-Bukan Suara Kekasih-
Vanilla masih di dalam kamar. Suara itu jelas bukan suara Ega. Ia hanya memandang gelisah neneknya. Neneknya yang sedari tadi menemaninya di kamar mulai merasa ada yang janggal. Neneknya mengintip di celah pintu kamar dan memastikan bahwa itu bukan Ega."Itu siapa, Van? Yang mengucap ijab qobul tadi bukan Ega."Lalu belum pertanyaan neneknya terjawab, juga pertanyaan dalam benak Vanilla, beberapa orang wanita sudah datang menjemputnya untuk keluar dan duduk bersanding di kursi berpita putih dengan 'suami sahnya'.Vanilla seperti berjalan di tepian dengan beling-beling menancap di kakinya. Dia terus memandang belakang tubuh pengantin prianya. Dan itu memang bukan Ega. Semua tamu seperti tersihir, tak ada satu pun yang mempertanyakan kenapa wajah suaminya berganti dengan lelaki lain. Kenapa tidak ada yang merasa aneh?Ketika sudah semakin dekat, Vanilla akhirnya bisa melihat dengan jelas siapa lelaki itu. Lelaki yang mengambil tempat Ega. Apa maksud semua ini?Vanilla duduk dengan berat. Terus menatap nyalang wajah di sebelahnya. "Kian?" Hanya itu yang bisa ia ucapkan bersama dengan nada beribu pertanyaan yang tersorot dari matanya.Kian menoleh sambil tersenyum. Terlihat jelas bahwa itu senyum palsu. Mata Kian tak tersenyum, walau sudut bibirnya terangkat.Kian mengulurkan tangan kirinya. Vanilla hanya menatapnya lama. Otak Vanilla seperti leleh dan meluber keluar kepalanya. Mbak Denik yang mengawasi Vanilla berbisik, "Pasang cincin, Van."Vanilla akhirnya mengulurkan tangan kirinya. Kian memasangkan cincin bermata berlian yang besar dan mengkilat ke jari manis Vanilla. Mengulurkan tangan kembali dan Vanilla berganti memasangkan cincin di jari Kian. Vanilla menatap dan menimang cincin yang sekarang melongkar di jarinya. Itu bukan cincin pilihan Ega dan dirinya dulu. Ini cincin lain.Mbak Denik terus memberikan perintah-perintah kecil kepada Vanilla sambil berbisik. Vanilla membawa tangan kanan Kian ke bibirnya. Tak benar-benar mengecupnya. Hanya membawanya beberapa senti di depan bibirnya."Tersenyumlah. Banyak yang melihat. Tidak mungkin kan kau akan langsung mengajukan cerai sekarang juga?" bisik Kian lamat-lamat.Dari sudut mata Vanilla, Anin, sahabatnya sejak kecil bersungut merah. Vanilla diliputi oleh berbagai macam perasaan yang bercampur aduk berbaur di dalam dadanya. Tanpa diberikan cukup waktu untuk mencari jawaban, Vanilla sudah dituntun kembali menuju kamar untuk berganti gaun. Gaun yang ia dan Ega pilih adalah ball gown berwarna champagne rose dengan veil menjuntai yang menutup rambutnya. Lipstik nude dengan ombre maroon yang digunakan untuk akad dihapus. Diganti dengan lipstik golden peach yang serasi dengan gaunnya. Untuk resepsi, pengantin pria seharusnya ganti pakaian di kamar yang sama dengan Vanilla. Namun, karena pengantinnya bukan Ega, ia yang meminta neneknya menyiapkan kamar lain untuk Kian ganti. Ketika Vanilla siap, ia keluar kamar. Disambut oleh Kian yang mengenakan jas yang seharusnya dipakai oleh Ega. Vanilla memandangnya dengan benci."Untung saja ukuran jasmu sama dengan Ega," ucap Vanilla penuh sarkas. Ia ingin mengingatkan bahwa jas itu bukan untuk Kian. Kemeja yang Kian pakai juga seharusnya dipakai oleh Ega. Begitu pun dirinya, seharusnya menjadi milik Ega. Bukan malah menjadi istri dari Kian. Lelaki yang sama sekali tak ingin ia dekati walaupun Kian adalah lelaki terakhir di dunia ini.Ia turun tangga mendahului Kian. Ekor gaun yang berserakan dirapikan Mbak Denik dan asistennya sambil ikut menuruni tangga. Mereka masuk mobil.Ketika sampai di hotel, Vanilla dan Kian tetap memamerkan senyum dan tetap tidak bercakap-cakap. Senyum itu palsu, tentunya. Di saat seperti ini, siapa yang bisa tersenyum bahagia. Vanilla telah kehilangan mempelai lelakinya. Mempelai yang ia inginkan menjadi suaminya. Lelaki yang ia bayangkan akan menemani malam-malam dan kesehariannya. Pintu ballroom telah didekorasi dengan pilar bunga mawar dan peony segar pink, putih, serta gold. Terus masuk ke dalam, membentuk jalan seperti taman bunga. Sulur-sulur bunga kertas di atas kepala menjuntai di sepanjang jalan sampai pelaminan. Vanilla dan Kian terus berjalan menuju pelaminan berwarna broken white. Gadis itu memandang takjub dekorasi yang ia dan Ega siapkan. Sepertinya ballroom ini hampir menghabiskan seluruh bunga di Kota Malang untuk dekorasi pernikahannya. Buket bunga mawar dan peony yang ia pegang seperti mempunyai ribuan duri yang menusuk-nusuk jarinya.Vanilla berdoa dalam hati, semoga tak ada yang dikenal oleh Kian. Baik tamu undangan dari pihak ya, maupun dari pihak Ega. Agar ia tetap merasa bahwa dia orang luar dan tidak pernah diterima. "Wah, datang kau." Lamunan Vanilla buyar karena suara sapaan Kian kepada tamu Ega."Tentu saja. Ini kan pernikahan sahabatku," balas tamu itu bersama istrinya yang mengenakan long dress maroon.Vanilla kenal, tamu itu adalah pengusaha nikel, teman Ega. Dulu pernah dikenalkan ketika tamu itu datang ke Malang, mengunjungi Ega. Dan itu tak berlangsung hanya pada tamu ini, tetapi pada hampir seluruh tamu yang datang Kian pun kenal dan menyapanya dengan ramah. Bagaimana Kian kenal hampir semua tamu yang ia dan Ega undang? Hatinya semakin sesak karena menginginkan Kian ikut merasa tak bahagia seperti yang dirinya rasakan saat ini.Selama acara, Vanilla memasang topeng ceria di wajahnya, sama seperti yang Kian lakukan. Begitu pintu mobil ditutup setelah acara selesai, Vanilla meremas pundak Kian dengan gusar. "Jelaskan sekarang, Kian. Ke mana Ega?"Kian tak menjawab. Kian tak melepaskan remasan tangan Vanilla di pundaknya. Entah sakit, entah memang Kian bisa menahan jemari kecil Vanilla yang meremas pundaknya keras. Lelaki itu hanya diam menatap mata Vanilla lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil.Vanilla melepaskan tangannya. Lebih pada rasa putus asa dan rasa ingin meledak akan kejadian yang baru saja berlangsung. "Ega ke mana? Kenapa suamiku jadi kau?"Bertepatan dengan akhir pertanyaan itu, mereka telah sampai di depan rumah Vanilla dan mereka harus turun. "Sabarlah. Nanti akan kujelaskan."Acara resepsi berjalan lancar dan meriah. Berlawanan dengan Vanilla. Ia sekarang telah sah menjadi seorang istri. Seperti yang ia nanti-nantikan. Namun, kenapa malah istri dari lelaki yang sangat dibencinya ini? Bagaimana dengan Ega? Apakah Ega sakit? Ke mana dia sebenarnya?Begitu mereka sampai di kamar pengantin, kamar yang rencananya digunakan oleh Vanilla dan Ega, Kian berdiri berkacak pinggang di hadapan perempuan yang kini resmi jadi istrinya. "Kau dan nenek mulai saat ini ikut aku tinggal di rumahku."Vanilla menatapnya tak percaya. Ia menyurukkan pantatnya di pinggir ranjang. Tak peduli kelopak-kelopak bunga yang sudah disiapkan untuk malam pertama berterbangan dan berhambur ke lantai. "Kau sudah gila, ya?! Aku tak sudi ikut denganmu.""Tidak ada bantahan. Bukan saatnya lagi kau membantah. Nenek sudah menyiapkan semua barang-barangmu."Vanilla tak bergeming. Wajahnya sudah merah padam. Matanya nanar, ingin meledakkan lahar panas yang sedari tadi menerjangnya dari dalam. Kian mendekati Vanilla yang tengah duduk di tepi ranjang. Melawan Vanilla yang tengah marah, tak ada gunanya. Kian duduk di sebelah Vanilla dan berkata lembut, "Jika kau ikut denganku, kau akan tahu kenapa aku yang jadi mempelai priamu dan bukan Ega."Wajah Vanilla yang awalnya kaku, mulai melemas. Ia tergoda.Mbak Denik dipanggil oleh Kian untuk membantu Vanilla melepaskan seluruh gaun dan make up-nya. Baru sekarang Vanilla sadari bahwa di pinggir pintu telah berdiri rapi dua koper besar berwarna sage dan 1 buah kardus besar. Itu semua pasti barang-barangnya. Bagaimana dengan rumah ini? Ia sudah terlanjur suka dengan rumah ini. Ketika awal tunangan, Ega mengejutkan Vanilla dengan rumah ini dan langsung memboyong tunangan dan neneknya pindah dari rumah kontrakan kecil yang ada di pinggir kota. Rumah dua lantai nuansa putih. Yang ia harap akan penuh kebahagiaan ia dan Ega kelak.-bersambung--Pengantin Tak Diinginkan-Mobil merah SUV Kian melesat membelah keramaian malam Minggu itu. Vanilla melihat dari balik kaca kursi penumpang depan, banyak pasangan kekasih yang tengah menghabiskan hari mereka dengan kencan romantis. Pemandangan itu semakin mengiris perih hatinya. Ia mencuri pandang lelaki di sebelahnya. Kian menyetir mobil dalam diam. Pandangannya terfokus ke depan. Tak menggubris sama sekali kehadiran Vanilla. Bukannya Vanilla ingin digubris, hanya saja suasana di dalam mobil sama seperti di kuburan. Hening dan mati.Perempuan itu kembali memandang ke jalanan sambil tangannya menopang wajahnya. Selesai ia menanggalkan gaunnya, neneknya datang dan berkata, "Apa pun yang terjadi, Kian sudah menjadi suamimu. Memang sudah sepantasnya kita pindah dari rumah yang dibeli Ega ini." "Iya, Nek. Kupikir juga begitu."Neneknya membantu melepas jepitan yang trsisa dari rambut Vanilla. "Ayahmu, maksud Nenek, Bagas ingin be
-Surat Wasiat Ega-Kian berkata setelah mengembuskan napas keras. Kedua bola matanya tak tenang. Bergerak dengan gelisah. "Ega sakit."Vanilla mengerutkan kening. "Sakit apa maksudmu?""Kalau kau tunangannya saja tidak tahu, bagaimana aku tahu?" Vanilla sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapan Kian. Tapi Kian memotongnya dengan mengangkat tangannya ke depan mulut. "Aku hanya dihubungi oleh Ega dua hari sebelum pernikahan ini.""Kenapa dia tidak menghubungiku? Dan malah menghubungimu?" Vanilla memang sudah dua hari ini tak bisa menghubungi Ega. Seminggu sebelum pernikahan memang kepercayaan keluarganya bahwa calon pengantin tidak boleh bertemu dulu. Istilah yang biasa digunakan yaitu dipingit. Vanilla berkata, "Kami sudah menjalin hubungan selama 5 tahun. Tidak mungkin dia merahasiakan sesuatu dariku. Apalagi tentang penyakitnya. Apapun keadaannya aku pasti bisa menerimanya begitu pula Ega menerimaku.""La
-Pertama Kali Seranjang-Vanilla membongkar koper yang ditinggalkan oleh Pak Ujang di depan pintu kamar. Lemari built in di salah satu sisi dinding memuat banyak penyimpanan baju. Ia membuka salah satunya. Tak ada gunanya ia malu-malu di sini. Di salah satu pintu lemari, ia menemukan baju-baju lelaki yang digantung dengan rapi. Ia membuka pintu berikutnya. Bagian itu kosong. Entah sejak dulu memang kosong atau baru-baru ini dikosongi. Vanilla segera memasukkan baju-bajunya di sana dengan rapi. Vanilla berteriak ke arah kamar mandi, "Lemari kosong ini aku pakai, ya, Kian."Terdengar jawaban dari kamar mandi. "Pakai saja apa-apa yang ada di sana."Ia berkacak pinggang menatap lemari lalu berbalik. Kamar ini memang kamar bujangan. Dipan ranjangnya terbuat dari kayu keras yang dipernis gelap. Begitu pula lemari, meja nakas, juga gorden. Perpaduan antara warna coklat, hitam, dan abu-abu.Vanilla ingin s
-Kian dan Kisah Patah Hatinya-"Kau mau ke mana?" tanya Vanilla."Aku perlu ke kantor karena selama satu minggu ke Jogja," ucap Kian.Vanilla berseloroh, "Seorang bos juga perlu ke kantor?" Dulu Anin pernah bercerita bahwa Kian mendirikan perusahaan periklanan yang sekarang menjadi sangat besar. Perusahaan Kian berada di pusat kota dengan gedung kantor yang tinggi menjulang. Ia selalu berhasil menjalin kontrak dengan perusahaan besar juga dengan artis-artis papan atas. "Kau pikir bos malah bisa berleha-leha di rumah?"Vanilla mencibir, "Ya tidak akan seberat pekerja seperti aku, kan.""Nah, tentang itu, lebih baik kau berhenti saja kerja di kafe," kata Kian tanpa menatap Vanilla. Ia tetap sibuk dengan sarapan dan tabletnya.Vanilla terkesiap. "Lho kenapa? Aku suka kerja di sana.""Sekarang kau istri Kiandio Reynand. Kau kan bisa membeli apa pun yang kau mau.""Tapi setahun lagi ketika aku tidak lagi menjadi istrimu bagaimana? Seperti katamu, aku membutuhkan uang untuk memeriksakan ne
Kian berkendara membelah kemacetan yang selalu lekat dengan kota ini. Mereka sampai di depan mall yang memiliki banyak butik-butik dengan barang-barang branded dan mahal.Vabilla bertanya, "Untuk apa kita ke sini?" Ia melangkahkan kaki keluar mobil begitu pintu dibukakan oleh Kian.Kian menjawab, "Berkencan."Vanilla menginjak kaki Kian keras. "Aku tidak mau kencan denganmu.""Sayang sekali. Padahal ribuan perempuan lain rela mengorbankan apapun yang dimiliki agar bisa berkencan denganku," ucap Kian bangga."Yang pasti itu bukan aku."Kian memandu Vanilla menuju salah satu butik. Mereka masuk ke dalam. Salah seorang wanita cantik dan rapi menyambut mereka. "Ingin mencari apa, Ibu? Akan saya bantu memenuhi keinginan Ibu dan Bapak."Kian menjawab, "Bawakan gaun, blouse, dan celana untuk istriku."Vanilla memelototi Kian. Ia berbisik, "Aku tidak butuh pakaian, Kian. Ayo kita pergi saja." Vanilla tidak pernah masuk ke butik ini. Pelayanannya yang memuaskan sebandihg dengan harga yang haru
Sejak dulu Vanilla suka naik kereta. Ia juga yang mengusulkan kepada Ega tentang honeymoon ke Jogja naik kereta. Dan di sinilah sekarang Vanilla dan Kian. Stasiun Kota yang akan membawa mereka ke Jogja. Kereta melaju kencang. Vanilla dan Kian duduk berdampingan di kursi eksekutif. Tak banyak yang bisa diceritakan walaupun ia dulu adalah teman SMA Kian dan sekarang menjadi suami istri.Mereka sampai di hotel bintang 5 di sekitar Malioboro. Mereka check in. Kamar di hotel ini sangat susah didapatkan. Memang karena letaknya yang strategis dari pusat-pusat wisata. Jadi, dulu Ega booking kamar jauh-jauh hari."Pemesan atas nama Ega, Mbak," ucap Vanilla kepada resepsionis.Seorang wanita muda tersenyum dari balik meja. "Baik akan saya cek terlebih dahulu." Wanita muda itu menatap layar komputer di mejanya dan menggerakkan mouse. "Sudah terkonfirmasi."Vanilla bertanya kepada resepsionis, "Mbak, apakah ada kamar kosong yang lain?"Wanita muda di balik meja melihat komputernya lalu berkata,
Ia langsung memakaikan dress itu dari atas kepala Vanilla. “Biar aku saja, Ki,” ucap Vanilla walaupun tangannya otomatis terangkat agar dress itu bisa menutupi tubuhnya.“Aku sudah bilang jangan mendebat.”Dua orang lelaki mengetuk pintu. Kian membukakan pintu, menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi. Mereka langsung bekerja. Membereskan segala yang porak poranda. Mungkin para petugas cleaning service itu berpikir. Wah baru kali ini mereka menemukan honeymoon yang seharusnya romantis menjadi sebuah bencana penuh darah dan rasa sakit. Kian mengambil alat P3K dari troli cleaning service. Menyalakan senter ponselnya dan memegang pinset kecil. Vanilla mengambil ponsel dari tangan Kian, “Biarkan aku yang membawa ponselmu.” Perempuan itu mengarahkan sinar senter ponsel ke lukanya. Vanilla bergidik ngeri melihat lukanya sendiri.Kian berjongkok di samping Vanilla. Mengambil pecahan-pecahan gelas yang masih ada di dalam lukanya. “Lukamu cukup dalam. Kita ke rumah sakit saja. Pecah
Mereka kembali ke hotel. Masih tetap dengan berdiam seribu bahasa. Hotel menyediakan kursi roda untuk Vanilla. Petugas hotel juga menyambut mereka berdua di depan pintu lobi hotel. Kian mendorong kursi roda Vanilla ke kamar. Ia membaringkan Vanilla di ranjang. Berhati-hati agar tidak menyentuh luka Vanilla. Kian berjalan menuju lemari untuk berganti baju, namun tiba-tiba Vanilla berkata, "Kita pulang saja."Kian langsung berbalik memandang Vanilla, sedangkan perempuan itu mengalihkan pandangan dari suaminya. "Tunggu lukamu mengering," ucap Kian datar."Lebih baik aku di rumah. Daripada di sini tapi tidak bisa ke mana-mana." Vanilla menunggu reaksi Kian. Ketika Kian tidak berkomentar, ia melanjutkan."Biaya hotel, kan juga tidak murah. Kita bisa minta refund, kan."Kian mendekati Vanilla dengan langkah tegap. "Kau meremehkan kekayaanku? Kau pikir hanya Ega yang bisa menginap di hotel seperti ini?""Bukan begitu. Hanya saja sepertinya level kesialanku sudah melebihi batas. Aku tidak mau
-Telepon Pagi Buta-Vanilla terbangun di tengah malam. Obat biusnya sudah tidak berefek lagi. Sekarang kakinya ngilu dan perih. Ia sedikit mengerang kesakitan. Perempuan itu segera menutup mulutnya ketika dari belakang punggungnya, ia melihat Kian tengah lelap tertidur. Vanilla berusaha bangun, ingin bersandar dan mencari minum. Tangannya meraih nakas di samping tempat tidurnya. Tiba-tiba suara Kian menghentikannya. "Kau akan mencelakai dirimu lagi jika seperti itu."Vanilla menoleh ke belakang punggungnya. Kian sudah bangun sambil bersila menghadapnya. "Aku bisa sendiri. Apa yang bisa terjadi lagi jika aku sudah di fase terburuk begini," sanggah Vanilla keras kepala sambil mengulurkan tangannya lebih jauh. Vanilla terperanjat ketika merasakan tubuh Kian berada tepat di belakangnya dan tangannya panjang terulur. Kian dengan mudah meraih gelas berisi air dan mengangsurkannya kepada Vanilla. Vanilla hanya terbelalak, merasakan jantungnya berdenyut dengan sangat keras. Tapi ia berkata
Mereka kembali ke hotel. Masih tetap dengan berdiam seribu bahasa. Hotel menyediakan kursi roda untuk Vanilla. Petugas hotel juga menyambut mereka berdua di depan pintu lobi hotel. Kian mendorong kursi roda Vanilla ke kamar. Ia membaringkan Vanilla di ranjang. Berhati-hati agar tidak menyentuh luka Vanilla. Kian berjalan menuju lemari untuk berganti baju, namun tiba-tiba Vanilla berkata, "Kita pulang saja."Kian langsung berbalik memandang Vanilla, sedangkan perempuan itu mengalihkan pandangan dari suaminya. "Tunggu lukamu mengering," ucap Kian datar."Lebih baik aku di rumah. Daripada di sini tapi tidak bisa ke mana-mana." Vanilla menunggu reaksi Kian. Ketika Kian tidak berkomentar, ia melanjutkan."Biaya hotel, kan juga tidak murah. Kita bisa minta refund, kan."Kian mendekati Vanilla dengan langkah tegap. "Kau meremehkan kekayaanku? Kau pikir hanya Ega yang bisa menginap di hotel seperti ini?""Bukan begitu. Hanya saja sepertinya level kesialanku sudah melebihi batas. Aku tidak mau
Ia langsung memakaikan dress itu dari atas kepala Vanilla. “Biar aku saja, Ki,” ucap Vanilla walaupun tangannya otomatis terangkat agar dress itu bisa menutupi tubuhnya.“Aku sudah bilang jangan mendebat.”Dua orang lelaki mengetuk pintu. Kian membukakan pintu, menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi. Mereka langsung bekerja. Membereskan segala yang porak poranda. Mungkin para petugas cleaning service itu berpikir. Wah baru kali ini mereka menemukan honeymoon yang seharusnya romantis menjadi sebuah bencana penuh darah dan rasa sakit. Kian mengambil alat P3K dari troli cleaning service. Menyalakan senter ponselnya dan memegang pinset kecil. Vanilla mengambil ponsel dari tangan Kian, “Biarkan aku yang membawa ponselmu.” Perempuan itu mengarahkan sinar senter ponsel ke lukanya. Vanilla bergidik ngeri melihat lukanya sendiri.Kian berjongkok di samping Vanilla. Mengambil pecahan-pecahan gelas yang masih ada di dalam lukanya. “Lukamu cukup dalam. Kita ke rumah sakit saja. Pecah
Sejak dulu Vanilla suka naik kereta. Ia juga yang mengusulkan kepada Ega tentang honeymoon ke Jogja naik kereta. Dan di sinilah sekarang Vanilla dan Kian. Stasiun Kota yang akan membawa mereka ke Jogja. Kereta melaju kencang. Vanilla dan Kian duduk berdampingan di kursi eksekutif. Tak banyak yang bisa diceritakan walaupun ia dulu adalah teman SMA Kian dan sekarang menjadi suami istri.Mereka sampai di hotel bintang 5 di sekitar Malioboro. Mereka check in. Kamar di hotel ini sangat susah didapatkan. Memang karena letaknya yang strategis dari pusat-pusat wisata. Jadi, dulu Ega booking kamar jauh-jauh hari."Pemesan atas nama Ega, Mbak," ucap Vanilla kepada resepsionis.Seorang wanita muda tersenyum dari balik meja. "Baik akan saya cek terlebih dahulu." Wanita muda itu menatap layar komputer di mejanya dan menggerakkan mouse. "Sudah terkonfirmasi."Vanilla bertanya kepada resepsionis, "Mbak, apakah ada kamar kosong yang lain?"Wanita muda di balik meja melihat komputernya lalu berkata,
Kian berkendara membelah kemacetan yang selalu lekat dengan kota ini. Mereka sampai di depan mall yang memiliki banyak butik-butik dengan barang-barang branded dan mahal.Vabilla bertanya, "Untuk apa kita ke sini?" Ia melangkahkan kaki keluar mobil begitu pintu dibukakan oleh Kian.Kian menjawab, "Berkencan."Vanilla menginjak kaki Kian keras. "Aku tidak mau kencan denganmu.""Sayang sekali. Padahal ribuan perempuan lain rela mengorbankan apapun yang dimiliki agar bisa berkencan denganku," ucap Kian bangga."Yang pasti itu bukan aku."Kian memandu Vanilla menuju salah satu butik. Mereka masuk ke dalam. Salah seorang wanita cantik dan rapi menyambut mereka. "Ingin mencari apa, Ibu? Akan saya bantu memenuhi keinginan Ibu dan Bapak."Kian menjawab, "Bawakan gaun, blouse, dan celana untuk istriku."Vanilla memelototi Kian. Ia berbisik, "Aku tidak butuh pakaian, Kian. Ayo kita pergi saja." Vanilla tidak pernah masuk ke butik ini. Pelayanannya yang memuaskan sebandihg dengan harga yang haru
-Kian dan Kisah Patah Hatinya-"Kau mau ke mana?" tanya Vanilla."Aku perlu ke kantor karena selama satu minggu ke Jogja," ucap Kian.Vanilla berseloroh, "Seorang bos juga perlu ke kantor?" Dulu Anin pernah bercerita bahwa Kian mendirikan perusahaan periklanan yang sekarang menjadi sangat besar. Perusahaan Kian berada di pusat kota dengan gedung kantor yang tinggi menjulang. Ia selalu berhasil menjalin kontrak dengan perusahaan besar juga dengan artis-artis papan atas. "Kau pikir bos malah bisa berleha-leha di rumah?"Vanilla mencibir, "Ya tidak akan seberat pekerja seperti aku, kan.""Nah, tentang itu, lebih baik kau berhenti saja kerja di kafe," kata Kian tanpa menatap Vanilla. Ia tetap sibuk dengan sarapan dan tabletnya.Vanilla terkesiap. "Lho kenapa? Aku suka kerja di sana.""Sekarang kau istri Kiandio Reynand. Kau kan bisa membeli apa pun yang kau mau.""Tapi setahun lagi ketika aku tidak lagi menjadi istrimu bagaimana? Seperti katamu, aku membutuhkan uang untuk memeriksakan ne
-Pertama Kali Seranjang-Vanilla membongkar koper yang ditinggalkan oleh Pak Ujang di depan pintu kamar. Lemari built in di salah satu sisi dinding memuat banyak penyimpanan baju. Ia membuka salah satunya. Tak ada gunanya ia malu-malu di sini. Di salah satu pintu lemari, ia menemukan baju-baju lelaki yang digantung dengan rapi. Ia membuka pintu berikutnya. Bagian itu kosong. Entah sejak dulu memang kosong atau baru-baru ini dikosongi. Vanilla segera memasukkan baju-bajunya di sana dengan rapi. Vanilla berteriak ke arah kamar mandi, "Lemari kosong ini aku pakai, ya, Kian."Terdengar jawaban dari kamar mandi. "Pakai saja apa-apa yang ada di sana."Ia berkacak pinggang menatap lemari lalu berbalik. Kamar ini memang kamar bujangan. Dipan ranjangnya terbuat dari kayu keras yang dipernis gelap. Begitu pula lemari, meja nakas, juga gorden. Perpaduan antara warna coklat, hitam, dan abu-abu.Vanilla ingin s
-Surat Wasiat Ega-Kian berkata setelah mengembuskan napas keras. Kedua bola matanya tak tenang. Bergerak dengan gelisah. "Ega sakit."Vanilla mengerutkan kening. "Sakit apa maksudmu?""Kalau kau tunangannya saja tidak tahu, bagaimana aku tahu?" Vanilla sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapan Kian. Tapi Kian memotongnya dengan mengangkat tangannya ke depan mulut. "Aku hanya dihubungi oleh Ega dua hari sebelum pernikahan ini.""Kenapa dia tidak menghubungiku? Dan malah menghubungimu?" Vanilla memang sudah dua hari ini tak bisa menghubungi Ega. Seminggu sebelum pernikahan memang kepercayaan keluarganya bahwa calon pengantin tidak boleh bertemu dulu. Istilah yang biasa digunakan yaitu dipingit. Vanilla berkata, "Kami sudah menjalin hubungan selama 5 tahun. Tidak mungkin dia merahasiakan sesuatu dariku. Apalagi tentang penyakitnya. Apapun keadaannya aku pasti bisa menerimanya begitu pula Ega menerimaku.""La
-Pengantin Tak Diinginkan-Mobil merah SUV Kian melesat membelah keramaian malam Minggu itu. Vanilla melihat dari balik kaca kursi penumpang depan, banyak pasangan kekasih yang tengah menghabiskan hari mereka dengan kencan romantis. Pemandangan itu semakin mengiris perih hatinya. Ia mencuri pandang lelaki di sebelahnya. Kian menyetir mobil dalam diam. Pandangannya terfokus ke depan. Tak menggubris sama sekali kehadiran Vanilla. Bukannya Vanilla ingin digubris, hanya saja suasana di dalam mobil sama seperti di kuburan. Hening dan mati.Perempuan itu kembali memandang ke jalanan sambil tangannya menopang wajahnya. Selesai ia menanggalkan gaunnya, neneknya datang dan berkata, "Apa pun yang terjadi, Kian sudah menjadi suamimu. Memang sudah sepantasnya kita pindah dari rumah yang dibeli Ega ini." "Iya, Nek. Kupikir juga begitu."Neneknya membantu melepas jepitan yang trsisa dari rambut Vanilla. "Ayahmu, maksud Nenek, Bagas ingin be