Laureta melebarkan matanya. “Untuk apa aku berbohong padamu?!”
“Entahlah, Ta. Kamu hanya menginginkan segalanya menjadi milikmu. Kalau kamu tidak bisa mendapatkan Erwin, maka kamu bisa semudah itu mendapatkan pamannya. Kamu memang hebat, Ta! Aku salut padamu.”
Laureta mendecak kesal sambil menaruh sebelah tangannya di dahi. Kepalanya mulai berdenyut-denyut.
Lalu ia berkata, “Aku tidak tahu harus menjelaskan padamu dengan kalimat apa lagi. Hati dan pikiranmu sudah dibutakan oleh Erwin. Kamu menuduhku untuk sesuatu hal yang kamu pikirkan sendiri. Kamu sudah tidak mempercayaiku lagi. Ya sudah, sekarang terserah padamu saja. Kalau kamu memang menginginkan Erwin, silakan ambil saja. Aku sudah memperingatkanmu kalau Erwin itu bukan pria yang baik. Jadi, jangan salahkan aku kalau suatu hari nanti, kamu akan menyesali segalanya.”
“Aku tidak akan menyesal,” ungkap Reksi penuh keyakinan. “Aku hanya memintamu unt
Udara hari itu cukup cerah, meski ada sebagian awan gelap di arah timur. Pepohonan yang rimbun membuat udara terasa sejuk. Suara gemerisik dedaunan yang diterpa angin sepoy-sepoy begitu lembut, menenangkan hati.Riak air di danau terkena cahaya matahari, membuatnya tampak seperti ribuan berlian yang bercahaya. Samar-samar Kian mendengar suara burung yang bersembunyi di balik pohon.Kian dan Helga berjalan menelusuri pinggir danau sambil bergandengan tangan. Kian tahu jika apa yang ia lakukan ini adalah sebuah kesalahan. Tak seharusnya ia pergi berdua dengan mantannya itu.Namun, tak dapat ia pungkiri jika berjalan berdua dengan Helga seperti membuat rasa rindunya terobati. Ia dan Helga pernah mengukir kenangan manis di tempat ini. Kian tak akan berbohong jika danau ini adalah salah satu tempat favoritnya.Mereka berjalan di atas jembatan, lalu Helga berhenti di sana untuk memperhatikan riak air yang membuatnya tampak seperti terhipnotis.“Kamu ingat terakhir kali kita ke tempat ini?”
Kian buru-buru membukakan pintu mobil untuk Helga. Ia sendiri berlari menuju ke pintu satunya lagi dan duduk di balik kemudi. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Sama halnya dengan Helga, blouse crop top-nya yang berwarna krem, tampak menempel di tubuhnya yang basah. Belahan dadanya tampak semakin menggiurkan.Kian sulit untuk tidak melihat ke arah sana. Helga menyadari hal tersebut. Senyumnya mengembang. Lalu ia menarik Kian untuk menciumnya lagi. Mereka pun berciuman di dalam mobil, di tengah-tengah hujan yang begitu lebat di luar sana.Sebelah tangan Kian mendarat di belahan dada Helga, merasakan kembali apa yang dulu pernah ia rasakan. Ia meremas bulatan milik Helga, membuat wanita itu mendesah.Helga pun mencium Kian semakin penuh semangat, tak peduli meski mereka sama-sama basah kuyup. Kian menyentuh Helga dengan penuh rasa rindu yang membuatnya buta oleh nafsu. Sudah lama ia tidak meremas milik Helga yang padat dan menggoda.Perlahan tangannya menyusup ke dalam blouse Helga, merasaka
“Tidak, Helga!” Kian mendorong Helga, agak keras hingga ia terempas ke kasur. Sebenarnya, Kian tidak bermaksud untuk mendorongnya sekeras itu.“Kamu kasar sekali!” teriak Helga. Air matanya menggenang di pelupuk matanya.“Maafkan aku, Helga. A-aku sungguh minta maaf. Aku seharusnya tidak pernah pergi denganmu hari ini. Aku hanya membuatmu kecewa. Aku pun kecewa pada diriku sendiri. Aku sudah menikah dan aku telah mencintai Laura. Aku benar-benar sudah berdosa. Maafkan aku, Helga. Aku harus pergi sekarang.”Kian mengancingkan kemejanya, lalu berbalik untuk segera pergi dari sana.“Kian!” teriak Helga. “Tunggu! Jangan pergi!”Kian berhenti sejenak, lalu ia menoleh pada Helga yang duduk di kasur dengan posisi nyaris telanjang. Kian sungguh merasa amat sangat bersalah.“Aku akan memberitahumu sesuatu tentang Laureta!” seru Helga. Air mata sudah membanjiri wajahnya.Kian menunggu hingga Helga menyelesaikan kalimatnya. Napas Helga tampak terengah-engah karena emosi.“Laureta, istrimu adalah
Otomatis Kian menyentuh dahinya karena rasa sakit di kepalanya yang tiba-tiba menyerangnya.“Kamu kenapa?” Laureta hendak menyentuhnya, tapi mengurungkan niatnya karena sebelumnya Kian menepis tangannya. “Mau aku ambilkan obat? Dokter meresepkan obat penahan sakit untukku kemarin. Untukmu saja. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi. Tunggu sebentar.”Laureta keluar dari walk-in closet, Kian mengikutinya, lalu duduk di meja kerja. Laureta kembali sambil membawa sebutir kaplet dan segelas air minum hangat untuknya.Kian menatap Laureta dan seketika ia kembali dirundung rasa bersalah. Istrinya telah begitu baik padanya, tapi ia malah mengkhianatinya di belakangnya.“Ayo minum ini!” kata Laureta sambil mengangguk.Kian pun menerima obat itu dan meminumnya. Air hangat mengalir, menghangatkan tenggorokannya. Selesai minum obat, Kian langsung memeluk pinggang Laureta yang sedang berdiri di hadapannya.Ia menyandarkan kepalanya di perut Laureta. Kalau ia bisa menangis, ia ingin sekali menangis
Di balik senyuman Kian, Laureta merasa seperti ada banyak hal yang tersembunyi. Saat Kian memeluknya tadi, terasa ada beban berat yang sedang diderita Kian, tapi tidak mau ia ungkapkan.Laureta paham. Mungkin menjadi seorang boss dengan segudang pekerjaan itu sangatlah tidak mudah. Kian harus bekerja keras memajukan perusahaan. Belum lagi, ia harus menggaji banyak sekali karyawan. Laureta tidak tahu seperti apa pekerjaan Kian sebenarnya, tapi ia yakin jika Kian pasti sangat kelelahan.Tugasnya adalah menjadi seorang istri yang baik. Jika Kian sedang membutuhkannya, maka ia harus selalu siap. Jika Kian membutuhkan pelukannya, maka Laureta akan memeluknya meski harus sampai berjam-jam sekalipun.Kesedihan yang ia alami hari ini sungguh tak ada artinya jika melihat Kian yang sedih seperti itu. Pertemuannya dengan Reksi benar-benar telah menguras air matanya seharian ini. Belum lagi, ada ibunya yang tinggal di rumahnya.Sebelumnya, ia sendiri yang menyuruh ib
“Selamat pagi, Pak,” sapa Clara saat Kian baru saja tiba di kantor.“Pagi, Clara,” balas Kian.Sekretarisnya itu sudah menyiapkan segelas kopi. Kian menduga jika Helga menyuruh Clara untuk selalu menyiapkan kopi Aceh itu untuknya setiap hari.Mengingat tentang kejadian kemarin bersama Helga, Kian merasa sangat bersalah. Tidak ada kata bahagia sama sekali di dalam hatinya. Ia justru menyesal karena telah mengikuti naluri lelakinya untuk melakukan hal-hal yang terlarang.Setidaknya, Kian tidak sampai bersetubuh dengan wanita itu di ranjang hotel. Helga pasti marah sekali padanya. Kian sudah memblokir nomor Helga supaya wanita itu tidak bisa menghubunginya lagi.Sepertinya semua ini terdengar tidak adil untuk Helga karena wanita itu telah memberitahu informasi terpenting tentang Laureta. Pikiran Kian kembali melayang membayangkan Laureta yang pernah bermesraan dengan keponakannya sendiri.“Ada apa, Pak?” tanya Clara karena melihat Kian menggelengkan kepalanya. “Apa ada dokumen yang salah
Kian khawatir akan apa yang akan Reksi katakan padanya. Wanita itu seperti yang kepahitan sekali pada Laureta. Apa yang sebenarnya terjadi? Kian jadi bertanya-tanya dalam hatinya.“Sebenarnya Tata itu bukanlah wanita yang terlalu baik,” ucap Reksi dengan wajah yang serius.Kian menautkan alisnya bingung. “Kamu itu kan sahabatnya Laura. Kenapa kamu berkata seperti itu tentangnya? Dia adalah wanita yang sangat baik.”“Ya, ya, ya. Dia memang baik, tapi ada alasan kenapa Erwin sampai berbuat sesuatu seperti itu yang menyebabkan Tata sangat marah dan akhirnya mereka putus. Tata tidak pernah memberikan perhatiannya pada Erwin karena dia terlalu sibuk mementingkan dirinya sendiri. Tata adalah orang yang sangat egois. Jadi, ya sebaiknya kamu berhati-hati dan bersiap-siap juga jika sampai suatu hari nanti dia tidak akan memperhatikanmu lagi.”Kian sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Reksi seperti berkata omong kosong.“Laura bukan orang yang seperti itu,” ucapnya sambil
Kian melebarkan matanya saat melihat adiknya. “Adinda!” serunya sambil tersenyum lebar. Ia pun langsung menghampiri Adinda dan memeluknya dengan erat.“Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Kak,” ucap Adinda di dadanya.Kian melepaskan pelukannya. “Kamu terlalu sombong untuk menemuiku di rumah ini.”“Yang benar saja. Kakak terlalu sibuk untuk bertandang ke rumahku.”“Siapa suruh kamu tidak mau tinggal di rumah ini,” timpal Kian sambil menyipitkan matanya.Adinda terkekeh. “Kakak ini bisa saja. Aku pikir Kakak akan mengatakan kangen padaku.”“Iyaaaaa, adikku tersayang. Aku kangen padamu.”“Aku juga!” seru Adinda sambil menggenggam tangan Kian.“Omong-omong, tumben kamu datang ke sini. Apa kamu sengaja ke sini untuk menemuiku?”“Uhm, yaa. Salah satunya itu. Aku kan ke sini untuk rapat keluarga. Kak Marisa bilang kalau kemarin kalian sudah melakukan rapat, tapi hasilnya belum maksimal. Lalu dia memintaku untuk datang.”“Ah ya, tentu saja rapat keluarga. Aku hampir lupa.”Adinda tersenyum