Udara malam itu terasa agak panas. Kemunculan wanita itu membuat hati Kian semakin tidak karuan. Ia tidak menyangka jika wanita itu akan menghampirinya ke Bali. Tadi Clara meneleponnya dan memberitahu semuanya. Clara telah berusaha untuk tidak memberitahu keberadaan Kian. Namun, tetap saja wanita itu bisa melakukan apa saja yang ia inginkan. Sejujurnya, Kian tidak ingin berhubungan lagi dengan wanita itu. Namun, apa boleh buat. Kian bukan pria pengecut. Ia akan menghadapi wanita itu. Segala sesuatu bisa dibicarakan dengan baik-baik. Kian baru saja tiba di beach club. Seorang pelayan restoran menghampirinya. Lalu Kian menyebut nama wanita itu. Pelayan itu segera mengantarkan Kian ke sebuah ruangan terpisah yang berada di lantai dua. Seorang wanita berambut coklat kemerahan membalikan badannya. Ia langsung tersenyum saat melihat kehadiran Kian. Dipandanginya wanita itu dari bawah hingga ke atas. Ia mengenakan atasan berupa crop top putih dengan belahan dada yang spektakuler. Rok panj
Seketika Kian terkejut bukan main. Ia melebarkan matanya, membeku. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia tidak bisa membalas ciuman Helga meski sebenarnya dalam hatinya ia ingin sekali menarik wanita itu dalam pelukannya, lalu membaringkannya di ranjang. Mereka kemudian akan bercinta sampai beronde-ronde. Demi apa pun, Kian amat sangat merindukan Helga.Helga terus mendesaknya, menciumnya lebih dalam lagi. Kian pun nyaris luluh. Ia hanya bisa diam, membiarkan Helga menciumnya. Hal itu juga supaya Helga berhenti sendiri karena Kian tidak meresponnya.Wanita itu terlalu lama untuk menyadari jika Kian hanya diam saja mematung, tidak memberi sedikit pun celah bagi Helga untuk mendapatkan kembali hatinya. Helga melepaskan ciumannya dan menatap Kian dengan mata yang masih berkaca-kaca.Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu berkata, “Aku masih mencintaimu, Kian.”Kian tahu jika Helga akan berkata seperti itu. Ia tidak menjawabnya. Kian tidak bisa berbohong, tapi ia juga tidak bisa mengakui p
Laureta melebarkan matanya. Ia kesal bukan main. Kian memang berhak untuk melakukan apa saja yang ia inginkan. Namun, Laureta pun bisa marah.Beruntung, ia sedang sangat kelaparan. Jadi, ia hanya mendelik pada Kian sambil mengunyah sarapannya. Kian si pria menyebalkan, sama sekali tidak merasa bersalah. Ia malah tersenyum geli sambil memandang Laureta.“Laura, Laura. Kamu itu lucu sekali kalau sedang marah. Kamu marah, tapi kamu juga sedang lapar. Tak ada yang bisa mengganggumu jika sedang makan, ya kan?”Laureta tidak mau menjawab Kian. Pria itu sepertinya akan mengejeknya lagi. Kian memotong roti lapisnya dengan pisau, lalu menusuknya dengan garpu. Sikapnya sungguh elegan. Tidak seperti Laureta yang menyantap roti lapisnya dengan tangan, membuka mulut lebar-lebar dan menggigitnya dengan rakus.“Pelan-pelan,” tegur Kian.Pria itu masih terus menerus memperhatikan Laureta hingga ia jadi salah tingkah. Jadi, Laureta mengalihkan pandangannya ke kolam renang. Di tempat itu, ia membuka ka
Ciuman Kian benar-benar memabukkan. Pria itu sudah beberapa kali mencium bibirnya. Tubuhnya mulai merespon dengan baik. Ada sesuatu dalam dadanya yang menanti Kian menciumnya lagi, menyentuhnya, membuatnya mabuk meski tanpa minuman alkohol.Ketika Laureta mulai membalas ciuman Kian, pria itu melepaskannya. Ia mengusap rambut Laureta, merapikan poninya yang berantakan. Lalu ia berkata, “Kamu tidak tahu apa yang sudah kulewati tadi malam. Anggap saja, aku kembali demi dirimu.”“A-apa maksudnya?” tanya Laureta, masih kesulitan mengendalikan gemetar di suaranya.“Tidak ada maksud apa-apa. Sudahlah, kamu tidak perlu tahu.” Kian mengacak-ngacak rambut Laureta, lalu membalikan badannya dengan cepat. Ia mengambil gelas jusnya, lalu menghabiskannya. “Jangan lupa, kamu sudah kalah push up. Kamu harus mengikuti keinginanku hari ini.”Laureta masih bergeming di tempatnya. Otaknya berputar, masih belum memahami perkataan Kian. Pria itu malah bicara aneh setelah mencium Laureta. Kesadarannya masih
Kuliah. Hal itu sudah lama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Laureta lagi. Ia sudah lama menjadi instruktur zumba dan senang menjalaninya. Anggap saja jika hal itu sebagai hobby yang dibayar. Namun, kuliah ….“Entahlah. Aku masih belum berpikir untuk kuliah lagi. Kita lihat saja nanti.”“Oke. Tidak masalah. Beritahu aku saja jika kamu memang ingin kuliah. Aku akan mencarikan universitas yang bagus untukmu.”“Terima kasih. “Laureta mengangguk canggung. Ia harus membelokkan pembicaraan ini supaya Kian menceritakan lebih banyak tentang dirinya sendiri.“Uhm, omong-omong seperti apa kakakmu itu?” tanya Laureta tiba-tiba.“Oh, Elisa. Dia adalah kakak yang ambisius.”“Oh ya?”“Ya, dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling sempurna di antara semuanya. Saat aku masih kecil, tahta tertinggi di rumah dikuasai oleh kakakku. Untungnya, hal itu tidak berlangsung selamanya. Ayahku menempatkanku di The Prince untuk melanjutkan bisnis keluarga. Ayahku lebih suka anak laki-laki yang memegang pe
Kian tersenyum dalam hati melihat ekspresi Laureta yang lucu. Satu hal yang Kian yakini bahwa mencium Laureta tidak pernah salah. Wanita itu adalah istrinya dan ia berhak mendapatkan bagian yang indah itu. Ya, bibirnya sangat indah dan lembut.Hari itu, Kian menghabiskan waktunya dengan memancing. Laureta ingin snorkeling, tapi ia tampak ragu karena tidak ada yang menemani. Jadi, Laureta pun menemani Kian memancing sampai mereka mendapatkan tiga ekor ikan yang besar.Kian melepaskan kembali ikan-ikan itu ke laut. Setelah itu, ia pun melepaskan kemejanya dan ikut terjun ke laut bersama Laureta.Airnya surut. Kian dan Laureta sama-sama berdiri di atas karang yang sudah mati. Lalu mereka mengenakan kacamata scuba yang terdapat selang untuk bernapas.Tampaknya Laureta tidak membutuhkan pelampung. Wanita itu bisa berenang dengan sangat baik. Terdapat banyak ikan-ikan laut yang berwarna-warni. Laureta tampak kegirangan saat tangannya memegang roti, lalu para ik
Mendengar hal itu, Laureta melebarkan matanya. Kian segera membuat mata itu tertutup saat bibirnya mencium bibir Laureta. Ciuman itu terasa intens karena Laureta membalas ciumannya. Wanita itu jadi semakin ahli dalam hal mencium.Tangan Kian bergerak untuk meremas bulatan milik Laureta yang begitu padat dan sintal. Tak ada penolakan dari wanita itu. Laureta justru tampak menikmati sentuhan Kian karena mulutnya tak henti-hentinya mengerang dan mendesah.Kian meraba pinggangnya yang ramping. Ia telah melihat perut Laureta yang berotot kemarin. Kian jadi tidak sabar untuk melihatnya lagi. Tidak hanya perut, tapi juga yang lain-lainnya.Hanya butuh waktu beberapa detik saja untuk mereka melepaskan semua pakaian. Ciuman mereka masih terus berlanjut sambil Kian terus menerus menyentuh tubuh Laureta. Tanpa menunggu lama, Kian langsung menggendong Laureta ke kamar mandi.Wanita itu terkejut, tapi ia pun terlalu dipenuhi gairah yang sama seperti yang dirasakan Kia
Laureta tidak yakin Kian mendengarnya berbicara. Ia jadi malu karena mengungkapkan perasaannya. Namun, ada bagusnya juga Kian tertidur lagi. Perlahan Laureta melepaskan pelukannya.Gairah telah membutakan mata dan hati Laureta. Ia cukup yakin jika awalnya ia berniat untuk menolak Kian. Ia masih muda dan masih perawan. Ia tidak akan membiarkan Kian merenggut kesuciannya.Namun, ia telah berjanji di hadapan altar bahwa ia akan menjadi istrinya Kian. Ia tidak mungkin mengelak dari keinginan nafsu yang justru berasal dari dirinya sendiri.Ciuman serta sentuhan Kian sungguh membuatnya kehabisan akal. Ia merasa dirinya berada di awang-awang. Seluruh inderanya aktif, seolah apa pun yang Kian sentuh akan membuat tubuhnya meledak bagai serpihan debu.Laureta tidak bisa menolak Kian. Ia bahkan menikmati semua itu hingga ia merasa takut. Apakah gairah ini begitu besar? Ia merasa dirinya telah berkhianat pada Erwin.Ia pernah bersumpah bahwa ia hanya akan menc
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian