Alca melihat wajah Zira yang bingung ketika tiba-tiba melepaskan tautan bibir. Ini belum pernah terjadi selama mereka berpacaran. “Tidak apa-apa. Aku hanya terpikir kita belum makan. Apalagi kamu baru sampai, pasti kamu lapar juga.” Alca mencoba memberikan alasan yang masuk akal. “Oh ... benar. Aku memang lapar.” Zira memegangi perutnya. “Tapi, sepertinya kamu tidak bisa memasak. Mengingat tidak ada bahan masakan di sini.” Alca menyeringai. Tentu saja Zira tidak akan bisa membuat masakan jika tidak ada bahan.“Baiklah, sepertinya kita harus membeli makanan jadi.” Zira pasrah. Padahal dia mau menunjukkan keahliannya seperti biasanya.“Aku akan memesankannya. Kamu bisa pergi untuk membersihkan tubuhmu.” Alca memberikan ide pada sang kekasih. “Baiklah, kamu saja yang pesan. Aku akan mandi agar lebih segar. Tubuhku terasa lengket.” Zira merasa jika ide yang diberikan Alca memang benar. Dia harus segera membersihkan tubuhnya. Zira segera menarik satu kopernya ke kamar, sedangkan Alca
Suara bel yang terdengar membuat pelukan mereka harus berakhir. Alca segera membuka pintu untuk mengambil makanan yang dipesan. Setelah menerima Makanan, Alca membawanya ke meja makan. “Aromanya.” Zira mencium aroma bakaran. Tentu saja itu membuatnya tak sabar untuk melihat apa yang dibeli oleh Alca. “Pasti ini sate.” Zira menebak apa yang dibeli Alca. “Kamu memang pintar.” Alca tersenyum. Dia segera membuka bungkus dari makanan yang dibelinya. “Kamu memang terbaik.” Zira memeluk Alca. Kekasihnya itu memang selalu tahu makanan apa yang diinginkannya saat ini. Apalagi jika bukan sate. Aroma daging bakar memang tidak ada duanya. Alca tersenyum sambil menepuk tangan Zira. Dia senang bisa membuat Alca tersenyum. Tentu saja itu adalah sebagian dari kebahagiaannya. “Ayo kita makan.” Alca segera mengajak Alca untuk makan bersama. Tak butuh waktu lama, Zira segera duduk. Menunggu Alca untuk membuka bungkus makanan tersebut. Alca menyajikan sate. Setelah sate dipindahkan ke piring, m
Zira langsung menangis ke dalam pelukan Alca. Dia benar-benar sedang sedih. Dia butuh Alca saat ini. Alca membelai lembut rambut Zira. Dia masih bingung ada apa gerangan Zira sampai menangis ketika membahas tentang mamanya. “Mama dan papa akan bercerai.” Zira menceritakan apa yang membuatnya menangis. Alca cukup terkejut mendengar cerita itu. Orang tua Zira cukup tua untuk bercerai. Pernikahan mereka juga terbilang tidak sebentar. Jadi tentu saja dia merasa jika perceraian itu terdengar aneh. “Kenapa mereka harus memilih bercerai? Padahal mereka sudah menikah cukup lama.” Zira menangis tersedu-sedu. Tidak menyangka jika ternyata orang tuanya memilih jalan bercerai dibanding bersama. Dalam hal ini, Alca tidak dapat memberikan komentar apa pun. Keputusan bercerai jelas sudah dipikirkan matang-matang oleh kedua belah pihak. Jadi pasti tidak asal saja. Untuk saat ini, Alca hanya bisa berperan untuk menenangkan Zira. Tidak bisa melakukan lebih.“Tenanglah.” Alca membelai lembut rambut
Alca terpaksa menjawab seperti itu. Untuk saat ini memang Alca tidak bisa meninggalkan Zira. Apalagi Zira sedang kesepian. Butuh sekali teman di sisinya. Tentu saja dia harus ada untuknya terlebih dahulu. “Terima kasih.” Zira langsung memeluk Alca. Bersyukur Alca ada untuknya. Alca menunggu Zira. Jauh lebih tenang. Dia menunggu sampai Zira tertidur. Karena tidak tega pada Zira. Saat Zira tidur, Alca baru bisa pulang. Di perjalanan pulang, Alca benar-benar dibuat pusing. Kini dia sudah mulai menerima Ale dalam hidupnya, tetapi dia tidak bisa meninggalkan Zira begitu saja. Apalagi Alca mencintai Zira. “Dima, kenapa kamu membuat aku dalam situasi seperti ini?” Alca seketika ingat dengan sepupunya itu. Jika bukan karena sepupunya, mungkin kali ini dia tidak berada dalam situasi ini. Alca sampai di rumah tepat jam sepuluh malam. Lampu sudah temaram saat Alca sampai. Artinya penghuni rumah sudah tidur. Alca hendak mengetuk pintu, tetapi tiba-tiba pintu sudah terbuka. Tampak Ale ber
Ale naik ke atas tempat tidur. Alca membantu menarik selimut, menutupi tubuh Ale. Mendapati perlakuan itu tentu saja membuat Ale merona. Perlakuan Alca itu begitu manis. Penuh perhatian. “Tidurlah, aku akan menunggumu di sofa.” Alca mengulas senyumnya. Tangannya membelai lembut rambut Ale.Jantung Ale berdebar begitu kencangnya. Apa yang dilakukan Alca benar-benar membuat perasaannya tidak karuan. Ale hanya mengangguk. Kemudian memejamkan matanya. Alca menemani Ale sambil menunggu di sofa. Dari kejauhan, Alca melihat Ale yang tidur pulas. Setelah tadi melihat Zira tertidur pulas, kini dia melihat Ale yang tidur begitu pulas. Sejenak Alca memikirkan, kapan tepatnya dia merasa nyaman dengan Ale? Di saat sudah nyaman dengan Ale, kini dia harus dihadapkan dengan Ale. Kedu wanita itu memang menarik hati Alca. Alca merasa jika Ale menempati sudut hatinya. Berdampingan dengan Zira yang sudah lebih di hadir di hatinya. Melihat Ale membuatnya merasa bersalah. Ale adalah sah secara hukum d
Ale melihat Alca yang masuk ke mobil. Ale merutuki apa yang baru saja dilakukannya. Apa yang dilakukan baru saja adalah refleks. Saat memberikan tas, biasanya Ale langsung mencium punggung tangan Dima, dan itu dilakukannya saat tadi memberikan tas pada Alca. “Pasti Kak Alca canggung sekali dengan apa yang aku lakukan.” Ale mengembuskan napasnya. Menyesali apa yang dilakukannya. Yang dipikirkan Ale memanglah benar. Alca merasa canggung. Sampai saat perjalanan ke kantor saja, Alca masih merasa aneh dengan yang dilakukannya. “Kenapa juga sampai mencium tanganku.” Alca bermonolog sendiri. Dia masih merasa aneh dengan yang dilakukan Ale. Perasaan Alca benar-benar campur aduk. Dia justru berpikir jika Ale sudah nyaman dengannya juga. Ini jelas membuatnya semakin dilema. Saat sedang dalam pikirannya itu, ponsel Alca berdering. Dengan segera dia memakai earphone miliknya.“Halo.” Alca menyapa seseorang di balik telepon. “Sayang.” Suara Zira di balik telepon terdengar. Suaranya terdenga
Alca sampai di restoran. Sudah ada Zira di sana. Tampak gadis itu sedang berbicara dengan salah satu staf restoran. Saat melihat Alca, binar bahagia terlihat dari sorot matanya. Zira langsung menghampiri Alca. “Kamu sudah datang.” Zira melingkarkan tangannya di lengan Alca. “Bukankah kamu yang minta aku ke sini.” Alca melirik malas pada Zira. Zira tersenyum. Kekasihnya memang seperti itu. Jadi dia sudah terbiasa. Dibalik sikapnya itu, sebenarnya Alca begitu perhatian. “Ayo, aku sudah pesankan masakan khusus untukmu.” Zira menarik Alca untuk ke salah satu meja yang disiapkan untuk mereka. Alca pasrah saja. Dia mengikuti ke mana Zira membawanya. Mereka duduk di kursi yang sudah disiapkan. “Sekalian aku mau cek standar makanan. Berikan komentar juga.” Zira meminta Alca untuk mencicipi makanan restoran. Cukup lama Zira pergi, jadi dia harus mengecek rasa masakan yang disajikan chef di restoran. “Baiklah.” Alca mengangguk saja. Makanan disajikan cukup banyak. Berbagai hidangan dis
“Kamu tidak mau aku antar ke rumah mamamu?” tanya Alca sebelum kembali ke kantor. “Tidak, aku belum siap untuk bertemu mama. Nanti jika aku sudah siap, aku akan mengajakmu untuk menemani aku.” Zira masih tidak terima dengan keputusan mamanya yang bercerai. Karena itu, dia belum mau bertemu dengan sang mama. “Baiklah, kalau kamu belum siap. Aku tidak bisa memaksamu. Kalau begitu aku akan kembali dulu ke kantor. Kabari jika kamu sudah sampai apartemen.” “Aku akan mengabarimu.” Satu kecupan mendarat di pipi Alca.Alca mengangguk dan segera berlalu pergi. Alca harus kembali ke kantor karena masih banyak pekerjaan yang menantinya. Perjalanan dari restoran milik Ale ditempuh dalam waktu tiga puluh menit. Cukup jauh dari kantornya. Alca meminta staf parkir untuk memarkirkan mobilnya. Karena dia hendak bergegas ke ruangannya. “Pak Alca.” Resepsionis memanggil seraya mengejar Alca yang tampak buru-buru ke ruangannya. Saat melintas di lobi, Alca melewati meja resepsionis. Panggilan sang r