“Kamu tidak boleh pergi ke mana-mana hari ini,” perintah Kian pada Laureta.
Mereka baru saja selesai sarapan, lalu Laureta mengantarkan Kian hingga ke parkiran. Kebetulan sekali tidak ada yang menyadari jika Laureta baru mengalami kecelakaan. Luka di kepalanya berhasil ia tutup dengan rambutnya. Lecet di tangannya ia tutup dengan kardigan.
“Iya, iya,” jawab Laureta dengan ekspresi bosan.
“Janji ya! Jangan sampai nanti saat aku pulang ke rumah, kamu malah pergi ke suatu tempat dan aku tidak tahu.” Kian menunjuknya sambil menyipitkan matanya. Ia tampak galak sekali.
“Iyaaa! Tenang saja. Aku tidak akan ke mana-mana. Aku akan duduk manis di kamarmu dan tidak melakukan apa-apa.”
“Itu kamar kita, Sayang,” ralat Kian. “Oke. Kamu tidak usah olahraga dulu hari ini ya.”
Laureta menghela napas. “Aneh ya rasanya. Tadinya aku rutin berolahraga. Setelah menikah, jadwal olahragak
Terdengar suara ketukan di pintu, Kian mempersilakan masuk. Clara masuk sambil membawa berkas-berkas yang harus ia tanda tangani. Satu hari cuti saja, pekerjaan Kian langsung menumpuk.“Selamat pagi, Pak. Mau saya buatkan kopi?” tanya Clara.“Tidak biasanya kamu menawarkan kopi,” ujar Kian sambil menautkan alisnya.Clara meringis. “Maaf, Pak. Kemarin itu ada kiriman kopi.”“Dari siapa?”“Itu … hmmm ….”“Helga?” tebak Kian.Clara mengangguk. “Iya, Pak. Kemarin ini Mbak Helga datang ke sini, lalu menitipkan kopi untuk Pak Kian. Maaf, Pak. Apa seharusnya saya menolaknya? Saya tidak berani, Pak.”“Ya sudah, tidak apa-apa. Di antara aku dan Helga sudah tidak ada hubungan apa-apa. Biarkan saja. Hanya sekedar kopi, aku akan menerimanya. Kamu juga boleh meminumnya, Clara.”Clara tersenyum. “Terima kasih, Pak.”“Oh ya, aku sudah mengurus pengiriman motor ke rumahmu. Aku titip dulu motornya di rumahmu ya.”Clara mengangguk. “Baik, Pak.”Kian mendesah. Sepertinya ia sudah tidak membutuhkan motor
Setibanya di sana, Helga meletakkan tasnya yang bermerk mahal itu di meja dengan gerakannya yang anggun. “Hai, Kian. Maaf sudah membuatmu menunggu lama.”“Tidak juga.”Helga duduk sambil membenahi blazer-nya. Rambutnya panjang dengan ikal di bagian bawahnya. Riasan wajahnya begitu pas, tidak terlalu berlebihan. Aroma parfumnya benar-benar sensual. Wanita itu amat sangat cantik mempesona.Mustahil jika Kian tidak memuji wanita itu. Namun, Kian sudah tidak akan pernah melirik Helga lagi karena hubungan mereka sudah berakhir lama.Kian memutar-mutar cincin pernikahannya, mengingatkan dirinya sendiri jika ia adalah pria yang sudah beristri. Ia tidak akan melirik wanita lain lagi.Helga tersenyum manis. “Senang sekali bisa bertemu lagi denganmu. Bagaimana kabarmu, Kian? Apa semuanya baik-baik saja?”“Aku selalu baik, tidak pernah sebaik ini.”“Aku percaya. Kamu pasti bahagia sekali deng
“Ada apa kamu meneleponku?” tanya Reksi.Laureta menggigit bibirnya. Rasanya baru kali ini ia merasa tidak gugup mengobrol dengan Reksi, tidak seperti biasanya.“Kamu masih marah padaku?”Reksi menghela napas. “Langsung saja. Kamu mau bicara apa?”“Aku ingin bertemu denganmu,” ungkap Laureta.“Untuk apa?”“Ada banyak hal yang harus kita bicarakan. Kamu berutang penjelasan padaku,” tuntut Laureta.“Penjelasan apa lagi?” tanya Reksi yang mana itu sungguh tidak perlu.“Ayolah! Aku tahu kalau kamu sudah selesai senam sekarang. Aku ingin bertemu denganmu di café dekat studio senam. Aku akan pergi sekarang.”“Memangnya kamu baik-baik saja? Kamu kan baru mengalami kecelakaan.”“Kamu masih peduli padaku, terima kasih. Aku tetap akan menemuimu di sana sekarang. Sampai bertemu, Reks.”Laureta
Laureta melebarkan matanya. “Untuk apa aku berbohong padamu?!”“Entahlah, Ta. Kamu hanya menginginkan segalanya menjadi milikmu. Kalau kamu tidak bisa mendapatkan Erwin, maka kamu bisa semudah itu mendapatkan pamannya. Kamu memang hebat, Ta! Aku salut padamu.”Laureta mendecak kesal sambil menaruh sebelah tangannya di dahi. Kepalanya mulai berdenyut-denyut.Lalu ia berkata, “Aku tidak tahu harus menjelaskan padamu dengan kalimat apa lagi. Hati dan pikiranmu sudah dibutakan oleh Erwin. Kamu menuduhku untuk sesuatu hal yang kamu pikirkan sendiri. Kamu sudah tidak mempercayaiku lagi. Ya sudah, sekarang terserah padamu saja. Kalau kamu memang menginginkan Erwin, silakan ambil saja. Aku sudah memperingatkanmu kalau Erwin itu bukan pria yang baik. Jadi, jangan salahkan aku kalau suatu hari nanti, kamu akan menyesali segalanya.”“Aku tidak akan menyesal,” ungkap Reksi penuh keyakinan. “Aku hanya memintamu unt
Udara hari itu cukup cerah, meski ada sebagian awan gelap di arah timur. Pepohonan yang rimbun membuat udara terasa sejuk. Suara gemerisik dedaunan yang diterpa angin sepoy-sepoy begitu lembut, menenangkan hati.Riak air di danau terkena cahaya matahari, membuatnya tampak seperti ribuan berlian yang bercahaya. Samar-samar Kian mendengar suara burung yang bersembunyi di balik pohon.Kian dan Helga berjalan menelusuri pinggir danau sambil bergandengan tangan. Kian tahu jika apa yang ia lakukan ini adalah sebuah kesalahan. Tak seharusnya ia pergi berdua dengan mantannya itu.Namun, tak dapat ia pungkiri jika berjalan berdua dengan Helga seperti membuat rasa rindunya terobati. Ia dan Helga pernah mengukir kenangan manis di tempat ini. Kian tak akan berbohong jika danau ini adalah salah satu tempat favoritnya.Mereka berjalan di atas jembatan, lalu Helga berhenti di sana untuk memperhatikan riak air yang membuatnya tampak seperti terhipnotis.“Kamu ingat terakhir kali kita ke tempat ini?”
Kian buru-buru membukakan pintu mobil untuk Helga. Ia sendiri berlari menuju ke pintu satunya lagi dan duduk di balik kemudi. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Sama halnya dengan Helga, blouse crop top-nya yang berwarna krem, tampak menempel di tubuhnya yang basah. Belahan dadanya tampak semakin menggiurkan.Kian sulit untuk tidak melihat ke arah sana. Helga menyadari hal tersebut. Senyumnya mengembang. Lalu ia menarik Kian untuk menciumnya lagi. Mereka pun berciuman di dalam mobil, di tengah-tengah hujan yang begitu lebat di luar sana.Sebelah tangan Kian mendarat di belahan dada Helga, merasakan kembali apa yang dulu pernah ia rasakan. Ia meremas bulatan milik Helga, membuat wanita itu mendesah.Helga pun mencium Kian semakin penuh semangat, tak peduli meski mereka sama-sama basah kuyup. Kian menyentuh Helga dengan penuh rasa rindu yang membuatnya buta oleh nafsu. Sudah lama ia tidak meremas milik Helga yang padat dan menggoda.Perlahan tangannya menyusup ke dalam blouse Helga, merasaka
“Tidak, Helga!” Kian mendorong Helga, agak keras hingga ia terempas ke kasur. Sebenarnya, Kian tidak bermaksud untuk mendorongnya sekeras itu.“Kamu kasar sekali!” teriak Helga. Air matanya menggenang di pelupuk matanya.“Maafkan aku, Helga. A-aku sungguh minta maaf. Aku seharusnya tidak pernah pergi denganmu hari ini. Aku hanya membuatmu kecewa. Aku pun kecewa pada diriku sendiri. Aku sudah menikah dan aku telah mencintai Laura. Aku benar-benar sudah berdosa. Maafkan aku, Helga. Aku harus pergi sekarang.”Kian mengancingkan kemejanya, lalu berbalik untuk segera pergi dari sana.“Kian!” teriak Helga. “Tunggu! Jangan pergi!”Kian berhenti sejenak, lalu ia menoleh pada Helga yang duduk di kasur dengan posisi nyaris telanjang. Kian sungguh merasa amat sangat bersalah.“Aku akan memberitahumu sesuatu tentang Laureta!” seru Helga. Air mata sudah membanjiri wajahnya.Kian menunggu hingga Helga menyelesaikan kalimatnya. Napas Helga tampak terengah-engah karena emosi.“Laureta, istrimu adalah
Otomatis Kian menyentuh dahinya karena rasa sakit di kepalanya yang tiba-tiba menyerangnya.“Kamu kenapa?” Laureta hendak menyentuhnya, tapi mengurungkan niatnya karena sebelumnya Kian menepis tangannya. “Mau aku ambilkan obat? Dokter meresepkan obat penahan sakit untukku kemarin. Untukmu saja. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi. Tunggu sebentar.”Laureta keluar dari walk-in closet, Kian mengikutinya, lalu duduk di meja kerja. Laureta kembali sambil membawa sebutir kaplet dan segelas air minum hangat untuknya.Kian menatap Laureta dan seketika ia kembali dirundung rasa bersalah. Istrinya telah begitu baik padanya, tapi ia malah mengkhianatinya di belakangnya.“Ayo minum ini!” kata Laureta sambil mengangguk.Kian pun menerima obat itu dan meminumnya. Air hangat mengalir, menghangatkan tenggorokannya. Selesai minum obat, Kian langsung memeluk pinggang Laureta yang sedang berdiri di hadapannya.Ia menyandarkan kepalanya di perut Laureta. Kalau ia bisa menangis, ia ingin sekali menangis