"Bisa jelaskan!" Nathan mulai bicara setelah hampir setengah jam kami berempat hanya diam. Sepulang kerja di ruang tengah apartemen kami berkumpul. Dengan lesehan mengitari meja yang biasa kami gunakan untuk makan. "Bisa," jawabku setelah menarik nafas panjang. "Jelaskan kalau begitu," sahut Mbak Miranda ketus. Dia terlihat sangat kecewa. Ardi menepuk lenganku sambil menganggukkan kepalanya. Seolah memberiku dukungan. Kuurai senyum tipis untuk menyampaikan jika aku tak papa. "Iya, aku sudah menikah dengan Elgar." Ungkapku tanpa ragu sedikitpun. Nathan menghela nafas sedang Miranda langsung berdecih, tersenyum sinis sambil membuang muka. Hanya Ardi yang nampak biasa. Teman lamaku itu tak terlihat marah atau pun kesal. Sangat berbeda dengan dua seniorku yang dengan terang-terangan menunjukan sikap marja dan kecewa.Iya, aku sadar aku sudah melakukan kesalahan. Membuat rekan kerja yang sudah seperti keluarga merasa kecewa. Aku juga sadar harusnya aku jujur saja sejak
Pov Author. Elgar langsung bertolak ke Jepang setelah mendapat laporan tentang Olivia yang mendatangi tempat kerja Shilla. Marah, tentu Pria keturunan Jerman Turki itu langsung mengamuk sampai-sampai Putra menjadi sasaran. Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan asisten pribadinya itu. "Kenapa bisa terulang lagi. Untuk apa aku bayar kalian jika istri saya masih bisa dilukai orang!" Geram Elgar. "Ma-afkan saya. Segera, saya ganti dengan bodyguard yang lebih profesional." Putra menunduk takut. lima tahun bekerja untuk Elgar, dirinya atau betul seperti apa watak bosnya itu. Tak ada kata gagal apalagi lalai. Jika Bosnya memberi maaf itu haha untuk menguji. Sedang mengukur waktu untuk menghukum. "Apa yang dilakukan anak buahmu saat istri saya di aniaya, hah?" bentak Elgar murka. "Mereka berjaga di luar. Tanpa tanda pengenal. mereka tidak bisa masuk. Sekali lagi saya minta maaf. Segera akan saya disiplinkan mereka." Dengan jantung yang berdegup Putra berusaha menjelaskan
Tatapan Elgar seketika beralih pada sahabat istrinya yang berdiri di depannya. Merasa tak yakin dengan pendengarannya. Elgar pun mengulangi ucapan pria itu. "Mengundurkan diri?" Tak hanya Elgar, Nathan juga Miranda nampak terkejut. Dua orang itu kompak mengarahkan pandangannya pada Ardi. "Kamu jangan bercanda?" sentak Miranda. "Siapa yang bercanda?" jawab Ardi tegas. "Damn it!!" Umpat Elgar lalu mengusap wajahnya kasar. Lagi-lagi merasa kecolongan. "Ar, kamu serius?" Kali ini Nathan yang bertanya. "Memangnya kenapa jika Shilla mengundurkan diri. Bukannya itu lebih baik? Sekarang kalian tidak perlu lagi repot-repot mencibir dan menyindirnya," jawab Ardi mencibir. Sejujurnya Ardi ikut sakit hati melihat dua seniornya itu mengadili Shilla seperti seorang terpidana. Hanya perkara Shilla tidak jujur tentang pernikahan kontraknya, Shilla diperlakukan seperti seorang pengkhianat. "Maksud kamu apa? Kapan aku menyindirnya?" Nathan merasa tak terima. Dia memang marah da
"Selamat pagi," sebuah senyum manis dari seorang wanita cantik menyambut Shilla ketika membuka pintu. "Selamat pagi Kirana," sapa Shilla sedikit membungkuk. "Ayo masuk!" Shilla memindahkan tubuhnya memberi jalan. "Biar saya saja." Katanya mengambil alih pegangan kursi roda dari tangan maid yang menemani Kirana. Lalu mendorong pelan masuk ke ruang tengah. "Tunggu sebentar, aku ambilkan roti bakar isi selai nanas kesukaanmu." Shilla berjalan menuju dapur. Sepiring roti bakar dan dua gelas jus jeruk dibawanya menggunakan nampan. "Makanlah, aku yakin kamu belum sarapan." Katanya sembari menyerahkan sepotong roti yang dia buat pagi ini. Sambil tersenyum Kirana menerima roti buatan sahabatnya itu. Sudah sangat lama mereka tak makan bersama seperti saat ini. Dua wanita cantik itu menikmati sarapan paginya sambil memandang langit pagi kota Hamburg di musim semi yang indah. Hamburg salah satu kota terbesar di Jerman. Di kota ini Shilla kini berada. Sudah lebih dari dua mi
Sudah seperti orang gil* Elgar kesana kemari mencari Shila. Dari Jepang ke Indonesia lalu kembali ke Jepan dan kembali ke Indonesia.Pagi ini baru turun dari pesawat langsung menuju ke rumah Haidar, papa Shilla. Tujuannya untuk menanyakan kampung halaman sang istri.Namun untuk yang kesekian kalinya Elgar kembali menelan kekecewaan ketika papa mertuanya juga tidak mengetahui dimana tempat tinggal putrinya sewaktu kecil. Ayah macam apa yang bahkan tempat tinggal putrinya saja tidak tahu. Ingin sekali Elgar memarahi pria yang saat ini tengah duduk di hadapannya itu. "Selama ini Shilla tinggal bersama ibu dan neneknya. Dan kami belum pernah mengunjunginya," sahut Utari berusaha membela suaminya. Elgar melirik sinis pada ibu sambung Shilla lalu kembali fokus pada Haidar. "Sekedar alamatnya Anda juga tidak tahu?" Haidar menggeleng. Tanpa sadar Elgar mendengus kasar. Tangannya mengepal menahan kesal yang ingin sekali ia luapkan dengan cacian. Bagaimana mungkin Haidar tidak tahu
Kaget, sontak Shilla melebarkan matanya, menatap sesosok pria yang berdiri tegap di sisi kanan samping tembok dekat pintu. Pria itu menatapnya tajam. "Ke-kenapa kamu di sini?" ujarnya gagu setelah keterkejutannya mulai menghilang. "Tentu saja untuk menjemputmu," jawab Elgar dengan suara tegas dan masih menatap tajam wanita yang sudah membuatnya hampir gil* selama dua minggu terakhir. "Kamu kenal dia?" Pandangan Shilla beralih pada Kirana yang ada di depannya. "Hem..." Shilla hanya mengangguk lalu kembali mengarahkan tatapannya ke Elgar. "Tidak hanya Elgar, Shilla bahkan mengenalku." Derrick yang ada di sisi satunya menyahut sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa itu benar Shilla?" Gadis diatas kursi roda itu menarik lengan Shilla. Kaget, Shilla balik bertanya. "Apa? " "Kamu mengenal Alex?" "Dia?" Shilla menunjuk Derrick, Kirana pun langsung mengangguk. "Kenal. Kenapa?" "Dia saudara sepupuku, anaknya Tante Reina." 'Loh? Jadi dia...." Ah....
"Apa yang dikatakan wanita itu?" Masih dengan mendekap tubuh istrinya Elgar mulai membahas masalah diantara mereka. Terdengar Shilla menghela nafas. Ada rasa sesak setiap kali teringat kejadian yang membuatnya mendapat tatapan sinis rekan-rekan kerjanya karena dianggap pelakor. "Dia mengatakan aku merebutmu." Jawabnya datar. Elgar mengeram, menahan amarah yang bergemuruh di dadanya. Beraninya Olivia mengarang cerita bohong. "Kamu tahu itu tidak benar, kan? Hubungan kami sudah berakhir delapan tahun yang lalu.," "Iya." Posisi Shilla yang membelakangi Elgar membuat pria itu tak bisa melihat ekspresi sang istri. "Dan kamu tahu kan alasannya?" Elgar sedikit mengangkat kepalanya penasaran dengan ekspresi istrinya yang sejak tadi terdengar datar-datar saja. "Iya." Refleksi sang pria menghembuskan nafas lega. "Syukurlah," ucapnya. "Lalu kenapa kamu pergi?" tanya Elgar menciumi punggung dan pudak polos Shilla. Tubuh Shilla pun menggeliat, merasa geli saat kulit mulus
Sampai lima belas menit Elgar belum kembali. Shilla menghela nafas, beberapa kali tangannya menyentuh mangkok berisi bubur yang ada di depannya. "Sudah mulai dingin," gumamnya lirih dan kembali menghela nafas. "Kenapa lama sekali?" Tatapannya terkunci pada daun pintu yang tertutup rapat. Teringat keberadaan seorang pria di balik pintu yang menghalangi keluar tiba-tiba ingatan Shilla tertarik pada kejadian dua minggu lalu. "Elgar tak sebaik yang kamu pikirkan. Ada banyak hal buruk yang sudah pria itu lakukan dan kamu pasti tidak akan menduganya. Elgar itu iblis dan kamu akan menyesal jika tetap bersamanya." Shilla menutup matanya suara itu terus terngiang di pikirannya. Shilla tak menduga jika ternyata wanita itu mengikuti Shilla dari depan gedung penelitian sampai di depan apartemen. "Maaf aku melakukan ini. Tapi ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan. Jadi, pergilah sejauh mungkin atau kamu akan menyesalinya." Shilla cukup terkejut saat wanita yang sudah dengan
Terdengar dering ponsel dari dalam rumah. Elgar yang sedang menyirami tanaman di teras langsung bergegas masuk. Dering panggilan itu sudah di stel khusus untuk satu nomor saja. Sampai didalam segera diraihnya benda pipih yang ada di atas meja ruang tamu. Sebuah senyum merekah dari bibir tegas pria berwajah bule itu saat terlihat kontak dengan nama My Wife nampak dilayar ponselnya. "Halo, assalamu'alaikum," sapanya dengan wajah berbinar dan langsung dijawab oleh lawan bicaranya. [Kamu sedang apa?] Suara dari seberang sana. Elgar pun mengerutkan dahinya. Tidak biasa sang istri tiba-tiba menelpon dan menanyakan kegiatannya. Shilla tipe wanita yang percaya dan memberi kebebasan pada pasangannya. Bukan pencemburu yang selalu meminta pasangannya untuk melaporkan setiap yang dilakukan. "Aku sedang menyiram bunga saat mendengar ponsel berdering." [Sambil bernyanyi dan tertawa sendiri?] "Ya?" Elgar belum bisa mengerti maksud Shilla. "Maksudnya?" [Ya maksud kamu apa, seny
Sudah satu bulan sepasang suami istri itu menepi di pinggiran kota. Hidup sebagai orang biasa. Pagi hari Shilla dan Elgar berolahraga lari berkeliling jalanan yang masih sepi dan asri. Melewati sawah dan sungai yang airnya terlihat jernih. Perjalanan mereka berakhir di pasar tradisional yang banyak menjajakan jajanan dan makanan tradisional. Elgar yang sebelumnya tidak pernah memakan makanan tradisional sangat senang. "Bukan sehat yang ada gula darahmu naik," tegur Shilla saat sang suami mulai lepas kendali. Sudah satu kantong plastik penuh dengan jajanan pasar di tangan kiri Elgar namun pria blasteran itu masih sibuk memilih makanan lain lagi. "Anggap saja kita berbagi rejeki dengan ibu-ibu penjual di sini," bisik Elgar lalu kembali sibuk dengan deretan jajanan yang dominan berasa manis yang ada di depannya. Jika untuk berbagi Shilla sama sekali tidak keberatan. Sayangnya itu hanyalah alasan Elgar saja. Setiap. sampai di rumah dia memang akan memanggil. beberapa anak kecil
Setelah mendapatkan rumah sakit yang tepat Elgar dan Shilla memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Sejenak melipir ke pinggiran kota untuk menenangkan diri. Di sana Shilla dan Elgar disambut oleh Budhe Siti dan Rizal. Dua orang itu sangat bersyukur melihat Shilla kembali bersama Elgar. Rasa syukur Budhe Siti ucapkan karena Shilla sudah bisa memaafkan Elgar. "Alhamdulillah... Nak, akhirnya kamu bisa membuka hatimu, mengikhlaskan semua yang telah terjadi." Ucap Budhe Situ setelah adegan penyambutan yang diwarna dengan tangis haru. "Shilla ingin seperti Mama, bisa memaafkan meski sakit." "Iya sayang, kamu memang seperti mamamu, punya hati yang lembut dan penuh kasih." Budhe Siti memeluk satu-satunya keponakan yang dimilikinya itu erat. Elgar yang menyaksikan ikut terharu. Pria itu berjalan mendekat lalu berjongkok di depan dua wanita yang duduk di sofa ruang tamu. "Budhe sebagai saksinya, saya janji tidak akan mengulangi kesalahan saya. Saya akan menjaga dan mencintai Shilla
Meski bersedia memberi kesempatan kedua namun Shilla masih enggan untuk tidur satu kamar dengan Elgar. Wanita cantik dengan rambut panjang sepunggung itu memilih tidur kamar tamu yang ada di lantai bawah rumah mewah peninggalan papa mertuanya. Berbagai alasan Elgar utarakan untuk memaksa istrinya itu tidur di kamar utama namun seperti yang Elgar tahu, istrinya itu sangat keras kepala. "Aku bilang nggak. Kalau kamu maksa aku akan pulang ke Surabaya." Kekeh Shilla sambil mendelik. "Kurasa ikut tinggal di Surabaya lebih baik dari pada tinggal di ibu kota yang udara sangat panas dan banyak polusi." Balas Elgar bersemangat. "Ck...." Tak menyahut Shilla berlalu menuju teras samping. Menyirami bunga-bunga lebih menyenangkan dari pada berdebat dengan Elgar. "Shilla aku lapar. Pengen makan buah." Shilla menoleh, matanya memicing. Pria yang tadi ditinggalkannya di ruang tengah kini sudah duduk kursi panjang dekat pintu penghubung teras samping dan ruang tengah. "Kau punya ka
"Sepertinya kita terlalu lunak dengan wanita itu." Sebuah senyum sinis terlihat di bibir Putra. Pagi ini saat di baru sampai di depan pintu kamar inap bosnya, dua anak buahnya langsung memberi laporan. "Ingat, jangan biarkan dia masuk. Kita tidak tahu apa tujuannya mendekati Tuan." "Benar. Mr. Elgar punya banyak musuh baik dalam. urusan bisnis juga pribadi." Sahut Johan. "Ck, Tuan Elgar." Gerald membetulkan ucapan rekannya. "Perbaiki panggilanmu, jangan membuat Tuan Elgar marah." Ya, sejak kesalahpahaman tentang panggilan Olivia oleh security di mansion kini Elgar meminta semua anak buahnya dan karyawannya untukmu memanggilnya Tuan dan memanggil Shilla dengan panggilan Nyonya. "Biasakan lidahmu dengan bahasa Indonesia. Atau Tuan Elgar akan mengirimmu kembali ke Jerman." "Saya mengerti," ujar Johan mengangguk paham. Dan Putra pun menepuk pundak anak buahnya itu. "Berjaga dengan baik. Saya akan masuk melihat keadaan Tuan." Sebelum masuk Putra mengetuk pintu kamar. Baru setelah
Setelah menjalani perawatan selama hampir satu bulan, hari ini Elgar aka menjalani operasi transplantasi ginjal. Tentu saja setelah Dokter menyatakan kondisinya siap untuk menjalani operasi. Malam ini operasi akan dilakukan, ruang operasi sudah siap juga dengan dokternya. Di ruang rawat inap VVIP Elgar sedang bersia dengan ditemani Shilla dan Putra DM juga Bik Saroh yang sudah seminggu ini ikut bergantian menjaga Elgar. Sebelum dibawa ke ruang operasi Elgar meminta waktu untuk berdua dengan Shilla. "Tolong jangan maafkan aku, aku mohon do'akan agar aku tetap hidup untuk menebus dosa-dosaku padamu." Permintaan Elgar membuat Shilla mengerutkan dahi, bingung. Bagi Shilla permintaan Elgar sangat tidak masuk akal. "Kau takut mati?" tanya Shilla penasaran. "Iya, aku takut mati. Aku takut karena belum menebus semua kesalahan dan dosaku. Dan yang paling kutakutkan kita tidak akan bisa berjodoh di akhirat karena kamu menikah lagi." Sontak saja Shilla melebarkan matanya, kaget dan
"Nanti saya akan kembali lagi, sekarang silahkan beristirahat." Dokter Arinda mengurai senyum termanisnya lalu berjalan menuju pintu. Elgar dan Shilla kompak menghembuskan nafas kasar. Dalam hati ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar pada dokter yang menurutnya sangat tidak sopan. "Bagaimana bisa seorang dokter kepo dengan masalah pribadi pasiennya?" gerutu Shilla tanpa sadar. Wajahnya yang bisanya berekspresi datar kini terlihat kesal. Matanya melotot dan bibirnya mengerucut. Untuk apa dia menjaga Elgar jika sudah ada dokter yang begitu memperhatikan pria itu. Bukankah Shilla harusnya senang? Sekarang Shilla bisa pulang ke Surabaya dengan tenang. Tak perlu merasa bersalah apalagi merasa tak tega. Elgar tak hanya mendapatkan dokter yang tepat tapi mungkin bisa mendapatkan calon istri yang baru sebagai pengganti Shilla. Ya, semua sudah benar dan tepat. Tapi entahlah..... hati Shilla bukannya senang. Ada rasa kesal dan marah mengingat setiap perhatian yang dokter Arinda
Sudah dua minggu Shilla menemani dan merawat Elgar selama menjalani pengobatan di rumah sakit. Meski Maaf itu belum sepenuhnya terucap namun Shilla tak pernah meninggalkan pria yang masih sah menjadi suaminya itu. Bibirnya boleh berkata benci dan tak cinta lagi namun hatinya tak pernah bohong. Rasa peduli dan iba membuat wanita yang memiliki paras cantik khas pribumi itu berhenti peduli. Entah benar karena iba atau ada rasa lain yang tak ingin diakuinya. Setiap hari Shilla berada di sisi Elgar, menjaga, menyuapi makan, mengantar saat ingin ke kamar mandi dan sudah dua hari Shilla juga yang mengelap tubuh Elgar dengan air bersih. Semua itu Shilla lakukan dengan telaten meski kadang bibir tipis itu mengeluarkan kalimat gerutunya. "Badanku terasa lebih segar," ucap Elgar dengan senyum mengembang setelah Shilla membersihkan tubuhnya dengan waslap dan air bersih. Hatinya sangat bahagia karena bukan lagi perawat laki-laki yang membantunya membersihkan diri tapi sang istri yang me
Karena sudah memasuki waktu dhuhur aku putuskan untuk melaksanakan sholat dhuhur lebih dukungan sebelum makan siang. Aku memilih kamar tami di lantai atas sedangkan Elgar susah menaiki yanga menuju kamarnya yang ada di lantai dua rumah mewah ini. Di dinding ruang tengah masih terpasang foto Almarhum Papa Leonard dan Mommy Rosa. Dalam foto itu Mommy Rosa tersenyum tipis sedangkan Papa Leonard wajahnya datar. Bahkan dalam foto pun Papa Leonard tak mau berpura-pura bahagia. Tanpa sadar aku menghela nafas, serumit itu cinta mereka. Mungkin raga bisa mengalah namun hati tak mau berubah. Raga mungkin bersanding dengan orang lain namun perasaan cinta tak pernah berpaling. Pasti sangat sakit jadi Mommy Rosa, begitupun Papa Leonard. Dan lebih menderita lagi Mama, yang sudah mengalah namun tetap disalahkan. "Nyonya, silahkan." Aku tersentak saat seorang pelayan menyerahkan mukena yang tadi sempat aku minta. "Ah.... Terima kasih," ucapku berusaha menarik kedua sudut bibirku namun