“Pak Dima memang sebenarnya tidak ke pabrik, Kak. Dia pergi bersama keluarganya. Aku diminta membawakan barang-barangnya.” Dira akhirnya memberikan alasan pada Ana.“Membawakan barang?” Ana merasa heran.“Iya, Kak. Kak Ana tahu, aku benar-benar jadi asisten yang membawakan barang Pak Dima.” Dira mulai berdrama. Bercerita agar terlihat menyedihkan.Ana pernah melihat jika Dira sering sekali diminta membawa banyak berkas. Jadi wajar jika Dira diajak Dima hanya untuk membawakan barang.“Lalu apa kamu ada hubungan dengan Pak Dima. Kenapa bisa jadi asistennya. Kamu saudaranya, teman, atau apa?” Sejak Dira datang, Ana begitu penasaran sekali. Ingin tahu apa hubungan Dima dan Dira sebenarnya.“Aku anak teman Pak Alca.” Dira mencoba menjelaskan. Yang dijelaskan memang tidak salah. Karena memang dia adalah anak teman Alca Janitra.“Bagus kalau begitu. Aku tenang. Jadi kamu tidak ada hubungan dengan Pak Dima seperti pacaran.” Ana merasa cukup senang. Karena dengan begitu dia bisa mendekati Dima
Dima melihat Dira yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia memilih untuk berlalu mengambil bajunya. Tanpa memedulikan Dira, dia masuk ke kamar mandi.Dira terkesiap. Masih berusaha menyadarkan diri setelah melihat sikap Dima tadi.“Kenapa Kak Dira tidak mengatakan apa-apa? Kenapa dia tidak marah?” Dira bertanya-tanya dalam hatinya. Dia benar-benar bingung dengan sikap Dima. Yang ada di pikirannya adalah Dima akan marah-marah dengan apa yang dilakukannya. “Nanti juga dia akan bicara.” Dira menebak jika Dima pasti nanti akan bicara. Tidak mungkin Dima akan diam terus. Karena lapar, Dira memilih untuk ke lantai bawah. Ada banyak makanan, tetapi dia ingin sekali makan mie instan. Karena itu dia segera membuat mie instan.Saat sedang akan menikmat mie instan, dia melihat Dima yang menuruni anak tangga. Melihat Dima membuat Dira begitu takut sekali. Alhasil, Dira memilih untuk menundukkan pandangannya. Menghindari pandangan dengan Dima.Dima melihat Dira yang sedang menikmati makan mie
Semalaman Dira berusaha keras untuk tidak berbalik ke arah Dima saat tidur karena merasa takut dengan Dima yang sedang marah. Alhasil dia tidur di satu sisi. Saat pagi, satu sisi tangannya pun terasa begitu sakit. Hal itu membuatnya terus memijat tangannya. “Kenapa, Ra?” Mama Ale penasaran ketika melihat Dira yang terus memijat tangannya. “Mungkin salah tidur, Ma.” Dira tersenyum. Dima yang mendengar itu melirik malas. Dia tahu kenapa Dira merasa pegal. Semalaman Dira tidur ke satu arah. Jadi wajar jika dia pegal. “Mama punya minyak pijat. Jika mau, Mama bisa ambilkan.” “Tidak perlu, Ma. Nanti juga akan sembuh.” Dira tidak mau merepotkan. Lagi pula tidak mungkin pagi-pagi dia memakai minyak urut. Yang ada nanti tubuhnya bau minyak urut. “Baiklah jika begitu.” Mama Ale mengangguk. Mereka semua sarapan. Dima masih melayangkan perang dingin pada Dira. Tidak sama sekali bicara. Saat makan pun mereka berdua diam saja. Tidak saling bertegur sapa atau bertanya. Semua berlanjut sampai
Dua hari sudah Dima dan Dira melayangkan perang dingin. Mereka berdua tidak ada yang bicara satu dengan yang lain. Ha itu tentu saja menarik perhatian Mama Ale.“Ar, kakakmu dan Dira bertengkar?” Mama Ale pun memilih untuk bertanya pada Arlo.“Mana aku tahu.” Arlo tidak pernah memerhatikan hal itu. Jadi tentu dia tidak tahu.“Mama lihat mereka berdua bertengkar. Tidak ada yang bicara satu dengan yang lain.” Mama Ale pun menjelaskan pada Arlo.“Mungkin saja mereka sedang ada konflik. Bukankah bertengkar dalam rumah tangga itu biasa. Mama juga seperti itu ‘kan. Aku sering melihat Mama tidak menegur papa.” Arlo menyeringai.“Kamu ini, Mama bahas kakakmu, kamu justru bahas Mama.” Mama Ale memukul bahu anaknya.Arlo tertawa. “Jika Kak Dima bertengkar dengan Dira, ya wajar saja, Ma. Namanya juga hubungan suami-istri. Jadi wajar saja jika ada pertengkaran.”Mama Ale membenarkan apa yang dikatakan anaknya. “Sejak kapan kamu bersikap bijak seperti itu?” Mama Ale kembali memukul lengan Arlo.“M
“Kak—“Sebelum Dira melanjutkan ucapannya Dima langsung membungkam mulut Dira. Menciumnya agar istrinya diam.Dira yang mendapatkan ciuman mendadak langsung terdiam. Dia cukup terkejut dengan yang dilakukan Dima.Hanya kecupan tak ada lumatan yang diberikan oleh Dima. Hal itu membuat ciuman itu cepat berakhir.Dima pun menjauhkan tubuhnya. Melihat ke arah Dira yang sedang memandanginya.Tanpa Dima duga, Dira langsung melingkarkan tangannya di leher sang suami. Mendaratkan bibirnya. Kali ini dia memberikan sesapan manis pada bibir sang suami. Walaupun masih amatir, tetapi tidak mengecewakan.Untuk sesaat Dima terpaku dengan yang dilakukan Dira. Namun, akhirnya dia tersadar dan membalas ciuman itu. Apalagi Dira menciumnya dengan memberikan sesapan di setiap gerakannya.Keduanya larut dalam pertukaran saliva itu. Saling menikmati bibir manis masing-masing.Dira yang menarik leher Dima membuat ciuman semakin dalam. Begitu pun saat Dima menarik tubuh Dira. Ciuman itu begitu panas karena sa
“Kamu tidak perlu baju.” Dima menyeringai.“Apa Kak Dima akan melakukannya?” Dira langsung menatap lekat wajah Dima.“Apa kamu sudah siap?” tanya Dima.“Belum.” Dira menggeleng.Dima tersenyum. “Pakailah bathrobe saja. Dari pada memakai baju kotor. Besok aku akan minta orang rumah untuk antar baju.”Saat membahas orang rumah, Dira langsung teringat jika belum berpamitan.“Kita belum bilang mama jika tidak pulang.” Dira merasa tidak enak. Karena biasanya mereka selalu berpamitan saat pergi ke mana-mana.“Aku sudah bilang Arlo. Dia pasti nanti akan bilang mama.”Dira mengangguk-anggukkan kepalanya. Merasa tenang karena ternyata Dima sudah mengatakan pada orang rumah.“Kalau begitu aku mandi dulu.” Dira segera berlalu ke kamar mandi. Segera membersihkan tubuhnya.Di saat Dira mandi, Dima memastikan pintu penghubung aman. Tak mau sampai pintu bisa dibuka. Apalagi dia sedang menikmati waktu bersama Dira.Setelah Dira keluar dari kamar mandi, Dima bergantian masuk ke kamar mandi. Dia harus
“Kamu sudah bangun?” Dima meletakkan paper bag di atas meja. Kemudian naik ke atas tempat tidur. Menyusul Dira yang masih asyik di tempat tidur.“Iya, aku dengar Kak Dima bicara dengan seseorang.” Dira tadi terbangun karena mencari Dima.“Aku mengambil baju dari Arlo.”“Kak Arlo ke sini?” tanya Dira memastikan.“Iya, dia ke sini mengantarkan baju.” Dima masuk kembali ke dalam selimut memeluk Dira.Dira terlalu nyaman berada di dalam pelukan Dima. Rasa nyaman itu sudah menjadi candu baginya.“Kamu masih mengantuk?” tanya Dima seraya membelai lembut rambut Dira.“Masih. Semalam kita tidur jam dua ‘kan.” Dira masih merasa waktu tidurnya kurang.“Kalau begitu tidurlah lagi.” Dima membelai lembut rambut Dira. Membuatnya agar cepat tidur.Di dalam pelukan Dima, Dira memejamkan kembali matanya. Dira merasa benar-benar nyaman sekali.“Aku tadi mengantuk, tetapi sekarang tidak.” Dira masih memejamkan matanya. Namun, tidak mau tidur juga.“Kalau begitu kita bermalas-malasan saja di sini.” Dima
“Aku juga belum tanya mama. Nanti kita tanya saja jika pulang.” Dima sendiri belum menanyakan hal itu pada orang tuanya. Memang Dima menyerahkan semua pada orang tuanya. Membiarkan mama dan neneknya yang mengurus semua. “Iya, nanti aku akan tanya saat pulang.” Dira begitu bersemangat. Setelah mengungkapkan perasaannya, Dira jadi bersemangat untuk menyambut pernikahannya.“Kita tanya besok saja.” Dima mengatakan itu sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.“Kenapa tanyanya besok? Bukankah kita bisa tanya nanti saat kita pulang?”“Kita tidak akan pulang.”Mendapati jawaban itu Dira membulatkan matanya. Dia benar-benar terkejut ketika mendapati fakta jika dia tidak akan pulang malam ini. “Lalu kita mau apa di sini?” Dira menatap Dima.“Menikmati waktu istirahat. Kemarin kita belum menikmati waktu istirahat berdua.”Dira tersenyum. Kemarin mereka memang tidak menikmati bersama. Setelah Dira berpikir keras, tidak ada salahnya menghabiskan waktu di hotel bersama Dima. Apalagi sekarang