"Bagaimana keadaannya, Dok?" Aldi terlihat khawatir, masalahnya Abel tidak hanya menjalani pemeriksaan biasa. "Tunggu rekam medisnya keluar, kalian bisa kembali lagi dia hari lagi. Tolong lebih di jaga lagi keadaan istrinya ya, Mas. Untuk saat ini saya belum bisa menyimpulkan apapun, kita tunggu rekam medisnya saja dulu."Aldi semakin tak tenang mendengarnya, sedangkan Abel ia mengulas senyum tipis mrnganggukkan kepalanya ke arah Aldi. "I'm fine," bisik Abel lirih. "Terima kasih, Dok." Abel lantas membawa Aldi pergi dari sana. Aldi tidak berbicara satu kata pun dia sibuk berperang dengan isi kepalanya sendiri. Abel menghela napas menggoyangkan lengan Aldi pelan. "Mau sampai kapan kamu diemin aku kayak gini, Aldi? Nggak usah di pikirin lagi. Aku juga udah bilang sama kamu untuk nggak usah periksa kan?""Gue mana bisa tenang Abel, kondisi lo buruk. Kalau lo nggak papa, dokter nggak akan minta lo ngelakuin pemeriksaan itu dan sekarang hasilnya belum keluar, lo bahkan ngerasa khawatir
"Dok, bagaimana kedaan Abel?" Aldi terlihat sangat khawatir, melihat Abel yang kini tengah terbaring di ranjang. Aldi sangat menyesali ucapannya, ia menyesal tidak bisa menahan emosinya dan justru bertengkar dengan Abel di mobil. "Kondisi pasien sudah stabil, rekam medisnya sudah keluar. Pasien mengidap tumor otak, tumornya tidak kecil di lihat dari bentuknya juga tidak terlalu bagus. Jadi kami menyarankan untuk pasien melakukan aborsi." Aldi terdiam, ia cukup terkejut mendengar penjelasan dokter barusan. Kedua tangannya mengepal, Abel bahkan sebelumnya sudah mengatakan apapun yang terjadi dia tidak akan pernah menggugurkan bayinya. Bagaimana cara dia mengatakan itu semua kepada Abel. "Apakah tidak ada cara lain selain mengugurkan bayi dalam kandungannya?" Dokter tersebut terdiam, ia tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan Aldi. Hal itu membuat Aldi cukup merasa putus asa. Bagaimana dia menjelaskan semua ini kepada Abel. "Apa yang akan terjadi jika Abel tetap mempertahanka
"Abel ada pengobatan lain yang bisa menyelematkan kamu dengan bayimu." Abel menatap ke arah Aldi mengulas senyum tipis. "Makasih, Al. Apapun hasilnya nanti aku akan tetap mempertahankan bayiku. Aldi, dia buah cintaku dengan Leon dan aku tidak ingin kehilangannya. Aldi, dia adalah nyawaku!" lirih Abel, ia mengusap perutnya pelan kedua matanya terpejam tak lama mengeluarkan air mata. Aldi mengangguk mengusap kepala Abel lembut. "Mulai sekarang kamu harus lebih jaga kesehatan kamu, kita akan mulai pengobatan. Tapi Abel kamu akan melahirkan dengan operasi," jelas Leon. Abel tidak mempermasalahkan itu, yang terpenting adalah bayinya sehat dia pun tidak perduli dengan kondisinya saat ini. "Abel, kamu juga harus berjuang untuk kesembuhan kamu. Kamu kekeh banget pingin lahirin anak kamu, tapi apa kamu nggak mikir kalau anak kamu lahir tanpa ibu. Okelah gue bisa rawat dia, gue bisa kasih apapun yang gue mau, gue juga bisa jadi sosok ayah sekaligus sosok ibu buat dia. Tapi itu semua akan tet
Abel tersenyum getir, melihat Leon yang kini terbaring lemah di ranjang pesakitan. Abel tidak menyangka jika mereka akan di pertemukan dalam kondisi seperti ini. Abel tidak percaya melihat pria kuatnya kini terbaring lemah di ranjang. "Leon, kau bisa mendengarku bukan?" lirih Abel, ia menganggam tangan Leon mengecupnya berulang kali. Air mata Abel banjir membasahi tangan Leon. Ia sudah menahannya, tetapi rasanya sangat sulit hatinya terluka melihat orang yang ia cintai dalam kondisi seperti ini. "Leon, aku dan baby butuh kamu. Kami berdua butuh kamu, Leon! Ayo bangun, baby bahkan sangat merindukanmu. Dia ingin merasakan usapan lembut dari kamu." Abel mengambil tangan Leon meletakkannya tepat di perutnya. Kedua matanya terpejam saat merasakan pergerakan kecil dari perutnya. Bayi dalam kandungannya pun sudah merespon saat disentuh oleh ayahnya. Abel sedikit menunduk, bibirnya tepat di telinga Leon tangan Abel mengusap kepala Leon lembut. "Sayang, kita berjuang sama-sama oke? Aku ber
Sudah satu minggu dan Leon tetap belum sadarkan diri. Ia masih terlalu nyaman dalam tidurnya, berbeda dengan Abel yang tengah berjuang untuk kesembuhannya dan untuk keselamatan bayinya. Tubuh Abel semakin hari terlihat semakin kurus, wajahnya yang pucat masih memperlihatkan sebuah senyuman indah pada keluarganya. Abel ingin meyakinkan mereka jika ia baik-baik saja. "Ma, Abel nggak papa. Mama jangan sedih ya, nanti Abel ikutan sedih kalau lihat mama nangis. Dokter bilang kondisi Abel mulai membaik, Abel yakin sebentar lagi Abel akan sembuh. Abel yakin kalau Abel akan melahirkan baby dengan selamat." Marshanda mengangguk mengecup dahi Abel cukup lama. "Mama percaya kamu bisa, Sayang. Mama tahu anak mama hebat, mama tahu kamu bisa lewatin semuanya." Tangan Abel tergerak mengusap pipi Marshanda yang basah akan air mata. "Mama kurang makan ya? Badan mama kelihatan lebih kurus. Kantung mata mama juga kelihatan hitam, mama nggak cantik lagi. Mama jangan sampai kurang tidur, Abel nggak mau
"Abel, sayang ada apa!" Marshanda langsung berlari ke ruangan Abel saat mendengar Abel terus berteriak. Abel terisak memeluk erat tubuh Marshanda. "Leon, ma. Leon jahat! Dia pergi ninggalin Abel, Leon nyerah dia nggak mau berjuang sekali lagi. Leon ninggalin Abel!" isaknya. Marshanda sedikit tidak mengerti akan apa yang Abel maksud. Ia mengusap punggung Abel lembut mencoba menenangkannya. "Sayang, coba bicara pelan-pelan. Maksud kamu apa? Kamu pasti baru aja mimpi buruk, minum dulu ya." Abel terisak, ia menatap sendu ke arah Marshanda. "Ma, bawa Abel ketemu sama Leon. Abel mau nemuin dia, Abel nggak bisa nunggu lagi! Bawa Abel ke ruangan Leon, Ma."Marshanda menggeleng dengan tegas. "Nggak bisa sayang, kondisi kamu belum stabil, kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu gimana. Kamu tenangin diri kamu dulu, Leon nggak kenapa-napa, kondisinya sudah stabil."Abel menggeleng ia yakin dengan mimpinya barusan, firasatnya buruk. Entah mengapa Leon seakan berpamitan kepadanya. Abel tidak aka
"Bagaimana kondisi Abel?" Liona memeluk tubuh David erat, ia menumpahkan tangisnya. Dadanya terasa sesak. "Kondisi Abel nggak baik, dokter memutuskan untuk segera melakukan operasi. David, apa yang harus kita lakukan?" isak Liona. David mengusap punggung Liona naik turun mencoba menenangkan istrinya. "Kita akan diskusikan ini dulu sama mama, sayang detak jantung Leon kembali dan saat ini kondisinya sudah stabil." Liona sangat terkejut mendengarnya. "Kamu nggak bercanda kan?" David menggeleng, ia menatap wajah istrinya lekat menghapus air matanya yang mengalir. "Tapi, Leon harus di pindah rumah sakit. Aku berencana membawa Leon berobat di luar negeri yang tenaga medisnya lebih baik." Liona terdiam, menatap Abel dari balik jendela. "Kamu mau pisahin Abel sama Leon? Dengan kondisi Abel seperti ini. Nggak, aku nggak setuju kalau Leon di bawa ke luar negeri Abel juga ikut berobat ke luar negeri.""Sayang, kamu harus tahu Abel sekarang sedang hamil dia nggak bisa perjalanan jauh. Dokte
"Leon, kamu harus bangun! Kamu harus sembuh, demi Abel anak kamu." Marshanda mengecup kening Leon singkat mengusap kepalanya lembut. Leon akan di bawa untuk pengobatan ke Amerika Serikat yang memiliki rumah sakit dengan tenaga medis terbaik. David menghampiri Liona memeluk tubuh istrinya erat. David melihat mata Liona yang memerah ia tersenyum mengusap pipinya lembut. "Sampai Leon sembuh, setiap hari aku akan kasih kabar. Kamu jangan sampai telat makan, kalau ada apa-apa kamu langsung hubungi aku. Nggak usah mikir yang macam-macam." Liona mengangguk, ia berjinjit mengecup bibir David singkat. "Jagain Leon dengan baik, aku akan sangat merindukanmu!" David tersenyum menepuk kepala Liona singkat ia lalu melambaikan tangannya segera masuk. Karena pesawat akan segera take off, Liona melambaikan tangannya samoai David masuk ke dalam pesawat. Marshanda memeluk tubuh putrinya mengusap kepalanya lembut. "Kita ke rumah sakit sekarang!" Liona mengangguk. ****Abel mengerjabkan matanya, mel