Amar histeris melihat tubuh Hanna terpelanting setelah mobil itu menabrak tubuh kecilnya. Terlihat tubuh gadis itu bersimb4h d4r4h. Bibir kecil Amar ingin berteriak, namun ia juga merasakan sakit luar biasa dikepala. Saat tangannya mengusap kulit kepalanya, ia melihat cairan merah segar disana.
"Hanna ..." Ingin rasanya Amar berdiri menghampiri Hanna, kala itu banyak kendaraan berhenti dan orang-orang berteriak tentang kejadian menimpa Hanna. Saat satu kaki berhasil ia gerakkan, namun tiba-tiba pandangannya memudar, Amar tak sadar setelahnya. ... Amar kecil yang terbaring diatas ranjang, membuka matanya perlahan, mendengar ada suara-suara samar di sekelilingnya, namun tubuhnya masih terasa sangat lemah. Saat penglihatannya mulai jelas, ia melihat ayah, ibu, dan kakeknya berdiri di dekat tempat tidurnya, terlihat wajah mereka penuh kekhawatiran. Dengan napas berat, Amar langsung teringat—kejadian itu menghantam pikirannya. "Hanna… Hanna di mana?" tanyanya dengan suara serak, penuh ketakutan. Ibunya, dengan mata yang sedikit memerah, mencoba tersenyum menenangkan. "Amar, tenang dulu, Nak. Kamu baru saja sadar. Jangan terlalu memaksakan dirimu." Amar menepis tangan wanita paruh baya itu. "Jangan sentuh aku, kalian tidak pernah memperdulikan ku. Kalian hanya sibuk dengan urusan kalian sendiri. Hanya Kakek dan Hanna yang peduli tentang kehidupanku," ucapnya dengan intonasi tinggi. "Maafkan kami, Nak." Wanita itu mengusap bulir air mata yang tiba-tiba menggelincir bebas ke pipi. Amar tak bisa menahan diri. Kepanikan menyelimuti diri. Ia mencoba duduk, meski tubuhnya masih terasa berat. "Tidak! Aku harus tahu! Hanna… dia yang mendorongku... dia yang terkena mobil itu! Bagaimana keadaan dia? Di mana dia sekarang?!" Ayahnya menghela napas, wajahnya penuh kebingungan dan kesedihan. "Kami... kami belum tahu, Amar. Saat kejadian itu, kamu langsung dibawa ke sini. Kita di luar negeri sekarang. Kami belum sempat mencari tahu keadaan Hanna." Mendengar jawaban itu, hati Amar seolah hancur berkeping-keping. Rasa marah dan ketakutan bergemuruh dalam diri. Ia menggenggam selimutnya dengan erat, menatap mereka dengan mata yang berkilat. "Bagaimana mungkin kalian tidak tahu? Dia yang telah rela mengorbankan dirinya demi aku. Aku harus pulang... sekarang juga! Aku harus bertemu Hanna!" Kakeknya, yang sejak tadi diam, mendekat dan mencoba menenangkan Amar. "Amar, dengar dulu. Kamu masih lemah. Kita semua ingin tahu keadaan Hanna juga, tapi kamu harus memulihkan diri dulu." Namun, Amar tak peduli. Air mata mulai mengalir di pipinya, dadanya berdegup kencang, penuh dengan kecemasan yang tak tertahankan. "Aku tidak peduli! Aku harus ke Jakarta! Aku harus memastikan dia baik-baik saja! Aku berhutang nyawa padanya, Kek! Bagaimana kalau... bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya?!" Kakek Amar meletakkan tangan di bahu cucunya dengan lembut, meski air mata juga mulai menggenang di matanya. "Amar... kita semua akan mencarinya. Tapi tolong, Nak, jangan sakiti dirimu lebih lagi. Kita akan pulang secepatnya, kita akan cari tahu kabar Hanna." Tapi hati Amar tetap tak tenang. Ia hanya bisa berharap, di setiap denyut jantungnya yang tak beraturan, bahwa Hanna akan selamat—bahwa temannya itu masih hidup, di suatu tempat, menunggunya untuk kembali. Amar merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi jauh di dalam hatinya terasa lebih perih. Bayangan Hanna saat ia mendorongnya menjauh dari mobil yang melaju cepat terus menghantui pikirannya. Ia ingat dengan jelas tatapan mata Hanna, penuh kepedulian dan ketegasan, seolah ia rela melakukan apapun demi menyelamatkan Amar. Dan dalam sekejap, tubuh Hanna yang lemah terlempar, terhempas ke aspal, sementara Amar jatuh ke pinggir jalan, tidak mampu berbuat apa-apa. "Aku harus kembali," pikir Amar. Ia memaksa tubuhnya untuk bergerak, meskipun rasanya setiap otot di tubuhnya berteriak menolak. "Aku harus ke Jakarta. Hanna... dia menyelamatkanku. Bagaimana mungkin aku di sini, sementara dia... dia mungkin..." Pikiran itu tak bisa ia lanjutkan. Dadanya terasa sesak, seperti tercekik oleh rasa bersalah dan ketidakberdayaan. Ibunya mendekati Amar, duduk di tepi tempat tidur dan meraih tangannya. Sentuhan lembutnya terasa menenangkan, tapi tidak cukup untuk meredakan badai dalam hati Amar. "Amar, Nak... kami mengerti perasaanmu. Kami tahu betapa pentingnya Hanna untukmu. Tapi... kamu juga penting bagi kami. Kamu masih butuh perawatan. Tolong, beri kami waktu. Begitu kamu lebih kuat, kita akan pulang." "Waktu? Bagaimana kalau aku tidak punya waktu ...?!" Suasana di ruangan itu menjadi tegang. Semua orang terdiam, menahan napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi tak ada yang bisa menjawab ketakutan terbesar yang kini menggantung di udara—tak ada yang tahu apa yang terjadi pada Hanna. Ayahnya mengusap kasar wajahnya dengan tangan, lalu menatap Amar dengan penuh rasa sakit. "Amar, percayalah. Kami akan melakukan apapun untuk mencari tahu kabar Hanna. Tapi, sekarang kamu harus sembuh dulu. Kamu tidak bisa membantu Hanna jika kamu sendiri masih terluka." Amar ingin berteriak. Ia ingin berlari keluar dari ruangan itu, memaksa tubuhnya untuk pulih dalam sekejap, hanya agar ia bisa pergi ke Jakarta dan memastikan temannya baik-baik saja. Namun, tubuhnya terasa lemah, dan dalam kelemahan itu, kemarahan dan rasa frustrasi menguasainya. "Kalian tidak mengerti," gumamnya, hampir berbisik. "Aku harus tahu sekarang. Hanna... dia satu-satunya yang menyelamatkanku. Bagaimana aku bisa hidup dengan tenang kalau aku tidak tahu apa yang terjadi padanya?" Kakek Amar, yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang, akhirnya berbicara lagi. Suaranya rendah, penuh kebijaksanaan, tapi juga terbalut dengan emosi yang mendalam. "Amar, hidup ini kadang penuh dengan ketidakpastian. Kita sering dihadapkan pada situasi di mana kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang bisa kamu yakini, Nak, adalah bahwa kita akan melakukan apapun untuk memastikan orang-orang yang kita cintai selamat. Percayalah padaku. Kita akan segera mencari Hanna. Tapi untuk sekarang, kamu perlu mengumpulkan kekuatanmu dulu." Amar terdiam. Ucapan kakeknya menyentuh bagian terdalam hatinya, meski rasa panik masih membara di dalam dirinya. Ia tahu, dalam logika yang dingin dan tak terhindarkan, bahwa ia tak bisa langsung pergi begitu saja. Tubuhnya masih lemah, dan bahkan jika ia pergi sekarang, apa yang bisa ia lakukan? Namun hatinya tetap bergolak, tak ingin menerima kenyataan itu. Dalam keheningan yang panjang, air mata Amar akhirnya jatuh. Ia membenci perasaan tak berdaya ini. Ia membenci fakta bahwa ia harus menunggu sementara Hanna mungkin terbaring di suatu tempat, sendirian, terluka. "Aku... aku tidak akan tenang sampai aku tahu dia baik-baik saja," katanya pelan, hampir berbisik pada dirinya sendiri. Ibunya mengusap lembut kepala Amar, sementara ayah dan kakeknya saling bertukar pandang, sadar bahwa perjuangan terbesar Amar belum selesai. Namun mereka tahu, di dalam hati Amar, tak ada yang lebih penting saat ini selain kabar tentang Hanna. "Kami akan segera pulang, Amar," kata ayahnya akhirnya, suaranya penuh janji. "Secepatnya."Setelah keadaan Damar membaik, ia pergi ke Jakarta mencari Hanna. Tidak ada informasi yang jelas mengenai gadis itu, ada yang mengatakan ia di adopsi keluarga kaya dan mereka menyembunyikan identitasnya. Entahlah keluarga Amar tidak dapat menemukannya. Dan terpaksa Damar kecil di ajak tinggal di luar negeri bersama ayah dan ibunya hingga ia dewasa.Terdengar suara ketukan pintu terdengar keras di telinga Damar. Hingga membuyarkan ingatannya tentang Hanna. "Permisi!""Masuk!"Wanita menyebalkan itu kembali terlihat dari pandangannya. Damar mengalihkan wajahnya, malas."Ada perlu apa kau datang ke mari? Apa kau tidak bisa mengerjakan tugasmu dengan baik? Hah!! Aku minta kau mengirimkan hasil pekerjaan itu jam dua siang. Apa telingamu tu li!!" Hentakan itu membuat Anna terkejut. "Maaf, Tuan Damar. Saya hanya memberikan informasi—jika terdapat meeting mendadak bersama pemegang saham terbesar dari perusahaan Adiwijaya Group sebelum jam sebelas."Damar menghembuskan nafas kasar. Anna memp
Jam menunjukkan pukul lima sore. Ia terpaksa menambah jam kerjanya karena pekerjaan itu belum selesai. Ia harus menyelesaikan pekerjaan ini. Anna menatap layar komputernya sampai matanya memerah. Ia berdiri sejenak, melepaskan otot yang sudah kaku seharian duduk di kursi putarnya. Berjalan menuju jendela. Melihat keluar, terlihat lampu-lampu kota Jakarta bersinar, namun beberapa saat kemudian hujan deras turun, menciptakan suasana yang semakin menambah berat beban di pundaknya. Beberapa saat berlalu, ia kembali menduduki kursinya.Anna telah menghabiskan berjam-jam mengerjakan laporan itu. Beberapa kali ia mengecek ulang hasilnya. Kini, dia yakin bahwa setiap detail telah sesuai dengan standar yang diharapkan.Anna akhirnya memutuskan untuk mengirimkan laporan yang telah dikerjakannya ke email Damar. Setelah menekan tombol "Kirim," dia duduk sejenak, merasakan kelelahan dan stres yang melanda tubuhnya. Namun, rasa lega juga mengalir dalam dirinya karena dia merasa telah memberikan y
Mobil mewah Damar melesat cepat. Ia menaikkan beberapa kali tingkat kecepatan agar lekas sampai ditempat tujuan. Sudut bibir yang terangkat tak sedikit pun turun. Ia merasa hari ini, ia harus merayakannya. "Asisten Lian ... Aku akan berikan hadiah besar untukmu! Pekerjaanmu tidak pernah mengecewakanku!" Dua manik mata Damar hanya fokus depan saja. Terkadang sedikit kesal karena beberapa kali melewati jalanan ia terjebak macet, namun tidak berlangsung lama. Ia menggebrak dasbornya merasa tak sabar. "Sungguh jalanan pusat kota tidak pernah ada sepinya! Andai aku jadi Presiden, aku sudah buat lima cabang jalan agar kemacetan kota bisa teratasi. Nyatanya aku hanya seorang Presiden Direktur saja." Bola mata Damar melirik ke kaca spion di atas kepala. Terlihat di sana separuh wajah Damar. Ia sedikit memperjelas dengan menggerakkan wajahnya. Menunduk untuk bisa menjangkau penglihatan pada rambutnya. "Sedikit berantakan! Tapi aku tetap pria paling tampan sejagad raya! Tidak ada satu w
"Maaf Damar, aku tidak ingat. Kecelakaan itu membuatku melupakan hal-hal yang berkenaan denganmu." Dengan cepat ia membalas untuk menutupi kecurigaan Damar. "Ya sudah tidak masalah. Maafkanlah aku karena terlalu memaksa. Baiklah mari kita nikmati hidangan ini bersama." "Ajak juga Asisten kamu, Damar. Dia yang telah berusaha keras untuk menyatukan kita kembali," ucap Hanna tersenyum. Ingin menunjukkan sisi Baiknya pada Damar. "Tidak perlu! Dia hanya pekerja rendahan! Tidak perlu di beri satu penghormatan!" ucap Damar. Lian yang mendengar itu menatap t4j4m ke arah bos-nya tanpa Damar tahu. **** Keesokan harinya ... Tepat pukul tujuh pagi, Asisten Lian mengumpulkan para pegawai untuk berbaris rapi menyambut wanita berharga yang selama ini tuannya cari. Tidak ada waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Asisten hanya akan menyambutnya dengan tangan terbuka. Terlihat dari kaca tebal transparan perusahaan. Sebuah mobil yang sudah resmi di belikan Damar hanya untuk Hann
"Dasar wanita hin4!! Pembuat onar!! Bisa-bisanya mengaku-ngaku sebagai wanita masa lalu Pak Damar. Yang benar saja! Cih!!" ejek yang lain.Mereka bahkan mendorong tubuh Anna hingga jatuh tersungkur! "Dasar wanita tu li!! Jangan bermimpi menjadi wanita yang spesial di hati Pak Damar, kamu seperti kacung hidup! Mengerti!! Kamu dan Nona Hanna bagaikan bumi dan langit. Jauh sekali!!" "Tu li?" Salah satu di antara mereka bertanya. Karena ia tak tahu kebenarannya. "Ya, wanita itu tu li!! Lihat saja di telinga terpasang alat bantu pendengaran, karena dia tu li. Coba saja lepas paksa alat itu. Dia akan bingung karena gak bisa dengar. Huh ... Jadi, mana mungkin Pak Damar melirik wanita tu li seperti dia??" "Parah!!" Gelak tawa mereka sangat menyakitkan hati Anna. Hingga bola mata Anna basah begitu saja, karena rasanya teramat pedih. Assisten Lian yang dari tadi tersenyum sinis di belakang tubuh Anna lekas bertindak. "Sudah! Sudah!! Kalian keterlaluan sekali mempermalukan Nona Anna seper
Siang ini langit Jakarta tampak kelam karena hujan deras tak kunjung reda, terlihat dari dalam membasahi kaca jendela kantor Wiharta Wijaya Group yang megah. Suara turunnya hujan yang teratur seolah menjadi latar belakang menambahnya kesan suram di ruang kerja para pegawai. Di salah satu lantai tertinggi gedung pencakar langit itu, sebuah kantor dengan pintu kaca transparan menjadi pusat perhatian. Di dalamnya, Damar Wijaya, seorang Presiden Direktur Wiharta Wijaya Group yang baru kembali dari luar negeri, duduk di belakang meja kayu yang mengkilap. Sosoknya yang tegap dan wajahnya yang dingin memancarkan aura kekuasaan.Damar Wijaya dikenal sebagai pengusaha yang keras dan tak kenal kompromi. Karyawan di sana pun tahu bahwa berurusan dengan Damar berarti harus siap menghadapi tekanan yang tak tertandingi. Namun, hari ini adalah hari yang istimewa bagi Damar—hari di mana dia akan memberikan pelajaran kepada seorang wanita, Anna, wanita yang akan dijodohkan dengannya. Pria itu berenca
"Permisi, Tuan. Saya Anna membawakan kopi panas Anda."Damar yang mendengar suara Anna tidak lekas menyahut. Bahkan memandang wajahnya saja ia muak. Baginya, tidak akan ada wanita lain yang akan mampu singgah di hatinya. Hanya ada satu nama wanita semasa kecilnya dulu. Tidak ada yang lainnya.Damar menyibukkan tangan dan mata hanya pada meja kerjanya saja. Tidak menggubris ucapan Anna yang telah berdiri sedikit lama di ambang pintu.Tak berani melangkahkan kaki selangkah pun maju. Sebelum pria culas itu mempersilahkan masuk.Anna menghembuskan nafas panjang. Haruskah ia mengulang perkataannya? Padahal yang di rasakan, Damar sudah mendengarnya."Permisi Tuan, saya mengantarkan kopi untuk Anda." Sementara Damar masih dengan urusan pekerjaannya sendiri.'Rasakan, diam saja kau di situ mematung. Sampai kakimu gemetar karena pegal! Siapa suruh berani datang ke perusahaan ku!' batin Damar tertawa senang.Anna menetralkan debaran jantungnya. Tak tahu sekarang, ia harus mundur atau melangka
"Hentikan ucapanmu itu, Damar!! Tidak sepantasnya kamu berbicara buruk tentang Nona Anna. Kakek tidak mau tahu, saat ini Nona Anna adalah sekretaris pribadimu, ke manapun kamu pergi, dia akan ikut bersamamu! Paham! Kamu tidak bisa membantah perintah Kakek! Acara pertunangan kalian akan Kakek percepat!" Ke duanya terkejut. Hingga kornea mata mereka saling beradu."Kek, sudah berapa kali Damar katakan pada Kakek, jika Damar sudah memiliki wanita di hati. Tidak akan ada wanita mana pun yang akan menggantikannya!" Cucu dan kakek itu saling berdebat. Anna hanya diam mendengarnya. "Cukup!! Wanita dua belas tahun lalu yang tak kunjung kau temukan itu, bisa saja dia sudah pergi dan melupakanmu, untuk apa kau menunggunya? Kau hanya buang waktu demi wanita yang tidak jelas keberadaanya!"Pria dengan rahang kokoh itu menghela napas berat. Sorot matanya tajam melihat ke arah Anna."Beri Damar waktu satu Minggu. Jika dalam waktu yang disebutkan, cucu kakek ini belum menemukannya. Maka Damar ak
"Dasar wanita hin4!! Pembuat onar!! Bisa-bisanya mengaku-ngaku sebagai wanita masa lalu Pak Damar. Yang benar saja! Cih!!" ejek yang lain.Mereka bahkan mendorong tubuh Anna hingga jatuh tersungkur! "Dasar wanita tu li!! Jangan bermimpi menjadi wanita yang spesial di hati Pak Damar, kamu seperti kacung hidup! Mengerti!! Kamu dan Nona Hanna bagaikan bumi dan langit. Jauh sekali!!" "Tu li?" Salah satu di antara mereka bertanya. Karena ia tak tahu kebenarannya. "Ya, wanita itu tu li!! Lihat saja di telinga terpasang alat bantu pendengaran, karena dia tu li. Coba saja lepas paksa alat itu. Dia akan bingung karena gak bisa dengar. Huh ... Jadi, mana mungkin Pak Damar melirik wanita tu li seperti dia??" "Parah!!" Gelak tawa mereka sangat menyakitkan hati Anna. Hingga bola mata Anna basah begitu saja, karena rasanya teramat pedih. Assisten Lian yang dari tadi tersenyum sinis di belakang tubuh Anna lekas bertindak. "Sudah! Sudah!! Kalian keterlaluan sekali mempermalukan Nona Anna seper
"Maaf Damar, aku tidak ingat. Kecelakaan itu membuatku melupakan hal-hal yang berkenaan denganmu." Dengan cepat ia membalas untuk menutupi kecurigaan Damar. "Ya sudah tidak masalah. Maafkanlah aku karena terlalu memaksa. Baiklah mari kita nikmati hidangan ini bersama." "Ajak juga Asisten kamu, Damar. Dia yang telah berusaha keras untuk menyatukan kita kembali," ucap Hanna tersenyum. Ingin menunjukkan sisi Baiknya pada Damar. "Tidak perlu! Dia hanya pekerja rendahan! Tidak perlu di beri satu penghormatan!" ucap Damar. Lian yang mendengar itu menatap t4j4m ke arah bos-nya tanpa Damar tahu. **** Keesokan harinya ... Tepat pukul tujuh pagi, Asisten Lian mengumpulkan para pegawai untuk berbaris rapi menyambut wanita berharga yang selama ini tuannya cari. Tidak ada waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Asisten hanya akan menyambutnya dengan tangan terbuka. Terlihat dari kaca tebal transparan perusahaan. Sebuah mobil yang sudah resmi di belikan Damar hanya untuk Hann
Mobil mewah Damar melesat cepat. Ia menaikkan beberapa kali tingkat kecepatan agar lekas sampai ditempat tujuan. Sudut bibir yang terangkat tak sedikit pun turun. Ia merasa hari ini, ia harus merayakannya. "Asisten Lian ... Aku akan berikan hadiah besar untukmu! Pekerjaanmu tidak pernah mengecewakanku!" Dua manik mata Damar hanya fokus depan saja. Terkadang sedikit kesal karena beberapa kali melewati jalanan ia terjebak macet, namun tidak berlangsung lama. Ia menggebrak dasbornya merasa tak sabar. "Sungguh jalanan pusat kota tidak pernah ada sepinya! Andai aku jadi Presiden, aku sudah buat lima cabang jalan agar kemacetan kota bisa teratasi. Nyatanya aku hanya seorang Presiden Direktur saja." Bola mata Damar melirik ke kaca spion di atas kepala. Terlihat di sana separuh wajah Damar. Ia sedikit memperjelas dengan menggerakkan wajahnya. Menunduk untuk bisa menjangkau penglihatan pada rambutnya. "Sedikit berantakan! Tapi aku tetap pria paling tampan sejagad raya! Tidak ada satu w
Jam menunjukkan pukul lima sore. Ia terpaksa menambah jam kerjanya karena pekerjaan itu belum selesai. Ia harus menyelesaikan pekerjaan ini. Anna menatap layar komputernya sampai matanya memerah. Ia berdiri sejenak, melepaskan otot yang sudah kaku seharian duduk di kursi putarnya. Berjalan menuju jendela. Melihat keluar, terlihat lampu-lampu kota Jakarta bersinar, namun beberapa saat kemudian hujan deras turun, menciptakan suasana yang semakin menambah berat beban di pundaknya. Beberapa saat berlalu, ia kembali menduduki kursinya.Anna telah menghabiskan berjam-jam mengerjakan laporan itu. Beberapa kali ia mengecek ulang hasilnya. Kini, dia yakin bahwa setiap detail telah sesuai dengan standar yang diharapkan.Anna akhirnya memutuskan untuk mengirimkan laporan yang telah dikerjakannya ke email Damar. Setelah menekan tombol "Kirim," dia duduk sejenak, merasakan kelelahan dan stres yang melanda tubuhnya. Namun, rasa lega juga mengalir dalam dirinya karena dia merasa telah memberikan y
Setelah keadaan Damar membaik, ia pergi ke Jakarta mencari Hanna. Tidak ada informasi yang jelas mengenai gadis itu, ada yang mengatakan ia di adopsi keluarga kaya dan mereka menyembunyikan identitasnya. Entahlah keluarga Amar tidak dapat menemukannya. Dan terpaksa Damar kecil di ajak tinggal di luar negeri bersama ayah dan ibunya hingga ia dewasa.Terdengar suara ketukan pintu terdengar keras di telinga Damar. Hingga membuyarkan ingatannya tentang Hanna. "Permisi!""Masuk!"Wanita menyebalkan itu kembali terlihat dari pandangannya. Damar mengalihkan wajahnya, malas."Ada perlu apa kau datang ke mari? Apa kau tidak bisa mengerjakan tugasmu dengan baik? Hah!! Aku minta kau mengirimkan hasil pekerjaan itu jam dua siang. Apa telingamu tu li!!" Hentakan itu membuat Anna terkejut. "Maaf, Tuan Damar. Saya hanya memberikan informasi—jika terdapat meeting mendadak bersama pemegang saham terbesar dari perusahaan Adiwijaya Group sebelum jam sebelas."Damar menghembuskan nafas kasar. Anna memp
Amar histeris melihat tubuh Hanna terpelanting setelah mobil itu menabrak tubuh kecilnya. Terlihat tubuh gadis itu bersimb4h d4r4h. Bibir kecil Amar ingin berteriak, namun ia juga merasakan sakit luar biasa dikepala. Saat tangannya mengusap kulit kepalanya, ia melihat cairan merah segar disana. "Hanna ..."Ingin rasanya Amar berdiri menghampiri Hanna, kala itu banyak kendaraan berhenti dan orang-orang berteriak tentang kejadian menimpa Hanna. Saat satu kaki berhasil ia gerakkan, namun tiba-tiba pandangannya memudar, Amar tak sadar setelahnya....Amar kecil yang terbaring diatas ranjang, membuka matanya perlahan, mendengar ada suara-suara samar di sekelilingnya, namun tubuhnya masih terasa sangat lemah. Saat penglihatannya mulai jelas, ia melihat ayah, ibu, dan kakeknya berdiri di dekat tempat tidurnya, terlihat wajah mereka penuh kekhawatiran.Dengan napas berat, Amar langsung teringat—kejadian itu menghantam pikirannya. "Hanna… Hanna di mana?" tanyanya dengan suara serak, penuh
"Hentikan ucapanmu itu, Damar!! Tidak sepantasnya kamu berbicara buruk tentang Nona Anna. Kakek tidak mau tahu, saat ini Nona Anna adalah sekretaris pribadimu, ke manapun kamu pergi, dia akan ikut bersamamu! Paham! Kamu tidak bisa membantah perintah Kakek! Acara pertunangan kalian akan Kakek percepat!" Ke duanya terkejut. Hingga kornea mata mereka saling beradu."Kek, sudah berapa kali Damar katakan pada Kakek, jika Damar sudah memiliki wanita di hati. Tidak akan ada wanita mana pun yang akan menggantikannya!" Cucu dan kakek itu saling berdebat. Anna hanya diam mendengarnya. "Cukup!! Wanita dua belas tahun lalu yang tak kunjung kau temukan itu, bisa saja dia sudah pergi dan melupakanmu, untuk apa kau menunggunya? Kau hanya buang waktu demi wanita yang tidak jelas keberadaanya!"Pria dengan rahang kokoh itu menghela napas berat. Sorot matanya tajam melihat ke arah Anna."Beri Damar waktu satu Minggu. Jika dalam waktu yang disebutkan, cucu kakek ini belum menemukannya. Maka Damar ak
"Permisi, Tuan. Saya Anna membawakan kopi panas Anda."Damar yang mendengar suara Anna tidak lekas menyahut. Bahkan memandang wajahnya saja ia muak. Baginya, tidak akan ada wanita lain yang akan mampu singgah di hatinya. Hanya ada satu nama wanita semasa kecilnya dulu. Tidak ada yang lainnya.Damar menyibukkan tangan dan mata hanya pada meja kerjanya saja. Tidak menggubris ucapan Anna yang telah berdiri sedikit lama di ambang pintu.Tak berani melangkahkan kaki selangkah pun maju. Sebelum pria culas itu mempersilahkan masuk.Anna menghembuskan nafas panjang. Haruskah ia mengulang perkataannya? Padahal yang di rasakan, Damar sudah mendengarnya."Permisi Tuan, saya mengantarkan kopi untuk Anda." Sementara Damar masih dengan urusan pekerjaannya sendiri.'Rasakan, diam saja kau di situ mematung. Sampai kakimu gemetar karena pegal! Siapa suruh berani datang ke perusahaan ku!' batin Damar tertawa senang.Anna menetralkan debaran jantungnya. Tak tahu sekarang, ia harus mundur atau melangka
Siang ini langit Jakarta tampak kelam karena hujan deras tak kunjung reda, terlihat dari dalam membasahi kaca jendela kantor Wiharta Wijaya Group yang megah. Suara turunnya hujan yang teratur seolah menjadi latar belakang menambahnya kesan suram di ruang kerja para pegawai. Di salah satu lantai tertinggi gedung pencakar langit itu, sebuah kantor dengan pintu kaca transparan menjadi pusat perhatian. Di dalamnya, Damar Wijaya, seorang Presiden Direktur Wiharta Wijaya Group yang baru kembali dari luar negeri, duduk di belakang meja kayu yang mengkilap. Sosoknya yang tegap dan wajahnya yang dingin memancarkan aura kekuasaan.Damar Wijaya dikenal sebagai pengusaha yang keras dan tak kenal kompromi. Karyawan di sana pun tahu bahwa berurusan dengan Damar berarti harus siap menghadapi tekanan yang tak tertandingi. Namun, hari ini adalah hari yang istimewa bagi Damar—hari di mana dia akan memberikan pelajaran kepada seorang wanita, Anna, wanita yang akan dijodohkan dengannya. Pria itu berenca