Mobil mewah Damar melesat cepat. Ia menaikkan beberapa kali tingkat kecepatan agar lekas sampai ditempat tujuan.
Sudut bibir yang terangkat tak sedikit pun turun. Ia merasa hari ini, ia harus merayakannya. "Asisten Lian ... Aku akan berikan hadiah besar untukmu! Pekerjaanmu tidak pernah mengecewakanku!" Dua manik mata Damar hanya fokus depan saja. Terkadang sedikit kesal karena beberapa kali melewati jalanan ia terjebak macet, namun tidak berlangsung lama. Ia menggebrak dasbornya merasa tak sabar. "Sungguh jalanan pusat kota tidak pernah ada sepinya! Andai aku jadi Presiden, aku sudah buat lima cabang jalan agar kemacetan kota bisa teratasi. Nyatanya aku hanya seorang Presiden Direktur saja." Bola mata Damar melirik ke kaca spion di atas kepala. Terlihat di sana separuh wajah Damar. Ia sedikit memperjelas dengan menggerakkan wajahnya. Menunduk untuk bisa menjangkau penglihatan pada rambutnya. "Sedikit berantakan! Tapi aku tetap pria paling tampan sejagad raya! Tidak ada satu wanita pun menolak ku," pujinya pada dirinya sendiri. Setelah ia menyisir rambut atas dengan jari-jarinya. Kembali ia fokus menyetir. Dalam waktu lebih dari lima belas menit, akhirnya kuda bermesin Damar telah sampai di tempat yang di tentukan Asisten Lian. Damar kembali melirik kaca spionnya, memastikan tidak ada minus di wajah atau rambutnya. "Maximal!" ucapnya sendiri. Ia keluar dengan merapatkan jasnya. Berjalan tegap dengan langkah panjang memasuki cafe romantis. Asisten Lian telah memesan nomor mejanya. Letaknya di lantai atas. Ia mencari tempat yang nyaman dan sepi. Begitulah kriteria Damar yang di ingat Asisten Lian. "Tuan Damar?" Terdengar dan terlihat Lian melambai dari kejauhan. "Dadar tidak memiliki sopan santun! Aku akan potong gajimu, Lian!! Bisa-bisanya di hadapannya Hanna kau tidak memiliki etika!!" Gegas Damar menunju ke sana. Jantungnya berdegup kencang, tak sabar Bertemu dan menceritakan banyak hal pada Hanna. Dari penglihatannya, wanita itu terlihat punggungnya. Ia duduk membelakangi. Hingga Damar makin merasa canggung. Tak pernah seperti ini sebelumnya Kakinya berhenti melangkah setelah ia berdiri disampingnya. Lantas ia menyapa, "Benarkah kau, Hanna?" Wanita itu menoleh perlahan, hingga wajahnya terlihat jelas. Wanita dengan gaun berwarna hitam dengan rambut panjang tergerai. Ia berdiri dan menjulurkan tangannya ke arah Damar seraya mengulas senyum. Sungguh parasnya lebih cantik dari pada dulu, kali ini lebih terawat. Begitulah pikir Damar. Manik mata Damar memperhatikan gelang hitam yang dipakainya. Matanya berbinar. Ia tak mungkin salah. Wanita itu memiliki gelang yang sama persis dengannya. Tidak salah lagi. "Damar?" panggilnya lirih. Panggilan itu terdengar asing di telinganya. Bukankah dulu sewaktu kecil, ia memanggilnya Amar? Bagaimana bisa sekarang berubah Damar? "Kau bukan Hanna!" ucap Damar panik. Asisten Lian terkejut mendengarkan reaksi Tuannya. "Tuan? Apa yang Tuan katakan?" tanya Lian. Damar hanya menggeleng kepala, ada sedikit keraguan didalam hatinya. 'Kenapa wanita ini tidak memiliki kemiripan dengan Hanna ku?' batinnya penuh pertanyaan. "Tuan, tolong jangan mengatakan apapun yang membuat Nona Hanna sedih. Tanyakan padanya selama dua belas tahun, ia juga mencari Anda. Tak sedikitpun ia putus asa demi menemukan Anda." Asisten Lian tak hentinya mempengaruhi Damar agar ia percaya jika wanita yang berada di hadapan mereka adalah Hanna. "Maafkan aku Damar, setelah kecelakaan itu, aku hampir kehilangan ingatanku tentang semua masalalu ku. Tapi percayalah, bayangan-bayangan masa kecil kita masih sering lalu lalang dalam pikiran ini." Wanita itu duduk pasrah di kursi. Dan kembali bercerita, "Orang tua asuhku membawaku ke kota yang jauh. Hingga aku benar-benar hampir gila tidak bisa menemukan kamu kembali. Dua bulan ini aku datang ke kota ini, dengan memakai gelang pemberianmu. Aku berharap kau dapat mengenaliku dengan melihat barang pemberianmu yang ku jaga selama ini. Namun nyatanya, aku salah. Kau melupakanku, Damar!" Sedikit mempertegas ucapannya, hingga ia kembali berdiri dan menggerakkan kakinya berniat pergi meninggalkan tempat itu karena kecewa. Saat wanita bergaun hitam itu melangkahkan kakinya beberapa langkah, Damar segera menarik pergelangan tangannya, lalu memeluknya erat. Ia menumpahkan kerinduannya selama ini. "Hanna, kumohon jangan tinggalkan aku lagi," bisiknya lirih. Tanpa diketahui Damar, Asisten Lian dan wanita itu tersenyum penuh kemenangan. “Damar?” suaranya lembut, nyaris seperti bisikan yang menyentuh kalbu. "Ya?" balas Damar dalam pelukan mereka yang belum terlepas. Danar tak perduli dengan asisten Lian yang berada di sana melihat mereka seperti itu. "Aku Hanna. Apakah sekarang kau percaya?" "Ya, Hanna. Aku percaya. Kau adalah wanita masa laluku. Terima kasih kau telah menyelamatkan hidup ku saat itu. Hingga kau mengorbankan dirimu sendiri." Damar merenggangkan pelukannya hingga ia dapat memperhatikan kembali wajah Hanna yang cantik. “Hanna?” Mata Damar membesar, tak percaya dengan penglihatannya. Bibirnya terkatup sejenak, seolah kehilangan kata-kata, namun senyum perlahan mengembang di wajahnya. “Ini benar-benar kamu?” Hanna tertawa kecil, suara itu seperti melodi yang pernah dia ingat, menggema dalam ingatannya. “Ya, ini aku. Setelah dua belas tahun, kamu masih bisa mengenaliku?” Damar tertawa, canggung namun penuh kehangatan. “Bagaimana mungkin aku lupa? Kamu… kamu adalah bagian terindah dari masa kecilku.” Damar tersipu, wajahnya memerah diterpa cahaya redup lampu tempat itu. “Aku juga, Damar. Setiap hari aku selalu teringat akan kita, saat berlari di bawah pohon mangga itu, menangkap kupu-kupu, atau sekadar duduk di pinggir danau." 'Apa yang dia katakan? Berlari dibawah pohon mangga? Aku tidak pernah melakukan itu bersamanya?? Ah ... Sudahlah, bukankah dia sudah katakan jika ia pernah mengalami cedera di otaknya?' Damar memandangnya, penuh kekaguman. “Aku pikir kita takkan bertemu lagi, Hanna. Dunia ini terlalu luas, dan kita terpisah oleh waktu yang begitu lama.” “Tapi takdir punya cara yang aneh, ya?” jawab Hanna sambil tersenyum lembut. “Kita akhirnya bisa bertemu lagi.” Damar mengangguk, masih merasa seakan ini semua mimpi. “Kamu berubah, tapi ada sesuatu yang tetap sama. Semangatmu, caramu tersenyum…” Hanna menatapnya, kali ini lebih dalam. “Dan kamu, Damar. Kamu juga masih sama. Meski tumbuh dewasa, di dalamnya aku melihat bocah kecil yang dulu selalu membuatku tertawa.” Sejenak mereka terdiam, namun tak ada kecanggungan, hanya ada kebahagiaan yang merambat pelan, memenuhi hati mereka. Tak ada yang perlu dijelaskan dengan kata-kata. Pertemuan ini, seolah menjadi jawaban atas kerinduan yang terpendam selama dua belas tahun. "Asisten Lian, apakah kamu lupa untuk memesan makanan istimewa kami?" "Ah, maaf Tuan." Asisten Lian memanggil pramusaji untuk memesannya. "Hanna, kau masih ingat tidak, apa makanan kesukaan ku saat kecil dulu?" Hanna tampak pucat. 'Bagaimana ini? Aku tidak tahu makanan favorit Damar! Dasar Lian b0d0h! Hal sebesar itu lupa memberitahukannya padaku!!'"Maaf Damar, aku tidak ingat. Kecelakaan itu membuatku melupakan hal-hal yang berkenaan denganmu." Dengan cepat ia membalas untuk menutupi kecurigaan Damar. "Ya sudah tidak masalah. Maafkanlah aku karena terlalu memaksa. Baiklah mari kita nikmati hidangan ini bersama." "Ajak juga Asisten kamu, Damar. Dia yang telah berusaha keras untuk menyatukan kita kembali," ucap Hanna tersenyum. Ingin menunjukkan sisi Baiknya pada Damar. "Tidak perlu! Dia hanya pekerja rendahan! Tidak perlu di beri satu penghormatan!" ucap Damar. Lian yang mendengar itu menatap t4j4m ke arah bos-nya tanpa Damar tahu. **** Keesokan harinya ... Tepat pukul tujuh pagi, Asisten Lian mengumpulkan para pegawai untuk berbaris rapi menyambut wanita berharga yang selama ini tuannya cari. Tidak ada waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Asisten hanya akan menyambutnya dengan tangan terbuka. Terlihat dari kaca tebal transparan perusahaan. Sebuah mobil yang sudah resmi di belikan Damar hanya untuk Hann
"Dasar wanita hin4!! Pembuat onar!! Bisa-bisanya mengaku-ngaku sebagai wanita masa lalu Pak Damar. Yang benar saja! Cih!!" ejek yang lain.Mereka bahkan mendorong tubuh Anna hingga jatuh tersungkur! "Dasar wanita tu li!! Jangan bermimpi menjadi wanita yang spesial di hati Pak Damar, kamu seperti kacung hidup! Mengerti!! Kamu dan Nona Hanna bagaikan bumi dan langit. Jauh sekali!!" "Tu li?" Salah satu di antara mereka bertanya. Karena ia tak tahu kebenarannya. "Ya, wanita itu tu li!! Lihat saja di telinga terpasang alat bantu pendengaran, karena dia tu li. Coba saja lepas paksa alat itu. Dia akan bingung karena gak bisa dengar. Huh ... Jadi, mana mungkin Pak Damar melirik wanita tu li seperti dia??" "Parah!!" Gelak tawa mereka sangat menyakitkan hati Anna. Hingga bola mata Anna basah begitu saja, karena rasanya teramat pedih. Assisten Lian yang dari tadi tersenyum sinis di belakang tubuh Anna lekas bertindak. "Sudah! Sudah!! Kalian keterlaluan sekali mempermalukan Nona Anna seper
Siang ini langit Jakarta tampak kelam karena hujan deras tak kunjung reda, terlihat dari dalam membasahi kaca jendela kantor Wiharta Wijaya Group yang megah. Suara turunnya hujan yang teratur seolah menjadi latar belakang menambahnya kesan suram di ruang kerja para pegawai. Di salah satu lantai tertinggi gedung pencakar langit itu, sebuah kantor dengan pintu kaca transparan menjadi pusat perhatian. Di dalamnya, Damar Wijaya, seorang Presiden Direktur Wiharta Wijaya Group yang baru kembali dari luar negeri, duduk di belakang meja kayu yang mengkilap. Sosoknya yang tegap dan wajahnya yang dingin memancarkan aura kekuasaan.Damar Wijaya dikenal sebagai pengusaha yang keras dan tak kenal kompromi. Karyawan di sana pun tahu bahwa berurusan dengan Damar berarti harus siap menghadapi tekanan yang tak tertandingi. Namun, hari ini adalah hari yang istimewa bagi Damar—hari di mana dia akan memberikan pelajaran kepada seorang wanita, Anna, wanita yang akan dijodohkan dengannya. Pria itu berenca
"Permisi, Tuan. Saya Anna membawakan kopi panas Anda."Damar yang mendengar suara Anna tidak lekas menyahut. Bahkan memandang wajahnya saja ia muak. Baginya, tidak akan ada wanita lain yang akan mampu singgah di hatinya. Hanya ada satu nama wanita semasa kecilnya dulu. Tidak ada yang lainnya.Damar menyibukkan tangan dan mata hanya pada meja kerjanya saja. Tidak menggubris ucapan Anna yang telah berdiri sedikit lama di ambang pintu.Tak berani melangkahkan kaki selangkah pun maju. Sebelum pria culas itu mempersilahkan masuk.Anna menghembuskan nafas panjang. Haruskah ia mengulang perkataannya? Padahal yang di rasakan, Damar sudah mendengarnya."Permisi Tuan, saya mengantarkan kopi untuk Anda." Sementara Damar masih dengan urusan pekerjaannya sendiri.'Rasakan, diam saja kau di situ mematung. Sampai kakimu gemetar karena pegal! Siapa suruh berani datang ke perusahaan ku!' batin Damar tertawa senang.Anna menetralkan debaran jantungnya. Tak tahu sekarang, ia harus mundur atau melangka
"Hentikan ucapanmu itu, Damar!! Tidak sepantasnya kamu berbicara buruk tentang Nona Anna. Kakek tidak mau tahu, saat ini Nona Anna adalah sekretaris pribadimu, ke manapun kamu pergi, dia akan ikut bersamamu! Paham! Kamu tidak bisa membantah perintah Kakek! Acara pertunangan kalian akan Kakek percepat!" Ke duanya terkejut. Hingga kornea mata mereka saling beradu."Kek, sudah berapa kali Damar katakan pada Kakek, jika Damar sudah memiliki wanita di hati. Tidak akan ada wanita mana pun yang akan menggantikannya!" Cucu dan kakek itu saling berdebat. Anna hanya diam mendengarnya. "Cukup!! Wanita dua belas tahun lalu yang tak kunjung kau temukan itu, bisa saja dia sudah pergi dan melupakanmu, untuk apa kau menunggunya? Kau hanya buang waktu demi wanita yang tidak jelas keberadaanya!"Pria dengan rahang kokoh itu menghela napas berat. Sorot matanya tajam melihat ke arah Anna."Beri Damar waktu satu Minggu. Jika dalam waktu yang disebutkan, cucu kakek ini belum menemukannya. Maka Damar ak
Amar histeris melihat tubuh Hanna terpelanting setelah mobil itu menabrak tubuh kecilnya. Terlihat tubuh gadis itu bersimb4h d4r4h. Bibir kecil Amar ingin berteriak, namun ia juga merasakan sakit luar biasa dikepala. Saat tangannya mengusap kulit kepalanya, ia melihat cairan merah segar disana. "Hanna ..."Ingin rasanya Amar berdiri menghampiri Hanna, kala itu banyak kendaraan berhenti dan orang-orang berteriak tentang kejadian menimpa Hanna. Saat satu kaki berhasil ia gerakkan, namun tiba-tiba pandangannya memudar, Amar tak sadar setelahnya....Amar kecil yang terbaring diatas ranjang, membuka matanya perlahan, mendengar ada suara-suara samar di sekelilingnya, namun tubuhnya masih terasa sangat lemah. Saat penglihatannya mulai jelas, ia melihat ayah, ibu, dan kakeknya berdiri di dekat tempat tidurnya, terlihat wajah mereka penuh kekhawatiran.Dengan napas berat, Amar langsung teringat—kejadian itu menghantam pikirannya. "Hanna… Hanna di mana?" tanyanya dengan suara serak, penuh
Setelah keadaan Damar membaik, ia pergi ke Jakarta mencari Hanna. Tidak ada informasi yang jelas mengenai gadis itu, ada yang mengatakan ia di adopsi keluarga kaya dan mereka menyembunyikan identitasnya. Entahlah keluarga Amar tidak dapat menemukannya. Dan terpaksa Damar kecil di ajak tinggal di luar negeri bersama ayah dan ibunya hingga ia dewasa.Terdengar suara ketukan pintu terdengar keras di telinga Damar. Hingga membuyarkan ingatannya tentang Hanna. "Permisi!""Masuk!"Wanita menyebalkan itu kembali terlihat dari pandangannya. Damar mengalihkan wajahnya, malas."Ada perlu apa kau datang ke mari? Apa kau tidak bisa mengerjakan tugasmu dengan baik? Hah!! Aku minta kau mengirimkan hasil pekerjaan itu jam dua siang. Apa telingamu tu li!!" Hentakan itu membuat Anna terkejut. "Maaf, Tuan Damar. Saya hanya memberikan informasi—jika terdapat meeting mendadak bersama pemegang saham terbesar dari perusahaan Adiwijaya Group sebelum jam sebelas."Damar menghembuskan nafas kasar. Anna memp
Jam menunjukkan pukul lima sore. Ia terpaksa menambah jam kerjanya karena pekerjaan itu belum selesai. Ia harus menyelesaikan pekerjaan ini. Anna menatap layar komputernya sampai matanya memerah. Ia berdiri sejenak, melepaskan otot yang sudah kaku seharian duduk di kursi putarnya. Berjalan menuju jendela. Melihat keluar, terlihat lampu-lampu kota Jakarta bersinar, namun beberapa saat kemudian hujan deras turun, menciptakan suasana yang semakin menambah berat beban di pundaknya. Beberapa saat berlalu, ia kembali menduduki kursinya.Anna telah menghabiskan berjam-jam mengerjakan laporan itu. Beberapa kali ia mengecek ulang hasilnya. Kini, dia yakin bahwa setiap detail telah sesuai dengan standar yang diharapkan.Anna akhirnya memutuskan untuk mengirimkan laporan yang telah dikerjakannya ke email Damar. Setelah menekan tombol "Kirim," dia duduk sejenak, merasakan kelelahan dan stres yang melanda tubuhnya. Namun, rasa lega juga mengalir dalam dirinya karena dia merasa telah memberikan y
"Dasar wanita hin4!! Pembuat onar!! Bisa-bisanya mengaku-ngaku sebagai wanita masa lalu Pak Damar. Yang benar saja! Cih!!" ejek yang lain.Mereka bahkan mendorong tubuh Anna hingga jatuh tersungkur! "Dasar wanita tu li!! Jangan bermimpi menjadi wanita yang spesial di hati Pak Damar, kamu seperti kacung hidup! Mengerti!! Kamu dan Nona Hanna bagaikan bumi dan langit. Jauh sekali!!" "Tu li?" Salah satu di antara mereka bertanya. Karena ia tak tahu kebenarannya. "Ya, wanita itu tu li!! Lihat saja di telinga terpasang alat bantu pendengaran, karena dia tu li. Coba saja lepas paksa alat itu. Dia akan bingung karena gak bisa dengar. Huh ... Jadi, mana mungkin Pak Damar melirik wanita tu li seperti dia??" "Parah!!" Gelak tawa mereka sangat menyakitkan hati Anna. Hingga bola mata Anna basah begitu saja, karena rasanya teramat pedih. Assisten Lian yang dari tadi tersenyum sinis di belakang tubuh Anna lekas bertindak. "Sudah! Sudah!! Kalian keterlaluan sekali mempermalukan Nona Anna seper
"Maaf Damar, aku tidak ingat. Kecelakaan itu membuatku melupakan hal-hal yang berkenaan denganmu." Dengan cepat ia membalas untuk menutupi kecurigaan Damar. "Ya sudah tidak masalah. Maafkanlah aku karena terlalu memaksa. Baiklah mari kita nikmati hidangan ini bersama." "Ajak juga Asisten kamu, Damar. Dia yang telah berusaha keras untuk menyatukan kita kembali," ucap Hanna tersenyum. Ingin menunjukkan sisi Baiknya pada Damar. "Tidak perlu! Dia hanya pekerja rendahan! Tidak perlu di beri satu penghormatan!" ucap Damar. Lian yang mendengar itu menatap t4j4m ke arah bos-nya tanpa Damar tahu. **** Keesokan harinya ... Tepat pukul tujuh pagi, Asisten Lian mengumpulkan para pegawai untuk berbaris rapi menyambut wanita berharga yang selama ini tuannya cari. Tidak ada waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Asisten hanya akan menyambutnya dengan tangan terbuka. Terlihat dari kaca tebal transparan perusahaan. Sebuah mobil yang sudah resmi di belikan Damar hanya untuk Hann
Mobil mewah Damar melesat cepat. Ia menaikkan beberapa kali tingkat kecepatan agar lekas sampai ditempat tujuan. Sudut bibir yang terangkat tak sedikit pun turun. Ia merasa hari ini, ia harus merayakannya. "Asisten Lian ... Aku akan berikan hadiah besar untukmu! Pekerjaanmu tidak pernah mengecewakanku!" Dua manik mata Damar hanya fokus depan saja. Terkadang sedikit kesal karena beberapa kali melewati jalanan ia terjebak macet, namun tidak berlangsung lama. Ia menggebrak dasbornya merasa tak sabar. "Sungguh jalanan pusat kota tidak pernah ada sepinya! Andai aku jadi Presiden, aku sudah buat lima cabang jalan agar kemacetan kota bisa teratasi. Nyatanya aku hanya seorang Presiden Direktur saja." Bola mata Damar melirik ke kaca spion di atas kepala. Terlihat di sana separuh wajah Damar. Ia sedikit memperjelas dengan menggerakkan wajahnya. Menunduk untuk bisa menjangkau penglihatan pada rambutnya. "Sedikit berantakan! Tapi aku tetap pria paling tampan sejagad raya! Tidak ada satu w
Jam menunjukkan pukul lima sore. Ia terpaksa menambah jam kerjanya karena pekerjaan itu belum selesai. Ia harus menyelesaikan pekerjaan ini. Anna menatap layar komputernya sampai matanya memerah. Ia berdiri sejenak, melepaskan otot yang sudah kaku seharian duduk di kursi putarnya. Berjalan menuju jendela. Melihat keluar, terlihat lampu-lampu kota Jakarta bersinar, namun beberapa saat kemudian hujan deras turun, menciptakan suasana yang semakin menambah berat beban di pundaknya. Beberapa saat berlalu, ia kembali menduduki kursinya.Anna telah menghabiskan berjam-jam mengerjakan laporan itu. Beberapa kali ia mengecek ulang hasilnya. Kini, dia yakin bahwa setiap detail telah sesuai dengan standar yang diharapkan.Anna akhirnya memutuskan untuk mengirimkan laporan yang telah dikerjakannya ke email Damar. Setelah menekan tombol "Kirim," dia duduk sejenak, merasakan kelelahan dan stres yang melanda tubuhnya. Namun, rasa lega juga mengalir dalam dirinya karena dia merasa telah memberikan y
Setelah keadaan Damar membaik, ia pergi ke Jakarta mencari Hanna. Tidak ada informasi yang jelas mengenai gadis itu, ada yang mengatakan ia di adopsi keluarga kaya dan mereka menyembunyikan identitasnya. Entahlah keluarga Amar tidak dapat menemukannya. Dan terpaksa Damar kecil di ajak tinggal di luar negeri bersama ayah dan ibunya hingga ia dewasa.Terdengar suara ketukan pintu terdengar keras di telinga Damar. Hingga membuyarkan ingatannya tentang Hanna. "Permisi!""Masuk!"Wanita menyebalkan itu kembali terlihat dari pandangannya. Damar mengalihkan wajahnya, malas."Ada perlu apa kau datang ke mari? Apa kau tidak bisa mengerjakan tugasmu dengan baik? Hah!! Aku minta kau mengirimkan hasil pekerjaan itu jam dua siang. Apa telingamu tu li!!" Hentakan itu membuat Anna terkejut. "Maaf, Tuan Damar. Saya hanya memberikan informasi—jika terdapat meeting mendadak bersama pemegang saham terbesar dari perusahaan Adiwijaya Group sebelum jam sebelas."Damar menghembuskan nafas kasar. Anna memp
Amar histeris melihat tubuh Hanna terpelanting setelah mobil itu menabrak tubuh kecilnya. Terlihat tubuh gadis itu bersimb4h d4r4h. Bibir kecil Amar ingin berteriak, namun ia juga merasakan sakit luar biasa dikepala. Saat tangannya mengusap kulit kepalanya, ia melihat cairan merah segar disana. "Hanna ..."Ingin rasanya Amar berdiri menghampiri Hanna, kala itu banyak kendaraan berhenti dan orang-orang berteriak tentang kejadian menimpa Hanna. Saat satu kaki berhasil ia gerakkan, namun tiba-tiba pandangannya memudar, Amar tak sadar setelahnya....Amar kecil yang terbaring diatas ranjang, membuka matanya perlahan, mendengar ada suara-suara samar di sekelilingnya, namun tubuhnya masih terasa sangat lemah. Saat penglihatannya mulai jelas, ia melihat ayah, ibu, dan kakeknya berdiri di dekat tempat tidurnya, terlihat wajah mereka penuh kekhawatiran.Dengan napas berat, Amar langsung teringat—kejadian itu menghantam pikirannya. "Hanna… Hanna di mana?" tanyanya dengan suara serak, penuh
"Hentikan ucapanmu itu, Damar!! Tidak sepantasnya kamu berbicara buruk tentang Nona Anna. Kakek tidak mau tahu, saat ini Nona Anna adalah sekretaris pribadimu, ke manapun kamu pergi, dia akan ikut bersamamu! Paham! Kamu tidak bisa membantah perintah Kakek! Acara pertunangan kalian akan Kakek percepat!" Ke duanya terkejut. Hingga kornea mata mereka saling beradu."Kek, sudah berapa kali Damar katakan pada Kakek, jika Damar sudah memiliki wanita di hati. Tidak akan ada wanita mana pun yang akan menggantikannya!" Cucu dan kakek itu saling berdebat. Anna hanya diam mendengarnya. "Cukup!! Wanita dua belas tahun lalu yang tak kunjung kau temukan itu, bisa saja dia sudah pergi dan melupakanmu, untuk apa kau menunggunya? Kau hanya buang waktu demi wanita yang tidak jelas keberadaanya!"Pria dengan rahang kokoh itu menghela napas berat. Sorot matanya tajam melihat ke arah Anna."Beri Damar waktu satu Minggu. Jika dalam waktu yang disebutkan, cucu kakek ini belum menemukannya. Maka Damar ak
"Permisi, Tuan. Saya Anna membawakan kopi panas Anda."Damar yang mendengar suara Anna tidak lekas menyahut. Bahkan memandang wajahnya saja ia muak. Baginya, tidak akan ada wanita lain yang akan mampu singgah di hatinya. Hanya ada satu nama wanita semasa kecilnya dulu. Tidak ada yang lainnya.Damar menyibukkan tangan dan mata hanya pada meja kerjanya saja. Tidak menggubris ucapan Anna yang telah berdiri sedikit lama di ambang pintu.Tak berani melangkahkan kaki selangkah pun maju. Sebelum pria culas itu mempersilahkan masuk.Anna menghembuskan nafas panjang. Haruskah ia mengulang perkataannya? Padahal yang di rasakan, Damar sudah mendengarnya."Permisi Tuan, saya mengantarkan kopi untuk Anda." Sementara Damar masih dengan urusan pekerjaannya sendiri.'Rasakan, diam saja kau di situ mematung. Sampai kakimu gemetar karena pegal! Siapa suruh berani datang ke perusahaan ku!' batin Damar tertawa senang.Anna menetralkan debaran jantungnya. Tak tahu sekarang, ia harus mundur atau melangka
Siang ini langit Jakarta tampak kelam karena hujan deras tak kunjung reda, terlihat dari dalam membasahi kaca jendela kantor Wiharta Wijaya Group yang megah. Suara turunnya hujan yang teratur seolah menjadi latar belakang menambahnya kesan suram di ruang kerja para pegawai. Di salah satu lantai tertinggi gedung pencakar langit itu, sebuah kantor dengan pintu kaca transparan menjadi pusat perhatian. Di dalamnya, Damar Wijaya, seorang Presiden Direktur Wiharta Wijaya Group yang baru kembali dari luar negeri, duduk di belakang meja kayu yang mengkilap. Sosoknya yang tegap dan wajahnya yang dingin memancarkan aura kekuasaan.Damar Wijaya dikenal sebagai pengusaha yang keras dan tak kenal kompromi. Karyawan di sana pun tahu bahwa berurusan dengan Damar berarti harus siap menghadapi tekanan yang tak tertandingi. Namun, hari ini adalah hari yang istimewa bagi Damar—hari di mana dia akan memberikan pelajaran kepada seorang wanita, Anna, wanita yang akan dijodohkan dengannya. Pria itu berenca