“Kantor.” Alca menjawab seraya bangun dari posisi duduknya. “Aku angkat dulu.” Alca segera berlalu ke taman belakang. Menjauh dari Ale.Ale mengangguk saja. Berpikir mungkin itu adalah telepon penting. Sampai-sampai Alca harus menjauh. “Halo.” Alca menyapa seseorang di sambungan telepon. “Sayang.” Suara merdu terdengar dari balik sambungan telepon. Alca jelas mendengar panggilan itu tertuju padanya. Suara wanita yang selalu di relung hatinya. Namun, saat panggilan itu terdengar Alca justru memutar tubuhnya untuk melihat keberadaan Ale. “Halo, Sayang.” Saat merasa Ale tak ada di sekitarnya, Alca memanggil wanita di sambungan telepon.“Coba tebak aku di mana?” Suara Elzira begitu bersemangat sekali. “Memang di mana?” tanya Alca. “Aku di Jakarta dan sekarang di bandara.” Zira panggilan gadis yang sudah menjalin hubungan dengan Alca selama lima tahun ini. Alca membulatkan matanya. Dia benar-benar terkejut ketika mendengar jawaban tersebut. Alca tidak menyangka jika ternyata Zira s
“Aku merindukanmu.” Zira meneteskan air mata. Tak kuasa meluapkan kebahagiaan karena akhirnya dapat bertemu dengan Alca. Melihat Zira menangis, membuat Alca tersenyum. Dia menarik tubuh Zira ke dalam pelukannya. “Aku juga merindukanmu.” Alca mengeratkan pelukannya. Dia juga merasakan hal yang sama dengan Zira. Gadis di dalam pelukannya ini sudah bertakhta di hatinya bertahun-tahun. Jadi wajar saja jika dia merindukannya.Untuk sesaat mereka larut melepaskan rindu. Memeluk satu dengan yang lain.Alca melepaskan pelukannya. Ibu jarinya mengusap air mata yang menetes di wajah Zira. “Jangan menangis lagi. Aku di sini.” Alca mengulas senyumnya. “Jangan tinggalkan aku.” Zira menatap Alca lekat. Cintanya tidak pernah pudar sejak pertama kali bertemu Alca. Alca yang gemas mencubit pipi Zira. “ Kamu yang meninggalkan aku. Sekarang kamu memintaku jangan meninggalkanmu. Apa itu tidak salah?” tanya Alca menyindir. Zira malu sendiri. Memang selama ini dirinyalah yang meninggalkan Alca. Jadi
Alca melihat wajah Zira yang bingung ketika tiba-tiba melepaskan tautan bibir. Ini belum pernah terjadi selama mereka berpacaran. “Tidak apa-apa. Aku hanya terpikir kita belum makan. Apalagi kamu baru sampai, pasti kamu lapar juga.” Alca mencoba memberikan alasan yang masuk akal. “Oh ... benar. Aku memang lapar.” Zira memegangi perutnya. “Tapi, sepertinya kamu tidak bisa memasak. Mengingat tidak ada bahan masakan di sini.” Alca menyeringai. Tentu saja Zira tidak akan bisa membuat masakan jika tidak ada bahan.“Baiklah, sepertinya kita harus membeli makanan jadi.” Zira pasrah. Padahal dia mau menunjukkan keahliannya seperti biasanya.“Aku akan memesankannya. Kamu bisa pergi untuk membersihkan tubuhmu.” Alca memberikan ide pada sang kekasih. “Baiklah, kamu saja yang pesan. Aku akan mandi agar lebih segar. Tubuhku terasa lengket.” Zira merasa jika ide yang diberikan Alca memang benar. Dia harus segera membersihkan tubuhnya. Zira segera menarik satu kopernya ke kamar, sedangkan Alca
Suara bel yang terdengar membuat pelukan mereka harus berakhir. Alca segera membuka pintu untuk mengambil makanan yang dipesan. Setelah menerima Makanan, Alca membawanya ke meja makan. “Aromanya.” Zira mencium aroma bakaran. Tentu saja itu membuatnya tak sabar untuk melihat apa yang dibeli oleh Alca. “Pasti ini sate.” Zira menebak apa yang dibeli Alca. “Kamu memang pintar.” Alca tersenyum. Dia segera membuka bungkus dari makanan yang dibelinya. “Kamu memang terbaik.” Zira memeluk Alca. Kekasihnya itu memang selalu tahu makanan apa yang diinginkannya saat ini. Apalagi jika bukan sate. Aroma daging bakar memang tidak ada duanya. Alca tersenyum sambil menepuk tangan Zira. Dia senang bisa membuat Alca tersenyum. Tentu saja itu adalah sebagian dari kebahagiaannya. “Ayo kita makan.” Alca segera mengajak Alca untuk makan bersama. Tak butuh waktu lama, Zira segera duduk. Menunggu Alca untuk membuka bungkus makanan tersebut. Alca menyajikan sate. Setelah sate dipindahkan ke piring, m
Zira langsung menangis ke dalam pelukan Alca. Dia benar-benar sedang sedih. Dia butuh Alca saat ini. Alca membelai lembut rambut Zira. Dia masih bingung ada apa gerangan Zira sampai menangis ketika membahas tentang mamanya. “Mama dan papa akan bercerai.” Zira menceritakan apa yang membuatnya menangis. Alca cukup terkejut mendengar cerita itu. Orang tua Zira cukup tua untuk bercerai. Pernikahan mereka juga terbilang tidak sebentar. Jadi tentu saja dia merasa jika perceraian itu terdengar aneh. “Kenapa mereka harus memilih bercerai? Padahal mereka sudah menikah cukup lama.” Zira menangis tersedu-sedu. Tidak menyangka jika ternyata orang tuanya memilih jalan bercerai dibanding bersama. Dalam hal ini, Alca tidak dapat memberikan komentar apa pun. Keputusan bercerai jelas sudah dipikirkan matang-matang oleh kedua belah pihak. Jadi pasti tidak asal saja. Untuk saat ini, Alca hanya bisa berperan untuk menenangkan Zira. Tidak bisa melakukan lebih.“Tenanglah.” Alca membelai lembut rambut
Alca terpaksa menjawab seperti itu. Untuk saat ini memang Alca tidak bisa meninggalkan Zira. Apalagi Zira sedang kesepian. Butuh sekali teman di sisinya. Tentu saja dia harus ada untuknya terlebih dahulu. “Terima kasih.” Zira langsung memeluk Alca. Bersyukur Alca ada untuknya. Alca menunggu Zira. Jauh lebih tenang. Dia menunggu sampai Zira tertidur. Karena tidak tega pada Zira. Saat Zira tidur, Alca baru bisa pulang. Di perjalanan pulang, Alca benar-benar dibuat pusing. Kini dia sudah mulai menerima Ale dalam hidupnya, tetapi dia tidak bisa meninggalkan Zira begitu saja. Apalagi Alca mencintai Zira. “Dima, kenapa kamu membuat aku dalam situasi seperti ini?” Alca seketika ingat dengan sepupunya itu. Jika bukan karena sepupunya, mungkin kali ini dia tidak berada dalam situasi ini. Alca sampai di rumah tepat jam sepuluh malam. Lampu sudah temaram saat Alca sampai. Artinya penghuni rumah sudah tidur. Alca hendak mengetuk pintu, tetapi tiba-tiba pintu sudah terbuka. Tampak Ale ber
Ale naik ke atas tempat tidur. Alca membantu menarik selimut, menutupi tubuh Ale. Mendapati perlakuan itu tentu saja membuat Ale merona. Perlakuan Alca itu begitu manis. Penuh perhatian. “Tidurlah, aku akan menunggumu di sofa.” Alca mengulas senyumnya. Tangannya membelai lembut rambut Ale.Jantung Ale berdebar begitu kencangnya. Apa yang dilakukan Alca benar-benar membuat perasaannya tidak karuan. Ale hanya mengangguk. Kemudian memejamkan matanya. Alca menemani Ale sambil menunggu di sofa. Dari kejauhan, Alca melihat Ale yang tidur pulas. Setelah tadi melihat Zira tertidur pulas, kini dia melihat Ale yang tidur begitu pulas. Sejenak Alca memikirkan, kapan tepatnya dia merasa nyaman dengan Ale? Di saat sudah nyaman dengan Ale, kini dia harus dihadapkan dengan Ale. Kedu wanita itu memang menarik hati Alca. Alca merasa jika Ale menempati sudut hatinya. Berdampingan dengan Zira yang sudah lebih di hadir di hatinya. Melihat Ale membuatnya merasa bersalah. Ale adalah sah secara hukum d
Ale melihat Alca yang masuk ke mobil. Ale merutuki apa yang baru saja dilakukannya. Apa yang dilakukan baru saja adalah refleks. Saat memberikan tas, biasanya Ale langsung mencium punggung tangan Dima, dan itu dilakukannya saat tadi memberikan tas pada Alca. “Pasti Kak Alca canggung sekali dengan apa yang aku lakukan.” Ale mengembuskan napasnya. Menyesali apa yang dilakukannya. Yang dipikirkan Ale memanglah benar. Alca merasa canggung. Sampai saat perjalanan ke kantor saja, Alca masih merasa aneh dengan yang dilakukannya. “Kenapa juga sampai mencium tanganku.” Alca bermonolog sendiri. Dia masih merasa aneh dengan yang dilakukan Ale. Perasaan Alca benar-benar campur aduk. Dia justru berpikir jika Ale sudah nyaman dengannya juga. Ini jelas membuatnya semakin dilema. Saat sedang dalam pikirannya itu, ponsel Alca berdering. Dengan segera dia memakai earphone miliknya.“Halo.” Alca menyapa seseorang di balik telepon. “Sayang.” Suara Zira di balik telepon terdengar. Suaranya terdenga