Kuliah. Hal itu sudah lama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Laureta lagi. Ia sudah lama menjadi instruktur zumba dan senang menjalaninya. Anggap saja jika hal itu sebagai hobby yang dibayar. Namun, kuliah ….“Entahlah. Aku masih belum berpikir untuk kuliah lagi. Kita lihat saja nanti.”“Oke. Tidak masalah. Beritahu aku saja jika kamu memang ingin kuliah. Aku akan mencarikan universitas yang bagus untukmu.”“Terima kasih. “Laureta mengangguk canggung. Ia harus membelokkan pembicaraan ini supaya Kian menceritakan lebih banyak tentang dirinya sendiri.“Uhm, omong-omong seperti apa kakakmu itu?” tanya Laureta tiba-tiba.“Oh, Elisa. Dia adalah kakak yang ambisius.”“Oh ya?”“Ya, dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling sempurna di antara semuanya. Saat aku masih kecil, tahta tertinggi di rumah dikuasai oleh kakakku. Untungnya, hal itu tidak berlangsung selamanya. Ayahku menempatkanku di The Prince untuk melanjutkan bisnis keluarga. Ayahku lebih suka anak laki-laki yang memegang pe
Kian tersenyum dalam hati melihat ekspresi Laureta yang lucu. Satu hal yang Kian yakini bahwa mencium Laureta tidak pernah salah. Wanita itu adalah istrinya dan ia berhak mendapatkan bagian yang indah itu. Ya, bibirnya sangat indah dan lembut.Hari itu, Kian menghabiskan waktunya dengan memancing. Laureta ingin snorkeling, tapi ia tampak ragu karena tidak ada yang menemani. Jadi, Laureta pun menemani Kian memancing sampai mereka mendapatkan tiga ekor ikan yang besar.Kian melepaskan kembali ikan-ikan itu ke laut. Setelah itu, ia pun melepaskan kemejanya dan ikut terjun ke laut bersama Laureta.Airnya surut. Kian dan Laureta sama-sama berdiri di atas karang yang sudah mati. Lalu mereka mengenakan kacamata scuba yang terdapat selang untuk bernapas.Tampaknya Laureta tidak membutuhkan pelampung. Wanita itu bisa berenang dengan sangat baik. Terdapat banyak ikan-ikan laut yang berwarna-warni. Laureta tampak kegirangan saat tangannya memegang roti, lalu para ik
Mendengar hal itu, Laureta melebarkan matanya. Kian segera membuat mata itu tertutup saat bibirnya mencium bibir Laureta. Ciuman itu terasa intens karena Laureta membalas ciumannya. Wanita itu jadi semakin ahli dalam hal mencium.Tangan Kian bergerak untuk meremas bulatan milik Laureta yang begitu padat dan sintal. Tak ada penolakan dari wanita itu. Laureta justru tampak menikmati sentuhan Kian karena mulutnya tak henti-hentinya mengerang dan mendesah.Kian meraba pinggangnya yang ramping. Ia telah melihat perut Laureta yang berotot kemarin. Kian jadi tidak sabar untuk melihatnya lagi. Tidak hanya perut, tapi juga yang lain-lainnya.Hanya butuh waktu beberapa detik saja untuk mereka melepaskan semua pakaian. Ciuman mereka masih terus berlanjut sambil Kian terus menerus menyentuh tubuh Laureta. Tanpa menunggu lama, Kian langsung menggendong Laureta ke kamar mandi.Wanita itu terkejut, tapi ia pun terlalu dipenuhi gairah yang sama seperti yang dirasakan Kia
Laureta tidak yakin Kian mendengarnya berbicara. Ia jadi malu karena mengungkapkan perasaannya. Namun, ada bagusnya juga Kian tertidur lagi. Perlahan Laureta melepaskan pelukannya.Gairah telah membutakan mata dan hati Laureta. Ia cukup yakin jika awalnya ia berniat untuk menolak Kian. Ia masih muda dan masih perawan. Ia tidak akan membiarkan Kian merenggut kesuciannya.Namun, ia telah berjanji di hadapan altar bahwa ia akan menjadi istrinya Kian. Ia tidak mungkin mengelak dari keinginan nafsu yang justru berasal dari dirinya sendiri.Ciuman serta sentuhan Kian sungguh membuatnya kehabisan akal. Ia merasa dirinya berada di awang-awang. Seluruh inderanya aktif, seolah apa pun yang Kian sentuh akan membuat tubuhnya meledak bagai serpihan debu.Laureta tidak bisa menolak Kian. Ia bahkan menikmati semua itu hingga ia merasa takut. Apakah gairah ini begitu besar? Ia merasa dirinya telah berkhianat pada Erwin.Ia pernah bersumpah bahwa ia hanya akan menc
Para pelayan dengan sigap menurunkan koper Kian dan Laureta dari mobil. Lalu mereka membawa koper-koper itu masuk ke dalam rumah.Laureta masih meremas koper kecil yang selama ini selalu ia bawa ke dalam kabin pesawat. Isinya berupa baju ganti yang bersih dan kosmetik yang sebenarnya tidak pernah Laureta gunakan. Para pelayan tidak mengambil koper itu dari tangannya.“Mama bilang kamu akan pulang minggu depan,” ujar Elisa sambil melipat tangannya di dada. “Kenapa kamu pulang hari ini? Apa kamu tidak betah main di sana? Atau mungkin kamu tidak menemukan wanita yang cantik di sana?”“Apa maksudmu? Istriku adalah wanita yang paling cantik,” tukas Kian.“Aku tidak sedang membicarakan istrimu.”“Tidak perlu bicara omong kosong, Elisa,” timpal Kian dengan wajah yang dingin. “Aku harus pulang karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Tidak sepertimu yang bebas main kapan saja. Ah, itu karena kamu tidak punya pekerjaan yang penting.”“Astaga! Jaga ucapanmu, Kian!”“Omong-omong, tumben s
Laureta mencari-cari lemari untuk ia menaruh pakaiannya. Tiba-tiba, ia merasa jika dirinya mungkin tidak pantas jika memiliki lemari pakaian sendiri. Ia menatap kopernya yang sepertinya sudah cukup untuk menaruh seluruh pakaiannya.Laureta menghela napas. Ia mengeluarkan lingerie coklat mudanya yang kemarin ia pakai. Lingerie itu sudah bersih dicuci dan wangi pelembut pakaian.Kian hanya mandi sebentar saja, lalu ia keluar hanya berbalut handuk di pinggangnya. Rambutnya masih basah, membuatnya tampak seksi. Laureta mengatur napasnya. Saat ini jelas bukan saat yang tepat untuk terpesona pada pria itu.Kian tidak menoleh padanya sedikit pun. Pria itu berjalan ke sebuah ruangan lain. Laureta mengintip Kian sedikit. Ia hanya penasaran, ada ruangan apa lagi di balik sana. Sayangnya, nyalinya ciut.Laureta menunggu, tapi pria itu tidak muncul juga. Jadi, ia masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri secepat mungkin. Kamar mandinya sangat mewah, jauh lebih hebat dari kamar mandi di hotel. Sa
Kian melebarkan matanya. “Laura …,” bisiknya.“Hmmm,” erang Laureta masih dengan mata yang terpejam.“Kamu sudah tidur?”“Hmmm.” Laureta mengerang lagi. Lalu ia terkekeh pelan. “Aku sedang membalasmu, Kian. Hmmm. Hmmm. Kamu suka menjawabku dengan satu kata hmmm.”“Oh ya?”“Hmmm,” jawabnya lagi.Kian melengkungkan senyumnya dengan ekspresi heran. Apakah Laureta benar-benar tertidur atau hanya mengigau, ia tidak yakin.Setidaknya, di antara segudang masalah yang terjadi dalam hidupnya, Kian merasa ada seseorang yang bisa menghiburnya. Jika suatu hari nanti mereka akan berpisah, Kian mungkin akan merindukannya.Kian mengusap kepala Laureta dengan sayang, lalu mengecup keningnya. Untuk saat ini, biar wanita itu menjadi wanita kesayangannya. Untuk menghasilkan buah hati yang baik dan berkualitas, tentu saja Kian harus menyayanginya dan membuatnya bahagia.Kian mematikan lampu kamarnya dan menyisakan satu lampu tidur yang remang-remang. Lalu ia mengenyakkan tubuhnya di kasurnya yang kini ja
Laureta terbangun pagi itu. Ia membuka matanya perlahan, lalu mengerjap beberapa kali. Ternyata ia sedang berada di kamar Kian. Kamar ini benar-benar luas seperti satu rumah, tapi isinya hanya kamar saja.“Luar biasa,” ujar Laureta sambil tersenyum.Ia meregangkan ototnya sambil membuka kaki dan tangan selebar mungkin. Seketika ia menyadari jika ia sendirian di sana.“Eh, di mana Kian?”Laureta duduk, lalu menoleh ke sebelah kasurnya yang kosong. Lalu ia berjalan menuju ke ruang kerja dan ke seluruh ruangan, tidak ada Kian di mana pun.“Aduh gawat! Kian kenapa pergi?”Laureta mengeluarkan ponselnya dan mencoba untuk menelepon Kian. Namun, ia teringat jika pria itu sedang dalam mood yang tidak baik. Sebaiknya Laureta tidak mengganggunya. Ia mencoba menenangkan dirinya dan kemudian bersikap senormal mungkin.Ia mandi, lalu masuk ke walk-in closet yang fenomenal itu. Hatinya kembali terhibur. Ruangan itu bagaikan ruang harta karun. Laureta menemukan kaus longgar yang tampak nyaman untuk