Leon bernapas lega saat David berhasil menemukan keberadaan Liona. Leon tahu jika Liona membutuhkan waktu sendiri. Terlebih setelah kejadian barusan, Leon sangat paham jika Liona butuh waktu untuk menerima semuanya. Leon tidak pernah bermaksud untuk menyembunyikan semua itu dari Liona. Leon sendiri masih mencari tahu apa yang membuat mamanya pergi meninggalkan mereka. Ia merasa semua itu ada hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa papa mereka. "Bawa Liona pulang, jangan terlalu larut!" ucap Leon pada panggilan ia langsung memutusnya begitu saja. Leon kembali berkutat dengan laptopnya ia tengah mencari keberadaan mamanya. Kakeknya sendiri tidak memberitahukan kepadanya kemana mamanya pergi. Leon benar-benar harus mencari tahu semuanya sendiri. "Singapura?" Leon telah menemukan titik keberadaan mamanya. Namun, yang dia herankan apa yang mamanya lakukan di negara asing tersebut Leon merasa tidak ada sanak saudara di sana. Leon kembali menghubungi anak buahnya, kebetulan ia memilik
"Dia siapa kamu, Sayang?" Abel merangkul lengan Leon mesra sembari menyandarkan kepalanya di tubuh Leon. Abel mendengar jelas ucapan pelayan itu barusan, hanya saja ia ingin mendengar penjelasannya sendiri dari Leon. "Dia, mantanku Sayang!" ucap Leon ragu, dia bimbang antara jujur atau tidak. "Oh, mantan. Kok kelihatannya masih ngurusin hidup kamu banget. Belum terima kamu putusin atau belum terima kalau setelah putus dari kamu sekarang dia jadi miskin?" ucap Abel yang membuat kedua tangan Naila terkepal. "Jaga ucapan kamu ya!" sentak Naila. Abel justru tersenyum mendengarnya menatap lekat ke arah Naila. "Kenapa kamu harus marah? Harusnya kamu sadar diri dong, sekarang Leon sudah memiliki istri. Apapun maksud ucapan kamu tadi itu hanya masa lalu Leon dan saya tidak akan terpengaruh dengan ucapan kamu. Lagian pakaian kamu ini sama sekali nggak sopan sebagai seorang pelayan kecuali kamu pelayan penggoda customer!" ucap Abel dengan senyuman tipis. Wajah Naila semakin merah sedangkan
"David, gue mau tanya sesuatu sama lo. Gue yakin lo nggak mungkin nggak tahu. Apa yang sebenarnya terjadi sama mama? Apa alasan mama ninggalin gue sama Leon? Gue mohon, please lo jawab pertanyaan gue." David memalingkan wajahnya saat melihat mata Liona yang berkaca-kaca. Ia melemparkan sapu tangannya ke arah Liona. "Usap dulu ingus kamu, jadi cewek jorok banget!" Liona yang tengah sedih justru ingin tertawa karena merasa malu, ia memukul tubuh David kesal. "Gue lagi serius juga lo malah ngelawak!" kesalnya. David terkekeh mendengarnya. "Saya nggak bercanda, emang ingus kamu keluar!" Liona terdiam ia seakan terhipnotis saat mendengar tawa renyah David. Pria baru yang biasanya berwajah menyebalkan kini justru terlihat manis di mata Liona. "Hei, malah ngelamun!" Liona tersadar mengaruk kepalanya yang tak gatal merasa malu. "Lo kalau ketawa kayak tadi kelihatan kayak manusia," ucap Liona tanpa rasa bersalah. David memincingkan matanya. "Terus maksud kamu selama ini saya apa?" ucapny
Abel terbangun ia terkejut saat melihat di sebelahnya Leon sudah tidak ada, ia langsung mencarinya ke kamar mandi. Saat akan turun ke bawah ia melihat note di dekat tempat tidur mereka. Air mata Abel meluruh begitu saja, Leon sudah pergi bahkan dia tidak membangunkan dirinya. Sayang, aku pergiMaaf tidak membangunkanmu, aku akan semakin berat untuk pergi jika kamu ikut mengantarku. Aku sudah meminta bibi untuk membuatkan sarapan kesukaanmu, setelah mandi segeralah turun untuk makan. Jaga kesehatanmu, Baby. Bodyguard barumu sudah menunggu di bawah. I love youAbel melihat jam, kemungkinan saat ini Leon masih di pesawat karena itu ia urung untuk menghubunginya. Abel mengusap air matanya kasar. Entah mengapa ia merasa sedih dengan kepergian Leon saat ini. Abel segera mandi sesuai dengan intruksi Leon bodyguard barunya sudah menunggu di bawah. Hari ini ia ada kelas pagi. Melihat Kakek Abi dan juga Liona sudah sarapan di bawah. "Kamu sudah bangun, Nak. Bodyguard barumu sudah menunggu
"Kakak ipar apa seharian ini Leon nggak ada kabar?" tanya Liona yang tengah merebahkan diri di ranjang Abel. Ia memutuskan untuk tidur di kamar Abel. Leon sendiri yang berpesan agar ia tidak meninggalkan Abel sendirian. Leon tidak ingin Abel kesepian. "Nggak, mungkin Leon lagi sibuk. Aku nggak mau ganggu dia, nanti juga pasti dia hubungin aku. Liona, apa perjalanan bisnis kali ini berbeda? Mengapa aku merasa ada yang aneh dengan Leon."Liona tersenyum paksa. "Ah, itu perasaan lo aja, Kak. Mungkin Leon emang lagi sibuk, udah sekarang kita istirahat aja. Kalau butuh sesuatu langsung bangunin gue aja ya!" ucap Liona. Abel mengangguk, ia masih belum merasa mengantuk. Seharian ini ia pun tengah menunggu Leon menghubungi dirinya. Namun, sayangnya tidak, bahkan memberikan pesan singkat saja tidak. Hal itu justru membuat Abel merasa sangat khawatir. "Sayang, kamu kangen sama papa ya?" ucap Abel pada bayi dalam kandungannya. Ia tersenyum kecil. "Sama, mama juga kangen banget sama papa. S
Liona menggandeng tangan Abel, mereka baru saja selesai kelas dan memutuskan untuk jalan-jalan di mall sebentar. Dengan diikuti Nabila yang menjadi bodyguard pribadi mereka. Abel menggandeng tangan Nabila membuat gadis itu menatap ke arahnya. "Abel, tidakkah ini berlebihan? Aku hanya seorang bodyguardmu tidak sepantasnya mendapatkan perlakuan seperti ini." ucap Nabila sembari menunduk. Abel tersenyum ia justru merangkul bahu Nabila. "Apa yang kamu katakan, Nab. Aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku sendiri. Kamu bukan hanya bodyguardku tapi mulai saat ini kamu juga sahabatku." Liona memgangguk ikut serta merangkul bahu Nabila. "Apa yang Abel katakan benar, lo nggak usah malu-malu lagi. Kita masuk sekarang, gue yang traktir lo bisa ambil apapun yang lo mau!" sorak Liona. Abel dan Nabila tersenyum mendengarnya, ketiganya segera masuk. Tanpa mereka sadari sejak tadi ada yang terus mengawasi gerak-gerik mereka. Liona terus saja memberikan pakaian-pakaian lucu agar Abel dan Nabila me
Semenjak kehilangan bayinya Abel terlihat sangat berbeda. Wajahnya pucat, bibinya yang dulu sering mengulas senyum manis kini bahkan tidak lagi ada senyuman. Rambut Abel terlihat kusut, ia tidak pernah keluar kamar sekalipun. Abel lebih sering melamun dan menangisi bayinya. Leon yang melihat itu justru semakin hancur. "Sayang, sampai kapan kamu mau kayak gini? Ikhlasin bayi kita. Aku sedih lihat kamu kayak gini Abel," lirih Leon sembari mengusap kepala Abel lembut, kedua matanya berkaca-kaca. Abel menatap sendu ke arah Leon tak lama air matanya meluruh. "Leon aku ceroboh sehingga kita kehilangan bayi kita Leon. Aku yang salah Leon, aku salah aku yang membunuh anak kita!" isak Abel. Leon menarik tubuh Abel ke dalam pelukannya, ia menggelengkan kepalanya berulang. "Bukan kamu, Sayang! Kamu bukan pembunuh, semua ini takdir. Ini bukan salah kamu," ucap Leon. "Ini salahku Leon, aku tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk anak kita. Leon, aku kehilangan bayi kita, kenapa dia pergi Leon!"
"Leon, mama ingin menemui Abel!" Leon terdiam mendengarnya, ia menatap lekat ke arah mamanya. Sudah satu minggu semenjak mereka kembali ke Indonesia. Marshanda tinggal di hotel, Leon tidak bisa membawanya bertemu dengan Abel dan Liona. Itu terlalu berisiko terlebih dengan kondisi Abel saat ini yang masih kurang baik. "Ma, tidak untuk sekarang. Mama tahu sendiri bagaimana keadaan Abel saat ini," ucap Leon. "Mama siap menjelaskan semuanya kepada kalian, Leon mama tidak ingin Abel mengetahui semuanya dari orang lain. Mama tidak ingin Abel dan Liona justru membenci mama nantinya. Terlebih Handoko sudah berbuat terlalu jauh, mama tidak akan diam saja. Mama yakin Handoko bisa lebih nekat dari kemarin!" ucap Marshanda. Leon telah menemukan semua bukti kecelakaan Abel hari itu. Anak kecil yang akan Abel selamatkan hanyalah permainan yang Handoko buat. Dia memang sengaja ingin mencelakai Abel. "Mama yakin?" Marshanda mengangguk ia mengusap bahu putranya lembut. "Tenanglah, mama tahu apa y