"Sorry Clara! Janinmu tidak tumbuh. Sepertinya, kamu dan pasanganmu harus berusaha lagi."
"Dok, bagaimana mungkin?" lirihku.
Dokter di hadapanku menggeleng. "Dari hasil pengujian, kami menemukan penurunan produksi hormon androgen pada indung telurmu"
Mataku membelalak. Aku masih muda, usiaku memasuki angka 24 tahun dan memiliki gaya hidup sehat. Gen keluargaku juga baik. Lantas, bagaimana ini bisa terjadi?
Seolah menyadari kebingunganku, dokter itu pun berbicara, "Ini sepertinya karena pil kontrasepsi yang kamu gunakan terlalu berlebihan. Untuk berhasil, kamu dan pasangan harus bekerja sama lebih giat. Selain itu, hindari pil kontrasepsi!"
Deg! "Dokter, aku tidak pernah meminum pil kontrasepsi sejak menikah" Demi Dewi Bulan, bagaimana mungkin aku meminum itu? Orangtua Benigno yang sudah lanjut usia memaksaku harus segera punya anak.
Kini, sang Dokter yang menatapku tak percaya. "Apakah hasil pengujiannya salah?!"
"Jika demikian, kapan aku harus melakukan check-up ulang?" tanyaku cemas.
"Anda harus melakukannya sebelum siklus berikutnya dimulai. Pastikan pasanganmu bekerja sama dengan baik," sahutnya cepat, "kulihat pasanganmu tak pernah ikut tiap pemeriksaan."
Mendengar itu, aku terdiam. Entah mengapa, pasanganku sibuk dinas luar kota setiap hari pemeriksaan tiba. Selalu ada panggilan mendadak dari kantornya. "Apa yang harus kulakukan? Dia selalu sibuk"
"Pulanglah, tenangkan dirimu!" ucap sang Dokter bijak.
Dapat kurasakan tatapan kasihan dari wajahnya. Bahkan, perawat tua yang di sampingnya pun menatapku dengan pandangan yang sama.
"Tolong jangan kasihani aku. Doakan saja aku cepat hamil," kataku memohon.
Suster Raina–wanita paruh baya yang sudah mengenalku beberapa tahun ini–akhirnya mengangguk. Bahkan, dia menemaniku menuju parkiran dan membantu membuka pintu mobil. Namun sebelum pergi, dia menyampaikan nasehat, "Aku tahu kamu kecewa. Seharusnya, kamu membawa pasangan setiap pemeriksaan. Mendapatkan anak, bukanlah tanggung jawab perempuan saja!"
Kalau kamu mau, kamu bisa mencoba cara alternatif dengan herbal dan pijat perut," ucap suster itu lagi. Dia mengambil ponselku lalu melakukan pindai nomornya. "Jangan terburu-buru mengambil sikap. Dokter Joni sudah ahlinya, tetapi alternatif juga bisa dicoba bersama pasanganmu."
Aku mengangguk lemah. Meski demikian, secercah harapan terasa muncul. Setidaknya, Benigno harus setuju dengan metode alternatif ini. Hanya saja, perkara ini tidak semudah yang kubayangkan.
Aku merasa tidak nyaman saat mengemudi menuju rumah. Beberapa kali, mobilku hampir bertabrakan dengan mobil lain–seperti saat ini. Ciitt!
"Hey, Nona! Kau mau mencari mati?" teriak seorang pria paruh baya yang baru saja turun dari mobil Porsche mewah berwarna merah terang.
Tadi, mataku terasa sakit dan berkunang-kunang karena terkena pantulan sinar matahari yang melewati mobil tersebut. Sekarang, aku sontak merutuki diri kala pria itu tanpa basa-basi menggedor kaca depan mobil dengan marah. Brakkk!
Suara retakan kaca terdengar akibat pukulan pria itu. Marah dan terkejut, aku pun mengambil tongkat baseball untuk melawan pria itu. "Anda akan mati kupukul kalau masih berani menghajar mobilku!" geramku.
Pria itu seketika terkejut saat aku berani membalasnya. Dia menghindar pukulan dengan melompat mundur namun ia kembali mencoba menendang lampu kodok mobilku. Sebelum ia bisa menendang untuk kedua kalinya, aku menyingkat dan membantingnya ke tanah.
Bugh! Bunyi gedebum disertai lolongan parau terdengar dari mulut keriputnya. "Perempuan sialan! Kau mematahkan tulang ekorku!"
"Aku tidak peduli kalau harus meremukkan seluruh tubuhmu!" kataku lebih kejam. Kutendang kaki pria itu dengan ujung sepatuku yang lancip. Sontak saja, suara kesakitan meraung-raung dari mulutnya
"Stop!!" Suara bariton terdengar bergema dari mobil merah. Sepasang kaki panjang dengan setelan kemeja berwarna sama berdiri di hadapanku. Pemiliknya adalah pria tampan dengan fitur wajah setengah dewa. Matanya hijau dengan kulit coklat bagaikan biji kenari yang halus. Rahangnya kokoh dengan hidung tinggi. Dan harum tubuhnya, terasa seperti aroma kayu manis bercampur ebony yang kuat.
"Anda membuat supir saya kaget karena memotong jalur. Kenapa Anda malah memukulnya juga, Nona?" Kata-katanya terdengar lembut, tetapi tajam menusuk kupingku.
Aku menghela napas panjang. "Jika saya salah, dia bisa menyuruh saya minta maaf tanpa perlu merusak mobil," kataku berusaha menjawab dengan sopan.
Pria rupawan itu melirik mobilku sekilas dan melihat kaca depan yang retak.
"Baiklah. Anggap saja impas. Kami tidak menuntut ganti rugi atas luka tulang ekor belakang dari supir saya yang retak karena Anda hajar."
Hanya saja, di saat yang sama, supirnya yang kurus itu, tampak melotot. Dia sepertinya masih ingin mengumpat lagi.
"Apa?!" kataku, balas melotot ke arahnya. Tak lama, aku pun bergegas kembali ke mobilku.
Tidak peduli dengan rusaknya kaca depan, aku mengemudikan mobil ke arah rumahku yang merupakan hadiah pernikahan dari keluarga suamiku yang kebetulan jauh dari pemukiman penduduk. Hanya saja, aku terkejut melihat mobil Benigno terparkir rapi di teras dalam. Keningku mengerut. ‘Ada apa ini? Mengapa Benino pulang cepat tanpa meneleponku?’
Aku merasakan suasana yang sepi. Meskipun ada pelayan di rumah, ini bukan hari libur mereka. Aku mencoba berpikir positif, berharap bahwa dia hanya pergi ke rumah tetangga untuk bergosip.
Menyadari kemungkinan di rumah hanyalah kami berdua, roh serigala dalam diriku tiba-tiba bangun. "Sesekali kau boleh menjahili pasanganmu," ucapnya memberi ide. Aku tersenyum.
Jendela kamar kami kebetulan memang tinggi. Jadi, segera kutarik sebuah kursi dan memanjatnya, untuk mengagetkan Benigno. Baru kepalaku menjulur dan hendak membuka mulut untuk memanggilnya, tubuhku seketika menegang.
Aku mendengar suara manja mendesah dari kamarku … Itu adalah suara Benigno dan juga pelayanku---Uriya!
Kini terdengar tawa genit dari pelayanku yang bernama Uriya. "Tapi, hanya saya yang bisa memuaskan Tuan, kan?" tambahnya lagi dengan suara dibuat-buat. Benigno meludah ke lantai. "Jelas, Uriya! Bagiku, Clara seperti batang kayu. Tak mungkin aku mau menyentuhnya, cih!" Kali ini, tenggorokanku tercekat. Bagaimana bisa dia tidak menyentuhku? Bukankah seminggu sekali, kami bercumbu dan selalu aku berakhir dengan tubuh telanjangku di bawah selimut? Tetapi, kebingunganku itu tak berlangsung lama. Benigno tiba-tiba tertawa sebelum berkata, "Aku membiusnya dengan obat luar biasa kuat, hingga membuat serigalanya tertidur dan dia berhalusinasi seolah sudah kutiduri!" Mendengarnya, Uriya kembali cekikikan. "Bodohnya dia….! Saya meracuninya dengan pil kontrasepsi dan Anda membiusnya, membuat serigalanya dorman. Sampai kiamat pun, perempuan itu tidak akan bisa hamil!" "Oh iya, Sayangku! Berapa lama lagi aku harus menunggu sebelum Anda mencampakkan Clara?" tanya pelayan perempuan itu dengan sua
Sial, ternyata itu ular berbisa. Kupikir hanya ular sawah yang menggigit dan bengkak, "Ular adalah binatang melata, Paman! Mereka bebas menjalar kemana mereka suka. Untuk apa aku melemparnya?!" bohongku cepat. "Tapi, itu kamarmu!" hardik paman Benigno. "Dan kamar keponakan Anda juga" sahutku, "Lagipula, apakah Anda tidak menanyai pelayanku yang mengusir ular dengan tubuh telanjang? Dia pakai cara dukun dari mana?" Paman Benigno kelabakan. "Kita kelompok manusia serigala! Berhadapan tanpa pakaian di tubuh bukanlah kejahatan!" teriaknya sembari menggebrak meja. "Lagipula, bagaimana aku bisa menanyainya? Pelayan itu kritis! Jikapun selamat, dia akan lumpuh selamanya!" Aku memutar bola mataku malas. "Baiklah. Karena kalian tetap menilai ketelanjangan tanpa etika bukanlah pengkhianatan, mari kita putar video ini dihadapan para sesepuh dan polisi!" Setelahnya, aku berjalan santai dan keluar dari sana. Mustahil keluarga Benigno akan memihakku, kan? "Clara! Tunggu!" Ayah Benigno tiba-tib
"Menjijikan?" ucapku sambil tertawa. Benigno meludah. "Sampai kiamat pun, aku tidak tertarik mengawini perempuan idiot sepertimu. Hanya asetmu-lah yang membuat kau tampak bersinar di hadapanku," ucapnya penuh penghinaan. "Dan Kau sudah bertemu dengan kiamatmu bukan?" Aku menatapnya licik. Kilat-kilat sontak kebencian terpancar dari wajah Benigno. "Kau—" "Dasar betina kejam! Menyesal Aku tidak meracunimu sampai mati!" maki Benigno lagi. Aku mencemooh, "Orangtuamu pasti paham, kodok emas itu memilki racun neurotik, Benigno!" Seketika Benigno mematung. Wajahnya kini benar-benar membiru. Aku berlalu dan bergidik ngeri! Aku yang idiot saja tahu kopi berbusa putih yang disesap Benigno, mengandung racun kodok emas. Dua hari kemudian, aku menemui ayahku---Alpha El Wongso, "Ayah aku ingin bekerja!" kataku waktu mengunjunginya di penjara ibu kota Lembah Serangga. Hari ini sudah selesai pertukaran aset dengan video lima detik yang kuambil asal-asalan. Jadi, aku berniat berlama-lama menem
Untungnya, pesawat yang membawaku pun mendarat dengan sempurna di bandar udara ibukota Lembah Utara. Bandara di sini menawarkan kemegahan yang luar biasa dengan langit-langit yang menakjubkan. Kehebatan teknologi pemindai mata biometrik di sana tak ada tandingannya. Aku sempat deg-degan. Namun, ternyata berhasil melewati proses imigrasi tanpa harus mengantri. Cukup dengan pemindaian mata dan aku pun lolos. Di tengah kebahagiaan, roh serigalaku mengejek, "Bodoh! Jika ketahuan, mereka mungkin akan mencungkil matamu yang kotor itu!" Mendengar itu, aku terkekeh saja, lalu berlalu mencari konter bagasi. Sayangnya, tempat itu begitu panjang berkelok! "Astaga, Dewi!" seruku frustasi. Aku melihat koper kecilku di line 3. Butuh waktu sekian belas menit jika menunggu di sini. "Berpindahlah!" Serigalaku kini berlaku idiot memaksaku untuk berpindah. Bagaimana bisa melakukan shiftout di hadapan manusia biasa? Aku jelas menolak gagasan itu. tapi aku akan telat jika tidak segera mendapatkan koper
Butuh seluruh kekuatan untuk menggantungnya, ketika aku menyadari Nyonya Bernie selaku majikan selalu mempersulitku, bahkan dia tidak memberikan kompensasi hari libur akhir pekan. Setelah pada akhirnya aku membanting pintu kamar dengan begitu keras sehingga rumahnya berguncang, barulah nyonya Bernie mengajakku ke kolam renang. Aku tidak membawa bikini, jadi aku harus membelinya di toko sekitar. Butik yang menjual bikini hanya memiliki model two piece dengan bukaan punggung. Aku baru saja berpikir harus membatalkan ide terjun ke kolam renang, karena aku memiliki tato klan El Wongso, meskipun itu kecil, aku perlu menutupinya supaya tidak terekspos. "Nona ini ada satu, thong dan outer atas lebih tertutup!" Pramuniaga toko menyodorkan bikini berwarna hitam. Thongnya terlalu sexy tetapi outer atasnya akan menutupi tatoku. "Aku ambil ini!" Di dunia serigala melihat mahluk telanjang bukan hal tabu. Tetapi aku bekerja pada keluarga manusia, aku yakin kolam renangnya juga berbeda. Aku men
Aku sebenarnya basah kuyup lagi karena terduduk di lantai di bawah pancuran. Saat tatapan sedingin es dari Rayden, air mataku tak terbendung. "Siapa kamu Jamila?" Rayden bertanya dengan dingin. Aku mendengar Jesica menyebutnya sebagai tunangannya dan Penguasa Lembah Utara, tapi yang membuatku terkejut, meski Jesica berteriak histeris mencari Rayden. Namun, dia tetap menyandarkan tubuhku ke dinding ruang ganti. Tubuhnya yang kekar menghimpitku, tangannya merayap ke dadaku dan meremasnya. Aku tersengal sengal saat mulut Rayden menyesap dadaku yang seketika memerah. Kupikir Rayden akan segara menghentikan serangannya. Dia menciumi bibirku dengan lembut, mataku seketika melotot protes. Kemudian tangannya merogoh kedalam mulutku dengan kasar. Aku sudah pasrah, ada sesuatu yang meledak melesak keluar dan terus membanjiri pipiku. Rayden membalikkan tubuhku dan dia memeluk punggungku. Saat itu aku sudah kembali menemukan kekuatan untuk berteriak lalu membuka pintu. "Oh, Jamila! Akhirnya kau
Segalanya menjadi masuk akal ketika aku menghubungkan cerita Mia dan bau yang keluar dari tubuhnya. Pelapis kaca mobil itu cukup gelap. Tetapi aku manusia serigala, bisa melihat ke kursi belakang. Mataku tak percaya menatap Mia sebagai penunggang yang handal, Mia membiarkan lelaki yang ditindihnya melumat habis seluruh tubuhnya. Sialan! Gerutuku kesal. Aku tidak bisa menunggu mereka selesai karena langit semakin gelap dan petir terus berkilat. Aku pikir kawanan serigala itu hanya berjarak 5 menit, jadi aku menjauh dari mobil, menemukan pondokan kecil. Tubuhku menggigil, bau tajam itu tidak hanya milik satu kelompok. Telingaku waspada saat mendengar serigala menggeram, dari kejauhan aku melihat dua kelompok serigala bertarung di area terbuka di bawah cahaya petir yang berkilat-kilat. Siapakah kelompok itu yang bisa menggiring awan dan hujan? "Awwrgghh," teriakku sambil membanting badanku berguling ke lantai pondokan. Aku mencium bau Rayden tetapi konyol tubuh kekarnya sudah menindihku
"Lihatlah dirimu!" kataku kepada Mia, "Kamu tidak memiliki hutang pajak satu senpun, kamu bersih, Mia!" Seorang pria yang gemuk berjalan dengan malas sambil menggerutu tentang kesalahan yang terjadi karena petugas menganggap Mia mirip dengan pekerja seks komersial yang membayar pajak secara mandiri. Dengan sikap malas, pria itu menandai dokumen yang tidak valid. "Beberapa petugas pajak mendatangi Mia dan melakukan pelecehan!" kataku lugas. Lelaki gemuk itu melirik Mia dengan tatapan curiga. Dia mengingatkan Mia bahwa mereka tidak memungut pajak di jalanan, dan mengancam "Bicara tanpa bukti bisa berakibat pada hukuman!" Saat itu aku menyadari, sepertinya lelaki gemuk ini memberikan tatapan intimidasinya ke arah Mia. Serigalaku menggeram, "Dia juga melahap Mia" mindlinkku menemukan indikasi dari perubahan hidungnya yang mengecil. "Ka-Ka-Mu! Menggeram, Jamila?" Mia ketakukan melihat ke arahku. Aku menyeringai dan menjulurkan lidahku, "Aku hanya menguyah lolipop, jangan khawatir Mia!