“Kapan waktu yang pas untuk kami bisa program kehamilan, Dok?” tanya Dira.“Memang kapan kalian mau rencana punya anak?” Dokter menatap Dira dan Dima. Karena mereka adalah pasien rutin setiap bulan dan sudah berlangsung selama tiga tahun. Jadi mereka sudah akrab.“Sebentar lagi saya skripsi. Setelah itu wisuda. Jadi saya rasa setahun lagi saya mau hamil.” Dira mencoba menceritakan hal itu pada dokter.“Kehamilan bisa terjadi setelah kamu berhenti menggunakan pencegahan kehamilan antara satu bulan sampai satu tahun. Jadi kamu bisa mengira-ira sendiri, kira-kira kapan kamu akan hamil.” Dokter menjelaskan.“Jadi andai saya berhenti memakai pencegahan kehamilan setelah skripsi, belum tentu langsung hamil, Dok?” Dira memastikan lagi.“Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Bisa jadi kamu langsung hamil, bisa jadi beberapa bulan setelahnya. Jadi tergantung tubuhmu.”Dira mengerti yang dijelaskan oleh dokter. Mungkin setelah ini akan membahasnya dengan Dima.Kali ini, seperti biasa Dira melakukan p
“Almeta takut jika sendiri. Karena itu sebelum kami punya anak, dia bisa tidur di kamar sebelah.” Fazila mencoba menjelaskan hal itu.Dira mengangguk mengerti. Dia mengulas senyumnya ketika mendapatkan jawaban itu.“Jangan perlakukan aku seperti anak kecil, Kak.” Almeta sedikit kesal. “Berikan saja aku di kamar di atas. Lagi pula apa yang perlu aku takutkan.” Dia sedikit kesal dengan yang dilakukan kakaknya. Sang kakak benar-benar memperlakukan dirinya seperti anak kecil.“Sudah, dengar saja kataku.” Fazila masih merasa jika keputusannya sudah benar. Jika dekat, dia bisa menjaga adiknya.Almeta hanya melirik malas. Kakaknya selalu begitu. Membuatnya benar-benar tidak berkutik.Dima dan Dira merasa bingung dengan situasi ini. Mereka merasa jika Almeta dan Fazila tidak seakur yang mereka bayangkan. Ada banyak perdebatan yang terjadi.“Ayo lihat bagian lain.” Arlo sudah biasa melihat hal semacam itu. Jadi dia memilih menghindar. Malas mendengar perdebatan kakak dan adik itu.Dima dan Dir
“Kita duduk di sebelah sini saja.” Fazila menunjuk tempat duduk tepat tengah.“Boleh.” Arlo mengangguk.“Kami pesan di sini—““Dua. Yang satu di sini.” Almeta memotong ucapannya kakaknya seraya menunjuk tempat duduk yang berada di pojok. Almeta yang tadinya berdiri di belakang Fazila, tiba-tiba langsung menerobos. Berdiri tepat di samping sang kakak.Fazila langsung menoleh ke arah adiknya. Adiknya benar-benar tidak sopan menyela ucapannya.“Jadi mau pesan di tengah dua dan di pojok satu?” Pegawai bioskop yang melayani tiket bertanya.Fazila langsung mengalihkan pandangan pada pegawai bioskop. “Iya, pesan dua di tengah dan satu dipojok.” Dia pun membenarkan hal itu.Arlo langsung membayar tiket tersebut. Saat tiket didapat, akhirnya mereka memilih menunggu. Mereka duduk di ruang tunggu. Kebetulan film masih setengah jam lagi.“Aku akan pesan popcorn dulu.” Arlo berdiri kembali.“Biar aku saja, Kak.” Almeta langsung berinisiatif untuk menawarkan diri.“Baiklah.” Arlo tentu tidak kebera
“Kenapa bicara seperti itu?” tanya Fazila menatap lekat pada adiknya.“Karena aku merasa memang aku adalah sumber masalah sebenarnya. Kak Zila terlalu perhatian padaku. Terlalu peduli padaku. Padahal harusnya Kak Zila biarkan saja aku. Jangan pikirkan aku. Fokus saja pada kehidupan Kak Zila sendiri.” Almeta tidak mau karena dirinya hubungan sang kakak jadi berantakan. Dia ingin kakaknya baik-baik saja. Menjalani hidup dengan calon suaminya, tanpa terus memikirkan dirinya.Fazila termangu ketika mendapati kata-kata yang keluar dari mulut adiknya. Tidak menyangka jika adiknya berpikir seperti itu.“Bagaimana bisa aku tidak memikirkanmu. Kamu adikku satu-satunya. Mama dan papa sudah menitipkan kamu padaku. Lalu, bagaimana bisa kamu mengatakan hal itu?” Fazila meneteskan air mata. Benar-benar kecewa dengan apa yang dipikirkan oleh adiknya. Selama ini dia berusaha menjaga adiknya, tetapi sang adik justru tidak mau menerima semua itu.“Aku tahu Kak Zila ingin menjaga aku, tapi aku bukan ana
“Kenapa kamu langsung bicara seperti itu tadi?” Dira tidak habis pikir dengan suaminya. Bisa-bisa melakukan hal itu. Padahal jelas-jelas Arlo dan Fazila sedang bertengkar.“Biar saja. Dengan begitu mereka bisa berbaikan. Mereka mau menikah. Jika hanya hal sepele membuat mereka bertengkar dan membuat mereka mengakhiri rencana pernikahan. Itu akan sangat bahaya.” Dima merasa keputusannya sudah tepat. Karena dengan begitu adik dan calon adik iparnya itu bisa akur.Dira merasa jika sang suami memang benar. Mereka justru jadi penengah untuk Arlo dan Fazila.“Menurutmu apa yang menjadi masalah mereka?” Dira menatap sang suami.“Entah.” Dima menaikkan bahunya tanda tidak tahu.Dira memikirkan apa yang menyebabkan apa yang menjadi alasan Arlo dan Fazila bertengkar.“Jangan pikirkan orang lain. Fokus saja dengan kita. Cepat selesaikan skripsimu. Setelah itu ayo kita pergi bulan madu lagi.” Dima menghentikan pikiran sang istri yang berkelana ke mana-mana.Membahas skripsi membuat Dira seketika
“Aku lulus.” Dira yang keluar setelah selesai sidang skripsi pun langsung memeluk sang suami. Dia benar-benar senang sekali akhirnya lulus juga.Dima yang mendengar hal itu pun merasa ikut senang. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba juga.“Selamat, Sayang.” Dima mengeratkan pelukannya. Tidak sia-sia selama ini dia membantu sang istri.“Terima kasih kamu sudah membantu aku.” Tanpa bantuan sang suami, tentu saja semua tidak akan cepat selesai.“Sama-sama. Sudah jadi tanggung jawabku membantumu.” Dima melepaskan pelukannya. Kemudian menghapus air mata Dira. “Jangan menangis. Ini hari bahagiamu.” Dima mencoba meyakinkan Dira.“Iya.” Dira Mengangguk.Dima langsung memakaikan selempang yang bertuliskan Jadira Luna, SE. Sebuket bunga pun diberikan pada Dira.“Sekali lagi selama, Sayang.” Dima mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Dira begitu terharu sekali. Mendapatkan perayaan yang luar biasa.“Dira.” Mama Ale menghampiri Dira.Dira langsung mengalihkan pandangan. Ternyata keluarga D
Ternyata semua tidak semudah yang Dima dan Dira bayangkan. Setelah tidak mencegah kehamilan lagi, Dira justru tak kunjung datang bulan. Alhasil, mereka masih menunda bulan madu.“Coba jangan stres. Pikirkan yang baik-baik saja agar kamu bisa cepat datang bulan. Jangan juga terlalu memaksakan untuk segera punya anak. Kita masih punya banyak waktu. Tidak perlu harus sesegera mungkin.” Dima berusaha untuk meyakinkan Dira. Dia takut sang istri stres karena ingin segera memiliki anak. Jadi membuatnya tidak kunjung datang bulan.Dira merasa jika bisa jadi itulah alasannya tidak kunjung datang bulan. Pikirannya hanya fokus pada keinginan memiliki anak. Tentu saja justru membuatnya lama datang bulan. Belum lagi hormonnya yang belum kembali normal pasca memakai pencegah kehamilan.“Sebaiknya hari ini kita tidak ke mana-mana. Gunakan waktu untuk istirahat saja.” Dima membelai lembut rambut Dira.“Lalu mau apa di rumah?” Dira merasa pasti akan membosankan jika di rumah saja.“Bagaimana jika kita
Tepat saat Dira mengalihkan pandangan, Dima menatap. Mereka saling beradu pandang. Perlahan Dima mendaratkan bibirnya di bibi sang istri. Sayangnya, sebelum bibirnya sampai di bibir sang istri, aksinya itu dihentikan. Dira meletakan jarinya di depan bibirnya. Membuat Dima tidak dapat mencium sang istri.“Kenapa?” tanya Dima.“Jangan di sini.” Dira langsung menarik tangan Dima. Mengajaknya untuk masuk ke dalam kamar.Dima tersenyum. Tentu saja dia senang ketika sang istri mengajaknya untuk melakukannya di dalam.Mereka berdua segera ke lantai bawah. Saat menuruni anak tangga, mereka mulai berciuman. Dima mendorong Dira berjalan mundur, tanpa melepaskan tautan bibirnya.Tepat di tempat tidur, Dima mendorong sang istri ke tempat tidur. Perlahan tangan Dima mulai bergerilya. Sayangnya, lagi-lagi Dira menghentikan aksinya itu.“Kenapa lagi?” tanya Dima. Dia merasa sedikit kesal karena dua kali dilarang sang istri.“Tutup dulu kacanya. Aku tidak mau dilihat ikan-ikan.” Dira malu-malu menjel
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker