“Al apa sudah selesai?” tanya Alca pada Ale. “Masih menunggu stoknya diambilkan, Kak. Tunggu sebentar.” Mendapat penjelasan itu membuat Alca seketika berdebar-debar. Dia takut jika Zira melihatnya. “Memang kamu mau rasa apa sampai menunggu?” tanya Alca. “Rasa coklat, Kak. Stoknya adanya digudang kata SPGnya tadi.” Ale menjelaskan. Alca mengintip ke arah pintu masuk. Sudah tidak ada Zira di pintu masuk. Dia mencoba mengintip ke mana perginya Zira. Dari kejauhan, Zira sedang berada di tempat sayur dan buah. Alca yakin, jika Zira sedang mencari sayuran untuk mereka makan malam.Alca memerhatikan dari kejauhan, tampak Zira sudah beranjak dari tempat sayur. Menuju ke lorong bumbu. Tentu saja Alca was-was melihat hal itu. “Kak.” Ale menepuk bahu Alca. “Ach ....” Apa yang dilakukan Ale membuat Alca seketika terkejut ketika Ale memanggil dan menepuk bahunya. Melihat Alca yang terkejut seperti itu jelas membuat Ale ikut terkejut. Perasaannya, tadi dirinya menepuk bahu Alca dengan lemb
Saat pandangan Zira ke arahnya, Alca langsung menunduk. Bersembunyi di balik tubuh Ale. Jantung Alca berdebar-debar ketika Zira melihat ke arahnya. Dia benar-benar takut jika Zira menyadari keberadaannya. “Al, aku ke toilet dulu. Kamu bayar saja.” Alca memberikan kartu untuk membayar apa yang dibeli Ale. “Iya, Kak.” Ale mengangguk. Tanpa berlama-lama, Alca memilih untuk pergi. Tak mau sampai Zira melihatnya. Alca tidak benar-benar pergi ke toilet. Dia hanya pergi menjauh saja, sambil memperhatikan Ale dan juga Zira dari kejauhan.Tepat saat Ale masih membayar belanjaannya, tampak Zira melintas di sebelahnya. Alca bersyukur sekali tadi buru-buru pergi. Jika tidak, tentu saja dia akan ketahuan Zira sedang bersama Ale.Suara telepon yang berdering, begitu mengejutkan Alca. Dia memegangi jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang. Rasanya memang benar-benar belakangan ini jantungnya tidak aman. Apalagi setelah bermain api dengan menjalani hubungan dua wanita. Saat melihat ponselnya, A
“Aku sudah keluar. Tadi aku mencarimu, tapi kamu justru di sini.” Alca memberikan alasan pada Ale. Membuatnya istrinya itu tidak curiga. Ale merasa cukup lama berada di toilet. Namun, tidak melihat Alca keluar dari toilet. Tentu saja dia masih bingung. Bagaimana Alca bisa keluar dari toilet tanpa dia tahu. “Berikan padaku.” Alca meraih tas berisi susu yang dibeli oleh Ale. Ale yang sedang berada dalam pikirannya seketika tersadar. Dia segera memberikan plastik berisi susu yang dibelinya. Membuang pikirannya bagaimana Alca keluar. “Ayo.” Alca segera mengajak Ale ke mobil. Ale mengangguk. Mengikuti Alca yang berjalan lebih dulu. Sepanjang berjalan Alca melihat sekitar. Melihat apakah Zira sudah keluar dari supermarket atau belum. Dari kejauhan tampak Zira sedang membayar belanjaan di kasir. Artinya Zira sudah selesai berbelanja. Jika Zira sudah selesai, peluang mereka bertemu di tempat parkir akan banyak. “Al, ayo cepat. Aku harus segera kembali ke kantor.” Alca menyodorkan leng
“Tidak, aku sudah lebih baik.” Ale menatap Alca yang menatapnya. “Maafkan aku. Aku tidak tahu kamu ketakutan.” Alca merasa bersalah sekali membuat Ale berada dalam situasi menegangkan. “Jika Kak Alca memang buru-buru ke kantor, aku bisa naik taksi saja.” Ale menatap Alca dengan sorot mata kecewa. “Maaf, Al. Aku sebenarnya tidak buru-buru.” Alca mencoba meyakinkan Ale. “Lalu kenapa Kak Alca melajukan dengan kencang mobilnya tadi?” “Aku ....” Alca menggantung ucapannya. Dia ingin menjelaskan, tetapi teringat penjelasannya pastinya akan melukai Ale. “Intinya aku minta maaf. Aku janji tidak akan mengulangnya.” Alca tidak jadi menjelaskan alasannya. Memilih untuk meminta maaf saja. Ale mengembuskan napasnya. Percuma marah. Lagi pula sekarang sudah jauh lebih tenang. Tidak ketakutan seperti tadi. “Baiklah. Lupakan. Aku sudah jauh lebih baik.” Ale menatap teduh pada Alca. Meyakinkan Alca jika dia baik-baik saja. “Terima kasih.” Alca lega karena Ale memaafkannya. Ini tidak akan pern
Alca akhirnya menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Kini tinggal pulang. Namun, tentu saja bukan pulang ke rumah Ale, melainkan pulang ke apartemen Zira. Sesuai janjinya, Alca akan ke sana. Alca segera melajukan mobilnya ke apartemen Zira. Saat sampai di apartemen, Alca menekan angka password apartemen Zira. Apartemen itu memakai angka ulang tahunnya. Jadi Alca bisa masuk dengan mudah.Saat pintu dibuka, Aroma masakan tercium menyeruak. Menyambut kedatangan Alca. Dia yakin jika Zira pasti sedang memasak untuknya. “Kamu sudah datang?” Suara Zira terdengar dari dapur. “Iya, aku sudah datang.” Alca menjawab seraya mengayunkan langkahnya ke dapur. Di dapur Ale melihat Zira yang tampak cantik dengan apron di dadanya. Sejak kenal Zira, Alca selalu saja suka saat Zira memasak. Menurutnya kecantikan Zira terpancar.Rambut panjangnya yang diikat ke atas memperlihatkan leher jenjangnya. Tampak begitu memesona. Sebagai pria yang mengagumi Zira sedari dulu, tentu saja Alca tidak bisa menamp
“Mama masih di luar negeri. Dia memintaku pulang dan makan di rumah karena aduan dari asisten rumah tangga. Karena itu aku pulang, walaupun makan sendirian.” Alca memberikan jawaban yang masuk akal pada Zira. Zira mencerna ucapan Alca. Apa yang dikatakan Alca masuk akal. Jadi dia percaya saja. Alca menerawang ke dalam manik mata nan indah milik Zira. Mencari tahu apakah Zira masih tidak percaya dengannya. “Oh ... jadi kamu diminta makan di rumah.”“Iya, maklum, seorang ibu pasti ingin memastikan anaknya makan sehat.” “Baiklah.” Zira akhirnya percaya. Alca mengulas senyumnya mendapati Zira percaya. Alca tidak tahu sejak kapan dirinya jadi seorang pembohong. Setiap hari Alca berbohong terus. Entah kepada Zira atau Ale. Rasanya Alca benar-benar merasa bersalah sekali. Karena melakukan hal buruk itu. Mereka kembali melanjutkan makannya. Alca masih sesekali memuji makanan buatan Zira. “Apa kamu tahu, orang yang aku lihat di supermarket mirip sekali denganmu.” Zira tertawa menceritak
“Kita berdoa saja yang terbaik. Jika kita berjodoh, kita akan menikah.” Alca tidak bisa memberikan janji pada Zira, mengingat dia berada dalam pernikahan dengan Ale. Tidak mungkin dapat menikah dengan Zira. “Kenapa jawaban kamu seperti itu? Bukan iya atau tidak.” Zira menatap Alca lekat. Ada keraguan di dalam sorot mata Alca, dan Zira merasakannya. Alca tersenyum. “Dengar semua kembali pada takdir Tuhan. Yang penting kita sudah berusaha.” Alca mencoba meyakinkan Zira. Sebuah pelukan diberikan Alca pada Zira. Berharap jika Zira akan percaya dengannya. Zira masih berat dengan ucapan Alca, tetapi dia merasa Alca pasti punya alasan untuk melakukan itu. Seusai makan malam, Alca dan Zira berpindah ke ruang tamu. Mereka duduk sambil menonton televisi. Zira masuk ke dalam pelukan Alca. Bersandar di dada pria yang dicintainya itu. “Mama meminta aku pulang, tapi aku tidak mau.” Zira menceritakan masalahnya. “Jika kamu tidak pulang, kamu tidak akan tahu masalah antara mereka apa. Saat kam
“Ma, besok aku ada jadwal keluar kota. Aku mau menitipkan Ale di rumah. Kasihan jika dia di rumah sendiri.” Pagi-pagi sekali Alca menghubungi mamanya. Memberitahu rencananya besok. Dia baru membaca pesan dari sekretarisnya jika besok harus mengecek pabrik.“Al, kenapa mendadak sekali. Besok Mama dan Mama Mauren mau reuni. Jadi kami tidak di rumah.” Alca mengembuskan napasnya kesal. Mamanya memang masih hobi sekali reuni. Tentu saja membuatnya sedikit kesal. Dan, sekarang reuni sang mama bertepatan dengan dirinya yang mau ke luar kota. Tentu saja itu membuatnya bingung. “Bawa saja Ale, Al. Lagi pula kandungannya sudah besar, naik pesawat juga sudah aman.” Mama Arriel memberikan saran. Alca menimbang ucapan mamanya. Sebenarnya ada asisten rumah tangga di rumah. Namun, entah kenapa Alca tidak tega meninggalkan Ale terlalu lama. Apalagi setelah mengecek pabrik, Alca ada undangan pernikahan salah satu manajer. “Baiklah, aku akan mengajak Ale saja. Paling tidak agar aku tenang.” “Itu l
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker