Mama Arriel menekuk bibirnya ketika pulang dari rumah Ale dan Alca. Dia langsung melemparkan tasnya. Merasa begitu kesal sekali. “Kamu kenapa?” Papa Adriel begitu penasaran dengan istrinya. Merasa aneh dengan apa yang dilakukan sang istri. “Aku kesal. Mauren bisa bermain dengan Dima leluasa, sedangkan aku?” Mama Arriel merasa kesal sekali. Dia melihat iparnya yang tidak mau memberikan ruang pada dirinya bermain dengan anaknya. Papa Adriel tahu ke mana arah pembicaraan sang istri. Apalagi jika bukan istrinya yang sedang iri dengan iparnya. “Aku harus meminta Ale untuk segera hamil. Agar aku bisa punya cucu juga.” Mama Arriel seolah tidak terima dengan keadaan ini. Dia merasa jika menantunya harus segera memberikannya cucu. “Tapi, Dima masih kecil. Bagaimana bisa kamu memintanya memberikan cucu?” Dima baru satu tahun. Masih terlalu kecil untuk memiliki anak. Tentu saja menurutnya tidak pas jika menantunya harus hamil. “Kata dokter boleh jika sudah satu tahun. Jadi aku akan minta A
“Yang dibilang Alca benar. Dia juga harus mendiskusikan ini dulu. Bukan main asal melakukan apa yang kamu minta.” Papa Adriel mencoba menengahi. Dia juga tidak tega dengan anaknya yang dipaksa seperti itu. “Berikan mereka waktu untuk berdiskusi.” Papa Adriel menatap istrinya. Meyakinkan sang istri. Mama Arriel tidak mau menunda keinginannya. Namun, melihat anak dan suaminya sepakat, dia pun tidak punya pilihan. “Baiklah, mama akan menunggu. Tapi, mama tidak mau lama menunggu. Kalian bicarakan hari ini. Besok mama mau sudah ada keputusannya.” Papa Adriel merasa heran sekali. Tetap saja istrinya memaksa segera. Walaupun memberikan waktu. Papa Adriel pun memberikan isyarat kedipan mata pada anaknya. Meminta anaknya untuk menuruti apa yang dilakukan mamanya. Alca tidak punya pilihan lagi selain mengiyakan permintaan sang mama. “Baiklah, besok aku akan memberikan keputusan.” Akhirnya Alca setuju. Mama Arriel merasa lega akhirnya anaknya mau mendengarkannya. Jika sudah begini dia lega. D
“Kita yang berhak memutuskan. Mama harus menghargai. Jika pun mama tidak terima, mungkin dia akan kecewa untuk beberapa saat. Lagi pula kita hanya menunda untuk dapat waktu yang tepat. Bukan tidak akan melakukannya.” Alca mencoba dari sudut pandangnya. Ale merasa jika mama mertuanya akan sangat kecewa pastinya. Hal itu membuatnya merasa bingung. Harus menuruti keinginan mertuanya atau tidak. “Aku akan menuruti keinginan mama.” Ale menjelaskan apa yang menjadi keputusannya. Sejak tadi menemani anaknya tidur, dia memikirkan keputusannya. Ale merasa tidak bisa egois karena mama mertuanya pasti tersiksa. Melepaskan anak untuk menikahi janda, sudah sesuatu yang berat pastinya bagi Mama Arriel. Apalagi saat menikah dirinya hamil. Mungkin jika Alca menikah dengan wanita single, pasti dengan mudah istrinya akan hamil. Jadi Mama Arriel tidak perlu menunggu waktu lama. Jika dihitung penantian Mama Arriel sudah cukup lama. Alca terkejut dengan keputusan istrinya. Dia pikir sang istri tidak ak
Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba terdengar itu membuat Ale, Alca, dan Mama Arriel mengalihkan pandangan. Mereka melihat Mama Mauren yang tiba-tiba muncul dari balik tembok. Sepertinya Mama Mauren mendengar pembicaraan antara Alca dan Mama Arriel tadi. “Apa benar kalian mau menjalani program kehamilan?” Mama Mauren kembali bertanya lagi. Mama Mauren tadi datang setelah Mama Arriel datang. Karena asisten rumah tangga di luar, jadi dia dapat masuk dengan mudah. Saat masuk, Mama Mauren mendengar suara iparnya. Awalnya, Mama Mauren mendengar suara Mama Arriel yang bertanya perihal Dima. Saat hendak menghampiri, dia dikejutkan dengan pertanyaan tentang rencana memiliki anak. Akhirnya, dia mengurungkan niatnya dan memilih mendengarkan. Alangkah terkejutnya ketika mendengar jika Ale dan Alca berencana untuk melakukan program kehamilan. “Ren.” Mama Arriel berdiri. Wajahnya semringah. Dia masih belum bisa menyadari jika iparnya tidak suka dengan pertanyaannya tadi. “Jadi rencananya Ale dan
Mama Mauren terdiam. Dia tidak menduga jawaban Mama Arriel akan seperti itu. Jika ditelisik lebih dalam, tentu saja benar adanya jika Ale kini bukan menantunya. Kini Ale menjadi istri Alca yang artinya memang dia adalah menantu dari iparnya. “Jika kamu melakukan program kehamilan dan memilih menelantarkan Dima, maka aku akan membawa Dima.” Mama Mauren menatap Ale. Jika Ale hamil, jelas Dima tidak akan mendapatkan ASI, lalu untuk apa dia bersama Ale jika seperti itu. Jika hanya diberikan susu formula pun, dia dapat mengasuhnya sendiri. Ale membulatkan matanya. Tidak menyangka jika akhir dari perdebatan mertuanya itu adalah mengambil Dima darinya. Tentu saja dia tidak akan membiarkan hal itu. Dima adalah satu hal yang berharga untuknya. Tidak mungkin jika dia memberikan anaknya pada mertuanya. Alca juga tak kalah terkejut dengan permintaan Mama Mauren. Dia jelas melihat jika sang istri begitu kaget dengan ucapan Mama Mauren. Dia tahu jika istrinya tidak akan bisa kehilangan anaknya.
Alca menghubungi Papa David dan Papa Adriel. Kebetulan kedua pria paruh baya itu sudah tahu masalah ini. Jadi mereka mau saat diajak bertemu oleh Alca. Alca memilih berbicara di restoran dekat rumah agar pembicaraan itu tidak didengar istrinya. Tak mau menambah pikiran sang istri. Saat sampai di restoran, Alca menceritakan semuanya dengan detail. Tak membela siapa pun. Baik Mama Mauren atau pun Mama Arriel. “Sekarang bagaimana, Pa?” Alca menatap Papa Adriel dan Papa David. Dua pria itu saling pandang. Mereka di sini bingung memberikan pendapat. Keduanya merasa apa yang dilakukan istri mereka ada benarnya. “Mama Arriel ingin sekali memiliki cucu. Jadi wajar jika dia meminta aku dan Ale untuk memberikannya, tapi posisinya Dima masih minum ASI. Di sisi lain Mama Mauren tidak rela jika Dima minum susu formula.” Alca benar-benar bingung harus menuruti mana yang harus dituruti. “Ini adalah pilihan sulit, Al. Aku tidak mau membela siapa-siapa, keduanya punya pemikiran masing-masing.” Pa
“Aku tidak akan memisahkan Dima dari Ale.” Mendengar jawaban itu membuat Papa David lega. Ada setitik harapan. Paling tidak pertengkaran ini akan berakhir. “Karena aku tidak mau memisahkan Ale dengan Dima, maka aku akan mencegah Ale untuk melakukan program kehamilan. Jika Arriel mau cucu, biar saja dia menunggu sampai Dima dua tahun.” Mama Mauren dengan percaya dirinya menjawab. Papa David terperangah dengan jawaban sang istri. Dia pikir sang istri akan menghentikan aksinya. Namun, ternyata hanya berubah haluan saja. “Coba lihatlah dari sudut pandang Arriel. Dia merelakan anaknya demi keinginan Dima. Padahal bisa saja dia menolak. Apalagi Ale seorang janda. Ditambah Ale hamil anak Dima. Namun, mereka mau demi permintaan terakhir Dima. Jika Alca menikah dengan seorang gadis, mungkin saja Arriel sekarang sudah punya cucu. Karena hampir dua tahun Alca menikah. Jadi jika dia berharap anak dari Alca itu adalah hal wajar.” Papa David mencoba menjelaskan lagi. Siapa tahu sang istri menger
Mama Arriel dan Mama Mauren akhirnya turun. Melihat istrinya yang turun, akhirnya para suami memilih untuk turun. Takut jika terjadi peperangan lagi. Mama Arriel dan Mama Mauren berjalan bersama masuk ke dalam rumah. Mereka saling melemparkan lirikan tajam. Papa Adriel dan Papa David hanya bisa saling pandang. Mereka menjadi pengawal istri-istri mereka agar tidak terjadi apa pun. Berjalan tepat di belakang para istri. Ale dan Alca begitu terkejut ketika melihat orang tua mereka datang. Kali ini begitu lengkap. Jadi mereka merasa sedikit aneh. Apalagi kemarin para mama baru saja bertengkar. Sambil memeluk sang anak, Ale menatap suaminya. Meminta pendapat sang suami tentang mama mertuanya yang datang. “Tenanglah.” Alca meyakinkan sang istri. Papa David melihat wajah tegang Ale. Tentu saja itu membuatnya tidak tega. “Jangan buat keributan.” Papa David berbisik pada sang istri. Melihat anak dan menantunya membuatnya merasa harus memberikan peringatan pada sang istri. Mama Mauren hany
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker