Ale terpaku dengan ucapan Alca. Serasa kalimat itu untuknya. Padahal Ale sadar jika kalimat tersebut ditujukan untuk anaknya. Namun, tetap saja perasaannya berkata lain.Alca terus memandangi wajah Ale. Melihat wajah Ale dari dekat membuat Alca tidak bisa mengelak kecantikan Ale. Ternyata istrinya itu cantik. Ke mana saja dirinya selama ini sampai tidak tahu ada wanita cantik di depannya. Ucapan yang baru saja diucapkan pada Ale membuat Alca memikirkan. Kenapa kalimat itu bisa keluar dari mulutnya. Pada siapa sebenarnya kalimat itu ditujukan. Pada Alekah atau pada anak dalam kandungan Ale?Tendangan dari dalam kandungan Ale, seketika membuat Ale dan Alca tersadar dengan pikiran mereka masing-masing. Ale sampai mengaduh lirih karena tendangan anaknya cukup kencang. Alca yang merasakan jelas tendangan anak Ale tersebut, juga terkejut sekali. Seolah anak dalam kandungan Ale merespons apa yang diucapkan baru saja. “Sepertinya dia mengerti apa yang aku katakan.” Alca mengulas senyumnya.
Siang ini Alca membuat janji dengan kakaknya. Sudah lama Alca tidak makan siang dengan kakaknya. Apalagi sejak sibuk di kantor Janitra. Alca sibuk sekali.“Maaf aku terlambat.” Loveta menarik kursinya. “Sudah biasa.” Alca mengulas senyum. Kakaknya memang selalu saja terlambat. Jadi dia sudah tidak terkejut. Loveta tersenyum.Selang beberapa saat akhirnya Alca dan Loveta memesan makanan. Sambil menunggu mereka mengobrol. “Kenapa tidak ajak Ale sekalian untuk makan siang bersama?” Loveta melemparkan pertanyaan itu pada Alca. “Aku dari kantor. Jadi jelas tidak mengajak Ale.” Alca menjelaskan pada sang kakak. “Iya, juga.” Loveta membenar ucapan adiknya. Lagi pula dia juga dari toko tadi. “Bagaimana toko? Apa berjalan baik?” Alca menatap sang kakak. Sebelum pindah ke perusahaan Janitra textile, Alca bekerja di Mayla Jewelry. Kini toko perhiasan itu sepenuhnya dipimpin oleh kakaknya. “Toko baik-baik saja. Semua lancar. Aku akan buka cabang lagi. Tidak ada masalah.” Loveta menjelaska
“Dengar, jangan coba angkat apa pun yang dikirim. Aku akan melakukan semuanya nanti.” Suara Alca di seberang sana terdengar memberikan perintah. Dia tidak ingin Ale sampai mengangkat barang apa pun. Karena takut terjadj apa-apa pada Ale. “Iya, Kak. Aku tidak akan melakukan apa pun.” Ale mengerti perintah suaminya itu. “Baiklah, aku akan segera sampai.” Alca memang sedang dalam perjalanan ke rumah setelah tadi pihak kurir mengabari jika barang-barang yang dipesannya akan dikirim dan sedang dalam perjalanan.“Baiklah.” Ale segera mematikan sambungan telepon. “Ini taruh di mana, Bu?” tanya kurir yang mengantarkan barang-barang pesanan Ale. “Iya, taruh sini saja.” Ale menunjuk ke teras rumah. Akhirnya semua barang sudah diturunkan. Tidak ada yang kurang. Tepat saat kurir menyelesaikan pekerjaannya, Alca datang. Pria itu segera menemui kurir yang mengantarkan barang pesanan Ale. “Apa semua sudah dikirim?” tanya Alca. “Sudah, Pak. Ini invoice-nya.” Kurir menjelaskan sambil memberika
Akhirnya Alca dan Ale selesai juga mendekorasi tempat tidur bayi. Mereka benar-benar menyambut kedatangan bayi yang berada dalam kandungan Ale.“Wah ... cantik sekali.” Ale melihat ranjang bayi tampak begitu indah dengan beberapa hiasannya. “Lihatlah, sekarang tempat tidurmu sudah siap.” Alca melihat ke arah perut Ale. Mengajak anak dalam kandungan Ale berbicara.Ale mengulas senyumnya ketika melihat Alca mengajak bicara anaknya. Ale merasa Alca sekarang begitu perhatian sekali. Apalagi pada anaknya. “Aku akan buatkan minuman dingin untuk Kak Alca.” Ale berlalu meninggalkan Alca. Menuju ke dapur untuk membuatkan minuman dingin untuk Alca.Alca mengekor di belakang Ale. Keluar dari kamar juga. Alca memilih menunggu Ale di ruang keluarga. Sambil mengistirahatkan tubuhnya. Dua minuman dingin dibawa oleh Ale ke ruang keluarkan. Memberikan satu pada Alca. Tampak suaminya itu tampak lemas sekali.“Terima kasih.” Alca menerima gelas yang diberikan oleh Ale. Meminum minuman dingin yang di
“Kantor.” Alca menjawab seraya bangun dari posisi duduknya. “Aku angkat dulu.” Alca segera berlalu ke taman belakang. Menjauh dari Ale.Ale mengangguk saja. Berpikir mungkin itu adalah telepon penting. Sampai-sampai Alca harus menjauh. “Halo.” Alca menyapa seseorang di sambungan telepon. “Sayang.” Suara merdu terdengar dari balik sambungan telepon. Alca jelas mendengar panggilan itu tertuju padanya. Suara wanita yang selalu di relung hatinya. Namun, saat panggilan itu terdengar Alca justru memutar tubuhnya untuk melihat keberadaan Ale. “Halo, Sayang.” Saat merasa Ale tak ada di sekitarnya, Alca memanggil wanita di sambungan telepon.“Coba tebak aku di mana?” Suara Elzira begitu bersemangat sekali. “Memang di mana?” tanya Alca. “Aku di Jakarta dan sekarang di bandara.” Zira panggilan gadis yang sudah menjalin hubungan dengan Alca selama lima tahun ini. Alca membulatkan matanya. Dia benar-benar terkejut ketika mendengar jawaban tersebut. Alca tidak menyangka jika ternyata Zira s
“Aku merindukanmu.” Zira meneteskan air mata. Tak kuasa meluapkan kebahagiaan karena akhirnya dapat bertemu dengan Alca. Melihat Zira menangis, membuat Alca tersenyum. Dia menarik tubuh Zira ke dalam pelukannya. “Aku juga merindukanmu.” Alca mengeratkan pelukannya. Dia juga merasakan hal yang sama dengan Zira. Gadis di dalam pelukannya ini sudah bertakhta di hatinya bertahun-tahun. Jadi wajar saja jika dia merindukannya.Untuk sesaat mereka larut melepaskan rindu. Memeluk satu dengan yang lain.Alca melepaskan pelukannya. Ibu jarinya mengusap air mata yang menetes di wajah Zira. “Jangan menangis lagi. Aku di sini.” Alca mengulas senyumnya. “Jangan tinggalkan aku.” Zira menatap Alca lekat. Cintanya tidak pernah pudar sejak pertama kali bertemu Alca. Alca yang gemas mencubit pipi Zira. “ Kamu yang meninggalkan aku. Sekarang kamu memintaku jangan meninggalkanmu. Apa itu tidak salah?” tanya Alca menyindir. Zira malu sendiri. Memang selama ini dirinyalah yang meninggalkan Alca. Jadi
Alca melihat wajah Zira yang bingung ketika tiba-tiba melepaskan tautan bibir. Ini belum pernah terjadi selama mereka berpacaran. “Tidak apa-apa. Aku hanya terpikir kita belum makan. Apalagi kamu baru sampai, pasti kamu lapar juga.” Alca mencoba memberikan alasan yang masuk akal. “Oh ... benar. Aku memang lapar.” Zira memegangi perutnya. “Tapi, sepertinya kamu tidak bisa memasak. Mengingat tidak ada bahan masakan di sini.” Alca menyeringai. Tentu saja Zira tidak akan bisa membuat masakan jika tidak ada bahan.“Baiklah, sepertinya kita harus membeli makanan jadi.” Zira pasrah. Padahal dia mau menunjukkan keahliannya seperti biasanya.“Aku akan memesankannya. Kamu bisa pergi untuk membersihkan tubuhmu.” Alca memberikan ide pada sang kekasih. “Baiklah, kamu saja yang pesan. Aku akan mandi agar lebih segar. Tubuhku terasa lengket.” Zira merasa jika ide yang diberikan Alca memang benar. Dia harus segera membersihkan tubuhnya. Zira segera menarik satu kopernya ke kamar, sedangkan Alca
Suara bel yang terdengar membuat pelukan mereka harus berakhir. Alca segera membuka pintu untuk mengambil makanan yang dipesan. Setelah menerima Makanan, Alca membawanya ke meja makan. “Aromanya.” Zira mencium aroma bakaran. Tentu saja itu membuatnya tak sabar untuk melihat apa yang dibeli oleh Alca. “Pasti ini sate.” Zira menebak apa yang dibeli Alca. “Kamu memang pintar.” Alca tersenyum. Dia segera membuka bungkus dari makanan yang dibelinya. “Kamu memang terbaik.” Zira memeluk Alca. Kekasihnya itu memang selalu tahu makanan apa yang diinginkannya saat ini. Apalagi jika bukan sate. Aroma daging bakar memang tidak ada duanya. Alca tersenyum sambil menepuk tangan Zira. Dia senang bisa membuat Alca tersenyum. Tentu saja itu adalah sebagian dari kebahagiaannya. “Ayo kita makan.” Alca segera mengajak Alca untuk makan bersama. Tak butuh waktu lama, Zira segera duduk. Menunggu Alca untuk membuka bungkus makanan tersebut. Alca menyajikan sate. Setelah sate dipindahkan ke piring, m