“Mama masih di luar negeri. Dia memintaku pulang dan makan di rumah karena aduan dari asisten rumah tangga. Karena itu aku pulang, walaupun makan sendirian.” Alca memberikan jawaban yang masuk akal pada Zira. Zira mencerna ucapan Alca. Apa yang dikatakan Alca masuk akal. Jadi dia percaya saja. Alca menerawang ke dalam manik mata nan indah milik Zira. Mencari tahu apakah Zira masih tidak percaya dengannya. “Oh ... jadi kamu diminta makan di rumah.”“Iya, maklum, seorang ibu pasti ingin memastikan anaknya makan sehat.” “Baiklah.” Zira akhirnya percaya. Alca mengulas senyumnya mendapati Zira percaya. Alca tidak tahu sejak kapan dirinya jadi seorang pembohong. Setiap hari Alca berbohong terus. Entah kepada Zira atau Ale. Rasanya Alca benar-benar merasa bersalah sekali. Karena melakukan hal buruk itu. Mereka kembali melanjutkan makannya. Alca masih sesekali memuji makanan buatan Zira. “Apa kamu tahu, orang yang aku lihat di supermarket mirip sekali denganmu.” Zira tertawa menceritak
“Kita berdoa saja yang terbaik. Jika kita berjodoh, kita akan menikah.” Alca tidak bisa memberikan janji pada Zira, mengingat dia berada dalam pernikahan dengan Ale. Tidak mungkin dapat menikah dengan Zira. “Kenapa jawaban kamu seperti itu? Bukan iya atau tidak.” Zira menatap Alca lekat. Ada keraguan di dalam sorot mata Alca, dan Zira merasakannya. Alca tersenyum. “Dengar semua kembali pada takdir Tuhan. Yang penting kita sudah berusaha.” Alca mencoba meyakinkan Zira. Sebuah pelukan diberikan Alca pada Zira. Berharap jika Zira akan percaya dengannya. Zira masih berat dengan ucapan Alca, tetapi dia merasa Alca pasti punya alasan untuk melakukan itu. Seusai makan malam, Alca dan Zira berpindah ke ruang tamu. Mereka duduk sambil menonton televisi. Zira masuk ke dalam pelukan Alca. Bersandar di dada pria yang dicintainya itu. “Mama meminta aku pulang, tapi aku tidak mau.” Zira menceritakan masalahnya. “Jika kamu tidak pulang, kamu tidak akan tahu masalah antara mereka apa. Saat kam
“Ma, besok aku ada jadwal keluar kota. Aku mau menitipkan Ale di rumah. Kasihan jika dia di rumah sendiri.” Pagi-pagi sekali Alca menghubungi mamanya. Memberitahu rencananya besok. Dia baru membaca pesan dari sekretarisnya jika besok harus mengecek pabrik.“Al, kenapa mendadak sekali. Besok Mama dan Mama Mauren mau reuni. Jadi kami tidak di rumah.” Alca mengembuskan napasnya kesal. Mamanya memang masih hobi sekali reuni. Tentu saja membuatnya sedikit kesal. Dan, sekarang reuni sang mama bertepatan dengan dirinya yang mau ke luar kota. Tentu saja itu membuatnya bingung. “Bawa saja Ale, Al. Lagi pula kandungannya sudah besar, naik pesawat juga sudah aman.” Mama Arriel memberikan saran. Alca menimbang ucapan mamanya. Sebenarnya ada asisten rumah tangga di rumah. Namun, entah kenapa Alca tidak tega meninggalkan Ale terlalu lama. Apalagi setelah mengecek pabrik, Alca ada undangan pernikahan salah satu manajer. “Baiklah, aku akan mengajak Ale saja. Paling tidak agar aku tenang.” “Itu l
Ale dan Alca bersiap ke bandara pagi ini. Mereka berangkat pagi, karena pesawat mereka akan lepas landas jam sembilan.“Jika kamu merasakan sesuatu tidak nyaman, katakan padaku.” Alca menatap Ale yang duduk di sebelahnya.“Iya, Kak.” Ale mengangguk. Sudah lama Ale tidak naik pesawat. Terakhir kali saat bulan madu dengan Dima, dan sejak itu dia tidak pernah naik pesawat. Jadi perasaannya sedikit tidak tenang. Alca melihat Ale yang tampak tegang sekali. Wajahnya seolah ketakutan sekali. Tentu saja itu membuat Alca tidak tega. Dengan segera, dia menarik tangan Ale. Menggenggamnya erat agar dapat meredakan ketakutan Ale. “Semua akan baik-baik saja.” Alca meyakinkan Ale. Bukannya justru tenang, Ale justru semakin berdebar-debar. Dia justru bukan ketakutan dengan perjalanannya, melainkan dengan Alca. Karena makin lama, Alca membuatnya jatuh cinta. “Nanti kita langsung ke pabrik, kamu tidak apa-apa ‘kan menunggu aku kunjungan sebentar. Setelah itu. Kita kembali ke hotel.” Alca mengajak
Akhirnya kunjungan selesai juga. Kunjungan berlangsung selama dua jam. Sampai-sampai melewati jam istirahat. Alca yang menyadari itu pun segera bergegas ke ruangan di mana istrinya berada. Dia tidak mau sang istri kelaparan dan sakit, jika terlambat sakit.. Lagi pula staf dan manajer juga harus makan siang.Saat kembali ke ruangan di mana Ale berada, ternyata istrinya itu sedang asyik makan cemilan. Tentu saja itu membuatnya merasa tenang karena ternyata istrinya tidak kelaparan. “Perutku lapar. Jadi aku makan cemilan ini.” Ale dengan polosnya memberitahu Alca sambil menunjuk makanan tersebut.Alca mengulas senyumnya. “Tidak apa-apa.” Dia beralih pada manajer pabrik. “Terima kasih sudah menyediakan makanan.” Alca menatap manajer. Tentu itu pasti adalah perintah sang manajer. Menyediakan makanan ringan untuknya.“Sama-sama, Pak.” Manajer Pabrik mengangguk. “Silakan, Pak. kami juga sudah menyiapkan restoran untuk makan siang. Jadi kita bisa makan siang bersama.” Manajer pun mengajak
“Sekretarisku memesan satu kamar. Aku sudah tanya apakah ada kamar kosong atau tidak, dan pihak hotel bilang tidak ada.” Alca mencoba menjelaskan.Ale tidak bisa berkata apa-apa. Lagi pula juga sekretaris Alca jelas memesan satu mengingat mereka adalah pasangan suami istri. Alca juga sudah berusaha bertanya. Jadi dia mengerti posisi Alca.“Tidak apa-apa.” Ale akhirnya menerima jika harus berada dalam satu kamar dengan Alca. “Baiklah, ayo kita masuk.” Alca menempelkan access card yang dibawanya itu untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka, Alca mendorong pintu agar terbuka lebar. Memberikan isyarat pandangan pada Ale untuk masuk. Ale mengayunkan langkahnya seraya menarik kopernya masuk ke kamar. Kamar tipe suite room. Tampak satu tempat tidur ukuran besar, ruang tamu kecil, dan juga mini bar. Untuk mereka berdua jelas ruangan ini sangat pas sekali. Pemandangan kota terlihat dari kamar. Hiruk pikuk kota terlihat jelas. Pasti pemandangan itu akan indah saat dilihat malam hari. Alca me
Ale begitu terkejut ketika Alca bangun. Tentu saja dia tidak menyangka itu. Padahal tadi Alca tampak pulas sekali.Alca menatap Ale dengan senyuman di wajahnya. Tatapannya itu seolah meminta jawaban atas pertanyaan yang tadi diberikan.“Kak Alca sudah bangun?” tanya Ale polos. “Iya, sejak tadi.” Alca menyeringai.“Sejak tadi kapan?” Ale panik saat tahu jika Alca bangun sejak tadi. “Sejak mencium aroma sabun.” Alca memang bangun saat aroma Ale tercium. Namun, saat hendak membuka matanya, tiba-tiba dia mendengar langkah kaki yang mendekat. Karena itu, dia memilih pura-pura tidur. Alangkah terkejutnya Alca saat tahu akan hal itu. Ternyata Alca sudah bangun sejak tadi. “Kenapa kamu memandangi aku?” tanya Alca. Untuk sesaat Ale terdiam. Dia memilih kata yang tepat agar tidak membuat Alca tersinggung. “Aku melihat Kak Alca mirip Dima.” Ale menjelaskan apa yang membuatnya melihat Alca. “Apa kamu lupa jika kami sama-sama keturunan Janitra. Jelas pasti ada sedikit kemiripan.” Alca mengu
Ale dan Alca sampai di hotel kembali. Ale begitu kenyang karena memakan banyak hal tadi. Sampai di kamar dia duduk di sofa dan bersandar di punggung sofa. “Aku kenyang sekali.” Ale memegangi perutnya yang besar. Alca yang melihat hal itu hanya bisa menahan tawa. Terlihat lucu sekali Ale mengelus perutnya yang kekenyanganAlca segera duduk di samping Ale. Kepalanya di arahan ke perut Ale. “Apa kamu juga sudah kenyang?” tanya Alca pada anak Ale. Ale menarik senyum tipis di sudut bibirnya. “Tentu saja kenyang Papa.” Ale menjawab pertanyaan Alca yang diberikan pada anaknya. Alca langsung mengalahkan pandangan pada Ale. Senyum Ale menghiasi wajah Ale membuat Alca terpesona. Mata mereka saling beradu pandang. Untuk sesaat mengagumi satu dengan yang lain. Baru saja Alca hendak mendekat ke arah Ale. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Hal itu membuat Alca salah tingkah. Dengan segera dia Alca menjauhkan tubuhnya. “Aku angkat telepon dulu.” Alca segera berdiri. Kemudian menuju ke balko
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker