanilla mengambil ponsel dari tangan Kian, “Biarkan aku yang membawa ponselmu.” Perempuan itu mengarahkan sinar senter ponsel ke lukanya. Vanilla bergidik ngeri melihat lukanya sendiri.Kian berjongkok di samping Vanilla. Mengambil pecahan-pecahan gelas yang masih ada di dalam lukanya. “Lukamu cukup dalam. Kita ke rumah sakit saja. Pecah

  • Istri Warisan    Honeymoon Sendu

    Sejak dulu Vanilla suka naik kereta. Ia juga yang mengusulkan kepada Ega tentang honeymoon ke Jogja naik kereta. Dan di sinilah sekarang Vanilla dan Kian. Stasiun Kota yang akan membawa mereka ke Jogja. Kereta melaju kencang. Vanilla dan Kian duduk berdampingan di kursi eksekutif. Tak banyak yang bisa diceritakan walaupun ia dulu adalah teman SMA Kian dan sekarang menjadi suami istri.Mereka sampai di hotel bintang 5 di sekitar Malioboro. Mereka check in. Kamar di hotel ini sangat susah didapatkan. Memang karena letaknya yang strategis dari pusat-pusat wisata. Jadi, dulu Ega booking kamar jauh-jauh hari."Pemesan atas nama Ega, Mbak," ucap Vanilla kepada resepsionis.Seorang wanita muda tersenyum dari balik meja. "Baik akan saya cek terlebih dahulu." Wanita muda itu menatap layar komputer di mejanya dan menggerakkan mouse. "Sudah terkonfirmasi."Vanilla bertanya kepada resepsionis, "Mbak, apakah ada kamar kosong yang lain?"Wanita muda di balik meja melihat komputernya lalu berkata,

  • Istri Warisan    Bungkus Apapun yang Kau Sentuh

    Kian berkendara membelah kemacetan yang selalu lekat dengan kota ini. Mereka sampai di depan mall yang memiliki banyak butik-butik dengan barang-barang branded dan mahal.Vabilla bertanya, "Untuk apa kita ke sini?" Ia melangkahkan kaki keluar mobil begitu pintu dibukakan oleh Kian.Kian menjawab, "Berkencan."Vanilla menginjak kaki Kian keras. "Aku tidak mau kencan denganmu.""Sayang sekali. Padahal ribuan perempuan lain rela mengorbankan apapun yang dimiliki agar bisa berkencan denganku," ucap Kian bangga."Yang pasti itu bukan aku."Kian memandu Vanilla menuju salah satu butik. Mereka masuk ke dalam. Salah seorang wanita cantik dan rapi menyambut mereka. "Ingin mencari apa, Ibu? Akan saya bantu memenuhi keinginan Ibu dan Bapak."Kian menjawab, "Bawakan gaun, blouse, dan celana untuk istriku."Vanilla memelototi Kian. Ia berbisik, "Aku tidak butuh pakaian, Kian. Ayo kita pergi saja." Vanilla tidak pernah masuk ke butik ini. Pelayanannya yang memuaskan sebandihg dengan harga yang haru

  • Istri Warisan    Kian dan Kisah Patah Hatinya

    -Kian dan Kisah Patah Hatinya-"Kau mau ke mana?" tanya Vanilla."Aku perlu ke kantor karena selama satu minggu ke Jogja," ucap Kian.Vanilla berseloroh, "Seorang bos juga perlu ke kantor?" Dulu Anin pernah bercerita bahwa Kian mendirikan perusahaan periklanan yang sekarang menjadi sangat besar. Perusahaan Kian berada di pusat kota dengan gedung kantor yang tinggi menjulang. Ia selalu berhasil menjalin kontrak dengan perusahaan besar juga dengan artis-artis papan atas. "Kau pikir bos malah bisa berleha-leha di rumah?"Vanilla mencibir, "Ya tidak akan seberat pekerja seperti aku, kan.""Nah, tentang itu, lebih baik kau berhenti saja kerja di kafe," kata Kian tanpa menatap Vanilla. Ia tetap sibuk dengan sarapan dan tabletnya.Vanilla terkesiap. "Lho kenapa? Aku suka kerja di sana.""Sekarang kau istri Kiandio Reynand. Kau kan bisa membeli apa pun yang kau mau.""Tapi setahun lagi ketika aku tidak lagi menjadi istrimu bagaimana? Seperti katamu, aku membutuhkan uang untuk memeriksakan ne

  • Istri Warisan    Pertama Kali Seranjang

    -Pertama Kali Seranjang-Vanilla membongkar koper yang ditinggalkan oleh Pak Ujang di depan pintu kamar. Lemari built in di salah satu sisi dinding memuat banyak penyimpanan baju. Ia membuka salah satunya. Tak ada gunanya ia malu-malu di sini. Di salah satu pintu lemari, ia menemukan baju-baju lelaki yang digantung dengan rapi. Ia membuka pintu berikutnya. Bagian itu kosong. Entah sejak dulu memang kosong atau baru-baru ini dikosongi. Vanilla segera memasukkan baju-bajunya di sana dengan rapi. Vanilla berteriak ke arah kamar mandi, "Lemari kosong ini aku pakai, ya, Kian."Terdengar jawaban dari kamar mandi. "Pakai saja apa-apa yang ada di sana."Ia berkacak pinggang menatap lemari lalu berbalik. Kamar ini memang kamar bujangan. Dipan ranjangnya terbuat dari kayu keras yang dipernis gelap. Begitu pula lemari, meja nakas, juga gorden. Perpaduan antara warna coklat, hitam, dan abu-abu.Vanilla ingin s

  • Istri Warisan    Surat Wasiat Ega

    -Surat Wasiat Ega-Kian berkata setelah mengembuskan napas keras. Kedua bola matanya tak tenang. Bergerak dengan gelisah. "Ega sakit."Vanilla mengerutkan kening. "Sakit apa maksudmu?""Kalau kau tunangannya saja tidak tahu, bagaimana aku tahu?" Vanilla sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapan Kian. Tapi Kian memotongnya dengan mengangkat tangannya ke depan mulut. "Aku hanya dihubungi oleh Ega dua hari sebelum pernikahan ini.""Kenapa dia tidak menghubungiku? Dan malah menghubungimu?" Vanilla memang sudah dua hari ini tak bisa menghubungi Ega. Seminggu sebelum pernikahan memang kepercayaan keluarganya bahwa calon pengantin tidak boleh bertemu dulu. Istilah yang biasa digunakan yaitu dipingit. Vanilla berkata, "Kami sudah menjalin hubungan selama 5 tahun. Tidak mungkin dia merahasiakan sesuatu dariku. Apalagi tentang penyakitnya. Apapun keadaannya aku pasti bisa menerimanya begitu pula Ega menerimaku.""La

  • Istri Warisan    Pengantin Tak Diinginkan

    -Pengantin Tak Diinginkan-Mobil merah SUV Kian melesat membelah keramaian malam Minggu itu. Vanilla melihat dari balik kaca kursi penumpang depan, banyak pasangan kekasih yang tengah menghabiskan hari mereka dengan kencan romantis. Pemandangan itu semakin mengiris perih hatinya. Ia mencuri pandang lelaki di sebelahnya. Kian menyetir mobil dalam diam. Pandangannya terfokus ke depan. Tak menggubris sama sekali kehadiran Vanilla. Bukannya Vanilla ingin digubris, hanya saja suasana di dalam mobil sama seperti di kuburan. Hening dan mati.Perempuan itu kembali memandang ke jalanan sambil tangannya menopang wajahnya. Selesai ia menanggalkan gaunnya, neneknya datang dan berkata, "Apa pun yang terjadi, Kian sudah menjadi suamimu. Memang sudah sepantasnya kita pindah dari rumah yang dibeli Ega ini." "Iya, Nek. Kupikir juga begitu."Neneknya membantu melepas jepitan yang trsisa dari rambut Vanilla. "Ayahmu, maksud Nenek, Bagas ingin be

DMCA.com Protection Status