Saat pandangan Zira ke arahnya, Alca langsung menunduk. Bersembunyi di balik tubuh Ale. Jantung Alca berdebar-debar ketika Zira melihat ke arahnya. Dia benar-benar takut jika Zira menyadari keberadaannya. “Al, aku ke toilet dulu. Kamu bayar saja.” Alca memberikan kartu untuk membayar apa yang dibeli Ale. “Iya, Kak.” Ale mengangguk. Tanpa berlama-lama, Alca memilih untuk pergi. Tak mau sampai Zira melihatnya. Alca tidak benar-benar pergi ke toilet. Dia hanya pergi menjauh saja, sambil memperhatikan Ale dan juga Zira dari kejauhan.Tepat saat Ale masih membayar belanjaannya, tampak Zira melintas di sebelahnya. Alca bersyukur sekali tadi buru-buru pergi. Jika tidak, tentu saja dia akan ketahuan Zira sedang bersama Ale.Suara telepon yang berdering, begitu mengejutkan Alca. Dia memegangi jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang. Rasanya memang benar-benar belakangan ini jantungnya tidak aman. Apalagi setelah bermain api dengan menjalani hubungan dua wanita. Saat melihat ponselnya, A
“Aku sudah keluar. Tadi aku mencarimu, tapi kamu justru di sini.” Alca memberikan alasan pada Ale. Membuatnya istrinya itu tidak curiga. Ale merasa cukup lama berada di toilet. Namun, tidak melihat Alca keluar dari toilet. Tentu saja dia masih bingung. Bagaimana Alca bisa keluar dari toilet tanpa dia tahu. “Berikan padaku.” Alca meraih tas berisi susu yang dibeli oleh Ale. Ale yang sedang berada dalam pikirannya seketika tersadar. Dia segera memberikan plastik berisi susu yang dibelinya. Membuang pikirannya bagaimana Alca keluar. “Ayo.” Alca segera mengajak Ale ke mobil. Ale mengangguk. Mengikuti Alca yang berjalan lebih dulu. Sepanjang berjalan Alca melihat sekitar. Melihat apakah Zira sudah keluar dari supermarket atau belum. Dari kejauhan tampak Zira sedang membayar belanjaan di kasir. Artinya Zira sudah selesai berbelanja. Jika Zira sudah selesai, peluang mereka bertemu di tempat parkir akan banyak. “Al, ayo cepat. Aku harus segera kembali ke kantor.” Alca menyodorkan leng
“Tidak, aku sudah lebih baik.” Ale menatap Alca yang menatapnya. “Maafkan aku. Aku tidak tahu kamu ketakutan.” Alca merasa bersalah sekali membuat Ale berada dalam situasi menegangkan. “Jika Kak Alca memang buru-buru ke kantor, aku bisa naik taksi saja.” Ale menatap Alca dengan sorot mata kecewa. “Maaf, Al. Aku sebenarnya tidak buru-buru.” Alca mencoba meyakinkan Ale. “Lalu kenapa Kak Alca melajukan dengan kencang mobilnya tadi?” “Aku ....” Alca menggantung ucapannya. Dia ingin menjelaskan, tetapi teringat penjelasannya pastinya akan melukai Ale. “Intinya aku minta maaf. Aku janji tidak akan mengulangnya.” Alca tidak jadi menjelaskan alasannya. Memilih untuk meminta maaf saja. Ale mengembuskan napasnya. Percuma marah. Lagi pula sekarang sudah jauh lebih tenang. Tidak ketakutan seperti tadi. “Baiklah. Lupakan. Aku sudah jauh lebih baik.” Ale menatap teduh pada Alca. Meyakinkan Alca jika dia baik-baik saja. “Terima kasih.” Alca lega karena Ale memaafkannya. Ini tidak akan pern
Alca akhirnya menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Kini tinggal pulang. Namun, tentu saja bukan pulang ke rumah Ale, melainkan pulang ke apartemen Zira. Sesuai janjinya, Alca akan ke sana. Alca segera melajukan mobilnya ke apartemen Zira. Saat sampai di apartemen, Alca menekan angka password apartemen Zira. Apartemen itu memakai angka ulang tahunnya. Jadi Alca bisa masuk dengan mudah.Saat pintu dibuka, Aroma masakan tercium menyeruak. Menyambut kedatangan Alca. Dia yakin jika Zira pasti sedang memasak untuknya. “Kamu sudah datang?” Suara Zira terdengar dari dapur. “Iya, aku sudah datang.” Alca menjawab seraya mengayunkan langkahnya ke dapur. Di dapur Ale melihat Zira yang tampak cantik dengan apron di dadanya. Sejak kenal Zira, Alca selalu saja suka saat Zira memasak. Menurutnya kecantikan Zira terpancar.Rambut panjangnya yang diikat ke atas memperlihatkan leher jenjangnya. Tampak begitu memesona. Sebagai pria yang mengagumi Zira sedari dulu, tentu saja Alca tidak bisa menamp
“Mama masih di luar negeri. Dia memintaku pulang dan makan di rumah karena aduan dari asisten rumah tangga. Karena itu aku pulang, walaupun makan sendirian.” Alca memberikan jawaban yang masuk akal pada Zira. Zira mencerna ucapan Alca. Apa yang dikatakan Alca masuk akal. Jadi dia percaya saja. Alca menerawang ke dalam manik mata nan indah milik Zira. Mencari tahu apakah Zira masih tidak percaya dengannya. “Oh ... jadi kamu diminta makan di rumah.”“Iya, maklum, seorang ibu pasti ingin memastikan anaknya makan sehat.” “Baiklah.” Zira akhirnya percaya. Alca mengulas senyumnya mendapati Zira percaya. Alca tidak tahu sejak kapan dirinya jadi seorang pembohong. Setiap hari Alca berbohong terus. Entah kepada Zira atau Ale. Rasanya Alca benar-benar merasa bersalah sekali. Karena melakukan hal buruk itu. Mereka kembali melanjutkan makannya. Alca masih sesekali memuji makanan buatan Zira. “Apa kamu tahu, orang yang aku lihat di supermarket mirip sekali denganmu.” Zira tertawa menceritak
“Kita berdoa saja yang terbaik. Jika kita berjodoh, kita akan menikah.” Alca tidak bisa memberikan janji pada Zira, mengingat dia berada dalam pernikahan dengan Ale. Tidak mungkin dapat menikah dengan Zira. “Kenapa jawaban kamu seperti itu? Bukan iya atau tidak.” Zira menatap Alca lekat. Ada keraguan di dalam sorot mata Alca, dan Zira merasakannya. Alca tersenyum. “Dengar semua kembali pada takdir Tuhan. Yang penting kita sudah berusaha.” Alca mencoba meyakinkan Zira. Sebuah pelukan diberikan Alca pada Zira. Berharap jika Zira akan percaya dengannya. Zira masih berat dengan ucapan Alca, tetapi dia merasa Alca pasti punya alasan untuk melakukan itu. Seusai makan malam, Alca dan Zira berpindah ke ruang tamu. Mereka duduk sambil menonton televisi. Zira masuk ke dalam pelukan Alca. Bersandar di dada pria yang dicintainya itu. “Mama meminta aku pulang, tapi aku tidak mau.” Zira menceritakan masalahnya. “Jika kamu tidak pulang, kamu tidak akan tahu masalah antara mereka apa. Saat kam
“Ma, besok aku ada jadwal keluar kota. Aku mau menitipkan Ale di rumah. Kasihan jika dia di rumah sendiri.” Pagi-pagi sekali Alca menghubungi mamanya. Memberitahu rencananya besok. Dia baru membaca pesan dari sekretarisnya jika besok harus mengecek pabrik.“Al, kenapa mendadak sekali. Besok Mama dan Mama Mauren mau reuni. Jadi kami tidak di rumah.” Alca mengembuskan napasnya kesal. Mamanya memang masih hobi sekali reuni. Tentu saja membuatnya sedikit kesal. Dan, sekarang reuni sang mama bertepatan dengan dirinya yang mau ke luar kota. Tentu saja itu membuatnya bingung. “Bawa saja Ale, Al. Lagi pula kandungannya sudah besar, naik pesawat juga sudah aman.” Mama Arriel memberikan saran. Alca menimbang ucapan mamanya. Sebenarnya ada asisten rumah tangga di rumah. Namun, entah kenapa Alca tidak tega meninggalkan Ale terlalu lama. Apalagi setelah mengecek pabrik, Alca ada undangan pernikahan salah satu manajer. “Baiklah, aku akan mengajak Ale saja. Paling tidak agar aku tenang.” “Itu l
Ale dan Alca bersiap ke bandara pagi ini. Mereka berangkat pagi, karena pesawat mereka akan lepas landas jam sembilan.“Jika kamu merasakan sesuatu tidak nyaman, katakan padaku.” Alca menatap Ale yang duduk di sebelahnya.“Iya, Kak.” Ale mengangguk. Sudah lama Ale tidak naik pesawat. Terakhir kali saat bulan madu dengan Dima, dan sejak itu dia tidak pernah naik pesawat. Jadi perasaannya sedikit tidak tenang. Alca melihat Ale yang tampak tegang sekali. Wajahnya seolah ketakutan sekali. Tentu saja itu membuat Alca tidak tega. Dengan segera, dia menarik tangan Ale. Menggenggamnya erat agar dapat meredakan ketakutan Ale. “Semua akan baik-baik saja.” Alca meyakinkan Ale. Bukannya justru tenang, Ale justru semakin berdebar-debar. Dia justru bukan ketakutan dengan perjalanannya, melainkan dengan Alca. Karena makin lama, Alca membuatnya jatuh cinta. “Nanti kita langsung ke pabrik, kamu tidak apa-apa ‘kan menunggu aku kunjungan sebentar. Setelah itu. Kita kembali ke hotel.” Alca mengajak