Alca terpaksa menjawab seperti itu. Untuk saat ini memang Alca tidak bisa meninggalkan Zira. Apalagi Zira sedang kesepian. Butuh sekali teman di sisinya. Tentu saja dia harus ada untuknya terlebih dahulu. “Terima kasih.” Zira langsung memeluk Alca. Bersyukur Alca ada untuknya. Alca menunggu Zira. Jauh lebih tenang. Dia menunggu sampai Zira tertidur. Karena tidak tega pada Zira. Saat Zira tidur, Alca baru bisa pulang. Di perjalanan pulang, Alca benar-benar dibuat pusing. Kini dia sudah mulai menerima Ale dalam hidupnya, tetapi dia tidak bisa meninggalkan Zira begitu saja. Apalagi Alca mencintai Zira. “Dima, kenapa kamu membuat aku dalam situasi seperti ini?” Alca seketika ingat dengan sepupunya itu. Jika bukan karena sepupunya, mungkin kali ini dia tidak berada dalam situasi ini. Alca sampai di rumah tepat jam sepuluh malam. Lampu sudah temaram saat Alca sampai. Artinya penghuni rumah sudah tidur. Alca hendak mengetuk pintu, tetapi tiba-tiba pintu sudah terbuka. Tampak Ale ber
Ale naik ke atas tempat tidur. Alca membantu menarik selimut, menutupi tubuh Ale. Mendapati perlakuan itu tentu saja membuat Ale merona. Perlakuan Alca itu begitu manis. Penuh perhatian. “Tidurlah, aku akan menunggumu di sofa.” Alca mengulas senyumnya. Tangannya membelai lembut rambut Ale.Jantung Ale berdebar begitu kencangnya. Apa yang dilakukan Alca benar-benar membuat perasaannya tidak karuan. Ale hanya mengangguk. Kemudian memejamkan matanya. Alca menemani Ale sambil menunggu di sofa. Dari kejauhan, Alca melihat Ale yang tidur pulas. Setelah tadi melihat Zira tertidur pulas, kini dia melihat Ale yang tidur begitu pulas. Sejenak Alca memikirkan, kapan tepatnya dia merasa nyaman dengan Ale? Di saat sudah nyaman dengan Ale, kini dia harus dihadapkan dengan Ale. Kedu wanita itu memang menarik hati Alca. Alca merasa jika Ale menempati sudut hatinya. Berdampingan dengan Zira yang sudah lebih di hadir di hatinya. Melihat Ale membuatnya merasa bersalah. Ale adalah sah secara hukum d
Ale melihat Alca yang masuk ke mobil. Ale merutuki apa yang baru saja dilakukannya. Apa yang dilakukan baru saja adalah refleks. Saat memberikan tas, biasanya Ale langsung mencium punggung tangan Dima, dan itu dilakukannya saat tadi memberikan tas pada Alca. “Pasti Kak Alca canggung sekali dengan apa yang aku lakukan.” Ale mengembuskan napasnya. Menyesali apa yang dilakukannya. Yang dipikirkan Ale memanglah benar. Alca merasa canggung. Sampai saat perjalanan ke kantor saja, Alca masih merasa aneh dengan yang dilakukannya. “Kenapa juga sampai mencium tanganku.” Alca bermonolog sendiri. Dia masih merasa aneh dengan yang dilakukan Ale. Perasaan Alca benar-benar campur aduk. Dia justru berpikir jika Ale sudah nyaman dengannya juga. Ini jelas membuatnya semakin dilema. Saat sedang dalam pikirannya itu, ponsel Alca berdering. Dengan segera dia memakai earphone miliknya.“Halo.” Alca menyapa seseorang di balik telepon. “Sayang.” Suara Zira di balik telepon terdengar. Suaranya terdenga
Alca sampai di restoran. Sudah ada Zira di sana. Tampak gadis itu sedang berbicara dengan salah satu staf restoran. Saat melihat Alca, binar bahagia terlihat dari sorot matanya. Zira langsung menghampiri Alca. “Kamu sudah datang.” Zira melingkarkan tangannya di lengan Alca. “Bukankah kamu yang minta aku ke sini.” Alca melirik malas pada Zira. Zira tersenyum. Kekasihnya memang seperti itu. Jadi dia sudah terbiasa. Dibalik sikapnya itu, sebenarnya Alca begitu perhatian. “Ayo, aku sudah pesankan masakan khusus untukmu.” Zira menarik Alca untuk ke salah satu meja yang disiapkan untuk mereka. Alca pasrah saja. Dia mengikuti ke mana Zira membawanya. Mereka duduk di kursi yang sudah disiapkan. “Sekalian aku mau cek standar makanan. Berikan komentar juga.” Zira meminta Alca untuk mencicipi makanan restoran. Cukup lama Zira pergi, jadi dia harus mengecek rasa masakan yang disajikan chef di restoran. “Baiklah.” Alca mengangguk saja. Makanan disajikan cukup banyak. Berbagai hidangan dis
“Kamu tidak mau aku antar ke rumah mamamu?” tanya Alca sebelum kembali ke kantor. “Tidak, aku belum siap untuk bertemu mama. Nanti jika aku sudah siap, aku akan mengajakmu untuk menemani aku.” Zira masih tidak terima dengan keputusan mamanya yang bercerai. Karena itu, dia belum mau bertemu dengan sang mama. “Baiklah, kalau kamu belum siap. Aku tidak bisa memaksamu. Kalau begitu aku akan kembali dulu ke kantor. Kabari jika kamu sudah sampai apartemen.” “Aku akan mengabarimu.” Satu kecupan mendarat di pipi Alca.Alca mengangguk dan segera berlalu pergi. Alca harus kembali ke kantor karena masih banyak pekerjaan yang menantinya. Perjalanan dari restoran milik Ale ditempuh dalam waktu tiga puluh menit. Cukup jauh dari kantornya. Alca meminta staf parkir untuk memarkirkan mobilnya. Karena dia hendak bergegas ke ruangannya. “Pak Alca.” Resepsionis memanggil seraya mengejar Alca yang tampak buru-buru ke ruangannya. Saat melintas di lobi, Alca melewati meja resepsionis. Panggilan sang r
“Jadi sore ini kamu tidak bisa ke apartemen?” tanya Zira dari sambungan telepon. “Iya, aku harus pulang. Mama minta aku makan di rumah. Besok aku akan ke apartemen untuk makan masakanmu.” Alca mencoba menenangkan Zira. “Baiklah, aku akan menunggumu besok.” Alca segera mematikan sambungan telepon. Tepat saat mematikan telepon, mobilnya sampai di rumah. Alca segera memarkirkan mobil dan masuk ke rumah. Saat masuk ke rumah, Ale sudah menyambutnya. Senyum istrinya itu juga menyambutnya. “Ini.” Alca memberikan goodie bag berisi bekal. Ale menerima goodie bag yang diberikan Alca. Goodie bag terasa enteng sekali. Artinya makanan yang dibawanya berarti dimakan oleh Alca. “Terima kasih untuk makanannya.” Alca mengulas senyum. “Sama-sama, Kak.” Ale mengangguk. “Aku masuk ke kamar dulu.” Alca berpamitan dan segera menuju ke kamarnya. Ale memerhatikan tempat bekal yang dibawa pulang kembali oleh Alca. Rasanya senang ketika Alca mau menerima makanan yang dibuatnya. Ale merasa kini Alca m
Ale hanya terpaku ketika Alca meminta minyak untuk memijat kakinya. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut. “Al, di mana?” tanya Alca kembali. “Di meja rias, Kak. Warna coklat.” Ale memberitahu Alca di mana letaknya. “Baiklah.” Alca segera mengayunkan langkahnya ke kamar Ale. Dia mencari minyak di kamar Ale seperti yang dikatakan Ale, dia mencari di atas meja rias. “Warna coklat.” Ale melihat satu per satu botol yang ada di atas meja. Saat pandangannya menyapu setiap sisi, akhirnya dia menemukan juga. “Ini dia.” Alca berbinar mendapatkannya. Saat mendapatkan minyak yang dicarinya, Alca segera keluar. Kembali menemui Ale. Ale hanya dapat menatap Alca saja. Dia masih bingung dengan yang akan Alca lakukan. “Naikkan kakimu!” Alca memberikan perintah. Seperti sihir, Ale melakukan apa yang diperintahkan Alca. Segera dia mengangkat kakinya. Membawanya ke atas sofa.Alca segera mengangkat kaki Ale dan duduk. Memindahkan kaki Ale ke atas pangkuannya. Dengan lembut Alca memijat kaki
Melihat foto Zira, Alca segera meraih ponselnya. Tangannya begitu cepat bergerak. Tak mau sampai Ale melihatnya. Ale baru saja mengalihkan pandangan pada ponsel Alca, tapi ternyata Alca sudah mengambil ponselnya lebih dulu. Jadi dia tidak tahu siapa gerangan yang menghubungi Alca.Alca tetap tenang di saat Zira menghubungi. Tak mau Ale curiga sama sekali. “Aku angkat telepon dulu.” Alca mengangkat kaki Ale dengan pelan. Senyum manisnya menghiasi wajahnya. Berusaha agar tidak membuat Ale curiga. Alca segera berdiri. Mengayunkan langkahnya menuju ke taman belakang. Menjauh dari Ale. “Halo.” Alca menyapa Zira di seberang sana. “Sayang, kamu sedang apa?” Suara Zira di seberang sana terdengar manja. “Aku sedang menonton televisi.” “Mana suaranya, aku tidak dengar apa-apa.” Zira hanya mendengar keheningan. Tidak ada suara sama sekali. “Aku matikan, jika tidak, aku tidak akan mendengar suaramu.” Alca mencoba menjelaskan alasan yang masuk akal. Terdengar Zira tertawa mendengar penjel