"Raisa." "Temanmu yang tadi?" "Hemm." Saat kami hampir sampai Raisa keluar dari dalam mobilnya. "Kenapa masih di sini?" tanyaku pada gadis yang langsung menarik lenganku. "Bagaimana mungkin aku tega meninggal kamu sendirian di sini," jawabnya lalu melirik Elgar. "Kalau sampai ada apa-apa denganmu. Habis aku diomelin Natalia dan Ardi tujuh hari tujuh malam." "Maksud kamu apa melirik saya begitu?" Sahut Elgar dengan dahi yang berkerut. "Saya ini suaminya mana mungkin saya menyakiti Shilla." Sambungnya tak terima. "Siapa yang bisa percaya omongan laki-laki? Jangan kan menyakiti, membun*h pun bisa kalau sudah kena pesona pelak*r." Ceplos Raisa tanpa filter. Sontak Elgar melotot. "Maksud kamu apa?" Aku reflek berdiri di depan Raisa saat pria itu sudah berkacak pinggang. "Dia serem benget. Bagaimana kamu bisa jatuh cinta sama dia?" bisik Raisa yang aku yakin Elgar pun mendengarnya. "Jangan diambil hati. Raisa terkadang suka kelepasan kalau bicara." Aku mengelus leng
Sesuai jadwal hari ini waktunya kembali ke Jepang. Setelah dua hari aku habiskan bersama Elgar dan satu hari menyelesaikan masalah dengan Devon. Hari ini tibalah waktunya aku untuk kembali ke Jepang, melanjutkan kontrak kerja yang tinggal satu tahun lebih tiga bulan. Kemarin aku menemui Devon setelah Elgar membatalkan laporannya ke polisi. Dengan jujur kukatakan padanya jika bukan aku yang melaporkannya ke polisi melainkan suamiku. Meski begitu aku tidak memberitahu identitas Elgar. Kuminta Devon untuk kembali Ke Belanda dan menjalani hidupnya dengan bahagia di sana. Namun Devon menolak. Dengan alasan tak bisa meninggalkan aku. "Kamu yang dulu menemaniku berjuang. Dan karena kamu aku bangkit setelah kematian Oma. Mana mungkin aku bisa bahagia bersama orang lain." Katanya kemarin sambil berurai air mata. Sedikitpun hatiku tidak tersentuh. Aku malah ingin tertawa. Devon berbicara seolah begitu mencintaiku. Padahal selama ini dia tega memalsukan kematiannya dan bahagia ber
"Kenapa dia di sini?" Sama dengan Vero aku juga penasaran mengapa wanita itu ada di sini? "Kamu kenal?" Aku tersentak saat tangan Vero menggoyangkan lenganku. "Dia menyebut namamu," "Hah,..... Ti-tidak." Aku menggeleng mendadak gagu. Tak bohong aku hanya tahu dia Olivia mantan tunangan Elgar. Tapi kami tak pernah berkenalan sebelumnya. "Siapa yang mananya Shilla?" Entah sejak kapan Olivia sudah berada di depanku dengan di ikuti seorang security. "Kamu?" tunjuk Olivia padaku berlagak tak tahu. "Iya, dia Shilla. Kenapa kamu mencarinya?" Bukan aku tapi Vero. "Jadi kamu Shilla?" Wanita dengan dress maroon itu bersandiwara. Sikapnya seolah tak pernah bertemu denganku sebelum. "Jadi kamu wanita murah*n yang Elgar nikahi," Duar...... Seperti tersambar petir di siang bolong mendengar ucapan wanita ini. Tak hanya aku semua orang langsung menatapku dan Olivia bergantian. Plak..... Tak sempat menghindar, sebuah benda keras mendarat keras di pipi kananku. Aku pun ter
"Bisa jelaskan!" Nathan mulai bicara setelah hampir setengah jam kami berempat hanya diam. Sepulang kerja di ruang tengah apartemen kami berkumpul. Dengan lesehan mengitari meja yang biasa kami gunakan untuk makan. "Bisa," jawabku setelah menarik nafas panjang. "Jelaskan kalau begitu," sahut Mbak Miranda ketus. Dia terlihat sangat kecewa. Ardi menepuk lenganku sambil menganggukkan kepalanya. Seolah memberiku dukungan. Kuurai senyum tipis untuk menyampaikan jika aku tak papa. "Iya, aku sudah menikah dengan Elgar." Ungkapku tanpa ragu sedikitpun. Nathan menghela nafas sedang Miranda langsung berdecih, tersenyum sinis sambil membuang muka. Hanya Ardi yang nampak biasa. Teman lamaku itu tak terlihat marah atau pun kesal. Sangat berbeda dengan dua seniorku yang dengan terang-terangan menunjukan sikap marja dan kecewa.Iya, aku sadar aku sudah melakukan kesalahan. Membuat rekan kerja yang sudah seperti keluarga merasa kecewa. Aku juga sadar harusnya aku jujur saja sejak
Pov Author. Elgar langsung bertolak ke Jepang setelah mendapat laporan tentang Olivia yang mendatangi tempat kerja Shilla. Marah, tentu Pria keturunan Jerman Turki itu langsung mengamuk sampai-sampai Putra menjadi sasaran. Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan asisten pribadinya itu. "Kenapa bisa terulang lagi. Untuk apa aku bayar kalian jika istri saya masih bisa dilukai orang!" Geram Elgar. "Ma-afkan saya. Segera, saya ganti dengan bodyguard yang lebih profesional." Putra menunduk takut. lima tahun bekerja untuk Elgar, dirinya atau betul seperti apa watak bosnya itu. Tak ada kata gagal apalagi lalai. Jika Bosnya memberi maaf itu haha untuk menguji. Sedang mengukur waktu untuk menghukum. "Apa yang dilakukan anak buahmu saat istri saya di aniaya, hah?" bentak Elgar murka. "Mereka berjaga di luar. Tanpa tanda pengenal. mereka tidak bisa masuk. Sekali lagi saya minta maaf. Segera akan saya disiplinkan mereka." Dengan jantung yang berdegup Putra berusaha menjelaskan
Tatapan Elgar seketika beralih pada sahabat istrinya yang berdiri di depannya. Merasa tak yakin dengan pendengarannya. Elgar pun mengulangi ucapan pria itu. "Mengundurkan diri?" Tak hanya Elgar, Nathan juga Miranda nampak terkejut. Dua orang itu kompak mengarahkan pandangannya pada Ardi. "Kamu jangan bercanda?" sentak Miranda. "Siapa yang bercanda?" jawab Ardi tegas. "Damn it!!" Umpat Elgar lalu mengusap wajahnya kasar. Lagi-lagi merasa kecolongan. "Ar, kamu serius?" Kali ini Nathan yang bertanya. "Memangnya kenapa jika Shilla mengundurkan diri. Bukannya itu lebih baik? Sekarang kalian tidak perlu lagi repot-repot mencibir dan menyindirnya," jawab Ardi mencibir. Sejujurnya Ardi ikut sakit hati melihat dua seniornya itu mengadili Shilla seperti seorang terpidana. Hanya perkara Shilla tidak jujur tentang pernikahan kontraknya, Shilla diperlakukan seperti seorang pengkhianat. "Maksud kamu apa? Kapan aku menyindirnya?" Nathan merasa tak terima. Dia memang marah da
"Selamat pagi," sebuah senyum manis dari seorang wanita cantik menyambut Shilla ketika membuka pintu. "Selamat pagi Kirana," sapa Shilla sedikit membungkuk. "Ayo masuk!" Shilla memindahkan tubuhnya memberi jalan. "Biar saya saja." Katanya mengambil alih pegangan kursi roda dari tangan maid yang menemani Kirana. Lalu mendorong pelan masuk ke ruang tengah. "Tunggu sebentar, aku ambilkan roti bakar isi selai nanas kesukaanmu." Shilla berjalan menuju dapur. Sepiring roti bakar dan dua gelas jus jeruk dibawanya menggunakan nampan. "Makanlah, aku yakin kamu belum sarapan." Katanya sembari menyerahkan sepotong roti yang dia buat pagi ini. Sambil tersenyum Kirana menerima roti buatan sahabatnya itu. Sudah sangat lama mereka tak makan bersama seperti saat ini. Dua wanita cantik itu menikmati sarapan paginya sambil memandang langit pagi kota Hamburg di musim semi yang indah. Hamburg salah satu kota terbesar di Jerman. Di kota ini Shilla kini berada. Sudah lebih dari dua mi
Sudah seperti orang gil* Elgar kesana kemari mencari Shila. Dari Jepang ke Indonesia lalu kembali ke Jepan dan kembali ke Indonesia.Pagi ini baru turun dari pesawat langsung menuju ke rumah Haidar, papa Shilla. Tujuannya untuk menanyakan kampung halaman sang istri.Namun untuk yang kesekian kalinya Elgar kembali menelan kekecewaan ketika papa mertuanya juga tidak mengetahui dimana tempat tinggal putrinya sewaktu kecil. Ayah macam apa yang bahkan tempat tinggal putrinya saja tidak tahu. Ingin sekali Elgar memarahi pria yang saat ini tengah duduk di hadapannya itu. "Selama ini Shilla tinggal bersama ibu dan neneknya. Dan kami belum pernah mengunjunginya," sahut Utari berusaha membela suaminya. Elgar melirik sinis pada ibu sambung Shilla lalu kembali fokus pada Haidar. "Sekedar alamatnya Anda juga tidak tahu?" Haidar menggeleng. Tanpa sadar Elgar mendengus kasar. Tangannya mengepal menahan kesal yang ingin sekali ia luapkan dengan cacian. Bagaimana mungkin Haidar tidak tahu