"Leon, mama ingin menemui Abel!" Leon terdiam mendengarnya, ia menatap lekat ke arah mamanya. Sudah satu minggu semenjak mereka kembali ke Indonesia. Marshanda tinggal di hotel, Leon tidak bisa membawanya bertemu dengan Abel dan Liona. Itu terlalu berisiko terlebih dengan kondisi Abel saat ini yang masih kurang baik. "Ma, tidak untuk sekarang. Mama tahu sendiri bagaimana keadaan Abel saat ini," ucap Leon. "Mama siap menjelaskan semuanya kepada kalian, Leon mama tidak ingin Abel mengetahui semuanya dari orang lain. Mama tidak ingin Abel dan Liona justru membenci mama nantinya. Terlebih Handoko sudah berbuat terlalu jauh, mama tidak akan diam saja. Mama yakin Handoko bisa lebih nekat dari kemarin!" ucap Marshanda. Leon telah menemukan semua bukti kecelakaan Abel hari itu. Anak kecil yang akan Abel selamatkan hanyalah permainan yang Handoko buat. Dia memang sengaja ingin mencelakai Abel. "Mama yakin?" Marshanda mengangguk ia mengusap bahu putranya lembut. "Tenanglah, mama tahu apa y
Abel tersenyum getir ia tidak menyangka jika dirinya bukanlah anak kandung dari mamanya. Meskipun bahagia rasanya setelah mengetahui Marshanda masih hidup. Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam ia merasa sangat sedih mengetahui kebenaran itu. "Sayang," Leon mengusap punggung Abel lembut ia mengerti akan perasaan istrinya. Abel tersenyum tipis menghapus air matanya yang mengalir. "Aku nggak papa Leon, aku masih mencoba untuk berdamai dengan diriku sendiri. Kenapa kamu ada di sini? Mama pasti masih butuh kamu," ucap Abel. "Tapi aku butuh kamu!" Leon menarik tubuh Abel ke dalam pelukannya. Hal itu membuat tangis Abel yang sedari tadi ia tahan luntur juga. Abel terisak dalam pelukan Leon, hatinya teramat sakit. Ia masih tidak menyangka dengan kejutan besar pagi ini. "Apa kamu tahu semua ini dari lama Leon? Dari sebelum kamu menikah denganku?" tanya Abel terbata. Leon tidak menjawabnya, dia hanya diam. Hal itu membuat Abel semakin yakin, ia terkekeh menatap lekat ke arah suaminya.
"Sayang," Abel terdiam kala merasakan usapan lembut pada kepalanya. Abel menghapus air matanya dengan cepat mengulas senyum manis ke arah mamanya. "Ada apa, Ma? Mama perlu sesuatu?" tanya Abel. Marshanda menatap lekat wajah putrinya yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu. "Maafin, mama sayang!" ucap Marshanda dengan suara seraknya. Abel menggeleng ia tersenyum tipis. "Mama nggak perlu minta maaf, mama nggak salah. Aku yang harusnya berterima kasih sana mama karena aku mama udah pernah besarin aku waktu kecil. Mama sangat menyayangiku, makasih ma!" Abel menunduk, ia mati-matian menahan air matanya agar tidak turun. "Apa yang kamu katakan sayang," Marshanda menarik tubuh Abel ke dalam pelukannya justru membuat gadis itu semakin teeisak. Marshanda sangat menyayangi Abel, meskipun dia bukan anak kandungnya. Namun, Marshanda yang telah merawatnya sedari Abel kecil. Melihat wajah Abel saat ini selalu mengingatkan dirinya pada wajah mendiang sahabatnya. "Kamu ingin mendengar s
"Leon, di mana Nabila?" Abel yang tengah tiduran di dada Leon mendongak untuk melihat wajahnya. Dahi Leon berkerut. "Nabila siapa?" Abel menghela napas panjang, anak buahnya sendiri pun Leon tidak mengenalinya. "Nabila bodyguard yang kamu sewa untukku, di mana dia? Semenjak kejadian itu aku tidak melihatnya sama sekali," ucap Abel. Leon terdiam mengulas senyum tipis. "Dia sudah tidak bekerja," ucapnya. Abel memincingkan matanya, sedikit tahu tentang sifat suaminya. "Kamu nggak ngelakuin apapun kan, Leon? Nabila nggak bersalah, dia udah jagain aku dengan baik. Tapi aku sendiri yang ceroboh!"Leon mengusap kepala Abel lembut. "Dia tetap lalai dengan tanggung jawabnya dan aku tidak akan mempertahankan pekerja seperti itu. Tidurlah, Sayang besok kamu ada kelas kan?"Abel menghembuskan napas panjang ia memeluk tubuh Leon erat. "Tapi aku senang dengan dia Leon, dia tidak hanya menjadi bodyguardku, dia juga telah menjadi sahabatku. Aku ingin kamu mempekerjakan dia lagi untukku!"Leon dia
"Woi, Batu!" Seluruh atensi teralihkan akan kedatangan Liona yang bersunggut-sunggut. Ia bahkan tidak malu telah membuat kekacauan di perusahaan keluarganya. Liona menerobos masuk ke dalam ruangan David, bahkan saat ini David tengah ada tamu. "Rapat kita akhiri sampai di sini, nanti malam kirimkan dokumen itu ke email saya!" Ketiga orang tersebut mengangguk lantas keluar dari ruangan David. Liona masih berdiri di ujung pintu sembari berkacak pinggang. Ia tidak perduli jika di tatap sangat tajam oleh David. David nampak santai duduk di kursi kebesarannya, membuat amarah Liona semakin mendidih melihat David tak menghiraukan kedatangannya. "Ada perlu apa kamu datang ke sini dan membuat keributan di ruangan saya?" David menatapnya datar, Liona menghembuskan napas kasar. "Harusnya gue yang nanya, harus banget ya lo ngatur hidup gue. Balikin jajan gue yang udah lo ambil, kalau lo pingin beli sendirilah! Ngapain lo ngerampas punya gue," ucap Liona dengan nada tinggi, meluapkan seluruh am
"Saya tidak pernah menginginkan itu semua, saya tidak akan merebut sesuatu yang bukan hak saya. Jangan samakan saya dengan anak Anda!" Plak! Aldi terkekeh saat sebuah tamparan mengarah ke wajahnya. Ia mengusap bibirnya yang berdarah menatap lekat ke arah pria paru baya yang kini terlihat sangat marah. Aldi maju satu langkah, tak ada ketakutan sama sekali di matanya. Berbeda dengan dirinya di masa lalu yang selalu menuruti permintaan pria itu. "Kenapa? Tersinggung dengan ucapan saya? Dulu saya memang tidak berani melawan Anda. Saya selalu menuruti setiap ucapan Anda, tapi sekarang saya sadar. Orang seperti apa Anda ini, orang tua yang hanya memperdulikan harta dan juga jabatan. Bahkan sampai rela mengorbankan anak Anda sendiri sebagai alat untuk perusahaan," ucap Aldi tak habis pikir. "Diam kamu! Dasar bocah tidak tau di untung. Selama ini saya yang merawat kamu, saya yang mendidik kamu, saya memberikan sekolah yang terbaik untuk kamu. Tapi apa yang sekarang kamu lakukan, kamu bahk
"Lama tidak bertemu." Leon tersenyum miring saat melihat Aldi sudah menunggunya, lebih tepatnya menunggu istrinya. "Kenapa lo yang datang!" ucap Aldi terlihat tidak senang, Leon tersenyum miring. Ia menarik kursi lalu duduk dengan nyaman berhadapan dengan Aldi. "Abel tidak ingin datang jadi saya yang menggantikannya, katakan apa yang ingin kau bicarakan dengan Abel. Aku yang akan menyampaikannya nanti!" ucap Leon. Aldi mendengus kesal, ia terlihat sangat marah dengan Leon saat ini. "Gue bisa ngomong sendiri sama Abel, nggak butuh perantara lo!" Aldi sudah bangkit akan pergi. Namun, ucapan Leon membuat pergerakannya terhenti. "Apakah kamu cucu dari Handoko?" ucap Leon terlihat sangat santai.Aldi tersenyum tipis. "Apa karena urusan ini, lo nemuin gue. Oh, jangan-jangan lo anak dari pria bajingan itu?" sinis Aldi. "Shit, apa maksudmu!" Aldi merasa senang melihat Leon yang terpancing akan ucapannya. "Nggak heran lihat sikap lo saat ini, nggak jauh beda dari pria itu. Emang ya, buah
"Terimakasih untuk hari ini, Liona!" ucap David tanpa menoleh ke arah Liona ia tetap fokus dengan kemudinya. Tak mendapat respon seperti biasa dari Liona mebuat David mengalihkan pandangannya. "Dia tertidur lagi?" ucapnya terheran. David memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, melepaskan jas yang dia gunakan. Dengan perlahan ia meletakkan di tubuh Liona. David tersenyum tipis mengusap kepala Liona lembut. "Gadis yang manis!" ucapnya. David kembali melakukan mobilnya, hari semakin malam. Keasyikan mengobrol sampai lupa waktu, David senang melihat Liona yang dapat sangat akrab dengan mamanya. David tidak percaya Liona dapat mengambil hati mamanya. Mobil telah sampai di halaman rumah Leon, ingin membangunkan. Namun, tak tega melihat Liona yang sudah sangat pulas. David turun membuka pintu mobil Liona, dengan perlahan ia mengangkat tubuh mungil itu ke dalam gendongannya. David membawa Liona masuk, untungnya tidak membuat gadis itu terganggu. David dengan perlahan membaringkan tubu