Akhirnya hari ini Arlo akan lamaran. Acara lamaran diadakan di rumah Fazila. Rumah kecil itu disulap jadi tempat acara lamaran. Sengaja hanya keluarga inti saja yang hadir. Mengingat rumah Fazila tidak terlalu besar.Arlo dan keluaranya langsung dipersilakan masuk. Duduk di kursi yang telah disiapkan. Berhadapan dengan kursi dari keluarga Fazila.Pembawa acara membuka acara lamaran tersebut. Menanyakan apa yang membuat keluarga Janitra datang.Perwakilan keluarga adalah Uncle Liam. Dia menyampaikan niat kedatangan mereka yaitu untuk melamar Fazila.Keluarga Fazila menerima kedatangan mereka. Namun, meminta Arlo sendiri yang menyampaikannya.“Apa benar Arlo ingin melamar Fazila?” Pembawa acara bertanya pada Arlo.“Benar, saya ingin melamar Fazila. Menjadikannya sebagai istri saya.” Dengan percaya diri Arlo menyampaikan hal itu.“Baiklah, kalau begitu, bagaimana jika kita tunggu jawabannya dari Fazila saja. Kita panggil saja Fazila.” Pembawa acara meminta orang untuk memanggil Fazila.D
“Kapan waktu yang pas untuk kami bisa program kehamilan, Dok?” tanya Dira.“Memang kapan kalian mau rencana punya anak?” Dokter menatap Dira dan Dima. Karena mereka adalah pasien rutin setiap bulan dan sudah berlangsung selama tiga tahun. Jadi mereka sudah akrab.“Sebentar lagi saya skripsi. Setelah itu wisuda. Jadi saya rasa setahun lagi saya mau hamil.” Dira mencoba menceritakan hal itu pada dokter.“Kehamilan bisa terjadi setelah kamu berhenti menggunakan pencegahan kehamilan antara satu bulan sampai satu tahun. Jadi kamu bisa mengira-ira sendiri, kira-kira kapan kamu akan hamil.” Dokter menjelaskan.“Jadi andai saya berhenti memakai pencegahan kehamilan setelah skripsi, belum tentu langsung hamil, Dok?” Dira memastikan lagi.“Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Bisa jadi kamu langsung hamil, bisa jadi beberapa bulan setelahnya. Jadi tergantung tubuhmu.”Dira mengerti yang dijelaskan oleh dokter. Mungkin setelah ini akan membahasnya dengan Dima.Kali ini, seperti biasa Dira melakukan p
“Almeta takut jika sendiri. Karena itu sebelum kami punya anak, dia bisa tidur di kamar sebelah.” Fazila mencoba menjelaskan hal itu.Dira mengangguk mengerti. Dia mengulas senyumnya ketika mendapatkan jawaban itu.“Jangan perlakukan aku seperti anak kecil, Kak.” Almeta sedikit kesal. “Berikan saja aku di kamar di atas. Lagi pula apa yang perlu aku takutkan.” Dia sedikit kesal dengan yang dilakukan kakaknya. Sang kakak benar-benar memperlakukan dirinya seperti anak kecil.“Sudah, dengar saja kataku.” Fazila masih merasa jika keputusannya sudah benar. Jika dekat, dia bisa menjaga adiknya.Almeta hanya melirik malas. Kakaknya selalu begitu. Membuatnya benar-benar tidak berkutik.Dima dan Dira merasa bingung dengan situasi ini. Mereka merasa jika Almeta dan Fazila tidak seakur yang mereka bayangkan. Ada banyak perdebatan yang terjadi.“Ayo lihat bagian lain.” Arlo sudah biasa melihat hal semacam itu. Jadi dia memilih menghindar. Malas mendengar perdebatan kakak dan adik itu.Dima dan Dir
“Kita duduk di sebelah sini saja.” Fazila menunjuk tempat duduk tepat tengah.“Boleh.” Arlo mengangguk.“Kami pesan di sini—““Dua. Yang satu di sini.” Almeta memotong ucapannya kakaknya seraya menunjuk tempat duduk yang berada di pojok. Almeta yang tadinya berdiri di belakang Fazila, tiba-tiba langsung menerobos. Berdiri tepat di samping sang kakak.Fazila langsung menoleh ke arah adiknya. Adiknya benar-benar tidak sopan menyela ucapannya.“Jadi mau pesan di tengah dua dan di pojok satu?” Pegawai bioskop yang melayani tiket bertanya.Fazila langsung mengalihkan pandangan pada pegawai bioskop. “Iya, pesan dua di tengah dan satu dipojok.” Dia pun membenarkan hal itu.Arlo langsung membayar tiket tersebut. Saat tiket didapat, akhirnya mereka memilih menunggu. Mereka duduk di ruang tunggu. Kebetulan film masih setengah jam lagi.“Aku akan pesan popcorn dulu.” Arlo berdiri kembali.“Biar aku saja, Kak.” Almeta langsung berinisiatif untuk menawarkan diri.“Baiklah.” Arlo tentu tidak kebera
“Kenapa bicara seperti itu?” tanya Fazila menatap lekat pada adiknya.“Karena aku merasa memang aku adalah sumber masalah sebenarnya. Kak Zila terlalu perhatian padaku. Terlalu peduli padaku. Padahal harusnya Kak Zila biarkan saja aku. Jangan pikirkan aku. Fokus saja pada kehidupan Kak Zila sendiri.” Almeta tidak mau karena dirinya hubungan sang kakak jadi berantakan. Dia ingin kakaknya baik-baik saja. Menjalani hidup dengan calon suaminya, tanpa terus memikirkan dirinya.Fazila termangu ketika mendapati kata-kata yang keluar dari mulut adiknya. Tidak menyangka jika adiknya berpikir seperti itu.“Bagaimana bisa aku tidak memikirkanmu. Kamu adikku satu-satunya. Mama dan papa sudah menitipkan kamu padaku. Lalu, bagaimana bisa kamu mengatakan hal itu?” Fazila meneteskan air mata. Benar-benar kecewa dengan apa yang dipikirkan oleh adiknya. Selama ini dia berusaha menjaga adiknya, tetapi sang adik justru tidak mau menerima semua itu.“Aku tahu Kak Zila ingin menjaga aku, tapi aku bukan ana
“Kenapa kamu langsung bicara seperti itu tadi?” Dira tidak habis pikir dengan suaminya. Bisa-bisa melakukan hal itu. Padahal jelas-jelas Arlo dan Fazila sedang bertengkar.“Biar saja. Dengan begitu mereka bisa berbaikan. Mereka mau menikah. Jika hanya hal sepele membuat mereka bertengkar dan membuat mereka mengakhiri rencana pernikahan. Itu akan sangat bahaya.” Dima merasa keputusannya sudah tepat. Karena dengan begitu adik dan calon adik iparnya itu bisa akur.Dira merasa jika sang suami memang benar. Mereka justru jadi penengah untuk Arlo dan Fazila.“Menurutmu apa yang menjadi masalah mereka?” Dira menatap sang suami.“Entah.” Dima menaikkan bahunya tanda tidak tahu.Dira memikirkan apa yang menyebabkan apa yang menjadi alasan Arlo dan Fazila bertengkar.“Jangan pikirkan orang lain. Fokus saja dengan kita. Cepat selesaikan skripsimu. Setelah itu ayo kita pergi bulan madu lagi.” Dima menghentikan pikiran sang istri yang berkelana ke mana-mana.Membahas skripsi membuat Dira seketika
“Aku lulus.” Dira yang keluar setelah selesai sidang skripsi pun langsung memeluk sang suami. Dia benar-benar senang sekali akhirnya lulus juga.Dima yang mendengar hal itu pun merasa ikut senang. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba juga.“Selamat, Sayang.” Dima mengeratkan pelukannya. Tidak sia-sia selama ini dia membantu sang istri.“Terima kasih kamu sudah membantu aku.” Tanpa bantuan sang suami, tentu saja semua tidak akan cepat selesai.“Sama-sama. Sudah jadi tanggung jawabku membantumu.” Dima melepaskan pelukannya. Kemudian menghapus air mata Dira. “Jangan menangis. Ini hari bahagiamu.” Dima mencoba meyakinkan Dira.“Iya.” Dira Mengangguk.Dima langsung memakaikan selempang yang bertuliskan Jadira Luna, SE. Sebuket bunga pun diberikan pada Dira.“Sekali lagi selama, Sayang.” Dima mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Dira begitu terharu sekali. Mendapatkan perayaan yang luar biasa.“Dira.” Mama Ale menghampiri Dira.Dira langsung mengalihkan pandangan. Ternyata keluarga D
Ternyata semua tidak semudah yang Dima dan Dira bayangkan. Setelah tidak mencegah kehamilan lagi, Dira justru tak kunjung datang bulan. Alhasil, mereka masih menunda bulan madu.“Coba jangan stres. Pikirkan yang baik-baik saja agar kamu bisa cepat datang bulan. Jangan juga terlalu memaksakan untuk segera punya anak. Kita masih punya banyak waktu. Tidak perlu harus sesegera mungkin.” Dima berusaha untuk meyakinkan Dira. Dia takut sang istri stres karena ingin segera memiliki anak. Jadi membuatnya tidak kunjung datang bulan.Dira merasa jika bisa jadi itulah alasannya tidak kunjung datang bulan. Pikirannya hanya fokus pada keinginan memiliki anak. Tentu saja justru membuatnya lama datang bulan. Belum lagi hormonnya yang belum kembali normal pasca memakai pencegah kehamilan.“Sebaiknya hari ini kita tidak ke mana-mana. Gunakan waktu untuk istirahat saja.” Dima membelai lembut rambut Dira.“Lalu mau apa di rumah?” Dira merasa pasti akan membosankan jika di rumah saja.“Bagaimana jika kita