Saat ini Samantha dan Dante duduk di sebuah kedai kopi yang terletak di seberang hotel tempat mereka bermalam. Dua menit yang lalu, Samantha mendapat kabar dari Jennifer bahwa pemotretan terpaksa ditunda. Bagaimana tidak? Hujan tiba-tiba mengguyur Seattle pagi ini. Samantha menatap ke luar jendela. "Kurasa hujannya akan bertahan lama," gumamnya pelan.Dante meraih cangkir kopinya lalu menyesap minuman itu dengan perlahan. "Yah, kurasa juga begitu," sahutnya sambil memegang cangkir porselen di tangan.Suara lonceng mengudara saat seseorang mendorong pintu kedai dan hal itu secara tak sadar menarik perhatian Samantha. Seorang pria yang Samantha kenal masuk ke dalam kedai dan pandangan mereka saling bertabrakan.Lionel. Pria itu menyapa Samantha dengan melemparkan senyuman hangat untuk gadis itu. Mata birunya berkilau seperti air laut yang terkena pantulan sinar matahari.Samantha hanya tersenyum tipis untuk membalas sapaan Lionel padanya. Di seberangnya, Dante duduk memperhatikan. Sama
Samantha melihat Jennifer sedang mengetuk pintu kamar hotelnya ketika ia baru saja keluar dari lift. "Jen!" seru gadis itu sedikit berteriak, salah satu tangannya melambai saat sang adik ipar menoleh ke arahnya.Samantha segera melangkah untuk menghampiri Jennifer. Wajah wanita berambut pirang itu tampak sedikit kusut. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya pagi ini."Ada apa kamu ke mari?" tanya Samantha sambil membuka pintu kamar hotel. "Masuklah, kita berbicara di dalam saja."Jennifer mengekori Samantha masuk ke dalam, kemudian mendudukkan diri di atas sofa."Apa kamu dan kakakku baik-baik saja? Kalian tidak bertengkar, 'kan?" tanya wanita berambut pirang itu dengan wajah khawatir.Samantha menggelengkan kepala. "Kami baik-baik saja dan tidak bertengkar. Ada apa?" Jennifer mengembuskan napas lega. "Tidak, aku hanya ingin memastikan bahwa kalian baik-baik saja. Sebenarnya tadi malam Dante memarahiku habis-habisan. Kupikir kalian berdua bertengkar. Semalaman aku tidak bisa
Malam harinya, ketika Samantha sedang menangis karena luka di lengannya terasa begitu nyeri, sebuah ketukan pada pintu membuat gadis itu tertahan. Samantha menoleh ke arah pintu dan segera mengusap pipinya saat suara Dante samar-samar terdengar. Samantha menurunkan kedua kakinya dari atas kasur, lalu melangkah mendatangi pintu dan membukanya. “Dante,” gumam Samantha terdengar lirih. Dante mengamati wajah gadis itu sebelum berpindah menatap lengannya yang diperban. Pria itu langsung menghela napas. Dante sudah mendengar insiden tadi siang dari adiknya. “Mengapa kamu menangis? Apa kamu kesakitan?” tanya Dante setelah mengunci pintu. Dipandanginya sekali lagi wajah Samantha yang mengangguk dengan wajah murung. Sejak tadi Samantha merasa sangat gelisah sebab luka di lengannya terus berdenyut nyeri. Gadis itu tidak bisa tidur dan berakhir menangis. Dante mengulurkan tangannya dengan perlahan. Menangkup kedua pipi Samantha lalu mengusapnya dengan ibu jari. Pria itu tidak mengatakan ap
Samantha tidak mempunyai pilihan selain mengikuti Dante kembali ke Portland. Karena kondisinya, Jennifer tidak mengizinkan gadis itu untuk kembali melakukan pemotretan. Pada akhirnya di sinilah Samantha berada, duduk di lobi salah satu anak perusahaan LUX Holding menunggu sang suami yang sedang melakukan rapat.Hampir satu jam Samantha menunggu dan gadis itu mulai merasa gelisah. Berdiri, berjalan, lalu kembali duduk. Samantha lakukan hal itu berulang-ulang demi mengusir rasa penat.Hingga pendengarannya tak sengaja menangkap suara ribut, Samantha menengok ke luar dan melihat seorang wanita berusia empat puluhan mengamuk ingin masuk. "Astaga, apa yang terjadi?" gumam Samantha pelan. Petugas keamanan dengan begitu tangkas mencegah wanita tersebut masuk ke dalam gedung perusahaan. Meski pada akhirnya wanita itu menggila dan menjambak rambut mereka. Para petugas keamanan mulai merasa kewalahan."Nyonya, Anda tidak boleh masuk ke sini tanpa adanya kepentingan yang jelas," kata salah sat
Dante menekan ibu jari di dahinya sambil sesekali mendesah dengan kasar. Dante tak habis pikir. Lagi-lagi Samantha ditimpa masalah dan sekarang gadis itu harus kembali ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Padahal luka sebelumnya masih belum sembuh, tetapi Samantha sudah mendapatkan luka baru. Dan yang paling membuat Dante jengkel setengah mati adalah di mana Samantha dengan begitu mudah memaafkan kedua wanita yang menjadi pelaku penyerangan terhadapnya. Dante sudah menghubungi tim hukumnya untuk menuntut kedua wanita itu. Namun Samantha malah memohon padanya agar melepaskan dan memilih untuk berdamai. Tidakkah Samantha tahu bagaimana cara kerjanya? Setidaknya orang-orang seperti itu harus dihukum untuk memberi efek jera! Tapi, ah sudahlah, Dante kehabisan kata-katanya. “Bisakah kamu duduk, Dante? Kamu membuatku pusing melihatmu terus mondar-mandir seperti itu,” kata Jasper yang merasa tidak tahan lagi. Sudah dua puluh menit sejak Dante melakukan hal itu. Dante terus mondar-ma
Terdengar suara ketukan beberapa kali sebelum akhirnya pintu terbuka karena seseorang mendorongnya. Dante langsung melemparkan pandangan ke sana dan mendapati Jasper datang dengan sekotak kue di tangannya. Dante menghampiri Jasper yang duduk di sofa setelah pria itu meletakkan kotak kue ke atas meja. Jasper tampak kelelahan sebab harus berkeliling ke beberapa toko kue hingga akhirnya mendapatkan lemon cake. Kalau saja bukan Dante yang menyuruh, Jasper tidak akan mau membuang waktunya melakukan hal tersebut.“Apa kamu ingin makan kue ini sekarang?” tanya Dante sambil menatap Samantha. Gadis itu mengangguk antusias. Tentu saja ia ingin memakan kue itu sekarang! Samantha sudah cukup bersabar menunggu Jasper datang membawakan kue tersebut untuknya. Dante mengambil sepotong lemon cake dan meletakkannya ke atas piring kecil. Memberikannya pada Samantha yang tampak antusias mengulurkan tangannya untuk menerima piring berisi lemon cake tersebut. “Terima kasih!” seru gadis itu. Samantha me
Dante segera menjauhkan wajahnya saat mendengar suara ketukan pada pintu. Siapa lagi yang datang kali ini? Sambil mendesah sedikit kasar, Dante melangkah mendekati pintu dan membukanya. Untuk sepersekian detik lamanya Dante hanya diam memperhatikan tiga orang yang berdiri di depannya itu. Suasana hatinya mendadak buruk. Dante tidak mengharapkan ketiga orang itu berada di sini sekarang. “Tuan Dante Adams, maaf mengganggu waktu Anda. Kami datang ke mari untuk meminta maaf sekali lagi dengan tulus pada Anda dan istri Anda.” Sean Daley mengumumkan.Dante menatap Sean Daley—si Manajer Umum—sekilas, lalu menatap kedua wanita yang sedari tadi hanya diam sambil menundukkan kepala. Detik berikutnya Dante kembali mendesah kasar karena amarahnya kembali memercik di dalam sana. Perutnya mendadak mual melihat kedua wanita yang sebelumnya menyerang Samantha berdiri di hadapannya. “Masuklah!” sahut Dante setelah berpikir beberapa saat. Dante segera membalik tubuhnya dan melangkah mendatangi Saman
Setelah dirawat selama satu malam di rumah sakit, keesokan paginya Samantha memohon pada Dante agar segera membawanya pulang kembali ke hotel. Sejak awal Samantha merasa jika keputusan Dante yang bersikeras agar dirinya dirawat di rumah sakit sudah salah. Samantha hanya mengalami luka ringan, tetapi Dante bersikap seolah-olah gadis itu baru saja mengalami kecelakaan besar dan kondisinya sangat parah."Ayolah, Dante. Aku lebih senang beristirahat di dalam kamar hotel daripada di sini." Samantha memohon dengan suara memelas sambil menempelkan kedua telapak tangannya.Dante mengamati gadis itu dengan seksama. Selain luka cakar yang kemerahan, wajah Samantha yang sebelumnya tampak pucat sudah terlihat segar pagi ini. "Baiklah, aku akan membawamu pulang hari ini."Samantha langsung tersenyum semringah ketika Dante mengabulkan permohonannya. "Terima kasih, Dante!" seru gadis itu merasa sangat senang.Dante pun melangkah keluar dari ruangan untuk mengurus administrasi kepulangan. Setelah