Sudah satu minggu dan Leon tetap belum sadarkan diri. Ia masih terlalu nyaman dalam tidurnya, berbeda dengan Abel yang tengah berjuang untuk kesembuhannya dan untuk keselamatan bayinya. Tubuh Abel semakin hari terlihat semakin kurus, wajahnya yang pucat masih memperlihatkan sebuah senyuman indah pada keluarganya. Abel ingin meyakinkan mereka jika ia baik-baik saja. "Ma, Abel nggak papa. Mama jangan sedih ya, nanti Abel ikutan sedih kalau lihat mama nangis. Dokter bilang kondisi Abel mulai membaik, Abel yakin sebentar lagi Abel akan sembuh. Abel yakin kalau Abel akan melahirkan baby dengan selamat." Marshanda mengangguk mengecup dahi Abel cukup lama. "Mama percaya kamu bisa, Sayang. Mama tahu anak mama hebat, mama tahu kamu bisa lewatin semuanya." Tangan Abel tergerak mengusap pipi Marshanda yang basah akan air mata. "Mama kurang makan ya? Badan mama kelihatan lebih kurus. Kantung mata mama juga kelihatan hitam, mama nggak cantik lagi. Mama jangan sampai kurang tidur, Abel nggak mau
"Abel, sayang ada apa!" Marshanda langsung berlari ke ruangan Abel saat mendengar Abel terus berteriak. Abel terisak memeluk erat tubuh Marshanda. "Leon, ma. Leon jahat! Dia pergi ninggalin Abel, Leon nyerah dia nggak mau berjuang sekali lagi. Leon ninggalin Abel!" isaknya. Marshanda sedikit tidak mengerti akan apa yang Abel maksud. Ia mengusap punggung Abel lembut mencoba menenangkannya. "Sayang, coba bicara pelan-pelan. Maksud kamu apa? Kamu pasti baru aja mimpi buruk, minum dulu ya." Abel terisak, ia menatap sendu ke arah Marshanda. "Ma, bawa Abel ketemu sama Leon. Abel mau nemuin dia, Abel nggak bisa nunggu lagi! Bawa Abel ke ruangan Leon, Ma."Marshanda menggeleng dengan tegas. "Nggak bisa sayang, kondisi kamu belum stabil, kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu gimana. Kamu tenangin diri kamu dulu, Leon nggak kenapa-napa, kondisinya sudah stabil."Abel menggeleng ia yakin dengan mimpinya barusan, firasatnya buruk. Entah mengapa Leon seakan berpamitan kepadanya. Abel tidak aka
"Bagaimana kondisi Abel?" Liona memeluk tubuh David erat, ia menumpahkan tangisnya. Dadanya terasa sesak. "Kondisi Abel nggak baik, dokter memutuskan untuk segera melakukan operasi. David, apa yang harus kita lakukan?" isak Liona. David mengusap punggung Liona naik turun mencoba menenangkan istrinya. "Kita akan diskusikan ini dulu sama mama, sayang detak jantung Leon kembali dan saat ini kondisinya sudah stabil." Liona sangat terkejut mendengarnya. "Kamu nggak bercanda kan?" David menggeleng, ia menatap wajah istrinya lekat menghapus air matanya yang mengalir. "Tapi, Leon harus di pindah rumah sakit. Aku berencana membawa Leon berobat di luar negeri yang tenaga medisnya lebih baik." Liona terdiam, menatap Abel dari balik jendela. "Kamu mau pisahin Abel sama Leon? Dengan kondisi Abel seperti ini. Nggak, aku nggak setuju kalau Leon di bawa ke luar negeri Abel juga ikut berobat ke luar negeri.""Sayang, kamu harus tahu Abel sekarang sedang hamil dia nggak bisa perjalanan jauh. Dokte
"Leon, kamu harus bangun! Kamu harus sembuh, demi Abel anak kamu." Marshanda mengecup kening Leon singkat mengusap kepalanya lembut. Leon akan di bawa untuk pengobatan ke Amerika Serikat yang memiliki rumah sakit dengan tenaga medis terbaik. David menghampiri Liona memeluk tubuh istrinya erat. David melihat mata Liona yang memerah ia tersenyum mengusap pipinya lembut. "Sampai Leon sembuh, setiap hari aku akan kasih kabar. Kamu jangan sampai telat makan, kalau ada apa-apa kamu langsung hubungi aku. Nggak usah mikir yang macam-macam." Liona mengangguk, ia berjinjit mengecup bibir David singkat. "Jagain Leon dengan baik, aku akan sangat merindukanmu!" David tersenyum menepuk kepala Liona singkat ia lalu melambaikan tangannya segera masuk. Karena pesawat akan segera take off, Liona melambaikan tangannya samoai David masuk ke dalam pesawat. Marshanda memeluk tubuh putrinya mengusap kepalanya lembut. "Kita ke rumah sakit sekarang!" Liona mengangguk. ****Abel mengerjabkan matanya, mel
Liona masih memikirkan ucapan Aldi barusan, dia masih merasa bingung Aldi mengatakan jika janji itu bukan sebuah main-main. Namun, mengapa ia justru akan mengingkari janji tersebut. "Apa dia mau ninggalin Abel? Tapi nggak mungkin, Aldi ninggalin Abel di saat kondisi Abel kayak gini. Apa jangan-jangan dia lagi ada masalah ya?" Liona mengetukkan jarinya di dagu, mencoba memikirkan alasan yang tepat akan maksud dari ucapan Aldi barusan. Ia belum sempat bertanya karena Aldi sudah lebih dulu pergi. Liona menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran buruk yang muncul. Liona menghampiri Abel yang tengah melamun, Abel sudah cukup lama duduk di kursi roda sembari menatap ke arah jendela. Liona mengusap bahu Abel lembut. "Udah capek? Mau baring di ranjang aja?" tanyanya. Abel menggeleng, ia menatap lekat ke arah Liona Abel menghembuskan napas panjang. "Kalian nggak bohongin aku tentang kondisi Leon kan? Leon masih hidup kan? Leon belum meninggal kan?" tanya Abel lirih. "Abel, lo ngomong apa
Aldi mengulas senyum tipis, definisi kesepian sebenarnya. Bahkan di saat dirinya terbaring lemah di ranjang pesakitan. Tak ada satu pun keluarganya yang datang. "Terima kasih Tuhan untuk semua yang telah Engkau berikan dalam hidupku. Aku menyukai semuanya, menyukai setiap hal indah dan menyakitkan yang datang. Tuhan, aku dapat menahan semua rasa sakit yang kau berikan, aku dapat menerima semuanya dengan ikhlas. Tapi satu hal yang aku pinta, jangan buat dia menderita kembali. Jangan buat dia bersedih karena setelah ini aku sudah tidak bisa lagi berada di sampingnya." Tanpa sadar air mata Aldi mengalir, dengan baju rumah sakit yang dia gunakan. Ia terduduk di kursi roda menatap kosong ke arah jendela. Menghirup dalam-dalam segarnya udara yang masih bisa ia hirup. "Aku rela membayar kebahagiaannya dengan nyawaku!" lirih Aldi. Ia menyentuh pinggangnya yang mulai terasa nyeri, Aldi meringis saat sakit itu kembali datang. Bibirnya bahkan terasa kelu untuk sekedar berteriam meminta perto
"Bagaimana? Apakah kamu sudah tahu keberadaan Aldi saat ini?" Pertanyaan yang terlontar saat Liona datang. Liona terdiam lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Gue udah datangi rumahnya, gue juga ketemu sama kakeknya. Dia bilang setelah kembali ke Jakarta Aldi belum pernah pulang sama sekali."Abel menunduk, ia merasa sangat khawatir. Takut jika sesuatu buruk terjadi pada Aldi. Aldi sudah sangat baik kepadanya ia yang menjaganya selama ini. Aneh rasanya jika tiba-tiba saja Aldi meninggalkan dirinya. "Liona, terakhir kali apa ada yang kalian bicarakan?" Liona terdiam, ia mengingat pembicaraan terakhir mereka tentang tulusnya cinta Aldi pada Abel. "Ada. Aldi pernah bilang sama gue kalau lo akan jadi cinta terakhir buat dia. Sampai kapan pun Aldi akan selalu mencintai lo dia nggak perduli kalau lo sama Leon. Karena definisi cinta menurut dia adalah melihat lo bahagia!"Air mata Abel mengalir begitu saja, ia tahu jika selama ini Aldi mencintainya. Namun, Abel tidak bisa menerimanya karen
"Apakah pendonor matanya sudah ada?" David diam, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Aldi tidak lagi memberikan kabar apapun kepadanya. "Akan segera saya usahakan untuk dapat, bagaimana kondisi Leon dok? Setelah menjalani operasi satu minggu yang lalu sampai sekarang dia belum sadarkan diri.""Pasien akan segera terbangun, Anda tenang saja. Kondisinya sudah jauh lebih baik saat ini!" Setelah kepergian Dokter Agam. David melihat jari tangan Leon mulai bergerak. "Dok, jari tangan Leon bergerak!" David langsung berteriak, mendengar itu Dokter Agam kembali memeriksa Leon ia menghela napas lega. Saat kedua mata pria itu mulai terbuka. David tersenyum lebar ia begitu bahagia melihatnya. Namun, senyuman itu luntur seketika begitu mendengar suara Leon. "Kenapa semuanya gelap? Kenapa saya tidak bisa melihat apapun? Apa yang terjadi?" tanya Leon lirih, lidahnya pun masih terasa kelu untuk berbicara. "Tenangkan diri Anda terlebih dahulu, maaf jika ini sulit untuk Anda terima. saya ingin mem
"N-naila!" Tak hanya Abel Leon pun terkejut saat melihatnya, sejak kapan wanita itu di bebaskan dari penjara. Naila tersenyum tipis, ia menunduk menyapa Abel dan juga Leon. "Lama tidak berjumpa, Abel, Leon!" ucap Naila. Lalu tak lama seorang pria yang tengah menggendong bocah perempuan mendekat ke arah Naila. "Sayang, kamu kenapa aja sih Divia nyariin kamu dari tadi."Perhatian mereka kini teralih pada sosok pria yang baru saja datang. Tak kalah terkejutnya saat melihat jika pria itu ternyata Andara. Andara pun nampak terkejut saat melihat Leon dan Abel. Secepat mungkin ia mengubah raut terkejutnya dengan senyuman tipis. "Lama tidak berjumpa dengan kalian!" Abel tersenyum canggung ia menganggukkan kepalanya pelan. Berbeda dengan Leon yang menatap datar ke arah dua orang tersebut. "Kalian bersama?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Andara mengangguk. "Gue sama Naila baru aja menikah satu bulan yang lalu setelah dia terbebas dari penjara." jelas Andara. Abel mengernyit saat me
Seharian ini Leon masih ngambek perihal kejadian semalam. Ia yang sudah diterbangkan di jatuhkan begitu saja, Leon bahkan tak mengindahkan ucapan Abel yang meminta maaf. Tak hanya di tinggalkan begitu saja, Abel bahkan justru ikut ketiduran setelah menidurkan Sagara membuat Leon benar-benar tak ada kesempatan. Abel menghembuskan napas panjang, melihat wajah kusut suaminya. Sepertinya semalam Leon tidak tidur, terbukti matanya pagi ini terlihat memerah wajahnya pun terlihat kelelahan. Abel mendekati suaminya meletakkan kopi buatannya untuk Leon. Abel memeluk tubuh Leon dari belakang, menumpukan kepalanya di bahu suaminya. "Sayang, maafin aku. Semalam aku ketiduran, aku janji akan ganti dengan malam ini!" bujuk Abel. Tapi Leon tetap saja diam, ia bahkan fokus dengan ponselnya tak perduli dengan istrinya yang nempel-nempel ke tubuhnya. Padahal jika biasanya, Leon akan sangat bahagia saat Abel bersikap seperti ini kepadanya. Namun, kali ini urusannya beda! Semalam Leon benar-benar tersi
Malam ini Leon tengah sibuk dengan pekerjaannya, setelah menyempatkan untuk pulang lebih awal. Setelah selesai makan malam di luar dengan istri dan anaknya. Leon langsung mengurung dirinya di ruang kerja. Sedangkan Abel tengah menidurkan Sagara, seperti biasanya. Setelah membuatkan susu untuk putranya, Abel harus membacakan dongeng agara Sagara tertidur. Abel tersenyum tipis saat melihat wajah tampan putranya yang tak jauh beda dengan wajah Leon. Keduanya bagai pinang dibelah dua. "Sayang, rasanya baru kemarin mama ngelahirin kamu tapi sekarang kamu udah besar. Rasanya mama nggak rela kalau kamu cepat dewasa," kekeh Abel. Sagara menggemaskan, selalu ada saja tingkahnya yang membuat Abel tertawa. Abel sangat menyayangi putra semata wayangnya. Abel jadi memikirkan ucapan suaminya tadi pagi, mungkin Sagara sudah saatnya memiliki adik. Abel mengecup dahi putranya cukup lama mengusap kepalanya lembut. Menarik selimut sampai batas lehernya, dengan perlahan Abel kelaur dari kamar putrany
5 tahun kemudianKini Sagara sudah berumur enam tahun dan hari ini hari pertama dia akan mulai masuk ke sekolah barunya. "Mama!" teriakan melengking itu berasal dari seorang anak kecil tampan yang kini sudah duduk di meja makan. Wajahnya terlihat cemberut, melihat papanya yang tengah memeluk mamanya saat ini. Entah mengapa Sagara selalu saja membuat Leon jengkel. Ya, contohnya seperti ini. "Kenapa, Sayang?" Abel tersenyum gemas melihat bibir putranya yang maju beberapa senti. Abel meletakkan susu milik Sagara. "Papa jangan peluk-peluk mama Sagara!" teriak Sagara kesal, lebih kesal lagi saat Leon justru mengejeknya dengan mencium pipi Abel berulang kali. Abel selalu saja dibuat pusing dengan tingkah dua orang ini, anak dan juga suaminya. "Mama kamu istri papa juga, kamu nggak berhak larahf-larang papa buat cium mama." ucap Leon tak mau kalah. Sagara turun dari kursi makannya ia berlari memeluk tubuh Abel erat. "Mama gendong!" dengernya. Abel menghela napas panjang. Membawa tubuh
Sudah hampir setengah jam Leon menunggu Abel yang masih merias diri. Pada akhirnya ia berdecak kesal. "Sayang, kamu ngapain aja sih? Dari tadi nggak keluar-keluar!" kesal Leon. Ia yang memang memiliki kesabaran setipis tisu, Leon paling bengi jika disuruh menunggu. Ia mudah bosan, meskipun kini ada Sagara yang bersamanya. Tetap saja Tuan Muda satu ini merasa jengkel karena Abel tidak kunjung keluar. "Iya sabar dong, Mas. Namanya juga perempuan wajar dong kalau dandanya lama! Aku udah selesai, ayo kita berangkat." Abel keluar dari kamar mereka, wajahnya terlihat berkali-kali lipat lebih cantik. Leon bahkan hampir tidak mengenali istrinya sangking cantiknya Abel saat ini. Gaun hitam yang ia kenalan semakin menambah kesan anggun dalam dirinya. Polesan make up natural yang mampu membuat Abel sekelas dengan artis papan atas. Leon tidak berbohong, istrinya benar-benar sangat cantik. "Yang mau nikah kakak kamu atau kamu sih," cetus Leon. Abel memang cantik justru karena itu Leon tidak me
"Leon, Abel!" Kedua insan itu pun berbalik menatap sosok yang memanggil mereka. Abel tersenyum berbeda dengan Leon yang memutar bola matanya malas. Daniel berlari menghampiri mereka, ia telihat sangat senang saat melihat Sagara dj gendongan Abel. "Kebetulan banget kita ketemu di sini, oh ya gue sekalian aja deh kasih di sini." Daniel memberikan sebuah undangan yang di terima oleh Abel. "Wih, udah mau nikah aja nih kamu. Cepet ya dapatnya Kemarin-kemarin bilangnya masih jomblo dan mau nungguin aku janda!" kekeh Abel. Leon langsung mendelik kesal. "Apaan sih kamu, By!" kesal Leon. Abel tertawa geli begitupun dengan Daniel, pria tengil itu menyengol lengan Leon pelan. "Senyum kek, gue temen lo bukan musuh lo! Gue nggak akan rebut bini lo lagian gue udah punya pacar juga. Jangan lupa datang ke nikahan gue besok." Leon dan Abel sama-sama terkejut mendengarnya. "Lah, besok acaranya?" Daniel mengangguk lalu tak lama seorang gadis mendekat ke arah mereka dan merangkul lengan Daniel mesra
Tak terasa hari berganti minggu dengan begitu cepat, kini usia Baby Sagara sudah satu tahun. Abel semakin aktif mengajak ngobrol putranya, acara Sagar bisa sedikit-sedikit mulai berbicara. Sagara terhitung kurang aktif, dia lebih banyak diam ketimbang bermain seperti bayi pada umumnya. "Sagara, mama pulang!" Abel yang baru selesai belanja bulanan dengan Leon langsung berlari ke arah putranya yang saat ini tengah bermain dengan David. Sagara pun begitu melihat keberadaan Abel, dia seakan ingin segera berlari menemui mamanya. "Mammma," Kedua bola mata Abel membulat ia langsung menjauhkan tubuh putranya darinya menatap lekat ke arah Sagara. "Coba ngomong sekali lagi, Sayang? Ah, Sayang Sagara sudah bisa memanggilku mama!" teriak Abel kesenangan, sampai orang di rumah tersebut langsung berlari ke arahnya. Sungguh itu adalah kata pertama yang Sagara ucapkan. Leon segera mendekat ke arah istri dan anaknya. "Seriusan, By?" tanya Leon. Abel menganggukkan kepalanya mengecup pipi putranya
Leon mimijit pelipisnya yang terasa pusing, setelah hmpir setengah hari ia menghabiskan waktu bergelut dengan pekerjaan kantor. Kini sudah menujukkan pukul satu siang, sudah waktunya ia untuk makan siang. Leon bahkan merasa sangat malas untuk beranjak dari tempatnya berdiri. Pintu yang terbuka tiba-tiba membuat Leon merasa kesal, tanpa menatap ke sang pelaku suara Leon cukup mengintimidasi. "Berani sekali kau masuk ke ruangan saya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu!" kesal Leon. "Oh, maaf aku lupa. Aku ke sini cuma mau bawain kamu makan siang, kalau kamu nggak suka yaudah aku pulang aja!" Leon langsung mengangkat wajahnya saat mendengar suara yang tak asing itu. "Sayang, kamu yang datang. Aku pikir siapa, sini!" ucap Leon sembari menjentikkan tangannya agar Abel mendekat. Wajah Abel terlihat masam karena Leon baru saja memarahi dirinya. "Maafin aku, kalau tahu itu kamu aku nggak akan semarah itu." Leon memeluk tubuh Abel erat, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher istrinya. Leo
ig: nabilaputrii74****Tin Tong Pagi sekali sudah ada yang bertamu di rumah Leon, Abel yang tengah membantu bibi di dapur melenggang keluar untuk membukakannya. "Nona, biarkan saya saja yang membukanya," ucap Bi Darti menghentikan pergerakan Abel. "Tidak apa biar saya saja, Bi. Bibi lanjut memasak saja!" ucap Abel ia keluar melihat dari layar monitor siapa tamu yang datang sepagi ini. Dahi Abel berkerut saat melihat seorang pria dengan setelan casual dan juga kaca mata hitam yang ia kenakan. Wajahnya asing, Abel belum pernah melihatnya. "Apakah dia teman Mas Leon?" pikir Abel. Abel pun membuka pintu rumahnya membuat pria itu tersenyum menurunkan kaca matanya guna melihat wajah Abel lebih jelas. "Wow, cantik sekali!" ucapnya. Dahi Abel berkerut, ia memincingkan matanya menatap pria itu dari atas sampai bawah. "Maaf, masnya cari siapa ya?" tanya Abel. Namun, pria itu hanya diam dan justru melamun sembari memperhatikan dirinya. Abel pun mengibaskan tangannya di depan wajah pria it