“Pertama kali aku mendapatkan kabar jika aku harus menikah denganmu, rasanya aku benar-benar marah sekali. Tuhan seolah tidak adil karena membuat aku harus menikah dengan wanita yang aku tidak cintai. Namun, berjalannya waktu aku mulai merasakan kenyamanan dalam hubungan ini. Mungkin ini sudah terlambat untuk melamarmu. Tapi, aku tetap ingin melakukannya. Agar kelak kamu memiliki cerita manis tentang kisah kita.” Dima menatap Dira sedikit menengadah karena posisi Dira berada lebih tinggi dibanding dirinya. “Jadira Luna, maukah kamu menjadi istriku. Menua bersamaku hingga akhir hayat.” Sebuah cincin dibuka dari sebuah kotak oleh Dima. Cincin yang sengaja dipesannya dari sang kakak. Mengingat sudah ada ukuran jari Dira, dia dengan mudah memesannya.Dira hanya terperangah. Tidak menyangka jika Dima akan melakukan hal ini. Ini adalah pertama kalinya ada pria yang melamarnya dengan suasana yang romantis. Tak pernah terbayangkan oleh Dira sebelumnya.Tidak dipungkiri Dira jika perasaan cint
“Kak Dima bilang jika aku istri Kak Dima?” Dira memastikan setelah mendengarkan cerita Dima.“Iya, aku bilang begitu agar dia berhenti mendekati aku.” Dima memang tidak mau terus-terusan wanita lain mendekatinya.Dira tidak bisa bayangkan akan seperti apa jika bertemu dengan Ana. Pasti wanita itu sangat tidak enak padanya.“Sudah ayo masuk.” Kali ini gantian Dima yang menarik tangan Dira.Dira hanya pasrah saja. Dia segera ikut Dima untuk masuk ke kamar. Namun, alangkah terkejutnya Dira ketika melihat kamar berhiaskan lilin-lilin. Walaupun itu lilin palsu, tetap saja tampak indah. Apalagi suasana kamar begitu gelap. Jadi cahaya lilin itu memberikan cahaya pada kamar.“Kak Dima siapkan ini?” Dira menoleh ke belakang.Dima langsung memeluk Dira dari belakang. “Apa kamu suka?” tanyanya.“Suka, jadi romantis.” Dira tersenyum manis. Setelah tadi dapat kejutan di rooftop, kini dia dapat kejutan di kamar hotel.Dima memutar tubuh Dira. Membuatnya menghadap ke arahnya. Wajah Dira masih terlih
“Sayang, ayo bangun dan bersihkan tubuhmu.” Dima mendaratkan kecupan di dahi Dira. Mencoba membangunkan sang istri.“Aku masih lelah, Kak.” Tubuh Dira masih begitu lelah sekali. Karena itu dia masih memejamkan matanya.“Bersihkan tubuhmu dulu, baru setelah itu tidur lagi.” Dima masih terus mendaratkan kecupan di wajah Dira.“Baiklah.” Dira merasa memang lebih baik jika dia mandi dulu. Setelah itu dia bisa tidur lagi. Dira segera membuka matanya. Berusaha untuk mengumpulkan lebih dulu nyawanya.Mendapati jawaban dari Dira membuat Dima segera bangun. Tanpa bertanya, dia mengangkat tubuh Dira.“Ach … Kak.” Dira yang tadinya begitu mengantuk langsung segar. Dia benar-benar tidak menyangka jika ternyata Dima akan mengangkat tubuhnya.Dima hanya tersenyum ketika mendengar Dira yang berteriak.Dima yang diangkat tubuhnya langsung berusaha untuk menutup bagian intimnya.“Kenapa juga harus ditutup?” Dima tertawa melihat sang istri yang menutupi bagian tubuhnya.“Kak, aku malu.” Dira menyembuny
“Nanti jika ditanya mama, kita jawab apa? Kenapa kita menginap di hotel?” Dira menatap Dima yang sedang sibuk menyetir.“Bilang saja kita menghabiskan waktu berdua untuk bercinta.” Dima menjawab sambil tersenyum. Merasa lucu dengan jawabannya sendiri.“Kak ….” Dira memukul lengan Dima. Kesal sekali dengan jawaban dari sang suami. Jika menjawab seperti itu jelas membuatnya akan semakin malu.Dima hanya tertawa saja. “Jawab saja jika kita kemalaman setelah makan malam.”“Kalau ditanya kenapa menginap dua hari?” Dira masih mencari celah kemungkinan pertanyaan apa yang akan diberikan oleh mertuanya.Dima mengembuskan napas. Sang istri ada-ada saja. Mamanya juga tidak akan bertanya sampai sedetail itu. “Jawab saja jika kita mau menikmati tidur di hotel.” Dia memberikan ide jika mamanya bertanya.“Baiklah.” Dira mengangguk-anggukkan kepalanya. Mengerti apa yang akan dijawabnya pada sang mama.Akhirnya mereka sampai di rumah juga. Saat sampai tampak Mama Ale, Papa Alca, dan Arlo berada di te
“Oh … iya, Mama sampai lupa bilang, jika kemarin Oma bilang jika ada jadwal yang kosong di hotel Davis sekitar dua bulan lagi. Jadi kemungkinan pernikahan kalian bisa dilaksanakan dalam dua bulan.” Mama Ale menjelaskan. Kemarin mertuanya datang untuk memberitahu hal itu. Jadi dia menyampaikan pada anaknya. “Apa tidak terlalu cepat jika dua bulan, Ma.” Dira yang sedari tadi menunduk pun akhirnya bicara. Dia merasa waktu dua bulan adalah waktu yang begitu cepat sekali. “Tidak juga. Dua bulan Mama rasa waktu yang cukup. Semua sudah disiapkan oleh WO. Tinggal menyiapkan gaun pernikahan saja. Jadi tidak ada masalah. Undangan juga sudah dibuat WO. Akan disebar dua minggu sebelum pesta pernikahan.” Mama Ale menjelaskan dengan detail. Dira mengangguk-anggukkan kepalanya. Merasa jika semua diurus WO, pastinya akan mudah dan juga cepat. Mereka melanjutkan makan dengan menambahkan obrolan kecil. Tentu saja obrolan tentang pesta pernikahan nanti. Karena gaun yang akan dipilih harus dibuat, jad
Semalam Dima harus gigit jari karena Dira memutuskan untuk tidak berhubungan selama belum bisa mengecek kehamilan. Terpaksa dia harus menunggu hal itu.“Kemarin wajahmu berseri-seri, Kak. Kenapa sekarang muram?” Arlo melihat sang kakak yang begitu berbeda dengan kemarin.“Sejak kapan kamu jadi ahli ekspresi?” Dima menatap malas pada adiknya itu.Arlo langsung tutup mulut. Dia tahu jika sang kakak sedang tidak dalam keadaan baik. Jadi dari pada ditelan mentah-mentah oleh sang kakak.Dira tahu apa yang membuat suaminya sedikit kesal. Apalagi jika bukan gara-gara semalam dia menolak keinginan sang suami. Bukan niatnya melakukan hal itu. Namun, sebelum dia tahu jika hamil, dia tidak mau sampai melakukannya lebih dulu.“Ma, aku akan tinggal di apartemen mulai minggu depan.” Di tengah-tengah makan, Arlo menjelaskan pada sang mama.Mama Ale membulatkan matanya. Benar-benar terkejut sekali. Dia tidak menyangka jika anaknya memutuskan untuk pindah. “Kenapa kamu harus tinggal di apartemen? Apa
Dima hanya tersenyum. Dia merasa jika bisa jadi karyawan sudah tahu. Jadi wajar para karyawan tersenyum pada Dira. Jika sampai mereka cemberut, jelas Dima akan bertindak. Tidak rela jika istrinya diperlakukan seperti itu.Lift terbuka, Dima dan Dira segera keluar dari dalam lift. Saat sampai di depan ruangan Dima, tidak ada Ana di kursi sekretaris. Tampak wanita lain yang berada di sana. Wanita setengah baya itu tampak berdiri menyambut Dima. Mungkin umur wanita itu sekitar empat puluh tahun. Dira berpikir jika wanita itu adalah karyawan lama di Janita.“Selamat pagi, Pak.”“Pagi.” Dima mengangguk.“Perkenalkan saya Aina, sekretaris baru pengganti Ana.” Aina memperkenalkan diri.“Terima kasih, Aina. Semoga kamu betah di sini.” Dima segera berlalu ke ruanganya.Dira masih di tempatnya berpijak. Masih memikirkan kenapa Ana diganti. Suaminya tidak mengatakan apa-apa.“Perkenalkan saya, Aina, Bu.” Aina mengelurkan tangan pada Dira.“Panggil saja Dira, Bu.” Dira segera menerima uluran tan
“Aku minta ….” Dima menggantung ucapannya. “Kak, cepat katakan mau apa?” tanya Dira. Dia sudah di atas pangkuan Dima. Takut jika ada yang lihat dalam keadaan seperti ini. Dima mengangsur tubuhnya. “Kak Dima mau apa?” Dira panik. Takut suaminya melakukan yang tidak-tidak di kantor. Dima langsung tertawa. Melihat sang istri panik itu memang membuatnya gemas. “Kak, jangan bercanda. Cepat katakan apa mau Kak Dima.” Dira memukul tangan Dima yang melingkar di tub“Aku mau kamu jangan panggil aku ‘kak’. Aku merasa tidak nyaman dengan panggilan itu. Kamu ini istriku. Bagaimana bisa memanggil aku ‘kak’. Seperti adikku saja.” Dima sedikit menekuk bibirnya. Merasa kesal dengan panggilan Dira selama ini. Dira pikir Dima akan minta apa. Ternyata hanya meminta hal itu saja. “Baiklah. Lalu aku panggil apa?” tanyanya memastikan. “Panggil ‘sayang’ atau ‘honey’ atau ‘baby’ atau apa saja yang mesra.” Dima memberikan beberapa panggilan yang bisa dipilih Dira. Dira langsung memikirkan panggilan a