Ivan tampak ragu sejenak sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan Laureta.
“Di dalam tubuhnya sekarang mengandung anakku,” aku Ivan dengan berat hati.
Laureta terkesiap. “Ya ampun! Ivan kamu sudah menghamilinya, tapi dia malah menikah dengan pria lain?”
“Sssstt! Jangan keras-keras!” Ivan menaruh jarinya di depan bibirnya. “Aku tidak ingin mama sampai tahu hal ini. Aku tahu kalau aku memang bersalah. Aku bermaksud untuk bertanggung jawab, tapi dia tidak mau menikah denganku. Dia bahkan tidak ingin hamil anakku.”
“Lalu kamu akan membiarkan dia menikah dengan pria itu sementara dia malah hamil anakmu?”
Ivan mendesah. “Lalu apa lagi yang bisa kulakukan? Dia sudah menikah dengan pria itu.”
“Kamu tidak langsung memberitahu suaminya? Kamu malah meninju wajahnya. Seharusnya langsung saja kamu katakan kalau istrinya sedang mengandung anakmu, lalu kamu bawa istrinya kabur dar
Laureta tidak begitu setuju dengan ungkapan Ivan. Meski memang Kian adalah pria yang memiliki nafsu yang sangat besar, tapi Laureta tidak mendapati jika Kian pernah memaksanya untuk melayani pria itu.“Tidak juga,” ujar Laureta. “Suamiku itu orangnya dingin dan suka mengatur. Awalnya kami tidak cocok sama sekali. Lalu setelah berjalan lama, aku baru sadar kalau aku ternyata jatuh cinta padanya.”Ivan memutar bola matanya. “Kamu memang jatuh cinta padanya. Hmmm, aku bisa melihatnya di matamu. Waktu kamu membicarakan tentangnya, kamu terlihat seperti yang berbinar-binar.”“Oh ya? Aku tidak begitu!” Laureta mencebik.“Kamu memang begitu!” Ivan terkekeh.“Ya, percuma sajalah. Aku dan dia tidak akan bisa bersama lagi selamanya. Akan lebih baik dia tidak tahu kalau aku sedang hamil anaknya.”Ivan memiringkan badannya ke arah Laureta. “Kalau dia sampai tahu kamu hamil, ap
“Kandungannya sudah jalan empat belas minggu. Bayinya sehat,” ucap sang dokter.Kian terpana menatap layar USG yang tertera di TV. Seorang makhluk mungil berada di dalam perut Helga. Detak jantungnya terdengar sangat cepat dan kencang, tanda anak itu sehat.Wajah Helga tampak berseri-seri. Ia pasti sangat bahagia karena kehamilannya. Berbeda dengan Kian yang terlalu syok dengan semua ini.Selesai dari ruang praktek dokter, mereka sedang menunggu obat di bagian farmasi. Kian diam saja sambil menatap kosong.“Kian, ternyata aku memang hamil. Kamu seharusnya senang karena anak ini adalah anakmu. Bukankah kamu ingin memiliki seorang anak? Aku akan memberikannya untukmu.”“Mustahil,” ujar Kian pelan.“Apa?”“Kamu tidak mungkin hamil anakku.” Kian menoleh pada Helga dengan wajah penuh kebencian. “Aku bahkan tidak pernah menanamkan benih di tubuhmu!”Wajah Helga y
Kian mulai sadar jika ia sedang membawa wanita yang sedang hamil. Ia harus menguasai emosinya dan tidak boleh mengebut. Terpaksa, ia pun mengurangi kecepatannya hingga delapan puluh dan berbelok ke jalanan yang di tengah. Helga sudah meneteskan air matanya.“Maafkan aku.”“Kalau sudah begini, kamu baru berkata maaf padaku!” Helga memukul tangan Kian. “Kamu sadar tidak apa yang sudah kamu lakukan padaku?! Kamu membuatku terus sakit hati dan menderita! Kamu sengaja bersikap begitu untuk menyingkirkanku! Padahal aku sudah memberimu segala yang kamu mau. Aku tahu, kamu membutuhkan seorang anak laki-laki supaya papamu menuliskan namamu di surat warisnya. Aku sudah hamil, tapi kamu masih mempertanyakan siapa ayah dari anak ini.”“Aku tidak mempertanyakan siapa ayahnya. Aku hanya tidak yakin jika aku telah menghamilimu!”“Sama saja!” teriak Helga. “Kamu ingin anak ini dites DNA. Lalu jika hasilnya
Tidak ada ekspresi terkejut sedikit pun di wajah Ivan. “Aku tidak mungkin mencegah kalian berdua untuk menikah. Helga terlalu mencintaimu.”“Oh ya? Lalu apa hubungannya denganmu? Apa kalian sungguh berpacaran? Apa kamu sudah menghamilinya?’Kali ini, Kian berhasil menorehkan sesuatu di wajah Ivan hingga pria itu tampak skeptis. Ia terdiam sejenak.“Apa Helga yang memberitahumu tentang hal itu?” tanya Ivan pada akhirnya.“Dia menyangkal semuanya. Sudah kubilang, dia mengaku tidak mengenalmu, tapi aku tahu jika dia sedang berbohong. Ada sesuatu di antara kalian dan aku bisa menebaknya.”Ivan menghela napas. “Sebenarnya, aku tidak bisa seratus persen mengakui jika anak itu adalah anakku.”Napas Kian pun tercekat seketika. Ia tahu jika Ivan ini pastilah kekasihnya Helga, tapi tetap saja ia terkejut begitu mendengar kalimat ambigu itu sebagai pernyataan ‘ya’ dari Ivan.
“Dia tidak sadarkan diri. Demamnya masih tetap di empat puluh atau empat puluh satu derajat,” jawab Ivan.Kian mengangguk. Ia menatap Ivan yang masih tampak gelisah.“Apa kamu baik-baik saja?”“Tidak! Aku takut sekali, Kian! Aku …, aku tidak ingin kehilangan dia.”Tak berapa lama kemudian, Marisa datang sambil berlari. Ia menghampiri Kian sambil napasnya terengah-engah.“Helga masuk ICU?” tanyanya.Kian mengangguk. “Ya, dia ada di dalam sana.”“Apa kamu sudah menjenguknya?”“Belum.” Kian menoleh pada Ivan. “Apa kita boleh masuk dan menjenguknya?”“Kita harus minta izin dulu pada dokter,” ucapnya.Marisa menautkan alisnya sambil menatap Ivan. “Siapa dia? Tunggu sebentar! Sepertinya aku pernah melihatnya.”Ivan tampak tegang melihat Marisa. Saat itu juga, Kian berpikir untuk mencerita
Kian melihat Ivan sedang duduk bersebelahan dengan Marisa. Sepertinya mereka sedang berbincang-bincang sesuatu. Ia pun mendekati mereka. Seketika keduanya mendongak.“Bagaimana?” tanya Marisa. “Helga bicara apa padamu?”Kian mendesah. “Dia meminta maaf padaku karena dia sudah merebutku dari Laura. Dia terdengar seperti yang sedang berpamitan denganku.”Wajah Ivan langsung pucat. Ia berdiri dan kemudian berlari masuk ke dalam ICU. Kian hanya memperhatikannya hingga Ivan menghilang di balik pintu.Kian pun duduk di sebelah Marisa. “Kalian mengobrol apa tadi?”Marisa menyeringai. “Gila! Sungguh kalian gila! Keluarga aneh macam apa kita? Bisa-bisanya kamu menikah dengan wanita yang sedang hamil anak orang lain.”Kian mengangkat alisnya. “Ivan mengakui semua itu padamu?”“Ya, kurang lebih begitu. Ivan bilang kalau Helga itu adalah kekasihnya. Kamu percaya itu? Te
Suasana rumah sakit terasa begitu menegangkan. Laureta sedang berada di ruang bersalin seorang diri. Sementara Ivan dan ibunya menunggu di luar. Laureta takut sekali karena ia tidak pernah membayangkan seperti apa rasanya melahirkan.Sembilan bulan bayinya berada di dalam perutnya, lalu sebentar lagi bayi itu akan segera berada dalam pelukannya. Laureta pun sudah tak sabar lagi ingin bertemu dengan bayinya meski ia takut.Rasa mulas terus menerus ia rasakan setiap satu menit sekali. Peluh menetes di pelipisnya. Sejak tadi ia berkonsentrasi untuk menarik napas sedalam-dalamnya dan mengembuskannya lewat mulut. Suster mengecek detak jantung bayi. Suaranya begitu kencang dan cepat.Laureta pun semakin bersemangat dan berusaha menahan rasa sakit yang sejak tadi ia rasakan. Kepala bayi seperti yang menekan dari dalam perutnya, lalu ia pun merasakan sesuatu yang hangat keluar dari bawah tubuhnya.Dokter sudah siap di tempat. Pembukaannya sudah lengkap. Ia pun me
Kian sedang membereskan dokumen-dokumen yang baru saja ia tanda tangani. Meeting seharian bersama para staff membuatnya lelah. Namun, hanya itu satu-satunya yang bisa ia lakukan, membuat dirinya sesibuk mungkin supaya ia melupakan semua kepedihan yang ia rasakan.“Pak, sebentar lagi kan sudah mau masuk musim liburan sekolah. Apakah pertunjukkan putri duyungnya akan dimulai lagi?” tanya Glory.Kian mendongak menatap sekretarisnya. “Ah ya. Aku sampai lupa sekarang sudah tanggal berapa.”“Sekarang sudah tanggal empat belas Juni. Sebentar lagi anak-anak akan libur kenaikan kelas.”Kian mengangguk perlahan sambil menatap kalendar yang ada di mejanya. Lalu ia pun menyadari jika Laureta sudah pergi dari hidupnya lebih dari satu tahun. Ia tersenyum getir. Mau berapa tahun lagi ia akan terus menunggu hingga wanita itu muncul lagi dalam hidupnya.“Baiklah. Besok kita akan membahas tentang pertunjukkan putri duyung,&r
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian