"Leon, kamu harus bangun! Kamu harus sembuh, demi Abel anak kamu." Marshanda mengecup kening Leon singkat mengusap kepalanya lembut. Leon akan di bawa untuk pengobatan ke Amerika Serikat yang memiliki rumah sakit dengan tenaga medis terbaik. David menghampiri Liona memeluk tubuh istrinya erat. David melihat mata Liona yang memerah ia tersenyum mengusap pipinya lembut. "Sampai Leon sembuh, setiap hari aku akan kasih kabar. Kamu jangan sampai telat makan, kalau ada apa-apa kamu langsung hubungi aku. Nggak usah mikir yang macam-macam." Liona mengangguk, ia berjinjit mengecup bibir David singkat. "Jagain Leon dengan baik, aku akan sangat merindukanmu!" David tersenyum menepuk kepala Liona singkat ia lalu melambaikan tangannya segera masuk. Karena pesawat akan segera take off, Liona melambaikan tangannya samoai David masuk ke dalam pesawat. Marshanda memeluk tubuh putrinya mengusap kepalanya lembut. "Kita ke rumah sakit sekarang!" Liona mengangguk. ****Abel mengerjabkan matanya, mel
Liona masih memikirkan ucapan Aldi barusan, dia masih merasa bingung Aldi mengatakan jika janji itu bukan sebuah main-main. Namun, mengapa ia justru akan mengingkari janji tersebut. "Apa dia mau ninggalin Abel? Tapi nggak mungkin, Aldi ninggalin Abel di saat kondisi Abel kayak gini. Apa jangan-jangan dia lagi ada masalah ya?" Liona mengetukkan jarinya di dagu, mencoba memikirkan alasan yang tepat akan maksud dari ucapan Aldi barusan. Ia belum sempat bertanya karena Aldi sudah lebih dulu pergi. Liona menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran buruk yang muncul. Liona menghampiri Abel yang tengah melamun, Abel sudah cukup lama duduk di kursi roda sembari menatap ke arah jendela. Liona mengusap bahu Abel lembut. "Udah capek? Mau baring di ranjang aja?" tanyanya. Abel menggeleng, ia menatap lekat ke arah Liona Abel menghembuskan napas panjang. "Kalian nggak bohongin aku tentang kondisi Leon kan? Leon masih hidup kan? Leon belum meninggal kan?" tanya Abel lirih. "Abel, lo ngomong apa
Aldi mengulas senyum tipis, definisi kesepian sebenarnya. Bahkan di saat dirinya terbaring lemah di ranjang pesakitan. Tak ada satu pun keluarganya yang datang. "Terima kasih Tuhan untuk semua yang telah Engkau berikan dalam hidupku. Aku menyukai semuanya, menyukai setiap hal indah dan menyakitkan yang datang. Tuhan, aku dapat menahan semua rasa sakit yang kau berikan, aku dapat menerima semuanya dengan ikhlas. Tapi satu hal yang aku pinta, jangan buat dia menderita kembali. Jangan buat dia bersedih karena setelah ini aku sudah tidak bisa lagi berada di sampingnya." Tanpa sadar air mata Aldi mengalir, dengan baju rumah sakit yang dia gunakan. Ia terduduk di kursi roda menatap kosong ke arah jendela. Menghirup dalam-dalam segarnya udara yang masih bisa ia hirup. "Aku rela membayar kebahagiaannya dengan nyawaku!" lirih Aldi. Ia menyentuh pinggangnya yang mulai terasa nyeri, Aldi meringis saat sakit itu kembali datang. Bibirnya bahkan terasa kelu untuk sekedar berteriam meminta perto
"Bagaimana? Apakah kamu sudah tahu keberadaan Aldi saat ini?" Pertanyaan yang terlontar saat Liona datang. Liona terdiam lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Gue udah datangi rumahnya, gue juga ketemu sama kakeknya. Dia bilang setelah kembali ke Jakarta Aldi belum pernah pulang sama sekali."Abel menunduk, ia merasa sangat khawatir. Takut jika sesuatu buruk terjadi pada Aldi. Aldi sudah sangat baik kepadanya ia yang menjaganya selama ini. Aneh rasanya jika tiba-tiba saja Aldi meninggalkan dirinya. "Liona, terakhir kali apa ada yang kalian bicarakan?" Liona terdiam, ia mengingat pembicaraan terakhir mereka tentang tulusnya cinta Aldi pada Abel. "Ada. Aldi pernah bilang sama gue kalau lo akan jadi cinta terakhir buat dia. Sampai kapan pun Aldi akan selalu mencintai lo dia nggak perduli kalau lo sama Leon. Karena definisi cinta menurut dia adalah melihat lo bahagia!"Air mata Abel mengalir begitu saja, ia tahu jika selama ini Aldi mencintainya. Namun, Abel tidak bisa menerimanya karen
"Apakah pendonor matanya sudah ada?" David diam, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Aldi tidak lagi memberikan kabar apapun kepadanya. "Akan segera saya usahakan untuk dapat, bagaimana kondisi Leon dok? Setelah menjalani operasi satu minggu yang lalu sampai sekarang dia belum sadarkan diri.""Pasien akan segera terbangun, Anda tenang saja. Kondisinya sudah jauh lebih baik saat ini!" Setelah kepergian Dokter Agam. David melihat jari tangan Leon mulai bergerak. "Dok, jari tangan Leon bergerak!" David langsung berteriak, mendengar itu Dokter Agam kembali memeriksa Leon ia menghela napas lega. Saat kedua mata pria itu mulai terbuka. David tersenyum lebar ia begitu bahagia melihatnya. Namun, senyuman itu luntur seketika begitu mendengar suara Leon. "Kenapa semuanya gelap? Kenapa saya tidak bisa melihat apapun? Apa yang terjadi?" tanya Leon lirih, lidahnya pun masih terasa kelu untuk berbicara. "Tenangkan diri Anda terlebih dahulu, maaf jika ini sulit untuk Anda terima. saya ingin mem
4 bulan setelahnyaKini usia kandungan Abel sudah berumur sembilan bulan, ia tengah mempersiapkan untuk operasi gabungan. Pengangkatan tumor dan juga operasi sesar. Liona tersenyum mengusap tangan Abel lembut. "Mama hebat banget banget, udah berjuang sejauh ini dan saat ini perjuangan terakhir kak untuk menyelamatkan baby." Abel tersenyum. "Makasih Liona karena selama ini kamu udah jagain aku. Mama nggak datang?" Liona menatap pintu yang terbuka memperlihatkan Marshanda yang mengulas senyuman manis. "Anak mama, mana mungkin mama nggak datang!" Marshanda berlari kecil menghampiri ranjang Abel mengecupi wajah Abel berulang kali. Tangannya mengusap perut Abel lembut. "Cucu Oma, sebentar lagi kita bertemu. Sehat-sehat di perut mama ya sayang!" Marshanda mengecup perut Abel lembut. Abel tersenyum tipis tanpa sadar air matanya mengalir. Ia takut, takut jika operasi yang akan ia jalani gagal. Abel mengenggam tangan Marshanda erat menatap mamanya lekat. "Ma, apapun yang terjadi nanti te
Langkah Leon terasa berat saat menghampiri ranjang bayinya. Bayi mungil yang terlihat sangat tampan, wajahnya bahkan sangat mirip dengan dirinya. Ya, Abel melahirkan seorang putra laki-laki yang wajahnya bahkan bagai pinang dibelah dua dengan Leon. Mereka sangat mirip. Air mata Leon meluruh mengingat sikap dia kepada Abel. Putranya sendiri yang sudah ia sia-siakan, yang sudah ia buat menderita. Perempuan yang sangat ia cintai, ia telah melukainya dengan sangat dalam. Namun, Abel bahkan mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan buah cinta mereka. Leon menggendong bayi tampan itu ia melantunkan adzan di telinga sang putra. Air mata Leon tak berhenti, dadanya terasa sesak terlebih mengingat istrinya yang kini belum juga sadarkan diri. Leon tersenyum saat putranya tersenyum kepadanya. Ia mengecup wajah putranya singkat. "Sayang, kita doa sama-sama untuk mama ya, supaya mama segera sembuh. Mama hebat banget kan?" lirih Leon. Dengan perlahan ia meletakkan putranya kembali di ranjang, ia
Leon tidak pernah meninggalkan Abel sedetii pun, ia bahkan tidak makan ataupun mandi. Semenjak datang Leon tetap berada di samping Abel. Leon tak lelah mengajak Abel mengobrol meskipun tidak ada menyahuti. "Sayang, kamu ingat janji yang dulu pernah kita buat? Janji yang bahkan belum bisa aku tepati, sayang kasih aku kesempatan untuk menebus semua. Semua kesalahan yang udah aku perbuat, kasih aku kesempatan untuk membuat kamu dan bayi kita bahagia. Aku mohon, segeralah bangun Sayang! Aku sangat merindukan kamu." Leon merasa lelah, kedua matanya perlahan terpejam genggaman tangan mereka bahkan tak terlepas. Leon terus menggengam tangan Abel, Marshanda yang melihat itu mengulas senyuman tipis. Ia senang melihat mereka kembali bertemu, setelah ujian yang datang. Marshanda sangat berharap jika Abel bisa segera bangun. Marshanda menghampiri putrinya dan juga David yang sedari tadi duduk di luar. "Liona pulanglah dengan suamimu, kalian istirahat dulu di rumah. Abel biar mama sama Leon yan