Mendengar hal itu, Laureta melebarkan matanya. Kian segera membuat mata itu tertutup saat bibirnya mencium bibir Laureta. Ciuman itu terasa intens karena Laureta membalas ciumannya. Wanita itu jadi semakin ahli dalam hal mencium.
Tangan Kian bergerak untuk meremas bulatan milik Laureta yang begitu padat dan sintal. Tak ada penolakan dari wanita itu. Laureta justru tampak menikmati sentuhan Kian karena mulutnya tak henti-hentinya mengerang dan mendesah.
Kian meraba pinggangnya yang ramping. Ia telah melihat perut Laureta yang berotot kemarin. Kian jadi tidak sabar untuk melihatnya lagi. Tidak hanya perut, tapi juga yang lain-lainnya.
Hanya butuh waktu beberapa detik saja untuk mereka melepaskan semua pakaian. Ciuman mereka masih terus berlanjut sambil Kian terus menerus menyentuh tubuh Laureta. Tanpa menunggu lama, Kian langsung menggendong Laureta ke kamar mandi.
Wanita itu terkejut, tapi ia pun terlalu dipenuhi gairah yang sama seperti yang dirasakan Kia
Laureta tidak yakin Kian mendengarnya berbicara. Ia jadi malu karena mengungkapkan perasaannya. Namun, ada bagusnya juga Kian tertidur lagi. Perlahan Laureta melepaskan pelukannya.Gairah telah membutakan mata dan hati Laureta. Ia cukup yakin jika awalnya ia berniat untuk menolak Kian. Ia masih muda dan masih perawan. Ia tidak akan membiarkan Kian merenggut kesuciannya.Namun, ia telah berjanji di hadapan altar bahwa ia akan menjadi istrinya Kian. Ia tidak mungkin mengelak dari keinginan nafsu yang justru berasal dari dirinya sendiri.Ciuman serta sentuhan Kian sungguh membuatnya kehabisan akal. Ia merasa dirinya berada di awang-awang. Seluruh inderanya aktif, seolah apa pun yang Kian sentuh akan membuat tubuhnya meledak bagai serpihan debu.Laureta tidak bisa menolak Kian. Ia bahkan menikmati semua itu hingga ia merasa takut. Apakah gairah ini begitu besar? Ia merasa dirinya telah berkhianat pada Erwin.Ia pernah bersumpah bahwa ia hanya akan menc
Para pelayan dengan sigap menurunkan koper Kian dan Laureta dari mobil. Lalu mereka membawa koper-koper itu masuk ke dalam rumah.Laureta masih meremas koper kecil yang selama ini selalu ia bawa ke dalam kabin pesawat. Isinya berupa baju ganti yang bersih dan kosmetik yang sebenarnya tidak pernah Laureta gunakan. Para pelayan tidak mengambil koper itu dari tangannya.“Mama bilang kamu akan pulang minggu depan,” ujar Elisa sambil melipat tangannya di dada. “Kenapa kamu pulang hari ini? Apa kamu tidak betah main di sana? Atau mungkin kamu tidak menemukan wanita yang cantik di sana?”“Apa maksudmu? Istriku adalah wanita yang paling cantik,” tukas Kian.“Aku tidak sedang membicarakan istrimu.”“Tidak perlu bicara omong kosong, Elisa,” timpal Kian dengan wajah yang dingin. “Aku harus pulang karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Tidak sepertimu yang bebas main kapan saja. Ah, itu karena kamu tidak punya pekerjaan yang penting.”“Astaga! Jaga ucapanmu, Kian!”“Omong-omong, tumben s
Laureta mencari-cari lemari untuk ia menaruh pakaiannya. Tiba-tiba, ia merasa jika dirinya mungkin tidak pantas jika memiliki lemari pakaian sendiri. Ia menatap kopernya yang sepertinya sudah cukup untuk menaruh seluruh pakaiannya.Laureta menghela napas. Ia mengeluarkan lingerie coklat mudanya yang kemarin ia pakai. Lingerie itu sudah bersih dicuci dan wangi pelembut pakaian.Kian hanya mandi sebentar saja, lalu ia keluar hanya berbalut handuk di pinggangnya. Rambutnya masih basah, membuatnya tampak seksi. Laureta mengatur napasnya. Saat ini jelas bukan saat yang tepat untuk terpesona pada pria itu.Kian tidak menoleh padanya sedikit pun. Pria itu berjalan ke sebuah ruangan lain. Laureta mengintip Kian sedikit. Ia hanya penasaran, ada ruangan apa lagi di balik sana. Sayangnya, nyalinya ciut.Laureta menunggu, tapi pria itu tidak muncul juga. Jadi, ia masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri secepat mungkin. Kamar mandinya sangat mewah, jauh lebih hebat dari kamar mandi di hotel. Sa
Kian melebarkan matanya. “Laura …,” bisiknya.“Hmmm,” erang Laureta masih dengan mata yang terpejam.“Kamu sudah tidur?”“Hmmm.” Laureta mengerang lagi. Lalu ia terkekeh pelan. “Aku sedang membalasmu, Kian. Hmmm. Hmmm. Kamu suka menjawabku dengan satu kata hmmm.”“Oh ya?”“Hmmm,” jawabnya lagi.Kian melengkungkan senyumnya dengan ekspresi heran. Apakah Laureta benar-benar tertidur atau hanya mengigau, ia tidak yakin.Setidaknya, di antara segudang masalah yang terjadi dalam hidupnya, Kian merasa ada seseorang yang bisa menghiburnya. Jika suatu hari nanti mereka akan berpisah, Kian mungkin akan merindukannya.Kian mengusap kepala Laureta dengan sayang, lalu mengecup keningnya. Untuk saat ini, biar wanita itu menjadi wanita kesayangannya. Untuk menghasilkan buah hati yang baik dan berkualitas, tentu saja Kian harus menyayanginya dan membuatnya bahagia.Kian mematikan lampu kamarnya dan menyisakan satu lampu tidur yang remang-remang. Lalu ia mengenyakkan tubuhnya di kasurnya yang kini ja
Laureta terbangun pagi itu. Ia membuka matanya perlahan, lalu mengerjap beberapa kali. Ternyata ia sedang berada di kamar Kian. Kamar ini benar-benar luas seperti satu rumah, tapi isinya hanya kamar saja.“Luar biasa,” ujar Laureta sambil tersenyum.Ia meregangkan ototnya sambil membuka kaki dan tangan selebar mungkin. Seketika ia menyadari jika ia sendirian di sana.“Eh, di mana Kian?”Laureta duduk, lalu menoleh ke sebelah kasurnya yang kosong. Lalu ia berjalan menuju ke ruang kerja dan ke seluruh ruangan, tidak ada Kian di mana pun.“Aduh gawat! Kian kenapa pergi?”Laureta mengeluarkan ponselnya dan mencoba untuk menelepon Kian. Namun, ia teringat jika pria itu sedang dalam mood yang tidak baik. Sebaiknya Laureta tidak mengganggunya. Ia mencoba menenangkan dirinya dan kemudian bersikap senormal mungkin.Ia mandi, lalu masuk ke walk-in closet yang fenomenal itu. Hatinya kembali terhibur. Ruangan itu bagaikan ruang harta karun. Laureta menemukan kaus longgar yang tampak nyaman untuk
Kian menatap Helga dari bawah ke atas. Wanita itu mengenakan halter blouse berwarna biru elektrik dan bawahan berupa rok midi di bawah lutut. Sepatunya hak tinggi berwarna hitam dengan tali-tali yang membelit hingga ke betisnya.Wanita itu benar-benar tampak seksi dan elegan seperti biasa. Belum lagi riasan wajahnya yang tampak maksimal dan rambutnya yang coklat kemerahan ditata ikal di bagian bawahnya. Helga memang sangat cantik.“Kamu menemuiku sepagi ini? Untuk apa?” tanya Kian.“Untuk mengungkapkan isi hatiku.” Helga merapikan rambutnya dengan gaya yang anggun.Kian mengulum senyum. Ia merasa senang karena akhirnya, Helga berusaha untuk mengejarnya. Namun, di sisi lain, ia tidak ingin jika Helga sampai merusak rencananya.“Ungkapkan saja sekarang, setelah itu kamu boleh pergi.”Helga mendecak kesal, lalu bibirnya mencebik. “Sekarang ini kamu jadi lebih senang bersikap dingin padaku. Mau sampai kapan kamu akan begini terus? Apa kamu tidak lelah berpura-pura membenciku padahal kamu
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Erwin.“A-aku …, aku mau makan.” Lebih baik Laureta mengaku daripada ia diam saja seperti orang bodoh.“Kamu baru bangun jam segini?” Erwin mengangkat alisnya sebelah sambil berwajah masam. “Dasar pemalas. Kamu aneh sekali mengenakan pakaian seperti itu. Apa pamanku tidak membelikanmu pakaian yang bagus?”“Tidak usah mengomentari pakaianku! Lagi pula, aku bukan pemalas! Sudah sejam yang lalu aku bangun. Kamu sendiri, sedang apa di sini?” Laureta bertanya balik. “Kamu juga pemalas,” imbuh Laureta dengan suara pelan.Erwin mendecak sambil menyipitkan matanya. “Aku juga mau sarapan.”Ia berjalan ke arah pintu yang berada di dekat sana. Ia membukanya, kemudian berbicara dengan seorang pelayan.“Mbak, aku mau makan nasi goreng. Jangan pakai telur ya,” kata Erwin.Laureta tidak mau ketinggalan. Ternya
Tangan Laureta gemetar sedikit, antara kelaparan atau terlalu tegang berhadapan dengan sang mantan. Ia tersenyum puas. Setidaknya, ia bisa melawan pria itu. Meski begitu, ia juga jadi khawatir jika sampai ada pelayan yang mendengar pembicaraannya dengan Erwin.Ruangan ini sangat luas. Suara Laureta mungkin tidak akan terdengar sampai ke mana-mana. Semoga saja para pelayan sedang sibuk menyiapkan makanan untuk makan siang. Tentu saja, mereka tidak akan sempat mendengarkan pertengkarannya dengan Erwin.Laureta menyelesaikan sarapannya yang kesiangan, lalu hendak kembali ke kamarnya. Namun, sayang sekali jika ia melewatkan pemandangan taman yang sangat indah. Saat ia pertama kali tiba di tempat ini, ia tidak sempat jalan-jalan dan melihat keindahan istana ini.Cahaya matahari menyinari tanaman-tanaman yang ada di taman. Cerah sekali. Udaranya terasa bersih dan segar. Ini baru taman di dekat ruang makan. Taman yang ada di dekat kolam renang jauh lebih luas lagi. Lau
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian