Clara yang sedari tadi menonton lantas tertawa puas. Seolah yang terjadi di depan matanya itu adalah sebuah pertunjukan yang luar biasa. Ia merasa sangat senang melihat Samantha nampak menderita dan putus asa. Samantha memandangi Clara dengan penuh air mata. “Mengapa kamu sangat jahat?” tanyanya dengan suara bergetar. Clara menghentikan tawanya, kemudian mengulas senyum miring sambil memandangi Samantha dengan tajam. “Aku tidak jahat, Samantha. Aku hanya ingin mengingatkanmu di mana posisimu seharusnya. Selama ini kamu seperti melupakan tempatmu dan terus-terusan membuatku kesal.” Usai mengatakan hal itu, Clara bangkit berdiri. Gadis itu melangkah mendatangi Samantha yang tidak berdaya karena Frankie menyekapnya dengan kedua tangan. Masih dengan mata berkaca-kaca, Samantha membalas tatapan Clara yang membara penuh kebencian. Sekeras apapun Samantha memikirkan, ia masih tidak bisa memahami mengapa Clara selalu menargetkannya. Jika semua ini Clara lakukan demi mendapatkan Dante, buk
Samantha berlari menuju pintu setelah mendengar suara ketukan lalu membukanya. “Dante …?” kata gadis itu dengan ekspresi terkejut. Beberapa jam yang lalu Samantha menghubungi Jeremiah dan memintanya datang ke mari. Jadi, ketika mendengar suara ketukan di pintu, Samantha berpikir sahabatnya itulah yang datang. Namun ia dikejutkan dengan keberadaan Dante yang datang secara tidak terduga. “Mengapa kamu sangat terkejut? Apa kamu menunggu orang lain?” tanya Dante kemudian melenggang masuk ke dalam kamar. Samantha bergumam pelan. Gadis itu mengekori Dante kemudian ikut duduk di sofa yang sama dengan pria itu. “Tidak, uhm, sebenarnya aku pikir kamu adalah Jere.” Dante memandangi Samantha dengan tatapan dingin. “Oh, aku tidak tahu kamu sedang menunggu pria lain. Jadi, apakah aku mengganggu?” sindirnya dengan nada tidak suka. Samantha segera menggelengkan kepala saat Dante mengatakan hal tersebut. “Tentu tidak. Aku hanya terkejut dan tidak menyangka kamu bisa tahu aku di sini."Tangan kana
Setelah melalui sedikit perdebatan dengan Dante, Samantha akhirnya setuju mengikuti pria itu kembali ke Boston. Dante bersikeras meminta Samantha untuk ikut bersamanya. Bagaimanapun Dante merasa khawatir pada gadis itu. Tepat satu jam yang lalu mereka tiba di kamar hotel tempat Dante menginap sebelumnya. Sebuah kamar dengan tipe presidential suite yang begitu mewah dan luas. Samantha berdiri di depan jendela sambil menikmati cokelat panas dan pemandangan malam kota Boston. Samantha tersenyum puas setelah menyesap cokelat panas terakhirnya. “Pemandangan di sini sungguh indah,” gumamnya dengan mata berbinar. Ponsel Samantha berdering. Namun gadis itu terlalu tenggelam dalam pemandangan indah kota Boston hingga membuatnya tidak menyadarinya. “Apa kamu tidak mendengar? Ponselmu berdering.” Dante mengulurkan lengannya untuk memberikan ponsel Samantha. “Oh, benarkah? Aku tidak mendengarnya … terima kasih."Sebuah panggilan telepon dari Jeremiah terpampang di layar ponselnya. Samantha me
“Apa? Jangan konyol! Aku tidak akan mengizinkanmu jalan-jalan sendirian!” Dante menekankan suaranya. Salah satu alisnya terangkat sementara matanya memandangi Samantha dengan tajam. Tidakkah gadis itu merasa takut setelah apa yang menimpanya di Miami? Samantha mendesah pelan. “Tidak, aku ingin sendirian,” ucapnya bersikeras. Samantha ingin menata kembali pikirannya yang sempat kacau karena pria itu. Dante menggertakkan gigi kuat-kuat. Matanya semakin tajam memandangi gadis di hadapannya itu. “Aku tidak mengizinkan itu,” sahutnya dengan nada yang tidak ingin dibantah. “Jika kamu ingin jalan-jalan, aku akan menemanimu. Tapi jika kamu menolak, maka lupakan tentang jalan-jalan.” Samantha menggigit bagian dalam bibirnya dan merasakan ketegangan mulai membalut ruangan kamar. Ketegangan yang mendadak muncul saat kemarahan Dante mulai berkobar. “Baiklah, kamu menang!” seru Samantha dengan wajah masam. Bagaimanapun Samantha masih belum menemukan sebuah taktik yang bisa membuat Dante bertek
Samantha duduk di tepi jendela kedai sambil menikmati kopi dan cake. Sementara Dante, pria itu sibuk berbicara dengan seseorang melalui telepon di luar sana. Sesekali Samantha memperhatikan pria itu, Dante nampak begitu serius dan juga marah. Dahi Samantha sedikit berkerut. “Ada apa dengannya? Mengapa dia terlihat marah?” gumamnya masih memandangi Dante yang berdiri di luar kedai. Tok! Tok! Samantha hampir terlonjak dari tempat ia duduk saat mendengar suara ketukan pada meja. Dan ketika ia menoleh, ada seorang pria asing duduk di seberangnya. Samantha memandangi pria tersebut dengan wajah datar. Detik berikutnya ia pun membuka suara, “Anda tidak bisa duduk di sana karena itu adalah kursi suamiku, Tuan.” Pria asing itu hampir terbahak mendengar kalimat yang diucapkan Samantha. Ia sudah memperhatikan gadis itu sejak tadi dan ia melihat Samantha datang sendirian. Memang benar Samantha masuk ke kedai kopi ini seorang diri sebab Dante memilih tinggal di luar untuk menerima telepon. Na
Dante membanting ponsel Samantha ke atas sofa sementara wajahnya berubah menjadi merah padam. Kemarahan Dante meledak-ledak sesaat setelah melihat foto telanjang Samantha yang dikirim oleh seseorang. “Jelaskan padaku soal foto yang baru saja kulihat tadi! Apa kamu tahu siapa pengirimnya?” tanya pria itu dengan suara parau. Ia memandangi Samantha yang duduk dengan wajah pucat. Samantha meraih ponselnya lalu memegangi benda tersebut dengan kepala menunduk. Ia tidak berani menatap langsung mata Dante. Samantha merasa sangat malu hingga kehilangan muka. “Jawab aku, Samantha! Kenapa diam saja seperti gadis bodoh!” bentak pria itu.Samantha refleks memejamkan mata saat Dante berteriak padanya. Mengapa Dante meluapkan kemarahannya pada Samantha? Sadarkah pria itu bahwa di sini Samantha-lah yang menjadi korbannya? “Kamu tidak mendadak jadi bisu ‘kan, Samantha?! Cepat jelaskan padaku kenapa kamu berfoto tanpa busana!” Rasanya Dante hampir menggila. Ia menuntut jawaban dari Samantha namun g
Keesokan harinya, Samantha kembali ke kediaman keluarga Adams setelah beberapa hari mengikuti Dante melakukan perjalanan bisnis di Boston. Kedatangannya disambut oleh Margareth dengan wajah angkuh. “Ke mana saja kamu, hah?!” teriak Margareth penuh kemarahan. Samantha meneguk saliva dengan sedikit payah saat bertatapan dengan Margareth yang melotot sambil berkacak pinggang di samping tangga. Detik berikutnya gadis itu langsung menundukkan kepala serta menurunkan nada suaranya. “Maaf, Bu. Aku—” “Sudahlah! Jangan banyak alasan! Aku benci seseorang yang berbohong dan suka membuat alasan!” tukas Margareth. Samantha mengembuskan napas pelan. Margareth bahkan belum mendengar penjelasan Samantha, tetapi ia sudah menuding gadis itu berbohong dan membuat alasan. “Ada apa ini? Mengapa Ibu berteriak?” tanya Dante yang baru saja masuk. Margareth sedikit tersentak saat mendengar suara putranya. Dengan sangat cepat wanita paruh baya itu merubah ekspresinya yang semula masam menjadi tersenyum s
“Permisi, aku ingin mengambil pesanan kue atas nama Nyonya Margareth Adams,” ucap Samantha di meja kasir. Dua puluh menit yang lalu gadis itu mendapat perintah dari ibu mertuanya untuk mengambil kue pesanannya di Lilian’s Bakery. Wanita paruh baya itu mengatakan jika hari ini ia akan kedatangan tamu spesial di rumah. Samantha tidak berpikiran macam-macam ketika Margareth memerintahkan dirinya untuk mengambil kue. Meski sebenarnya ia bisa menyuruh salah seorang ART, namun Samantha tidak ingin membuat keributan dengan menolak perintah ibu mertuanya itu. “Maafkan aku, Nona. Tapi pesanan kue atas nama Nyonya Margareth Adams sudah diantar sepuluh menit yang lalu.” Kedua mata Samantha sontak melebar. “Apa? Sudah diantar? Tapi, orang yang bersangkutan menyuruhku …,” tiba-tiba Samantha menyadari jika Margareth mungkin sedang mempermainkannya, “baiklah kalau begitu, permisi.” Samantha melangkah keluar dari Lilian’s Bakery dengan perasaan kecewa. Samantha sungguh tak habis pikir dengan ting