Amar histeris melihat tubuh Hanna terpelanting setelah mobil itu menabrak tubuh kecilnya. Terlihat tubuh gadis itu bersimb4h d4r4h. Bibir kecil Amar ingin berteriak, namun ia juga merasakan sakit luar biasa dikepala. Saat tangannya mengusap kulit kepalanya, ia melihat cairan merah segar disana.
"Hanna ..." Ingin rasanya Amar berdiri menghampiri Hanna, kala itu banyak kendaraan berhenti dan orang-orang berteriak tentang kejadian menimpa Hanna. Saat satu kaki berhasil ia gerakkan, namun tiba-tiba pandangannya memudar, Amar tak sadar setelahnya. ... Amar kecil yang terbaring diatas ranjang, membuka matanya perlahan, mendengar ada suara-suara samar di sekelilingnya, namun tubuhnya masih terasa sangat lemah. Saat penglihatannya mulai jelas, ia melihat ayah, ibu, dan kakeknya berdiri di dekat tempat tidurnya, terlihat wajah mereka penuh kekhawatiran. Dengan napas berat, Amar langsung teringat—kejadian itu menghantam pikirannya. "Hanna… Hanna di mana?" tanyanya dengan suara serak, penuh ketakutan. Ibunya, dengan mata yang sedikit memerah, mencoba tersenyum menenangkan. "Amar, tenang dulu, Nak. Kamu baru saja sadar. Jangan terlalu memaksakan dirimu." Amar menepis tangan wanita paruh baya itu. "Jangan sentuh aku, kalian tidak pernah memperdulikan ku. Kalian hanya sibuk dengan urusan kalian sendiri. Hanya Kakek dan Hanna yang peduli tentang kehidupanku," ucapnya dengan intonasi tinggi. "Maafkan kami, Nak." Wanita itu mengusap bulir air mata yang tiba-tiba menggelincir bebas ke pipi. Amar tak bisa menahan diri. Kepanikan menyelimuti diri. Ia mencoba duduk, meski tubuhnya masih terasa berat. "Tidak! Aku harus tahu! Hanna… dia yang mendorongku... dia yang terkena mobil itu! Bagaimana keadaan dia? Di mana dia sekarang?!" Ayahnya menghela napas, wajahnya penuh kebingungan dan kesedihan. "Kami... kami belum tahu, Amar. Saat kejadian itu, kamu langsung dibawa ke sini. Kita di luar negeri sekarang. Kami belum sempat mencari tahu keadaan Hanna." Mendengar jawaban itu, hati Amar seolah hancur berkeping-keping. Rasa marah dan ketakutan bergemuruh dalam diri. Ia menggenggam selimutnya dengan erat, menatap mereka dengan mata yang berkilat. "Bagaimana mungkin kalian tidak tahu? Dia yang telah rela mengorbankan dirinya demi aku. Aku harus pulang... sekarang juga! Aku harus bertemu Hanna!" Kakeknya, yang sejak tadi diam, mendekat dan mencoba menenangkan Amar. "Amar, dengar dulu. Kamu masih lemah. Kita semua ingin tahu keadaan Hanna juga, tapi kamu harus memulihkan diri dulu." Namun, Amar tak peduli. Air mata mulai mengalir di pipinya, dadanya berdegup kencang, penuh dengan kecemasan yang tak tertahankan. "Aku tidak peduli! Aku harus ke Jakarta! Aku harus memastikan dia baik-baik saja! Aku berhutang nyawa padanya, Kek! Bagaimana kalau... bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya?!" Kakek Amar meletakkan tangan di bahu cucunya dengan lembut, meski air mata juga mulai menggenang di matanya. "Amar... kita semua akan mencarinya. Tapi tolong, Nak, jangan sakiti dirimu lebih lagi. Kita akan pulang secepatnya, kita akan cari tahu kabar Hanna." Tapi hati Amar tetap tak tenang. Ia hanya bisa berharap, di setiap denyut jantungnya yang tak beraturan, bahwa Hanna akan selamat—bahwa temannya itu masih hidup, di suatu tempat, menunggunya untuk kembali. Amar merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi jauh di dalam hatinya terasa lebih perih. Bayangan Hanna saat ia mendorongnya menjauh dari mobil yang melaju cepat terus menghantui pikirannya. Ia ingat dengan jelas tatapan mata Hanna, penuh kepedulian dan ketegasan, seolah ia rela melakukan apapun demi menyelamatkan Amar. Dan dalam sekejap, tubuh Hanna yang lemah terlempar, terhempas ke aspal, sementara Amar jatuh ke pinggir jalan, tidak mampu berbuat apa-apa. "Aku harus kembali," pikir Amar. Ia memaksa tubuhnya untuk bergerak, meskipun rasanya setiap otot di tubuhnya berteriak menolak. "Aku harus ke Jakarta. Hanna... dia menyelamatkanku. Bagaimana mungkin aku di sini, sementara dia... dia mungkin..." Pikiran itu tak bisa ia lanjutkan. Dadanya terasa sesak, seperti tercekik oleh rasa bersalah dan ketidakberdayaan. Ibunya mendekati Amar, duduk di tepi tempat tidur dan meraih tangannya. Sentuhan lembutnya terasa menenangkan, tapi tidak cukup untuk meredakan badai dalam hati Amar. "Amar, Nak... kami mengerti perasaanmu. Kami tahu betapa pentingnya Hanna untukmu. Tapi... kamu juga penting bagi kami. Kamu masih butuh perawatan. Tolong, beri kami waktu. Begitu kamu lebih kuat, kita akan pulang." "Waktu? Bagaimana kalau aku tidak punya waktu ...?!" Suasana di ruangan itu menjadi tegang. Semua orang terdiam, menahan napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi tak ada yang bisa menjawab ketakutan terbesar yang kini menggantung di udara—tak ada yang tahu apa yang terjadi pada Hanna. Ayahnya mengusap kasar wajahnya dengan tangan, lalu menatap Amar dengan penuh rasa sakit. "Amar, percayalah. Kami akan melakukan apapun untuk mencari tahu kabar Hanna. Tapi, sekarang kamu harus sembuh dulu. Kamu tidak bisa membantu Hanna jika kamu sendiri masih terluka." Amar ingin berteriak. Ia ingin berlari keluar dari ruangan itu, memaksa tubuhnya untuk pulih dalam sekejap, hanya agar ia bisa pergi ke Jakarta dan memastikan temannya baik-baik saja. Namun, tubuhnya terasa lemah, dan dalam kelemahan itu, kemarahan dan rasa frustrasi menguasainya. "Kalian tidak mengerti," gumamnya, hampir berbisik. "Aku harus tahu sekarang. Hanna... dia satu-satunya yang menyelamatkanku. Bagaimana aku bisa hidup dengan tenang kalau aku tidak tahu apa yang terjadi padanya?" Kakek Amar, yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang, akhirnya berbicara lagi. Suaranya rendah, penuh kebijaksanaan, tapi juga terbalut dengan emosi yang mendalam. "Amar, hidup ini kadang penuh dengan ketidakpastian. Kita sering dihadapkan pada situasi di mana kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang bisa kamu yakini, Nak, adalah bahwa kita akan melakukan apapun untuk memastikan orang-orang yang kita cintai selamat. Percayalah padaku. Kita akan segera mencari Hanna. Tapi untuk sekarang, kamu perlu mengumpulkan kekuatanmu dulu." Amar terdiam. Ucapan kakeknya menyentuh bagian terdalam hatinya, meski rasa panik masih membara di dalam dirinya. Ia tahu, dalam logika yang dingin dan tak terhindarkan, bahwa ia tak bisa langsung pergi begitu saja. Tubuhnya masih lemah, dan bahkan jika ia pergi sekarang, apa yang bisa ia lakukan? Namun hatinya tetap bergolak, tak ingin menerima kenyataan itu. Dalam keheningan yang panjang, air mata Amar akhirnya jatuh. Ia membenci perasaan tak berdaya ini. Ia membenci fakta bahwa ia harus menunggu sementara Hanna mungkin terbaring di suatu tempat, sendirian, terluka. "Aku... aku tidak akan tenang sampai aku tahu dia baik-baik saja," katanya pelan, hampir berbisik pada dirinya sendiri. Ibunya mengusap lembut kepala Amar, sementara ayah dan kakeknya saling bertukar pandang, sadar bahwa perjuangan terbesar Amar belum selesai. Namun mereka tahu, di dalam hati Amar, tak ada yang lebih penting saat ini selain kabar tentang Hanna. "Kami akan segera pulang, Amar," kata ayahnya akhirnya, suaranya penuh janji. "Secepatnya."Setelah keadaan Damar membaik, ia pergi ke Jakarta mencari Hanna. Tidak ada informasi yang jelas mengenai gadis itu, ada yang mengatakan ia di adopsi keluarga kaya dan mereka menyembunyikan identitasnya. Entahlah keluarga Amar tidak dapat menemukannya. Dan terpaksa Damar kecil di ajak tinggal di luar negeri bersama ayah dan ibunya hingga ia dewasa.Terdengar suara ketukan pintu terdengar keras di telinga Damar. Hingga membuyarkan ingatannya tentang Hanna. "Permisi!""Masuk!"Wanita menyebalkan itu kembali terlihat dari pandangannya. Damar mengalihkan wajahnya, malas."Ada perlu apa kau datang ke mari? Apa kau tidak bisa mengerjakan tugasmu dengan baik? Hah!! Aku minta kau mengirimkan hasil pekerjaan itu jam dua siang. Apa telingamu tu li!!" Hentakan itu membuat Anna terkejut. "Maaf, Tuan Damar. Saya hanya memberikan informasi—jika terdapat meeting mendadak bersama pemegang saham terbesar dari perusahaan Adiwijaya Group sebelum jam sebelas."Damar menghembuskan nafas kasar. Anna memp
Jam menunjukkan pukul lima sore. Ia terpaksa menambah jam kerjanya karena pekerjaan itu belum selesai. Ia harus menyelesaikan pekerjaan ini. Anna menatap layar komputernya sampai matanya memerah. Ia berdiri sejenak, melepaskan otot yang sudah kaku seharian duduk di kursi putarnya. Berjalan menuju jendela. Melihat keluar, terlihat lampu-lampu kota Jakarta bersinar, namun beberapa saat kemudian hujan deras turun, menciptakan suasana yang semakin menambah berat beban di pundaknya. Beberapa saat berlalu, ia kembali menduduki kursinya.Anna telah menghabiskan berjam-jam mengerjakan laporan itu. Beberapa kali ia mengecek ulang hasilnya. Kini, dia yakin bahwa setiap detail telah sesuai dengan standar yang diharapkan.Anna akhirnya memutuskan untuk mengirimkan laporan yang telah dikerjakannya ke email Damar. Setelah menekan tombol "Kirim," dia duduk sejenak, merasakan kelelahan dan stres yang melanda tubuhnya. Namun, rasa lega juga mengalir dalam dirinya karena dia merasa telah memberikan y
Mobil mewah Damar melesat cepat. Ia menaikkan beberapa kali tingkat kecepatan agar lekas sampai ditempat tujuan. Sudut bibir yang terangkat tak sedikit pun turun. Ia merasa hari ini, ia harus merayakannya. "Asisten Lian ... Aku akan berikan hadiah besar untukmu! Pekerjaanmu tidak pernah mengecewakanku!" Dua manik mata Damar hanya fokus depan saja. Terkadang sedikit kesal karena beberapa kali melewati jalanan ia terjebak macet, namun tidak berlangsung lama. Ia menggebrak dasbornya merasa tak sabar. "Sungguh jalanan pusat kota tidak pernah ada sepinya! Andai aku jadi Presiden, aku sudah buat lima cabang jalan agar kemacetan kota bisa teratasi. Nyatanya aku hanya seorang Presiden Direktur saja." Bola mata Damar melirik ke kaca spion di atas kepala. Terlihat di sana separuh wajah Damar. Ia sedikit memperjelas dengan menggerakkan wajahnya. Menunduk untuk bisa menjangkau penglihatan pada rambutnya. "Sedikit berantakan! Tapi aku tetap pria paling tampan sejagad raya! Tidak ada satu w
"Maaf Damar, aku tidak ingat. Kecelakaan itu membuatku melupakan hal-hal yang berkenaan denganmu." Dengan cepat ia membalas untuk menutupi kecurigaan Damar. "Ya sudah tidak masalah. Maafkanlah aku karena terlalu memaksa. Baiklah mari kita nikmati hidangan ini bersama." "Ajak juga Asisten kamu, Damar. Dia yang telah berusaha keras untuk menyatukan kita kembali," ucap Hanna tersenyum. Ingin menunjukkan sisi Baiknya pada Damar. "Tidak perlu! Dia hanya pekerja rendahan! Tidak perlu di beri satu penghormatan!" ucap Damar. Lian yang mendengar itu menatap t4j4m ke arah bos-nya tanpa Damar tahu. **** Keesokan harinya ... Tepat pukul tujuh pagi, Asisten Lian mengumpulkan para pegawai untuk berbaris rapi menyambut wanita berharga yang selama ini tuannya cari. Tidak ada waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Asisten hanya akan menyambutnya dengan tangan terbuka. Terlihat dari kaca tebal transparan perusahaan. Sebuah mobil yang sudah resmi di belikan Damar hanya untuk Hann
"Dasar wanita hin4!! Pembuat onar!! Bisa-bisanya mengaku-ngaku sebagai wanita masa lalu Pak Damar. Yang benar saja! Cih!!" ejek yang lain.Mereka bahkan mendorong tubuh Anna hingga jatuh tersungkur! "Dasar wanita tu li!! Jangan bermimpi menjadi wanita yang spesial di hati Pak Damar, kamu seperti kacung hidup! Mengerti!! Kamu dan Nona Hanna bagaikan bumi dan langit. Jauh sekali!!" "Tu li?" Salah satu di antara mereka bertanya. Karena ia tak tahu kebenarannya. "Ya, wanita itu tu li!! Lihat saja di telinga terpasang alat bantu pendengaran, karena dia tu li. Coba saja lepas paksa alat itu. Dia akan bingung karena gak bisa dengar. Huh ... Jadi, mana mungkin Pak Damar melirik wanita tu li seperti dia??" "Parah!!" Gelak tawa mereka sangat menyakitkan hati Anna. Hingga bola mata Anna basah begitu saja, karena rasanya teramat pedih. Assisten Lian yang dari tadi tersenyum sinis di belakang tubuh Anna lekas bertindak. "Sudah! Sudah!! Kalian keterlaluan sekali mempermalukan Nona Anna seper
Sementara di ruang kerja Damar ...Pria dengan postur tubuh sempurna itu memandang wajah Hanna. Wanita cantik itu duduk di hadapannya. Hanya ada pembatas meja.Lengkung bibir Damar pun tak kunjung turun. Ia tak tahu lagi, bagaimana ia mengutarakan kebahagiannya."Perasaan dari tadi aku liat kamu hanya senyum-senyum saja? Memang apa yang membuatmu bahagia, Damar?" Hanna, wanita pembohong itu meletakkan dagu di telapak tangan. Ia pun memandang wajah Damar yang rupawan. Keduanya saling pandang."Aku tak menyangka, kamu sangat cantik."Hanna tersipu malu, ia membuang wajahnya karena tak kuasa mendengar pujian Damar untuknya."Ah. Kamu terlalu berlebihan, Damar. Aku tak secantik itu.""Aku tidak pernah mengatakan dusta, Hanna. Oh ya, kamu tinggal di mana? Boleh tidak, aku mengantar kamu pulang nanti?"Jantung Hanna berdebar. 'Diantar pulang? Aduh, bagaimana ini?' gumamnya cemas."Hah? Ah, tidak perlu Damar. Aku bisa pulang sendiri. Hadiah mobil termahal yang kau beri untukku, mampu mengan
Sementara dalam perjalanan Asisten Lian dan Hanna..."Sayang ... Beri aku separuh hadiah yang kau terima dari Damar! Ini tidak adil jika kau habiskan sendiri uang itu! Uang tersebut tidak akan habis tujuh turunan!" ucap Delia nama asli dari dramanya memerankan sebagai peran Hanna. Ia memasang wajah cemberutnya.Asisten Lian tertawa keras. Ia mencubit pipi Delia gemas. "Dasar wanita. Selalu memiliki sifat iri! Apa kamu lupa, mobil ini pun harganya fantastis? Selama kamu bisa memerankan drama kamu sebagai Anna, kamu akan banjir uang, Sayang!! Uang yang kuterima tidak akan ada artinya untukmu!"Delia bergeming sejenak. Memikirkan ucapan Lian. Hingga bayangan-bayangan yang dirakit dalam otaknya pun berjalan. "Benar, aku bisa merasakan juga kekayaan yang dimiliki Damar selama aku di sampingnya. Melihat bajuku kotor saja tanpa pikir panjang ia segera mentransfer sejumlah uang untukku membeli pakaian. Loyal banget pria itu! Apa dia pria bodoh ya? " Delia menurunkan bibirnya."Entahlah, dia
Damar bergeming sejenak mendengarkan permainan biola indah yang tidak pernah di dengarnya.Terakhir kali ia mendengarkan permainan itu saat Hanna menampilkan padanya dulu."Amar, bagaimana permainan biola ku? Jelek gak?" tanya Hanna setelah beberapa menit ia memainkan permainan biola kegemarannya.Hanna sangat senang bermain biola. Karena biola adalah hidupnya. Saat ia sedih, hanya suara biola yang dapat menenangkannya. "Bagus Hanna. Wah ... Kamu jago sekali bermain biola? Kamu pasti menang ikut perlombaan itu!!" puji Amar menunjukkan kesungguhan."Benarkah? Aku jadi semangat untuk mengikutinya, Amar.""Tentu. Oh ya, saat kamu ikut perlombaan itu terus menang dan mendapatkan uang banyak, kamu jangan melupakan aku ya? Aku takut, setelah kamu sukses, terus melupakan aku, Hanna!" celetuk Amar polos."Aku sudah berkali-kali katakan padamu, Amar. Aku tidak akan pernah melupakan kamu," ucap Hanna."Oke ..."Sebelum perlombaan dimulai, ia mempertaruhkan nyawanya demi menolong Amar...Ia bar
Delia mengetuk pintu ruangan Damar. Setelah suara balasan dari dalam ruang menyahut, wanita itu pun segera masuk ke dalam tanpa ragu. Melangkahkan kakinya yang jenjang dengan mengenakan sepatu hitam dengan hak tinggi.Semula Damar sibuk dengan laptopnya. Terpaksa ia hentikan pekerjaannya demi wanita special itu. "Hanna? Pagi sekali kau datang? Kenapa tidak memberi tahuku jika mau datang? Aku kan menjemputmu."Delia menarik sudut bibirnya ke samping. "Bukan kamu yang jemput tapi pasti menyuruh asisten kamu, kan Damar?" Damar hanya tersenyum gemas. "Tidak akan Hanna, kamu kan wanita yang berharga demi apapun di dunia ini. Aku akan prioritaskan kamu meski aku sedang sibuk sekalipun."Seperti sebelumnya, wanita dengan tipu daya itu akan menunjukkan wajah sedih. Ia harus menjadikan dirinya penipu ulung. Damar harus tahu jika Delia benar-benar terpukul akan idenya.Di ruangan besar dan mewah kantor Damar itu, Hanna palsu—Delia—duduk di sofa dekat meja kerja Damar. Ia tersenyum lembut, mena
Di aula pertemuan besar kantor pusat Wijaya Group, suasana yang biasanya penuh semangat mendadak sepi. Para pegawai duduk dalam keheningan, menunggu pengumuman penting yang akan disampaikan oleh Presiden Direktur, Damar, dan Kakek Wijaya. Wajah-wajah mereka dipenuhi tanda tanya. Semua orang telah mendengar desas-desus tentang wanita masa lalu Damar yang telah ditemukan, tetapi tak ada yang menyangka bahwa hari ini mereka akan mendengar pengumuman tentang pernikahan.Damar berdiri di depan ruangan, wajahnya tampak tenang namun tatapannya tajam. Di sebelahnya, Kakek Wijaya tersenyum bangga, seolah-olah semua yang telah direncanakannya berjalan sesuai keinginan. Di sudut ruangan, berdiri Anna. Ia tampak terkejut dan cemas, tak tahu apa yang akan terjadi. Ia merasa tak ada firasat buruk, namun getaran aneh mengguncang hatinya. Dan yang paling tak terduga, nama dirinya akan disebut.Damar melangkah maju ke podium, mikrofon di genggamannya. Suasana tegang, semua mata tertuju padanya.Dam
Keesokan paginya, di ruang keluarga yang luas dan megah, Damar duduk diam di sofa kulit berwarna cokelat tua, dipenuhi aroma kayu tua dan hiasan-hiasan antik, memandang keluar jendela besar yang menghadap taman. Cahaya matahari yang cerah membanjiri ruangan, tapi dalam hati Damar, hanya ada kegelapan dan kekosongan. Di seberangnya, Kakek Wijaya duduk dengan tenang di kursi kayu dengan ukiran indah, wajah tuanya dipenuhi keriput yang menunjukkan pengalaman hidup panjang, namun di matanya, masih ada sinar harapan yang belum padam.Untuk kesekian kalinya, percakapan tentang pernikahan itu kembali mengemuka. Kakek Wijaya telah lama mendorong Damar untuk menikah, dan nama Anna-lah yang disebutnya berulang kali, meski Damar telah menunjukkan kebaikan Delia berulang kali, tetap saja Kakek tidak pernah memandang Delia sebagai wanita terbaik untuk Damar. Wanita yang selama ini bekerja sebagai sekretaris Damar. Wanita yang dalam pandangan Damar, tidak lebih dari sosok wanita hina yang tidak
Damar baru ingat, jika semua terjadi yang menimpanya karena ulah Anna. Sorot matanya menelusuri ruang kamarnya. Ia tak mendapati Anna di sana.Asisten Lian yang tanggap segera bertanya, "Tuan, apa yang sedang Anda cari?" Meskipun sebenarnya dia tahu jika sedang mencari Anna."Kau tahu di mana Anna? Wanita hina yang merusak hidupku! Wanita yang datang dan mengobrak abrikkan diriku? Gara-gara Anna, aku tenggelam. Dan gara-gara Anna juga aku di permalukan banyak orang. Mereka semua jadi tahu jika aku pria lemah yang tidak bisa berenang," ucapannya pada Asisten Lian."Wanita itu harus di hukum, Asisten Lian!!" sambungnya tidak terima."Gara-gara dia, aku hampir ma ti!!" Kakek Wijaya menggeleng kepala. "Kejadian yang menimpamu itu karena ulahmu sendiri, bagaimana bisa kamu menyalahkan Nona Anna!?" Pria tua itu tetap tidak setuju jika Damar menyalahkannya.Hanya mengulas senyum getir. "Kakek akan mempercepat pernikahan kalian."Baik Damar, Delia dan Lian bertanya-tanya. Kalian siapa maksu
Di koridor luar kamar Damar yang sepi, Lian berdiri bersandar di dinding, napasnya cepat dan penuh emosi yang tertahan. Dia melirik kanan-kiri, memastikan tidak ada orang yang mendengar, sebelum berbalik menghadapi Delia yang berdiri di dekatnya dengan ekspresi gugup.Lian, aku hanya melakukan apa yang kau minta," bisik Delia, mencoba membela diri, meski nadanya terdengar lemah.Namun Lian tidak bisa menahan kekesalannya lebih lama lagi. Wajahnya merah, rahangnya mengeras, dan suaranya nyaris tertahan agar tak terdengar dari dalam ruangan Damar."Melakukan apa yang aku minta? Serius, Delia? Itu sama sekali bukan yang aku inginkan!" Lian membentak, suaranya rendah namun tajam seperti pisau. "Kau seharusnya hanya pura-pura menjadi wanita masa lalunya, bukan malah memberikan napas buatan seolah-olah kau benar-benar menyelamatkannya!"Asisten Lian berkata kasar pada Delia, karena di otaknya sudah mulai berasap. "Apa kamu menikmatinya, hah? Apa kau sadar? Aku sangat cemburu melihat semua
Setelah beberapa saat terhenti, Kakek Wijaya berkata lagi, "Bahwa saya akan segera mengadakan pertunangan cucu saya dengan Nona Anna," ucap Kakek Wijaya dengan sangat jelas, sembari memegang bahu Anna di sampingnya sebagai petunjuk wanita inilah yang akan menjadi pendamping cucunya.Bagai kebakaran jenggot, Delia menggoyangkan lengan Damar dan mengatakan, "Damar. Apa benar yang di katakan Kakek?" Wanita itu merasa tidak bisa menerima. Begitu pula Anna yang terkejut mendengar penuturan Kakek.Sementara Damar tertegun beberapa saat. Setelah ia bisa mencerna dengan baik ucapan sang kakek, ia berjalan maju mendekati kakeknya."Apa yang kakek katakan? Damar tidak mungkin menerima wanita itu sebagai pendamping hidup Damar. Bukankah Damar sudah katakan jika sebenarnya wanita masa lalu cucu kakek sudah Damar temukan!" Damar mengatur ritme nafasnya. Ia sungguh ingin murka karena keputusan sepihak Kakeknya. "Kakek tidak mau tahu, karena pilihan Kakek hanya untuk Nona Anna. Hanya dia yang panta
Damar bergeming sejenak mendengarkan permainan biola indah yang tidak pernah di dengarnya.Terakhir kali ia mendengarkan permainan itu saat Hanna menampilkan padanya dulu."Amar, bagaimana permainan biola ku? Jelek gak?" tanya Hanna setelah beberapa menit ia memainkan permainan biola kegemarannya.Hanna sangat senang bermain biola. Karena biola adalah hidupnya. Saat ia sedih, hanya suara biola yang dapat menenangkannya. "Bagus Hanna. Wah ... Kamu jago sekali bermain biola? Kamu pasti menang ikut perlombaan itu!!" puji Amar menunjukkan kesungguhan."Benarkah? Aku jadi semangat untuk mengikutinya, Amar.""Tentu. Oh ya, saat kamu ikut perlombaan itu terus menang dan mendapatkan uang banyak, kamu jangan melupakan aku ya? Aku takut, setelah kamu sukses, terus melupakan aku, Hanna!" celetuk Amar polos."Aku sudah berkali-kali katakan padamu, Amar. Aku tidak akan pernah melupakan kamu," ucap Hanna."Oke ..."Sebelum perlombaan dimulai, ia mempertaruhkan nyawanya demi menolong Amar...Ia bar
Sementara dalam perjalanan Asisten Lian dan Hanna..."Sayang ... Beri aku separuh hadiah yang kau terima dari Damar! Ini tidak adil jika kau habiskan sendiri uang itu! Uang tersebut tidak akan habis tujuh turunan!" ucap Delia nama asli dari dramanya memerankan sebagai peran Hanna. Ia memasang wajah cemberutnya.Asisten Lian tertawa keras. Ia mencubit pipi Delia gemas. "Dasar wanita. Selalu memiliki sifat iri! Apa kamu lupa, mobil ini pun harganya fantastis? Selama kamu bisa memerankan drama kamu sebagai Anna, kamu akan banjir uang, Sayang!! Uang yang kuterima tidak akan ada artinya untukmu!"Delia bergeming sejenak. Memikirkan ucapan Lian. Hingga bayangan-bayangan yang dirakit dalam otaknya pun berjalan. "Benar, aku bisa merasakan juga kekayaan yang dimiliki Damar selama aku di sampingnya. Melihat bajuku kotor saja tanpa pikir panjang ia segera mentransfer sejumlah uang untukku membeli pakaian. Loyal banget pria itu! Apa dia pria bodoh ya? " Delia menurunkan bibirnya."Entahlah, dia
Sementara di ruang kerja Damar ...Pria dengan postur tubuh sempurna itu memandang wajah Hanna. Wanita cantik itu duduk di hadapannya. Hanya ada pembatas meja.Lengkung bibir Damar pun tak kunjung turun. Ia tak tahu lagi, bagaimana ia mengutarakan kebahagiannya."Perasaan dari tadi aku liat kamu hanya senyum-senyum saja? Memang apa yang membuatmu bahagia, Damar?" Hanna, wanita pembohong itu meletakkan dagu di telapak tangan. Ia pun memandang wajah Damar yang rupawan. Keduanya saling pandang."Aku tak menyangka, kamu sangat cantik."Hanna tersipu malu, ia membuang wajahnya karena tak kuasa mendengar pujian Damar untuknya."Ah. Kamu terlalu berlebihan, Damar. Aku tak secantik itu.""Aku tidak pernah mengatakan dusta, Hanna. Oh ya, kamu tinggal di mana? Boleh tidak, aku mengantar kamu pulang nanti?"Jantung Hanna berdebar. 'Diantar pulang? Aduh, bagaimana ini?' gumamnya cemas."Hah? Ah, tidak perlu Damar. Aku bisa pulang sendiri. Hadiah mobil termahal yang kau beri untukku, mampu mengan