Devon terkekeh. "Tidak mungkin. Sama sekali tidak mungkin terjadi." Shilla menghela nafas berat, mengerti jika akan sulit menyakinkan pria di hadapannya itu. Namun dirinya juga tidak mau memberi harapan kosong. Devon harus bisa menerima kenyataan jika mereka sudah tidak bisa bersama lagi seperti dulu. Jangan sampai mantan kekasihnya itu kembali berbuat nekat dan memancing amarah Elgar. Maka dari itu Shilla harus membuat Devon sadar status baru Shilla sebelum Elgar turun tangan. Shilla tahu betul seperti apa seorang Elgar Dimitri Romanov. Pendendam dan sulit memaafkan. Seratus persen Shilla yakin, suaminya itu tidak akan tinggal diam setelah tahu apa yang sudah Devon lakukan padanya. Cepat atau lambat Elgar pasti akan melakukan sesuatu untuk membalas Devon. "Apa kamu pikir aku percaya? Sama sekali tidak." Devon kembali membuka mulutnya. Kali ini wajahnya menampilkan ekspresi serius dan beberapa kali terlihat menahan sakit dengan menggigit bibir bawahnya. Lukanya terasa nyeri
"Tidak," jawab Shilla masih asyik menikmati pemandangan sore hari dari kaca apartemen. "Aku akan pergi sendiri. Jadi rahasiakan ini dari siapapun." Matahari mulai terbenam dan langit berwarna keemasan. Indah sekali. "Kenapa? Kalian tidak cocok? Emang seperti apa dia?" Banyak pertanyaan Raisa ajukan. Gadis itu sangat penasaran dengan suami dari sahabatnya. Shilla menganggukkan kepalanya. "Dia sangat arrogant dan semaunya sendiri. Kejam, dingin dan kadang tak berbelas kasih. Dia juga sangat percaya diri." "Kenapa aku merasa kamu menyukainya. Kamu berbicara dengan mata berbinar." Raisa memicingkan matanya. Menatap penuh selidik pada temannya yang terkenal tertutup itu. Shilla pun terseyum, tak ingin memungkiri jika dirinya sudah jatuh hati pada Elgar. Entah karena sikap peduli dan perhatian pria itu atau karena rasa kecewanya terhadap Devon yang tega membohonginya selama hampir tiga tahun. "Tuh.... kan. Lihat ekspresi wajahmu, Kamu benar-benar menyukainya kan?" Raisa me
Pov Shilla. Untuk beberapa hari ke depan aku akan tinggal di apartemen Raisa. Disini aku merasa lebih nyaman. Aku bisa merenungi dan memikirkan baik-baik hakikat hidupku dan segala hal yang telah terjadi. Tin tong.... Tin tong....... Baru selesai sholat dhuha suara bel terdengar nyaring dan terus-menerus. Siapa tamu yang memencet bel seperti anak kecil, tak sabaran. "Astaghfirullah..... " Kupercepat melipat mukena dan segera menuju pintu. "Raisa," panggilku pada tamu yang ternyata pemilik apartemen ini. Gadis yang masih dengan piyama tidur itu nyelonong masuk. "Oh... Astaga.... gak pernah dalam hidupku pagi-pagi keluar hanya dengan piyama. Kalau bukan karena kembaran gil*mu itu," gerutu Rais dengan Gadis itu menyodorkan ponselnya yang layarnya berpendar. Nampak nama Ardi sedang melakukan panggilan suara. "Sejak pagi dia nanyain kamu." Sambung Raisa dengan nada kesal. "Kamu gak bilang aku disini kan?" Aku panik. "Kalau aku bilang ngapain aku buru-buru kesini.
"Ini pasti ulah Elgar." Aku menepuk keningku sendiri. "Astaghfirullah..... masalahnya akan tambah runyam." "Wajar sih, kalau suami kamu laporin Devon ke polisi. Siapa coba yang gak marah, kalau istrinya dilecehkan." Komentar Raisa. Raisa benar. Itu jika pernikahan kami normal seperti pernikahan pada umumnya. Dan lagi kemarin aku sudah menegaskan pada Elgar, kami hidup masing-masing. Dan memintanya membatalkan pernikahan kami. Dia diam dan bahkan membiarkan aku pergi. Bukankah itu artinya dia setuju? "Benarkan? Gak ada suami yng rela istrinya dilecehkan?" Tambah Raisa. "Pernikahan kami tidak seperti yang kamu pikirkan. Masalah akan bertambah runyam kalau masalah ini sampai masuk ke ranah hukum." Bisa-bisa pernikahan kami akan terbongkarnya. Dan semua yang sudah terencana tidak bisa berjalan seperti seharusnya. Kuhela nafas panjang, kupikir kemarin Elgar bisa menerima keputusanku mengakhiri hubungan kami. Tapi ternyata.... "Coba deh, kamu telfon dulu. Tanyain, benar n
"Kenapa sekarang kamu jadi kejam?" gumamku menyandarkan punggung dan kepalaku pada sofa. "Dari dulu saya memang kejam," sahutnya, kulirik dia mengikuti posisiku. Bersandar dengan mata terpejam. "Segera setelah sembuh dia akan kembali ke Belanda. Jadi jangan mempersulitnya." "Saya tidak percaya. Itu pasti cuma akal-akalanmu saja. Kalian pasti akan bersama setelah aku cabut laporan itu." Tuduhnya melirikku sinis. Ish.... kuhela nafas. Sabar..... sabar.... anggap saja kamu lagi membujuk anak dua tahun yang lagi tantrum. "Kapan aku bohong? Aku juga gak pernah ngakalin kamu. Bukan sebaliknya," cibirku. "Kebohonganmu kalau dibahas bisa sampai tengah malam." Aku melotot tidak terima. "Apa? Mau dibahas?" tantangnya. "Katanya sepakat nikahnya serius, baru dua hari berubah pikiran, minta pembatalan nikah." Kubuang muka pura-pura tidak dengar. 'Sabar Shilla...... kamu harus sabar...... emosi tidak menyelesaikan masalah.' Aku mensugesti diri dalam hati. "Tolonglah, aku
"Raisa." "Temanmu yang tadi?" "Hemm." Saat kami hampir sampai Raisa keluar dari dalam mobilnya. "Kenapa masih di sini?" tanyaku pada gadis yang langsung menarik lenganku. "Bagaimana mungkin aku tega meninggal kamu sendirian di sini," jawabnya lalu melirik Elgar. "Kalau sampai ada apa-apa denganmu. Habis aku diomelin Natalia dan Ardi tujuh hari tujuh malam." "Maksud kamu apa melirik saya begitu?" Sahut Elgar dengan dahi yang berkerut. "Saya ini suaminya mana mungkin saya menyakiti Shilla." Sambungnya tak terima. "Siapa yang bisa percaya omongan laki-laki? Jangan kan menyakiti, membun*h pun bisa kalau sudah kena pesona pelak*r." Ceplos Raisa tanpa filter. Sontak Elgar melotot. "Maksud kamu apa?" Aku reflek berdiri di depan Raisa saat pria itu sudah berkacak pinggang. "Dia serem benget. Bagaimana kamu bisa jatuh cinta sama dia?" bisik Raisa yang aku yakin Elgar pun mendengarnya. "Jangan diambil hati. Raisa terkadang suka kelepasan kalau bicara." Aku mengelus leng
Sesuai jadwal hari ini waktunya kembali ke Jepang. Setelah dua hari aku habiskan bersama Elgar dan satu hari menyelesaikan masalah dengan Devon. Hari ini tibalah waktunya aku untuk kembali ke Jepang, melanjutkan kontrak kerja yang tinggal satu tahun lebih tiga bulan. Kemarin aku menemui Devon setelah Elgar membatalkan laporannya ke polisi. Dengan jujur kukatakan padanya jika bukan aku yang melaporkannya ke polisi melainkan suamiku. Meski begitu aku tidak memberitahu identitas Elgar. Kuminta Devon untuk kembali Ke Belanda dan menjalani hidupnya dengan bahagia di sana. Namun Devon menolak. Dengan alasan tak bisa meninggalkan aku. "Kamu yang dulu menemaniku berjuang. Dan karena kamu aku bangkit setelah kematian Oma. Mana mungkin aku bisa bahagia bersama orang lain." Katanya kemarin sambil berurai air mata. Sedikitpun hatiku tidak tersentuh. Aku malah ingin tertawa. Devon berbicara seolah begitu mencintaiku. Padahal selama ini dia tega memalsukan kematiannya dan bahagia ber
"Kenapa dia di sini?" Sama dengan Vero aku juga penasaran mengapa wanita itu ada di sini? "Kamu kenal?" Aku tersentak saat tangan Vero menggoyangkan lenganku. "Dia menyebut namamu," "Hah,..... Ti-tidak." Aku menggeleng mendadak gagu. Tak bohong aku hanya tahu dia Olivia mantan tunangan Elgar. Tapi kami tak pernah berkenalan sebelumnya. "Siapa yang mananya Shilla?" Entah sejak kapan Olivia sudah berada di depanku dengan di ikuti seorang security. "Kamu?" tunjuk Olivia padaku berlagak tak tahu. "Iya, dia Shilla. Kenapa kamu mencarinya?" Bukan aku tapi Vero. "Jadi kamu Shilla?" Wanita dengan dress maroon itu bersandiwara. Sikapnya seolah tak pernah bertemu denganku sebelum. "Jadi kamu wanita murah*n yang Elgar nikahi," Duar...... Seperti tersambar petir di siang bolong mendengar ucapan wanita ini. Tak hanya aku semua orang langsung menatapku dan Olivia bergantian. Plak..... Tak sempat menghindar, sebuah benda keras mendarat keras di pipi kananku. Aku pun ter
Terdengar dering ponsel dari dalam rumah. Elgar yang sedang menyirami tanaman di teras langsung bergegas masuk. Dering panggilan itu sudah di stel khusus untuk satu nomor saja. Sampai didalam segera diraihnya benda pipih yang ada di atas meja ruang tamu. Sebuah senyum merekah dari bibir tegas pria berwajah bule itu saat terlihat kontak dengan nama My Wife nampak dilayar ponselnya. "Halo, assalamu'alaikum," sapanya dengan wajah berbinar dan langsung dijawab oleh lawan bicaranya. [Kamu sedang apa?] Suara dari seberang sana. Elgar pun mengerutkan dahinya. Tidak biasa sang istri tiba-tiba menelpon dan menanyakan kegiatannya. Shilla tipe wanita yang percaya dan memberi kebebasan pada pasangannya. Bukan pencemburu yang selalu meminta pasangannya untuk melaporkan setiap yang dilakukan. "Aku sedang menyiram bunga saat mendengar ponsel berdering." [Sambil bernyanyi dan tertawa sendiri?] "Ya?" Elgar belum bisa mengerti maksud Shilla. "Maksudnya?" [Ya maksud kamu apa, seny
Sudah satu bulan sepasang suami istri itu menepi di pinggiran kota. Hidup sebagai orang biasa. Pagi hari Shilla dan Elgar berolahraga lari berkeliling jalanan yang masih sepi dan asri. Melewati sawah dan sungai yang airnya terlihat jernih. Perjalanan mereka berakhir di pasar tradisional yang banyak menjajakan jajanan dan makanan tradisional. Elgar yang sebelumnya tidak pernah memakan makanan tradisional sangat senang. "Bukan sehat yang ada gula darahmu naik," tegur Shilla saat sang suami mulai lepas kendali. Sudah satu kantong plastik penuh dengan jajanan pasar di tangan kiri Elgar namun pria blasteran itu masih sibuk memilih makanan lain lagi. "Anggap saja kita berbagi rejeki dengan ibu-ibu penjual di sini," bisik Elgar lalu kembali sibuk dengan deretan jajanan yang dominan berasa manis yang ada di depannya. Jika untuk berbagi Shilla sama sekali tidak keberatan. Sayangnya itu hanyalah alasan Elgar saja. Setiap. sampai di rumah dia memang akan memanggil. beberapa anak kecil
Setelah mendapatkan rumah sakit yang tepat Elgar dan Shilla memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Sejenak melipir ke pinggiran kota untuk menenangkan diri. Di sana Shilla dan Elgar disambut oleh Budhe Siti dan Rizal. Dua orang itu sangat bersyukur melihat Shilla kembali bersama Elgar. Rasa syukur Budhe Siti ucapkan karena Shilla sudah bisa memaafkan Elgar. "Alhamdulillah... Nak, akhirnya kamu bisa membuka hatimu, mengikhlaskan semua yang telah terjadi." Ucap Budhe Situ setelah adegan penyambutan yang diwarna dengan tangis haru. "Shilla ingin seperti Mama, bisa memaafkan meski sakit." "Iya sayang, kamu memang seperti mamamu, punya hati yang lembut dan penuh kasih." Budhe Siti memeluk satu-satunya keponakan yang dimilikinya itu erat. Elgar yang menyaksikan ikut terharu. Pria itu berjalan mendekat lalu berjongkok di depan dua wanita yang duduk di sofa ruang tamu. "Budhe sebagai saksinya, saya janji tidak akan mengulangi kesalahan saya. Saya akan menjaga dan mencintai Shilla
Meski bersedia memberi kesempatan kedua namun Shilla masih enggan untuk tidur satu kamar dengan Elgar. Wanita cantik dengan rambut panjang sepunggung itu memilih tidur kamar tamu yang ada di lantai bawah rumah mewah peninggalan papa mertuanya. Berbagai alasan Elgar utarakan untuk memaksa istrinya itu tidur di kamar utama namun seperti yang Elgar tahu, istrinya itu sangat keras kepala. "Aku bilang nggak. Kalau kamu maksa aku akan pulang ke Surabaya." Kekeh Shilla sambil mendelik. "Kurasa ikut tinggal di Surabaya lebih baik dari pada tinggal di ibu kota yang udara sangat panas dan banyak polusi." Balas Elgar bersemangat. "Ck...." Tak menyahut Shilla berlalu menuju teras samping. Menyirami bunga-bunga lebih menyenangkan dari pada berdebat dengan Elgar. "Shilla aku lapar. Pengen makan buah." Shilla menoleh, matanya memicing. Pria yang tadi ditinggalkannya di ruang tengah kini sudah duduk kursi panjang dekat pintu penghubung teras samping dan ruang tengah. "Kau punya ka
"Sepertinya kita terlalu lunak dengan wanita itu." Sebuah senyum sinis terlihat di bibir Putra. Pagi ini saat di baru sampai di depan pintu kamar inap bosnya, dua anak buahnya langsung memberi laporan. "Ingat, jangan biarkan dia masuk. Kita tidak tahu apa tujuannya mendekati Tuan." "Benar. Mr. Elgar punya banyak musuh baik dalam. urusan bisnis juga pribadi." Sahut Johan. "Ck, Tuan Elgar." Gerald membetulkan ucapan rekannya. "Perbaiki panggilanmu, jangan membuat Tuan Elgar marah." Ya, sejak kesalahpahaman tentang panggilan Olivia oleh security di mansion kini Elgar meminta semua anak buahnya dan karyawannya untukmu memanggilnya Tuan dan memanggil Shilla dengan panggilan Nyonya. "Biasakan lidahmu dengan bahasa Indonesia. Atau Tuan Elgar akan mengirimmu kembali ke Jerman." "Saya mengerti," ujar Johan mengangguk paham. Dan Putra pun menepuk pundak anak buahnya itu. "Berjaga dengan baik. Saya akan masuk melihat keadaan Tuan." Sebelum masuk Putra mengetuk pintu kamar. Baru setelah
Setelah menjalani perawatan selama hampir satu bulan, hari ini Elgar aka menjalani operasi transplantasi ginjal. Tentu saja setelah Dokter menyatakan kondisinya siap untuk menjalani operasi. Malam ini operasi akan dilakukan, ruang operasi sudah siap juga dengan dokternya. Di ruang rawat inap VVIP Elgar sedang bersia dengan ditemani Shilla dan Putra DM juga Bik Saroh yang sudah seminggu ini ikut bergantian menjaga Elgar. Sebelum dibawa ke ruang operasi Elgar meminta waktu untuk berdua dengan Shilla. "Tolong jangan maafkan aku, aku mohon do'akan agar aku tetap hidup untuk menebus dosa-dosaku padamu." Permintaan Elgar membuat Shilla mengerutkan dahi, bingung. Bagi Shilla permintaan Elgar sangat tidak masuk akal. "Kau takut mati?" tanya Shilla penasaran. "Iya, aku takut mati. Aku takut karena belum menebus semua kesalahan dan dosaku. Dan yang paling kutakutkan kita tidak akan bisa berjodoh di akhirat karena kamu menikah lagi." Sontak saja Shilla melebarkan matanya, kaget dan
"Nanti saya akan kembali lagi, sekarang silahkan beristirahat." Dokter Arinda mengurai senyum termanisnya lalu berjalan menuju pintu. Elgar dan Shilla kompak menghembuskan nafas kasar. Dalam hati ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar pada dokter yang menurutnya sangat tidak sopan. "Bagaimana bisa seorang dokter kepo dengan masalah pribadi pasiennya?" gerutu Shilla tanpa sadar. Wajahnya yang bisanya berekspresi datar kini terlihat kesal. Matanya melotot dan bibirnya mengerucut. Untuk apa dia menjaga Elgar jika sudah ada dokter yang begitu memperhatikan pria itu. Bukankah Shilla harusnya senang? Sekarang Shilla bisa pulang ke Surabaya dengan tenang. Tak perlu merasa bersalah apalagi merasa tak tega. Elgar tak hanya mendapatkan dokter yang tepat tapi mungkin bisa mendapatkan calon istri yang baru sebagai pengganti Shilla. Ya, semua sudah benar dan tepat. Tapi entahlah..... hati Shilla bukannya senang. Ada rasa kesal dan marah mengingat setiap perhatian yang dokter Arinda
Sudah dua minggu Shilla menemani dan merawat Elgar selama menjalani pengobatan di rumah sakit. Meski Maaf itu belum sepenuhnya terucap namun Shilla tak pernah meninggalkan pria yang masih sah menjadi suaminya itu. Bibirnya boleh berkata benci dan tak cinta lagi namun hatinya tak pernah bohong. Rasa peduli dan iba membuat wanita yang memiliki paras cantik khas pribumi itu berhenti peduli. Entah benar karena iba atau ada rasa lain yang tak ingin diakuinya. Setiap hari Shilla berada di sisi Elgar, menjaga, menyuapi makan, mengantar saat ingin ke kamar mandi dan sudah dua hari Shilla juga yang mengelap tubuh Elgar dengan air bersih. Semua itu Shilla lakukan dengan telaten meski kadang bibir tipis itu mengeluarkan kalimat gerutunya. "Badanku terasa lebih segar," ucap Elgar dengan senyum mengembang setelah Shilla membersihkan tubuhnya dengan waslap dan air bersih. Hatinya sangat bahagia karena bukan lagi perawat laki-laki yang membantunya membersihkan diri tapi sang istri yang me
Karena sudah memasuki waktu dhuhur aku putuskan untuk melaksanakan sholat dhuhur lebih dukungan sebelum makan siang. Aku memilih kamar tami di lantai atas sedangkan Elgar susah menaiki yanga menuju kamarnya yang ada di lantai dua rumah mewah ini. Di dinding ruang tengah masih terpasang foto Almarhum Papa Leonard dan Mommy Rosa. Dalam foto itu Mommy Rosa tersenyum tipis sedangkan Papa Leonard wajahnya datar. Bahkan dalam foto pun Papa Leonard tak mau berpura-pura bahagia. Tanpa sadar aku menghela nafas, serumit itu cinta mereka. Mungkin raga bisa mengalah namun hati tak mau berubah. Raga mungkin bersanding dengan orang lain namun perasaan cinta tak pernah berpaling. Pasti sangat sakit jadi Mommy Rosa, begitupun Papa Leonard. Dan lebih menderita lagi Mama, yang sudah mengalah namun tetap disalahkan. "Nyonya, silahkan." Aku tersentak saat seorang pelayan menyerahkan mukena yang tadi sempat aku minta. "Ah.... Terima kasih," ucapku berusaha menarik kedua sudut bibirku namun