Share

Bab 7

Umi Khaira mendekat ke arah Azizah. "Nak, kita bicarakan semua ini bersama. Jangan pernah mengatakan hal itu yang nantinya akan membuatmu menyesal."

"Menyesal? BAhkan saat ini hatiku sudah hancur Umi," tuding Azizah sambil menunjuk dadanya.

"Kita bicarakan semua ini di ruang tamu, biar semuanya clear. Setelah itu terserah kepadamu Nak, mau mengambil keputusan apa. Biarkan kami menjelaskan kenapa kami tidak memberitahukan tentang hubungan antara Fatma dan juga Satria." Abi Haidar berujar, dia mencoba untuk menetralkan suasana yang terlihat sangat tegang.

Akhirnya Azizah mau, walaupun sejujurnya hati dia merasa sangat sakit bagaikan diremas-remas seperti ampas kelapa yang sedang diperas santannya.

Namun, tiba-tiba saja Fatma kembali pingsan karena dia baru pulang dari rumah sakit namun keadaannya juga belum sepenuhnya pulih.

Semua orang menjadi panik, begitu pula dengan Azizah. Apalagi saat melihat hidung Fatma mengeluarkan darah, namun wanita itu mencoba untuk diam hingga akhirnya Satria memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa keadaan istrinya.

.

.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?'' tanya Umi dengan cemas.

Terlihat Dokter yang di tapsir umur 40 tahun itu, menghela nafasnya panjang..

''Keadaannya semakin buruk, Nyonya. Ibu Fatma keadaannya semakin melemah, bahkan terapinya selama ini tak berpengaruh,'' jelas dokter itu dengan wajah pasrah.

''Huhuu ... Bi, anak kita Bi ...'' Umi menangis sejadi jadinya, memeluk tubuh suaminya dengan erat.

''Tenang Mi! Kita hanya bisa berdo'a saja saat ini,'' jelas Abi dengan suara purau.

'Sebenarnya ada apa ini? Mbak Fatma sebenarnya menderita penyakit apa?' batin Azizah tak mengerti.

Azizah melihat madunya terbaring lemah dengan wajah pucat, dan infus di tangannya. Hati Azizah miris melihat keadaan Fatma saat ini. Walaupun dia sakit, tapi Azizah masih mempunyai hati yang tulus. Melihat keadaan Fatma membuat Hawa prihatin.

Satria duduk di kursi di sebelah Fatma. Dia menggenggam tangan kurus itu, lalu mengecupnya dengan pelan. Fatma tersenyum saat Satria mengecup tangannya. Tapi, Fatma juga sadar jika di hati Satria tak ada namanya.

Fatma melihat Azizah berdiri di pojokan, lalu menggerakan tangannya agar Zizah mendekat. Melihat Fatma memintanya mendekat, Zizah pun terpaksa melangkahkan kakinya ke arah sepasang suami istri tersebut.

''Zizah, aku tau kamu sakit dan kecewa," lirih Fatma dengan lemah.

''Fatma, jangan di paksakan ya. Kamu istirahat saja,'' ucap Satria cemas.

Dia tak tega melihat Fatma berbicara dengan suara yang begitu lemah. Tapi Fatma menggelengkan kepalanya, mengatakan jika dia tidak papa. Kemudian Fatma meraih tangan Zizah, dan menggenggamnya.

''Zizah, hati perempuan mana yang tak sakit ketika suaminya menikah kembali? Aku sakit, Zah, sangat sakit. Tapi, itu semua juga harus ku tanggung. Sebab aku yang meminta Mas Satria menikah kembali." Fatma sejenak menjeda ucapannya.

'' Zah, sudah 5 bulan terakhir aku meminta Mas Satria untuk menikah kembali, tapi dia selalu menolaknya. Dan aku hanya ingin ada yang mengurusnya saat aku sudah tiada nanti," tuturnya dengan lemah, "kami menikah bukan karena cinta. Tapi karena perjodohan. Tapi Mas Satria selalu memperlakukan ku dengan baik, walau ku tahu jika di hatinya tak pernah ada cinta untuku. Dan aku berharap Mas Satria bisa membuka hatinya untukmu." Fatma menatap Satria dengan senyuman manisnya.

Azizah tak kuasa menahan air matanya kembali.

''Sayang, maafkan Mas. Mas selalu berusaha mencintaimu, tapi, Mas juga gak mengerti dengan hati ini.'' sesal Satria.

Fatma tersenyum pada suaminya. "Kamu gak salah Mas, hati memang tak bisa di paksakan," ucap Fatma.

''Lalu, kenapa Mbak rela meminta Mas Satria untuk menikah kembali?'' tanya Zizah sambil mengusap air matanya.

Fatma tersenyum pada madunya. "Kamu lihat aku sekarang kan, Zah? Aku di vonis terkena penyakit kanker rahim stadium 4. Dan waktuku tak banyak lagi, Zah. Aku hanya ingin, Mas Satria ada yang menjaga dan melayaninya, saat aku tak lagi di sisinya. Aku juga ingin melihatnya mempunyai keturunan."

Mata Azizah melotot tak percaya, dia tak menyangka jika perempuan di hadapannya itu sedang menderita sakit keras.

''Maafkan aku, Mbak. Aku tidak--"

''Kamu tak perlu minta maaf, Zah. Aku senang karena kamu yang menjadi istri Mas Satria, sekaligus adik maduku. Aku hanya minta kepadamu, Zah, tolong jangan berpisah dari Mas Satria!" pinta Fatma.

''A-aku ...'' Azizah terlihat bimbang.

''Anggaplah ini sebagai permintaan terakhirku padamu, Zah. Aku mohon jangan berpisah! Di sisa waktuku ini, aku mau kita akur sebagai istri Mas Satria. Memang tidak akan mudah, aku tahu itu. Tapi kumohon Zah, aku ingin kita tidak menyakiti dan dendam satu sama lain. Aku ingin kita sebagai Adik dan Kakak.'' pinta Fatma dengan suara lirihnya.

Azizah menangis tersedu-sedu. Dia tak menyangka jika Fatma begitu baik, dan begitu kuat. Hatinya begitu suci seperti sutera. Seketika Zizah memeluk tubuh kurus itu, dan Fatma mengusap kepala Zizah dengan senyum manisnya.

''Kenapa Mbak begitu mulia? Jika aku ada di posisi Mbak, aku pasti tak akan sanggup,'' lirih Zizah.

''Kamu tahu, Zah? Aku yakin, jika Allah sudah memilihkan kamu untuk bersama Mas Satria."

Azizah semakin terisak dengan ucapan Fatma. Kemudian Satria berdiri dan memeluk Zizah untuk pertama kalinya.

''Maafkan aku juga, Zah, jika aku tak jujur padamu,'' sesal Satria.

''Berjanjilah Mbak! Mbak akan sehat. Aku akan membantu Mbak sebagai adik," ujar Zizah mencoba berdamai.

Tadinya ia marah, tapi saat melihat keadaan Fatma, dan melihat kemuliaan wanita itu. Azizah mencoba untuk berdamai dengan keadaan walau sakit dan berat.

Umi yang mendengar ucapan Zizah, segera menghambur memeluknya. Dia terharu karena Zizah mau menerima kenyataan yang begitu pahit.

''Terima kasih Nak, dan maafkan kami,'' ujar Umi.

''Aku memang sakit Mi, tapi benar kata Mbak Fatma. Allah itu maha adil, dan aku yakin jika semua sudah di atur oleh Allah,'' jelas Zizah.

''Masya Allah! Umi bahagia, Nak. Umi mau kamu anggap umi sebagai ibu kamu juga?'' Zizah menatap Satria yang saat ini juga melihatnya.

Entah kenapa, Zizah seperti pernah melihat wajah Satria, dan nama pria itu tidak asing. Tapi Zizah lupa dimana dan siapa. Tetapi, tatapan Satria mengingatkan dia pada seseorang.

Suasana di sana terasa penuh haru, semua sudah lega karena Zizah mau memaafkan Satria dan Fatma. Dan Zizah mau menerima keadaaan Fatma.

'Aku memang sakit, tapi melihat keteguhan. Dan kemuliaan hati Mbak Fatma menyadarkan aku, jika hidup ini tak sepenuhnya sesuai apa yang kita mau. Aku sangat kagum padanya, dia mau menerimaku sebagai adik madunya. Padahal aku tahu hatinya pun pasti sakit. Tapi melihat keadaannya sekarang, membuatku tak tega. Dia harus mengorbankan cintanya untuk di bagi dengan wanita lain, yaitu diriku. Jika Mbak Fatma saja bisa menerimaku dengan lapang dada dan ikhlas, maka aku pun harus begitu. Aku tak mau menyakitinya di saat terakhirnya.'

Satria mengantar Zizah ke kamar setelah Fatma istirahat.

''Mas, nanti malam kamu tidur bersama dengan mbak Fatma ya!" pinta Zizah. Dia menundukkan kepalanya karena sangat segan menatap Satria.

''Gapapa Zah, aku malam ini akan tidur dengan kamu." Azizah langsung menatap Satria dengan mata membulat. Kemudian Satria menggenggam tangan Zizah. "Maaf jika aku sudah jahat. Aku akan mencoba adil."

Azizah semakin menatap lekat pada pria yang menjadi suaminya itu. Entah kenapa tatapan Satria mampu membuat jantung berdebar kencang.

"Kenapa debaran ini sama, ya?" batin Zizah.

"Boleh aku membuka cadarmu?" tanya Satria. Dia sangat penasaran dengan wajah istri keduanya itu.

Fatma mengangguk dengan kepala menunduk, dan dengan perlahan tangan Satria mulai membuka kain hitam itu.

BERSAMBUNG.....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status