-Pengantin Tak Diinginkan-
Mobil merah SUV Kian melesat membelah keramaian malam Minggu itu. Vanilla melihat dari balik kaca kursi penumpang depan, banyak pasangan kekasih yang tengah menghabiskan hari mereka dengan kencan romantis. Pemandangan itu semakin mengiris perih hatinya. Ia mencuri pandang lelaki di sebelahnya. Kian menyetir mobil dalam diam. Pandangannya terfokus ke depan. Tak menggubris sama sekali kehadiran Vanilla. Bukannya Vanilla ingin digubris, hanya saja suasana di dalam mobil sama seperti di kuburan. Hening dan mati.Perempuan itu kembali memandang ke jalanan sambil tangannya menopang wajahnya. Selesai ia menanggalkan gaunnya, neneknya datang dan berkata, "Apa pun yang terjadi, Kian sudah menjadi suamimu. Memang sudah sepantasnya kita pindah dari rumah yang dibeli Ega ini." "Iya, Nek. Kupikir juga begitu."Neneknya membantu melepas jepitan yang trsisa dari rambut Vanilla. "Ayahmu, maksud Nenek, Bagas ingin berbicara sebentar denganmu."Wajah Vanilla mengeras. "Ini semua salah orang itu. Sampai aku bisa menikah dengan lelaki yang bukan tunanganku. Ini semua salah orang itu!""Bagas tidak tahu wajah tunanganmu."Vanilla membalas, "Jika saja dia mau sedikit bertanggung jawab terhadap hidupku, pasti dia bisa tahu mana tunanganku, mana lelaki yang kubenci."Neneknya tetap sabar menghadapi kekecewaan Vanilla. "Temui sebentar, ya. Untuk selanjutnya jika kamu tidak mau bertemu lagi dengan ayahmu, maka terserah padamu."Wajah Vanilla melemas. Sorot matanya meredup. "Ini terakhir kalinya aku bertemu dengan lelaki itu. Sama seperti ketika dia meninggalkanku juga mendiang ibu, aku juga tak mau mengenalnya lagi."Neneknya keluar, dan tak berapa lama Om Bagas masuk kamar. Ia mencoba tersenyum walaupun ia tahu putrinya pasti penuh dengan kemarahan. Om Bagas berdiri di belakang Vanilla yang masih duduk di meja rias. Mereka berpandangan melalui cermin. "Ayah baru tahu dari nenek jika lelaki itu bukan tunanganmu. Ayah bodoh karena tak menyadari sejak awal tidak ada buku nikah yang disediakan."Vanilla menarik napas perlahan. "Sudahlah. Semua sudah terjadi.""Buku nikahmu sudah diurus oleh Kian. Kau tenang saja." Ucapan Om Bagas terdengar klise. Vanilla tak menjawab ucapannya. Om Bagas melanjutkan. "Ayah akan kembali ke Bali besok pagi. Tante Ruri minta maaf karena tak bisa hadir di pernikahanmu. Lain kali Ayah harap kau mau bertemu dengan ayah dan ibu tirimu."Vanilla berdiri dan menghadap ayahnya. "Maaf Om, aku tidak akan pernah mau bertemu dengan perempuan itu. Aku sampaikan dari sekarang agar tidak ada lagi kesempatan kita untuk bertemu."Om Bagas terkesiap mendengar perkataan Vanilla. Tapi tak bisa berbuat apa-apa, karena ia bisa paham apa yang anaknya rasakan. "Baiklah, Ayah dengar kau akan pindah ke rumah Kian. Ayah benar-benar berharap, kau bahagia.""Kesalahan tadi pagi sangat fatal, Om. Sampai membuatku sepertinya takkan bisa bahagia lagi. Selamanya." Om Bagas diam sejenak. Menata kata yang akan ia ucapkan. "Apakah kau ingin bercerai dengan Kian?"Vanilla tertawa terbahak-bahak karena baru ayahnya ini satu-satunya orang yang menyuarakan isi hatinya. Jika bukan dengan lelaki yang ia cintai, kenapa ia haus tetap menerima pernikahan kesalahan ini? Tapi tidak sekarang. Ia harus menjaga kesehatan jantung Neneknya agar tidak mendapat serangan lagi. Jika neneknya di usianya yang renta masih memikirkan cucunya tidak bahagia, ditinggalkan tunangannya, menikah dengan lelaki lain, bercerai dalam waktu singkat, diusir dari rumah yang dibelikan tunangannya. Risikonya besar bagi kesehatan neneknya. Dokter pun sudah bilang jangan sampai neneknya mendapat kabar buruk lagi agar tidak kena serangan berikutnya."Mengucapkan kata cerai dengan mudah padahal baru tadi pagi aku menikah. Apakah hidup memang segampang itu untukmu?" Tanya Vanilla lamat-lamat."Tentu saja tidak. Ayah hanya ingin kebahagiaanmu."Perempuan itu sudah tidak bisa berbicara lagi dengan ayahnya. Ia lelah luar biasa. Lelah lahir dan batin. "Sudah malam, Om. Sepertinya aku harus lekas ke rumah Kian"Om Bagas menyadari ia sudah terlalu ikut campur. Jika ia adalah ayah dalam kondisi keluarga yang normal, wajar ia akan memberi saran kepada anak-anaknya. Namun, ia dan putrinya dipisahkan oleh keadaan yang tidak biasa. Sepertinya ia sudah kehilangan hak untuk memberi Vanilla saran dan nasihat.Om Bagas berbalik akan keluar kamar. "Baiklah, Ayah pamit."Lamunan percakapannya dengan Om Bagas dibuyarkan oleh suara Kian. "Kita sudah sampai."Vanilla membuka kaca mobil dan mendapati rumah mewah dua lantai yang ada di depannya. Pagarnya yang tinggi tetap tidak bisa menutupi kemegahan rumah itu. Fasad rumah itu tinggi dan kokoh. Rumah itu dominan warna kayu, hitam, dan abu-abu. Taman di depan rumah terawat. Pohon ketapang kencana di tengah taman membuat suasana rumah menjadi tidak sedingin dan sekaku fasad rumah.Kian muncul dari sisi pengemudi, sudah berada di pintu penumpang dan membukakan pintu untuk Vanilla. Perempuan itu terkejut. "Aku bisa membuka pintu sendiri.""Bisa tidak kau menerima saja semua yang kulakukan tanpa ada bantahan tidak penting begini."Vanilla meradang. Siapa suruh dia membuka pintu untuknya. Pernikahan mereka ini aneh. Mereka berdua terjebak dalam kondisi di luar aspek kewajaran. Jadi tidak perlu melakukan hal-hal semacam etika. Vanilla tidak butuh itu semua.Kian tetap menahan pintu untuk Vanilla sampai perempuan itu keluar dari mobil. Mereka masuk ke dalam rumah. Seperti dua orang asing, bukan seperti pengantin baru.Begitu membuka pintu, mereka disambut oleh lelaki dan perempuan separuh baya. Kian tersenyum ke arah mereka. "Ini Vanilla. Mereka ini suami istri yang membantuku mengurus rumah ini. Bik Sri dan Pak Ujang."Vanilla tersenyum membalas senyuman hangat mereka. "Saya Vanilla.""Aduh, Mbak Vani cantik sekali. Saya ingin sekali datang tapi banyak yang harus saya dan suami persiapkan di rumah ini. Semoga Mbak Vani suka dengan rumah ini, ya."Mereka sepertinya tidak tahu apa-apa tentang kejadian "kericuhan pernikahan hari ini". Kian berkata, "Di mobil ada koper Vanilla. Untuk barang-barangnya yang lain akan dibawa besok oleh jasa pindahan. Kamar Nenek Vanilla sudah siap?""Sudah siap semua, Mas untuk kamar Nenek Mbak Vania. Akan saya bawakan kopernya nanti ke kamar.""Terima kasih, Pak Ujang. Ayo kutunjukkan kamarnya," ucap Kian. Kian berjalan mendahului Vanilla. Tangga dengan railing hitam dan papan kayu untuk pijakannya membawa mereka ke lantai 2. Hanya ada satu pintu kayu dengan gagang hitam di tengah lantai 2. Railing tangga tadi masih terus sampai ke lantai 2 dan memberikan batasan dengan void di ruang tamu."Kamar Nenek ada di lantai bawah. Ada lagi kamar tamu di samping kamar Nenek. Kamar Bik Sri dan Pak Ujang di belakang. Terpisah dari rumah utama." Kian berhenti di satu-satunya pintu. "Ini kamar kita. Tidak mungkin kita menggunakan kamar terpisah ketika ada orang lain di rumah ini."Vanilla ingin membantah, tetapi segera ingat ucapan Kian tadi tentang dirinya terlalu sering membantah ucapan lelaki itu. Kian membukakan pintu dan Vanilla masuk. Ia memandang kamar itu berkeliling. Memang keseluruhan rumah ini juga kamar ini dibangun untuk bujangan lelaki. Tak ada sedikit pun pernak-pernik khas sentuhan wanita."Jika kau tidak suka penataan kamar ini. Ubah saja sesuai dengan yang kau inginkan.""Itu tidak penting," ucap Vanilla yakin. Perempuan itu meletakkan tas selempangnya di atas ranjang lebar dengan dipan kayu gelap. "Ada hal lain yang penting, bukan?"Kian berkata, "Ega sakit." -bersambung--Surat Wasiat Ega-Kian berkata setelah mengembuskan napas keras. Kedua bola matanya tak tenang. Bergerak dengan gelisah. "Ega sakit."Vanilla mengerutkan kening. "Sakit apa maksudmu?""Kalau kau tunangannya saja tidak tahu, bagaimana aku tahu?" Vanilla sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapan Kian. Tapi Kian memotongnya dengan mengangkat tangannya ke depan mulut. "Aku hanya dihubungi oleh Ega dua hari sebelum pernikahan ini.""Kenapa dia tidak menghubungiku? Dan malah menghubungimu?" Vanilla memang sudah dua hari ini tak bisa menghubungi Ega. Seminggu sebelum pernikahan memang kepercayaan keluarganya bahwa calon pengantin tidak boleh bertemu dulu. Istilah yang biasa digunakan yaitu dipingit. Vanilla berkata, "Kami sudah menjalin hubungan selama 5 tahun. Tidak mungkin dia merahasiakan sesuatu dariku. Apalagi tentang penyakitnya. Apapun keadaannya aku pasti bisa menerimanya begitu pula Ega menerimaku.""La
-Pertama Kali Seranjang-Vanilla membongkar koper yang ditinggalkan oleh Pak Ujang di depan pintu kamar. Lemari built in di salah satu sisi dinding memuat banyak penyimpanan baju. Ia membuka salah satunya. Tak ada gunanya ia malu-malu di sini. Di salah satu pintu lemari, ia menemukan baju-baju lelaki yang digantung dengan rapi. Ia membuka pintu berikutnya. Bagian itu kosong. Entah sejak dulu memang kosong atau baru-baru ini dikosongi. Vanilla segera memasukkan baju-bajunya di sana dengan rapi. Vanilla berteriak ke arah kamar mandi, "Lemari kosong ini aku pakai, ya, Kian."Terdengar jawaban dari kamar mandi. "Pakai saja apa-apa yang ada di sana."Ia berkacak pinggang menatap lemari lalu berbalik. Kamar ini memang kamar bujangan. Dipan ranjangnya terbuat dari kayu keras yang dipernis gelap. Begitu pula lemari, meja nakas, juga gorden. Perpaduan antara warna coklat, hitam, dan abu-abu.Vanilla ingin s
-Kian dan Kisah Patah Hatinya-"Kau mau ke mana?" tanya Vanilla."Aku perlu ke kantor karena selama satu minggu ke Jogja," ucap Kian.Vanilla berseloroh, "Seorang bos juga perlu ke kantor?" Dulu Anin pernah bercerita bahwa Kian mendirikan perusahaan periklanan yang sekarang menjadi sangat besar. Perusahaan Kian berada di pusat kota dengan gedung kantor yang tinggi menjulang. Ia selalu berhasil menjalin kontrak dengan perusahaan besar juga dengan artis-artis papan atas. "Kau pikir bos malah bisa berleha-leha di rumah?"Vanilla mencibir, "Ya tidak akan seberat pekerja seperti aku, kan.""Nah, tentang itu, lebih baik kau berhenti saja kerja di kafe," kata Kian tanpa menatap Vanilla. Ia tetap sibuk dengan sarapan dan tabletnya.Vanilla terkesiap. "Lho kenapa? Aku suka kerja di sana.""Sekarang kau istri Kiandio Reynand. Kau kan bisa membeli apa pun yang kau mau.""Tapi setahun lagi ketika aku tidak lagi menjadi istrimu bagaimana? Seperti katamu, aku membutuhkan uang untuk memeriksakan ne
Kian berkendara membelah kemacetan yang selalu lekat dengan kota ini. Mereka sampai di depan mall yang memiliki banyak butik-butik dengan barang-barang branded dan mahal.Vabilla bertanya, "Untuk apa kita ke sini?" Ia melangkahkan kaki keluar mobil begitu pintu dibukakan oleh Kian.Kian menjawab, "Berkencan."Vanilla menginjak kaki Kian keras. "Aku tidak mau kencan denganmu.""Sayang sekali. Padahal ribuan perempuan lain rela mengorbankan apapun yang dimiliki agar bisa berkencan denganku," ucap Kian bangga."Yang pasti itu bukan aku."Kian memandu Vanilla menuju salah satu butik. Mereka masuk ke dalam. Salah seorang wanita cantik dan rapi menyambut mereka. "Ingin mencari apa, Ibu? Akan saya bantu memenuhi keinginan Ibu dan Bapak."Kian menjawab, "Bawakan gaun, blouse, dan celana untuk istriku."Vanilla memelototi Kian. Ia berbisik, "Aku tidak butuh pakaian, Kian. Ayo kita pergi saja." Vanilla tidak pernah masuk ke butik ini. Pelayanannya yang memuaskan sebandihg dengan harga yang haru
Sejak dulu Vanilla suka naik kereta. Ia juga yang mengusulkan kepada Ega tentang honeymoon ke Jogja naik kereta. Dan di sinilah sekarang Vanilla dan Kian. Stasiun Kota yang akan membawa mereka ke Jogja. Kereta melaju kencang. Vanilla dan Kian duduk berdampingan di kursi eksekutif. Tak banyak yang bisa diceritakan walaupun ia dulu adalah teman SMA Kian dan sekarang menjadi suami istri.Mereka sampai di hotel bintang 5 di sekitar Malioboro. Mereka check in. Kamar di hotel ini sangat susah didapatkan. Memang karena letaknya yang strategis dari pusat-pusat wisata. Jadi, dulu Ega booking kamar jauh-jauh hari."Pemesan atas nama Ega, Mbak," ucap Vanilla kepada resepsionis.Seorang wanita muda tersenyum dari balik meja. "Baik akan saya cek terlebih dahulu." Wanita muda itu menatap layar komputer di mejanya dan menggerakkan mouse. "Sudah terkonfirmasi."Vanilla bertanya kepada resepsionis, "Mbak, apakah ada kamar kosong yang lain?"Wanita muda di balik meja melihat komputernya lalu berkata,
Ia langsung memakaikan dress itu dari atas kepala Vanilla. “Biar aku saja, Ki,” ucap Vanilla walaupun tangannya otomatis terangkat agar dress itu bisa menutupi tubuhnya.“Aku sudah bilang jangan mendebat.”Dua orang lelaki mengetuk pintu. Kian membukakan pintu, menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi. Mereka langsung bekerja. Membereskan segala yang porak poranda. Mungkin para petugas cleaning service itu berpikir. Wah baru kali ini mereka menemukan honeymoon yang seharusnya romantis menjadi sebuah bencana penuh darah dan rasa sakit. Kian mengambil alat P3K dari troli cleaning service. Menyalakan senter ponselnya dan memegang pinset kecil. Vanilla mengambil ponsel dari tangan Kian, “Biarkan aku yang membawa ponselmu.” Perempuan itu mengarahkan sinar senter ponsel ke lukanya. Vanilla bergidik ngeri melihat lukanya sendiri.Kian berjongkok di samping Vanilla. Mengambil pecahan-pecahan gelas yang masih ada di dalam lukanya. “Lukamu cukup dalam. Kita ke rumah sakit saja. Pecah
Mereka kembali ke hotel. Masih tetap dengan berdiam seribu bahasa. Hotel menyediakan kursi roda untuk Vanilla. Petugas hotel juga menyambut mereka berdua di depan pintu lobi hotel. Kian mendorong kursi roda Vanilla ke kamar. Ia membaringkan Vanilla di ranjang. Berhati-hati agar tidak menyentuh luka Vanilla. Kian berjalan menuju lemari untuk berganti baju, namun tiba-tiba Vanilla berkata, "Kita pulang saja."Kian langsung berbalik memandang Vanilla, sedangkan perempuan itu mengalihkan pandangan dari suaminya. "Tunggu lukamu mengering," ucap Kian datar."Lebih baik aku di rumah. Daripada di sini tapi tidak bisa ke mana-mana." Vanilla menunggu reaksi Kian. Ketika Kian tidak berkomentar, ia melanjutkan."Biaya hotel, kan juga tidak murah. Kita bisa minta refund, kan."Kian mendekati Vanilla dengan langkah tegap. "Kau meremehkan kekayaanku? Kau pikir hanya Ega yang bisa menginap di hotel seperti ini?""Bukan begitu. Hanya saja sepertinya level kesialanku sudah melebihi batas. Aku tidak mau
-Telepon Pagi Buta-Vanilla terbangun di tengah malam. Obat biusnya sudah tidak berefek lagi. Sekarang kakinya ngilu dan perih. Ia sedikit mengerang kesakitan. Perempuan itu segera menutup mulutnya ketika dari belakang punggungnya, ia melihat Kian tengah lelap tertidur. Vanilla berusaha bangun, ingin bersandar dan mencari minum. Tangannya meraih nakas di samping tempat tidurnya. Tiba-tiba suara Kian menghentikannya. "Kau akan mencelakai dirimu lagi jika seperti itu."Vanilla menoleh ke belakang punggungnya. Kian sudah bangun sambil bersila menghadapnya. "Aku bisa sendiri. Apa yang bisa terjadi lagi jika aku sudah di fase terburuk begini," sanggah Vanilla keras kepala sambil mengulurkan tangannya lebih jauh. Vanilla terperanjat ketika merasakan tubuh Kian berada tepat di belakangnya dan tangannya panjang terulur. Kian dengan mudah meraih gelas berisi air dan mengangsurkannya kepada Vanilla. Vanilla hanya terbelalak, merasakan jantungnya berdenyut dengan sangat keras. Tapi ia berkata
-Telepon Pagi Buta-Vanilla terbangun di tengah malam. Obat biusnya sudah tidak berefek lagi. Sekarang kakinya ngilu dan perih. Ia sedikit mengerang kesakitan. Perempuan itu segera menutup mulutnya ketika dari belakang punggungnya, ia melihat Kian tengah lelap tertidur. Vanilla berusaha bangun, ingin bersandar dan mencari minum. Tangannya meraih nakas di samping tempat tidurnya. Tiba-tiba suara Kian menghentikannya. "Kau akan mencelakai dirimu lagi jika seperti itu."Vanilla menoleh ke belakang punggungnya. Kian sudah bangun sambil bersila menghadapnya. "Aku bisa sendiri. Apa yang bisa terjadi lagi jika aku sudah di fase terburuk begini," sanggah Vanilla keras kepala sambil mengulurkan tangannya lebih jauh. Vanilla terperanjat ketika merasakan tubuh Kian berada tepat di belakangnya dan tangannya panjang terulur. Kian dengan mudah meraih gelas berisi air dan mengangsurkannya kepada Vanilla. Vanilla hanya terbelalak, merasakan jantungnya berdenyut dengan sangat keras. Tapi ia berkata
Mereka kembali ke hotel. Masih tetap dengan berdiam seribu bahasa. Hotel menyediakan kursi roda untuk Vanilla. Petugas hotel juga menyambut mereka berdua di depan pintu lobi hotel. Kian mendorong kursi roda Vanilla ke kamar. Ia membaringkan Vanilla di ranjang. Berhati-hati agar tidak menyentuh luka Vanilla. Kian berjalan menuju lemari untuk berganti baju, namun tiba-tiba Vanilla berkata, "Kita pulang saja."Kian langsung berbalik memandang Vanilla, sedangkan perempuan itu mengalihkan pandangan dari suaminya. "Tunggu lukamu mengering," ucap Kian datar."Lebih baik aku di rumah. Daripada di sini tapi tidak bisa ke mana-mana." Vanilla menunggu reaksi Kian. Ketika Kian tidak berkomentar, ia melanjutkan."Biaya hotel, kan juga tidak murah. Kita bisa minta refund, kan."Kian mendekati Vanilla dengan langkah tegap. "Kau meremehkan kekayaanku? Kau pikir hanya Ega yang bisa menginap di hotel seperti ini?""Bukan begitu. Hanya saja sepertinya level kesialanku sudah melebihi batas. Aku tidak mau
Ia langsung memakaikan dress itu dari atas kepala Vanilla. “Biar aku saja, Ki,” ucap Vanilla walaupun tangannya otomatis terangkat agar dress itu bisa menutupi tubuhnya.“Aku sudah bilang jangan mendebat.”Dua orang lelaki mengetuk pintu. Kian membukakan pintu, menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi. Mereka langsung bekerja. Membereskan segala yang porak poranda. Mungkin para petugas cleaning service itu berpikir. Wah baru kali ini mereka menemukan honeymoon yang seharusnya romantis menjadi sebuah bencana penuh darah dan rasa sakit. Kian mengambil alat P3K dari troli cleaning service. Menyalakan senter ponselnya dan memegang pinset kecil. Vanilla mengambil ponsel dari tangan Kian, “Biarkan aku yang membawa ponselmu.” Perempuan itu mengarahkan sinar senter ponsel ke lukanya. Vanilla bergidik ngeri melihat lukanya sendiri.Kian berjongkok di samping Vanilla. Mengambil pecahan-pecahan gelas yang masih ada di dalam lukanya. “Lukamu cukup dalam. Kita ke rumah sakit saja. Pecah
Sejak dulu Vanilla suka naik kereta. Ia juga yang mengusulkan kepada Ega tentang honeymoon ke Jogja naik kereta. Dan di sinilah sekarang Vanilla dan Kian. Stasiun Kota yang akan membawa mereka ke Jogja. Kereta melaju kencang. Vanilla dan Kian duduk berdampingan di kursi eksekutif. Tak banyak yang bisa diceritakan walaupun ia dulu adalah teman SMA Kian dan sekarang menjadi suami istri.Mereka sampai di hotel bintang 5 di sekitar Malioboro. Mereka check in. Kamar di hotel ini sangat susah didapatkan. Memang karena letaknya yang strategis dari pusat-pusat wisata. Jadi, dulu Ega booking kamar jauh-jauh hari."Pemesan atas nama Ega, Mbak," ucap Vanilla kepada resepsionis.Seorang wanita muda tersenyum dari balik meja. "Baik akan saya cek terlebih dahulu." Wanita muda itu menatap layar komputer di mejanya dan menggerakkan mouse. "Sudah terkonfirmasi."Vanilla bertanya kepada resepsionis, "Mbak, apakah ada kamar kosong yang lain?"Wanita muda di balik meja melihat komputernya lalu berkata,
Kian berkendara membelah kemacetan yang selalu lekat dengan kota ini. Mereka sampai di depan mall yang memiliki banyak butik-butik dengan barang-barang branded dan mahal.Vabilla bertanya, "Untuk apa kita ke sini?" Ia melangkahkan kaki keluar mobil begitu pintu dibukakan oleh Kian.Kian menjawab, "Berkencan."Vanilla menginjak kaki Kian keras. "Aku tidak mau kencan denganmu.""Sayang sekali. Padahal ribuan perempuan lain rela mengorbankan apapun yang dimiliki agar bisa berkencan denganku," ucap Kian bangga."Yang pasti itu bukan aku."Kian memandu Vanilla menuju salah satu butik. Mereka masuk ke dalam. Salah seorang wanita cantik dan rapi menyambut mereka. "Ingin mencari apa, Ibu? Akan saya bantu memenuhi keinginan Ibu dan Bapak."Kian menjawab, "Bawakan gaun, blouse, dan celana untuk istriku."Vanilla memelototi Kian. Ia berbisik, "Aku tidak butuh pakaian, Kian. Ayo kita pergi saja." Vanilla tidak pernah masuk ke butik ini. Pelayanannya yang memuaskan sebandihg dengan harga yang haru
-Kian dan Kisah Patah Hatinya-"Kau mau ke mana?" tanya Vanilla."Aku perlu ke kantor karena selama satu minggu ke Jogja," ucap Kian.Vanilla berseloroh, "Seorang bos juga perlu ke kantor?" Dulu Anin pernah bercerita bahwa Kian mendirikan perusahaan periklanan yang sekarang menjadi sangat besar. Perusahaan Kian berada di pusat kota dengan gedung kantor yang tinggi menjulang. Ia selalu berhasil menjalin kontrak dengan perusahaan besar juga dengan artis-artis papan atas. "Kau pikir bos malah bisa berleha-leha di rumah?"Vanilla mencibir, "Ya tidak akan seberat pekerja seperti aku, kan.""Nah, tentang itu, lebih baik kau berhenti saja kerja di kafe," kata Kian tanpa menatap Vanilla. Ia tetap sibuk dengan sarapan dan tabletnya.Vanilla terkesiap. "Lho kenapa? Aku suka kerja di sana.""Sekarang kau istri Kiandio Reynand. Kau kan bisa membeli apa pun yang kau mau.""Tapi setahun lagi ketika aku tidak lagi menjadi istrimu bagaimana? Seperti katamu, aku membutuhkan uang untuk memeriksakan ne
-Pertama Kali Seranjang-Vanilla membongkar koper yang ditinggalkan oleh Pak Ujang di depan pintu kamar. Lemari built in di salah satu sisi dinding memuat banyak penyimpanan baju. Ia membuka salah satunya. Tak ada gunanya ia malu-malu di sini. Di salah satu pintu lemari, ia menemukan baju-baju lelaki yang digantung dengan rapi. Ia membuka pintu berikutnya. Bagian itu kosong. Entah sejak dulu memang kosong atau baru-baru ini dikosongi. Vanilla segera memasukkan baju-bajunya di sana dengan rapi. Vanilla berteriak ke arah kamar mandi, "Lemari kosong ini aku pakai, ya, Kian."Terdengar jawaban dari kamar mandi. "Pakai saja apa-apa yang ada di sana."Ia berkacak pinggang menatap lemari lalu berbalik. Kamar ini memang kamar bujangan. Dipan ranjangnya terbuat dari kayu keras yang dipernis gelap. Begitu pula lemari, meja nakas, juga gorden. Perpaduan antara warna coklat, hitam, dan abu-abu.Vanilla ingin s
-Surat Wasiat Ega-Kian berkata setelah mengembuskan napas keras. Kedua bola matanya tak tenang. Bergerak dengan gelisah. "Ega sakit."Vanilla mengerutkan kening. "Sakit apa maksudmu?""Kalau kau tunangannya saja tidak tahu, bagaimana aku tahu?" Vanilla sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapan Kian. Tapi Kian memotongnya dengan mengangkat tangannya ke depan mulut. "Aku hanya dihubungi oleh Ega dua hari sebelum pernikahan ini.""Kenapa dia tidak menghubungiku? Dan malah menghubungimu?" Vanilla memang sudah dua hari ini tak bisa menghubungi Ega. Seminggu sebelum pernikahan memang kepercayaan keluarganya bahwa calon pengantin tidak boleh bertemu dulu. Istilah yang biasa digunakan yaitu dipingit. Vanilla berkata, "Kami sudah menjalin hubungan selama 5 tahun. Tidak mungkin dia merahasiakan sesuatu dariku. Apalagi tentang penyakitnya. Apapun keadaannya aku pasti bisa menerimanya begitu pula Ega menerimaku.""La
-Pengantin Tak Diinginkan-Mobil merah SUV Kian melesat membelah keramaian malam Minggu itu. Vanilla melihat dari balik kaca kursi penumpang depan, banyak pasangan kekasih yang tengah menghabiskan hari mereka dengan kencan romantis. Pemandangan itu semakin mengiris perih hatinya. Ia mencuri pandang lelaki di sebelahnya. Kian menyetir mobil dalam diam. Pandangannya terfokus ke depan. Tak menggubris sama sekali kehadiran Vanilla. Bukannya Vanilla ingin digubris, hanya saja suasana di dalam mobil sama seperti di kuburan. Hening dan mati.Perempuan itu kembali memandang ke jalanan sambil tangannya menopang wajahnya. Selesai ia menanggalkan gaunnya, neneknya datang dan berkata, "Apa pun yang terjadi, Kian sudah menjadi suamimu. Memang sudah sepantasnya kita pindah dari rumah yang dibeli Ega ini." "Iya, Nek. Kupikir juga begitu."Neneknya membantu melepas jepitan yang trsisa dari rambut Vanilla. "Ayahmu, maksud Nenek, Bagas ingin be