Sampai lima belas menit Elgar belum kembali. Shilla menghela nafas, beberapa kali tangannya menyentuh mangkok berisi bubur yang ada di depannya. "Sudah mulai dingin," gumamnya lirih dan kembali menghela nafas. "Kenapa lama sekali?" Tatapannya terkunci pada daun pintu yang tertutup rapat. Teringat keberadaan seorang pria di balik pintu yang menghalangi keluar tiba-tiba ingatan Shilla tertarik pada kejadian dua minggu lalu. "Elgar tak sebaik yang kamu pikirkan. Ada banyak hal buruk yang sudah pria itu lakukan dan kamu pasti tidak akan menduganya. Elgar itu iblis dan kamu akan menyesal jika tetap bersamanya." Shilla menutup matanya suara itu terus terngiang di pikirannya. Shilla tak menduga jika ternyata wanita itu mengikuti Shilla dari depan gedung penelitian sampai di depan apartemen. "Maaf aku melakukan ini. Tapi ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan. Jadi, pergilah sejauh mungkin atau kamu akan menyesalinya." Shilla cukup terkejut saat wanita yang sudah dengan
Meski ragu, Devon pun mengikuti wanita yang baru ditemuinya itu. "Katakan dimana Shilla?" Tanya Devon pada wanita yang sedang menyesap kopi pesanannya. Bukannya menjawab wanita yang tangan kanannya memakai gip itu tersenyum tipis. Devon menghela nafas. Berusaha memupuk kesabaran dalam dadanya. Sudah lebih dari 30 menit mereka duduk berhadapan di sebuah kafe namun tak kunjung sang wanita berbicara. "Jika tak ada yang ingin kamu katakan, aku akan pergi." Lelah Devon pun bangkit. "Tunggu," ucap wanita. Menekan egonya, Devon kembali duduk. Jika saja dia punya cara lain menemukan Shilla mungkin sudah sejak tadi Devon pergi. Sayangnya hanya wanita ini satu-satunya harapan untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan Shilla. "Dimana dia?" Sebuah senyum tipis muncul dari bibir sang wanita. "Sabarlah sedikit, biarkan aku memperkenalkan diri..... Namaku Veronica, aku mantan rekan kerja Shilla. Kami cukup akrab sebelumnya," ungkap wanita itu dengan tatapan dingin seolah menyi
"Siapa yang mengirim pesan?" Elgar yang tadinya sibuk dengan layar ponselnya kini menatap datar Shilla. "Bukan siapa-siapa kok," jawab Shilla memaksa tersenyum. Satu alis Elgar terangkat. "Boleh lihat?" "Buat apa? Ini cuma pesan random dari teman kuliahku dulu." Shilla memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Kamu sendiri sedang kirim pesan sama siapa? Kayaknya serius banget." Shilla mencoba mengalihkan pembicaraan. "Coba lihat, lagi kerja apa main game?" Giliran Elgar yang salah tingkah. Pria itu segera menutup aplikasi pesan di ponselnya. "Hanya membalas pesan Mommy. Dia khawatir karena mendengar kamu dipecat dari tempat kerja." Shilla mengerutkan dahinya. "Mommy tahu dari siapa?" "Gak usah dipikirkan. Aku sudah jelasin semuanya. Sekarang Mommy sudah tenang." "Oh...." Shilla mengangguk. **** Menjelang sore mereka sampai di mansion keluarga Romanov. Mommy Rosa menyambut keduanya dengan suka cita bercampur haru. Wanita paruh baya itu sangat bahagia akhirnya putra
Elgar begegas pulang setelah mendapat laporan dari Bodyguard yang ditugasi menjaga Shilla. Dengan langkah lebar Elgar me aiki tangga menuju lantai dua. Baru mencapai setengahnya, panggilan dari mommy-nya membuat langkah lebar pria itu terhenti. "Kamu sudah pulang?" Mommy-nya berjalan dari arah dapur. "Iya," jawab Elgar menoleh sebentar lalu melanjutkan langkahnya. "Shilla sedang tidur." Beritahu Mommy Rosa dan Sang putra pun kembali menghentikan langkahnya. Tidur? "Dia baik-baik saja kan?" Ada kepanikan di nada suaranya meski raut wajahnya terlihat datar. "Dia baik-baik saja. Dia hanya merasa lelah dan sedikit pusing." Elgar mengerutkan dahinya. Pusing? Tadi pagi Istrinya itu baik-baik saja. "Pusing kenapa?" "Sini sebentar," Mommy Rosa melambaikan tangannya. Meski enggan Elgar pun kembali turun dan mengikuti Mommy-nya, duduk sofa ruang tengah. "Mommy tahu kamu pulang karena mengkhawatirkan Shilla. Tapi jangan khawatir, Shilla gak papa." Mommy Rosa mengelus pundak p
Pov Shilla. Sudah tiga bulan berlalu sejak aku pindah ke Frankfurt. Semua berjalan dengan sangat baik seolah semesta merestui pernikahanku dan Elgar. Setiap hari kami lalui dengan bahagia. Elgar sangat perhatian dan sabar. Meski kadang terpisah jarak selama beberapa hari karena Elgar harus mengurus bisnisnya do negara lain, tapu pria itu tak pernah lupa mengirim pesan dan videocall untuk sekedar berbagi kabar dan mengingatkan makan. Rasanya aku patut bersuka cita dan mengucap syukur sebanyak mungkin atas keberkahan keluarga baru yang Tuhan berikan padaku. Rasanya semua kepedihan yang sebelumnya aku rasakan kini terbayar sudah. Kadang aku merasa ini tak nyata. Aku yang sejak kecil hidup sebagai anak yatim dan miskin kini bisa hidup nyaman di mansion mewah bersama keluarga yang aku cintai. Hidupku terasa begitu sempurna. Nyatakah ini? Berkali-kali aku bertanya pada diriku sendiri. Rasanya aku masih tak percaya. Setiap detik rasa syukur dan bahagia membuatku ingin sellau ter
Shilla tolong pikirkan baik-baik." Devon memegang tanganku namun dengan cepat aku tepis. "Maaf.. maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar," Wajah pria itu terlihat menyesal. Kuhela nafas, menyesali keputusanku memenuhi permintaan Vero dan Devon untuk datang ke tempat ini. Tidak seharusnya aku kesini jika pada akhirnya membuat pikiranku ragu. "Shilla, seandainya yang kau pilih Nathan atau Ardi, InsyaAllah aku rela. Aku tahu mereka baik. Tapi, laki-laki itu, dia tidak pantas mendapatkanmu. Dia adalah penyebab..." "Cukup, sudah berkali-kali kamu mengatakannya." Selaku menatapnya tak suka. "Tapi kamu tidak percaya kan?" Devon terlihat kesal. "Pulanglah ke Indonesia cari tahu kebenarannya." Kualihkan pandangan kearah anak-anak yang berlarian dipandang rumput tak jauh dari tempat kami berdiri. Di kursi sebelah kanan Bi Saroh duduk tenang dengan pendangan ke arahku. Wanita kepercayaan Mommy Rosa itu mungkin akan langsung menelpon bodyguard jika tahu pria yang sedang berbicara d
"A-apa mak-sudmu?" tanya Shilla dengan tatapan tak percaya. Apa dirinya membuat kesalahan? Kenapa pria yang selalu bersikap lembut padanya mendadak berubah kasar. "Jangan berlagak polos di depanku. Wanita yang lahir dari rahim seorang jal*ng tentu saja akan menjadi jal*ng juga." Duarrrr..... Seperti tersambar petir, Shilla terkesiap. Wajahnya seketika pucat dengan mata terasa panas. "Apa yang kamu katakan?" tanyanya dengan sekuat tenaga menahan buliran bening agar tak menetes dari matanya. Senyum sinis nampak di bibir Elgar begitu melihat wajah terluka sang istri. Jika biasanya dia paling tidak bisa melihat ekspresi sedih Shilla namun kali ini Elgar begitu muak melihat guratan wajah itu. Dalam hati Elgar merutuki kebodohannya. Kenapa dia tak sadar jika wajah Shilla mirip dengan foto Wanita yang papanya simpan di laci meja kerjanya. "Kamu tidak dengar? Aku bilang, kamu sama jal*ngnya dengan ibumu." Kedua tangan Shilla mengepal, hatinya sakit. Seperti ada ribuan jaru
Berusaha menahan rasa pening di kepalanya, perlahan Shilla bangkit. Tamparan itu sangat keras, tidak hanya membuat pipinya bengkak namun bibirnya pun sobek. Sedikitpun Shilla gak mau melihat ekspresi wajah Elgar. Dia langsung berbalik, mengusap sisa air mata di pipinya lalu berjalan menuju tangga. Saat hendak menaiki tangga muncul Bik Saroh dengan berurai air mata. Wanita itu langsung memegangi Shilla, menuntunnya menaiki tangga. "Makasih Bik." Shilla menarik sedikit kedua susut bibirnya. Meski sakit dan sedih namun Shilla berusaha terlihat tegar. Tak ada lagi air mata di wajah cantiknya namun Bik Saroh bisa melihat dengan jelas gurat kekecewaan di wajah dan tatapan Shilla. "Non, izinkan saya kompres pipinya sebentar ya!" Ucap Bik Saroh tak tega melihat wajah yang biasanya putih mulus kini terlihat memerah dan bengkak. "Tidak udah Bik, sudah tidak ada waktu. Tapi terima kasih atas perhatian Bibik," tolak shilla lalu segera mengemasi barang-barangnya. Tak banyak yan
Terdengar dering ponsel dari dalam rumah. Elgar yang sedang menyirami tanaman di teras langsung bergegas masuk. Dering panggilan itu sudah di stel khusus untuk satu nomor saja. Sampai didalam segera diraihnya benda pipih yang ada di atas meja ruang tamu. Sebuah senyum merekah dari bibir tegas pria berwajah bule itu saat terlihat kontak dengan nama My Wife nampak dilayar ponselnya. "Halo, assalamu'alaikum," sapanya dengan wajah berbinar dan langsung dijawab oleh lawan bicaranya. [Kamu sedang apa?] Suara dari seberang sana. Elgar pun mengerutkan dahinya. Tidak biasa sang istri tiba-tiba menelpon dan menanyakan kegiatannya. Shilla tipe wanita yang percaya dan memberi kebebasan pada pasangannya. Bukan pencemburu yang selalu meminta pasangannya untuk melaporkan setiap yang dilakukan. "Aku sedang menyiram bunga saat mendengar ponsel berdering." [Sambil bernyanyi dan tertawa sendiri?] "Ya?" Elgar belum bisa mengerti maksud Shilla. "Maksudnya?" [Ya maksud kamu apa, seny
Sudah satu bulan sepasang suami istri itu menepi di pinggiran kota. Hidup sebagai orang biasa. Pagi hari Shilla dan Elgar berolahraga lari berkeliling jalanan yang masih sepi dan asri. Melewati sawah dan sungai yang airnya terlihat jernih. Perjalanan mereka berakhir di pasar tradisional yang banyak menjajakan jajanan dan makanan tradisional. Elgar yang sebelumnya tidak pernah memakan makanan tradisional sangat senang. "Bukan sehat yang ada gula darahmu naik," tegur Shilla saat sang suami mulai lepas kendali. Sudah satu kantong plastik penuh dengan jajanan pasar di tangan kiri Elgar namun pria blasteran itu masih sibuk memilih makanan lain lagi. "Anggap saja kita berbagi rejeki dengan ibu-ibu penjual di sini," bisik Elgar lalu kembali sibuk dengan deretan jajanan yang dominan berasa manis yang ada di depannya. Jika untuk berbagi Shilla sama sekali tidak keberatan. Sayangnya itu hanyalah alasan Elgar saja. Setiap. sampai di rumah dia memang akan memanggil. beberapa anak kecil
Setelah mendapatkan rumah sakit yang tepat Elgar dan Shilla memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Sejenak melipir ke pinggiran kota untuk menenangkan diri. Di sana Shilla dan Elgar disambut oleh Budhe Siti dan Rizal. Dua orang itu sangat bersyukur melihat Shilla kembali bersama Elgar. Rasa syukur Budhe Siti ucapkan karena Shilla sudah bisa memaafkan Elgar. "Alhamdulillah... Nak, akhirnya kamu bisa membuka hatimu, mengikhlaskan semua yang telah terjadi." Ucap Budhe Situ setelah adegan penyambutan yang diwarna dengan tangis haru. "Shilla ingin seperti Mama, bisa memaafkan meski sakit." "Iya sayang, kamu memang seperti mamamu, punya hati yang lembut dan penuh kasih." Budhe Siti memeluk satu-satunya keponakan yang dimilikinya itu erat. Elgar yang menyaksikan ikut terharu. Pria itu berjalan mendekat lalu berjongkok di depan dua wanita yang duduk di sofa ruang tamu. "Budhe sebagai saksinya, saya janji tidak akan mengulangi kesalahan saya. Saya akan menjaga dan mencintai Shilla
Meski bersedia memberi kesempatan kedua namun Shilla masih enggan untuk tidur satu kamar dengan Elgar. Wanita cantik dengan rambut panjang sepunggung itu memilih tidur kamar tamu yang ada di lantai bawah rumah mewah peninggalan papa mertuanya. Berbagai alasan Elgar utarakan untuk memaksa istrinya itu tidur di kamar utama namun seperti yang Elgar tahu, istrinya itu sangat keras kepala. "Aku bilang nggak. Kalau kamu maksa aku akan pulang ke Surabaya." Kekeh Shilla sambil mendelik. "Kurasa ikut tinggal di Surabaya lebih baik dari pada tinggal di ibu kota yang udara sangat panas dan banyak polusi." Balas Elgar bersemangat. "Ck...." Tak menyahut Shilla berlalu menuju teras samping. Menyirami bunga-bunga lebih menyenangkan dari pada berdebat dengan Elgar. "Shilla aku lapar. Pengen makan buah." Shilla menoleh, matanya memicing. Pria yang tadi ditinggalkannya di ruang tengah kini sudah duduk kursi panjang dekat pintu penghubung teras samping dan ruang tengah. "Kau punya ka
"Sepertinya kita terlalu lunak dengan wanita itu." Sebuah senyum sinis terlihat di bibir Putra. Pagi ini saat di baru sampai di depan pintu kamar inap bosnya, dua anak buahnya langsung memberi laporan. "Ingat, jangan biarkan dia masuk. Kita tidak tahu apa tujuannya mendekati Tuan." "Benar. Mr. Elgar punya banyak musuh baik dalam. urusan bisnis juga pribadi." Sahut Johan. "Ck, Tuan Elgar." Gerald membetulkan ucapan rekannya. "Perbaiki panggilanmu, jangan membuat Tuan Elgar marah." Ya, sejak kesalahpahaman tentang panggilan Olivia oleh security di mansion kini Elgar meminta semua anak buahnya dan karyawannya untukmu memanggilnya Tuan dan memanggil Shilla dengan panggilan Nyonya. "Biasakan lidahmu dengan bahasa Indonesia. Atau Tuan Elgar akan mengirimmu kembali ke Jerman." "Saya mengerti," ujar Johan mengangguk paham. Dan Putra pun menepuk pundak anak buahnya itu. "Berjaga dengan baik. Saya akan masuk melihat keadaan Tuan." Sebelum masuk Putra mengetuk pintu kamar. Baru setelah
Setelah menjalani perawatan selama hampir satu bulan, hari ini Elgar aka menjalani operasi transplantasi ginjal. Tentu saja setelah Dokter menyatakan kondisinya siap untuk menjalani operasi. Malam ini operasi akan dilakukan, ruang operasi sudah siap juga dengan dokternya. Di ruang rawat inap VVIP Elgar sedang bersia dengan ditemani Shilla dan Putra DM juga Bik Saroh yang sudah seminggu ini ikut bergantian menjaga Elgar. Sebelum dibawa ke ruang operasi Elgar meminta waktu untuk berdua dengan Shilla. "Tolong jangan maafkan aku, aku mohon do'akan agar aku tetap hidup untuk menebus dosa-dosaku padamu." Permintaan Elgar membuat Shilla mengerutkan dahi, bingung. Bagi Shilla permintaan Elgar sangat tidak masuk akal. "Kau takut mati?" tanya Shilla penasaran. "Iya, aku takut mati. Aku takut karena belum menebus semua kesalahan dan dosaku. Dan yang paling kutakutkan kita tidak akan bisa berjodoh di akhirat karena kamu menikah lagi." Sontak saja Shilla melebarkan matanya, kaget dan
"Nanti saya akan kembali lagi, sekarang silahkan beristirahat." Dokter Arinda mengurai senyum termanisnya lalu berjalan menuju pintu. Elgar dan Shilla kompak menghembuskan nafas kasar. Dalam hati ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar pada dokter yang menurutnya sangat tidak sopan. "Bagaimana bisa seorang dokter kepo dengan masalah pribadi pasiennya?" gerutu Shilla tanpa sadar. Wajahnya yang bisanya berekspresi datar kini terlihat kesal. Matanya melotot dan bibirnya mengerucut. Untuk apa dia menjaga Elgar jika sudah ada dokter yang begitu memperhatikan pria itu. Bukankah Shilla harusnya senang? Sekarang Shilla bisa pulang ke Surabaya dengan tenang. Tak perlu merasa bersalah apalagi merasa tak tega. Elgar tak hanya mendapatkan dokter yang tepat tapi mungkin bisa mendapatkan calon istri yang baru sebagai pengganti Shilla. Ya, semua sudah benar dan tepat. Tapi entahlah..... hati Shilla bukannya senang. Ada rasa kesal dan marah mengingat setiap perhatian yang dokter Arinda
Sudah dua minggu Shilla menemani dan merawat Elgar selama menjalani pengobatan di rumah sakit. Meski Maaf itu belum sepenuhnya terucap namun Shilla tak pernah meninggalkan pria yang masih sah menjadi suaminya itu. Bibirnya boleh berkata benci dan tak cinta lagi namun hatinya tak pernah bohong. Rasa peduli dan iba membuat wanita yang memiliki paras cantik khas pribumi itu berhenti peduli. Entah benar karena iba atau ada rasa lain yang tak ingin diakuinya. Setiap hari Shilla berada di sisi Elgar, menjaga, menyuapi makan, mengantar saat ingin ke kamar mandi dan sudah dua hari Shilla juga yang mengelap tubuh Elgar dengan air bersih. Semua itu Shilla lakukan dengan telaten meski kadang bibir tipis itu mengeluarkan kalimat gerutunya. "Badanku terasa lebih segar," ucap Elgar dengan senyum mengembang setelah Shilla membersihkan tubuhnya dengan waslap dan air bersih. Hatinya sangat bahagia karena bukan lagi perawat laki-laki yang membantunya membersihkan diri tapi sang istri yang me
Karena sudah memasuki waktu dhuhur aku putuskan untuk melaksanakan sholat dhuhur lebih dukungan sebelum makan siang. Aku memilih kamar tami di lantai atas sedangkan Elgar susah menaiki yanga menuju kamarnya yang ada di lantai dua rumah mewah ini. Di dinding ruang tengah masih terpasang foto Almarhum Papa Leonard dan Mommy Rosa. Dalam foto itu Mommy Rosa tersenyum tipis sedangkan Papa Leonard wajahnya datar. Bahkan dalam foto pun Papa Leonard tak mau berpura-pura bahagia. Tanpa sadar aku menghela nafas, serumit itu cinta mereka. Mungkin raga bisa mengalah namun hati tak mau berubah. Raga mungkin bersanding dengan orang lain namun perasaan cinta tak pernah berpaling. Pasti sangat sakit jadi Mommy Rosa, begitupun Papa Leonard. Dan lebih menderita lagi Mama, yang sudah mengalah namun tetap disalahkan. "Nyonya, silahkan." Aku tersentak saat seorang pelayan menyerahkan mukena yang tadi sempat aku minta. "Ah.... Terima kasih," ucapku berusaha menarik kedua sudut bibirku namun