“Kenapa bicara seperti itu?” tanya Fazila menatap lekat pada adiknya.“Karena aku merasa memang aku adalah sumber masalah sebenarnya. Kak Zila terlalu perhatian padaku. Terlalu peduli padaku. Padahal harusnya Kak Zila biarkan saja aku. Jangan pikirkan aku. Fokus saja pada kehidupan Kak Zila sendiri.” Almeta tidak mau karena dirinya hubungan sang kakak jadi berantakan. Dia ingin kakaknya baik-baik saja. Menjalani hidup dengan calon suaminya, tanpa terus memikirkan dirinya.Fazila termangu ketika mendapati kata-kata yang keluar dari mulut adiknya. Tidak menyangka jika adiknya berpikir seperti itu.“Bagaimana bisa aku tidak memikirkanmu. Kamu adikku satu-satunya. Mama dan papa sudah menitipkan kamu padaku. Lalu, bagaimana bisa kamu mengatakan hal itu?” Fazila meneteskan air mata. Benar-benar kecewa dengan apa yang dipikirkan oleh adiknya. Selama ini dia berusaha menjaga adiknya, tetapi sang adik justru tidak mau menerima semua itu.“Aku tahu Kak Zila ingin menjaga aku, tapi aku bukan ana
“Kenapa kamu langsung bicara seperti itu tadi?” Dira tidak habis pikir dengan suaminya. Bisa-bisa melakukan hal itu. Padahal jelas-jelas Arlo dan Fazila sedang bertengkar.“Biar saja. Dengan begitu mereka bisa berbaikan. Mereka mau menikah. Jika hanya hal sepele membuat mereka bertengkar dan membuat mereka mengakhiri rencana pernikahan. Itu akan sangat bahaya.” Dima merasa keputusannya sudah tepat. Karena dengan begitu adik dan calon adik iparnya itu bisa akur.Dira merasa jika sang suami memang benar. Mereka justru jadi penengah untuk Arlo dan Fazila.“Menurutmu apa yang menjadi masalah mereka?” Dira menatap sang suami.“Entah.” Dima menaikkan bahunya tanda tidak tahu.Dira memikirkan apa yang menyebabkan apa yang menjadi alasan Arlo dan Fazila bertengkar.“Jangan pikirkan orang lain. Fokus saja dengan kita. Cepat selesaikan skripsimu. Setelah itu ayo kita pergi bulan madu lagi.” Dima menghentikan pikiran sang istri yang berkelana ke mana-mana.Membahas skripsi membuat Dira seketika
“Aku lulus.” Dira yang keluar setelah selesai sidang skripsi pun langsung memeluk sang suami. Dia benar-benar senang sekali akhirnya lulus juga.Dima yang mendengar hal itu pun merasa ikut senang. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba juga.“Selamat, Sayang.” Dima mengeratkan pelukannya. Tidak sia-sia selama ini dia membantu sang istri.“Terima kasih kamu sudah membantu aku.” Tanpa bantuan sang suami, tentu saja semua tidak akan cepat selesai.“Sama-sama. Sudah jadi tanggung jawabku membantumu.” Dima melepaskan pelukannya. Kemudian menghapus air mata Dira. “Jangan menangis. Ini hari bahagiamu.” Dima mencoba meyakinkan Dira.“Iya.” Dira Mengangguk.Dima langsung memakaikan selempang yang bertuliskan Jadira Luna, SE. Sebuket bunga pun diberikan pada Dira.“Sekali lagi selama, Sayang.” Dima mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Dira begitu terharu sekali. Mendapatkan perayaan yang luar biasa.“Dira.” Mama Ale menghampiri Dira.Dira langsung mengalihkan pandangan. Ternyata keluarga D
Ternyata semua tidak semudah yang Dima dan Dira bayangkan. Setelah tidak mencegah kehamilan lagi, Dira justru tak kunjung datang bulan. Alhasil, mereka masih menunda bulan madu.“Coba jangan stres. Pikirkan yang baik-baik saja agar kamu bisa cepat datang bulan. Jangan juga terlalu memaksakan untuk segera punya anak. Kita masih punya banyak waktu. Tidak perlu harus sesegera mungkin.” Dima berusaha untuk meyakinkan Dira. Dia takut sang istri stres karena ingin segera memiliki anak. Jadi membuatnya tidak kunjung datang bulan.Dira merasa jika bisa jadi itulah alasannya tidak kunjung datang bulan. Pikirannya hanya fokus pada keinginan memiliki anak. Tentu saja justru membuatnya lama datang bulan. Belum lagi hormonnya yang belum kembali normal pasca memakai pencegah kehamilan.“Sebaiknya hari ini kita tidak ke mana-mana. Gunakan waktu untuk istirahat saja.” Dima membelai lembut rambut Dira.“Lalu mau apa di rumah?” Dira merasa pasti akan membosankan jika di rumah saja.“Bagaimana jika kita
Tepat saat Dira mengalihkan pandangan, Dima menatap. Mereka saling beradu pandang. Perlahan Dima mendaratkan bibirnya di bibi sang istri. Sayangnya, sebelum bibirnya sampai di bibir sang istri, aksinya itu dihentikan. Dira meletakan jarinya di depan bibirnya. Membuat Dima tidak dapat mencium sang istri.“Kenapa?” tanya Dima.“Jangan di sini.” Dira langsung menarik tangan Dima. Mengajaknya untuk masuk ke dalam kamar.Dima tersenyum. Tentu saja dia senang ketika sang istri mengajaknya untuk melakukannya di dalam.Mereka berdua segera ke lantai bawah. Saat menuruni anak tangga, mereka mulai berciuman. Dima mendorong Dira berjalan mundur, tanpa melepaskan tautan bibirnya.Tepat di tempat tidur, Dima mendorong sang istri ke tempat tidur. Perlahan tangan Dima mulai bergerilya. Sayangnya, lagi-lagi Dira menghentikan aksinya itu.“Kenapa lagi?” tanya Dima. Dia merasa sedikit kesal karena dua kali dilarang sang istri.“Tutup dulu kacanya. Aku tidak mau dilihat ikan-ikan.” Dira malu-malu menjel
Dima dan Dira menghabiskan waktu tiga hari di hotel. Menghabiskan waktu bersama hanya di dalam kamar hotel saja. Tidak ada agenda pergi sama sekali. Hanya keluar untuk makan sesekali. Selebihnya mereka makan di kamar hotel. Mereka tidak mau terlalu lelah. Jadi mereka memutuskan di kamar saja. Lagi pula dengan pemandangan indah di kamar, mereka tidak perlu jauh-jauh pergi. Hari ini Dima dan Dira sudah kembali bekerja. Karena kini sudah tidak kuliah, Dira lebih bisa fokus untuk bekerja. “Aku sudah kirim laporan dari pabrik. Kamu cek dulu saja.” Dira meletakan berkas sekalian memberitahu sang suami. “Bailah, aku akan cek.” Dima mengangguk. Kemudian kembali ke meja kerjanya. Beberapa saat kemudian Arlo datang ke ruangan Dima. “Kak Dima ada di ruangannya, Ra?” tanya Arlo. “Ada, masuk saja. Sejak tadi dia menunggumu.” Dira mempersilakan Arlo untuk masuk ke ruangan Dima. “Baiklah.” Arlo mengangguk. Kemudian mengayunkan langkahnya ke ruangan Dima. Sebelum membuka pintu, dia mengetuk pi
“Kita harus membuat anak malam ini.” Sesuai saran dokter, mereka harus berhubungan seminggu dua sampai tiga kali. Dira mengambil jalan tengah tiga kali. Jadi hari ini mereka akan melakukannya, besok mereka tidak berhubungan suami-istri. Jadi selang-seling. Itu lebih mudah untuk menghitungnya.“Memang hari ini jadwalnya?” tanya Dima memastikan.“Iya.” Dira menangguk pasti.“Ayolah kalau begitu.” Dima langsung memasang sabuk pengaman di tubuhnya. Kemudian memutar kunci mobil untuk menyalakan mesin mobil. Dengan gerakkan cepat, Dima menginjak pedal gas. Melajukan mobilnya pulang ke rumah.Mereka sampai di rumah setelah satu jam melakukan perjalanan. Tak menunggu lama, mereka segera masuk ke kamar.“Aku mandi dulu.” Dira tidak nyaman jika harus langsung melakukannya dalam keadaan berkeringat. Apalagi seharian dia bekerja.“Kita mandi bersama.” Dima mengedipkan matanya. Kesempatan seperti ini memang jarang-jarang. Jadi harus dimanfaatkan.Dira tersipu malu. Selalu saja suaminya membuatn
Bab 325 Ale.Dira tidak bisa melanjutkan ucapannya. Memilih memberikan alat tes kehamilan yang baru saja dicoba itu pada Dima.Dima segera membaca alat tes kehamilan itu. Kemarin, dia juga sudah membaca petunjuk penggunaannya. Jadi kali ini dia tahu pasti apa hasil dari garis yang tertera di alat tes kehamilan tersebut.“Kita coba lagi jika sudah telat seminggu.” Dima menarik tubuh sang istri. Membawanya ke dalam pelukannya.Dira mengangguk. Walaupun sedikit kecewa, tetapi dia yakin jika masih ada kesempatan setelah seminggu.“Sudah, jangan bersedih.” Dima mendaratkan kecupan di dahi sang istri. Kemudian menangkup pipi sang istri agar menghadap ke arahnya.Dira menatap sang suami. Kemudian memberikan anggukan pada sang suami.“Ayo, kalau begitu kita berangkat.” Dima kembali mendaratkan kecupan. Namun, kali ini tepat di bibir.Akhirnya mereka berdua bersiap untuk ke kantor. Menjalani hari seperti biasa. Dira berusaha untuk tetap tegar. Masih berharap jika mungkin terlalu dini untuk mel