Dua hari kemudian, ketika Dante sudah berangkat melakukan perjalanan bisnis, Samantha berpapasan dengan Margareth saat ia akan berangkat bekerja. Wanita paruh baya itu memandangi Samantha dengan sinis. Persis seperti yang dilakukannya selama ini. “Pastikan untuk pulang sebelum pukul lima sore.” “Tapi, Bu, aku … baiklah. Akan kupastikan untuk pulang sebelum pukul lima sore,” sahut Samantha lemah. Lagi-lagi gadis itu memutuskan untuk mengalah. Margareth melangkah masuk ke dalam setelah membuat Samantha tidak punya pilihan. Dalam hatinya merasa sangat muak. Entah mengapa ia tidak bisa menahan kebenciannya saat melihat gadis itu. Bagi Margareth, Samantha tidak lebih dari sekedar pengacau yang merusak semua rencananya. Jika saja gadis itu tidak muncul, tentu saja sekarang ia sudah menjadi besan keluarga Johnson. Entah di mana Dante menemukan gadis itu, Margareth sangat menyayangkan keputusan putranya menikahi gadis seperti Samantha Rayne. Mungkin tidak masalah jika Dante hanya bermain-
“Bukankah dia gadis yang bersamamu di video viral waktu itu? Dia orangnya, bukan? Yang menyerangmu sampai wajahmu terluka.” Nicole menanyai Samantha setelah tak sengaja melihat Clara Johnson sedang berbincang dengan Emily Kiehl. Samantha bergumam sambil menganggukkan kepalanya. Pandangannya masih tak lepas dari sosok Clara Johnson yang berdiri di kejauhan. “Ya, kamu benar. Dia orangnya.” “Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah menurutmu Emily bertingkah sedikit aneh?” ucap Nicole keheranan. Sebagai seseorang yang selalu memandang rendah orang lain dan juga galak. Melihat Emily begitu menghormati Clara tentu mengundang kecurigaan bagi siapa saja yang melihat. Tak terkecuali Samantha sendiri, gadis itu merasa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi saat melihat kedua orang itu saling berbincang. Samantha tidak tahu apa yang sedang Clara rencanakan. Ia benar-benar tidak bisa menebak. Namun satu hal yang Samantha yakini, gadis itu pasti akan membuat kekacauan. “Nona Rayne! Kamu y
Saat ini Samantha dan Frankie menaiki jet pribadi untuk menuju ke pelabuhan tempat di mana yacht milik keluarga Johnson berlabuh. Samantha duduk tepat di seberang Frankie yang terlihat antusias. Lelaki berusia dua puluh tiga tahun itu mengakui jika ini adalah kali pertamanya menaiki jet pribadi. “Luar biasa! Aku tidak mengira kita akan menaiki jet pribadi untuk ke pelabuhan,” seru Frankie penuh kekaguman. Samantha terkekeh pelan melihat tingkah Frankie. Kemudian ia mendadak memikirkan bagaimana tingkahnya saat pertama kali menaiki jet pribadi bersama Dante. Apa dia juga senorak itu? “Hey, Nona Rayne. Aku takjub padamu karena bisa sesantai itu. Aku benar-benar tidak bisa menahan diriku sejak tadi. Kamu bahkan tidak tertarik untuk melakukan selfie!” Rasa takjub menyelimuti Frankie saat melihat Samantha begitu santai di kursinya. Seolah berada di sini bukan yang pertama kalinya untuk gadis itu, Samantha terlihat tenang menikmati penerbangan mereka. Samantha merespon dengan mengulas s
Clara yang sedari tadi menonton lantas tertawa puas. Seolah yang terjadi di depan matanya itu adalah sebuah pertunjukan yang luar biasa. Ia merasa sangat senang melihat Samantha nampak menderita dan putus asa. Samantha memandangi Clara dengan penuh air mata. “Mengapa kamu sangat jahat?” tanyanya dengan suara bergetar. Clara menghentikan tawanya, kemudian mengulas senyum miring sambil memandangi Samantha dengan tajam. “Aku tidak jahat, Samantha. Aku hanya ingin mengingatkanmu di mana posisimu seharusnya. Selama ini kamu seperti melupakan tempatmu dan terus-terusan membuatku kesal.” Usai mengatakan hal itu, Clara bangkit berdiri. Gadis itu melangkah mendatangi Samantha yang tidak berdaya karena Frankie menyekapnya dengan kedua tangan. Masih dengan mata berkaca-kaca, Samantha membalas tatapan Clara yang membara penuh kebencian. Sekeras apapun Samantha memikirkan, ia masih tidak bisa memahami mengapa Clara selalu menargetkannya. Jika semua ini Clara lakukan demi mendapatkan Dante, buk
Samantha berlari menuju pintu setelah mendengar suara ketukan lalu membukanya. “Dante …?” kata gadis itu dengan ekspresi terkejut. Beberapa jam yang lalu Samantha menghubungi Jeremiah dan memintanya datang ke mari. Jadi, ketika mendengar suara ketukan di pintu, Samantha berpikir sahabatnya itulah yang datang. Namun ia dikejutkan dengan keberadaan Dante yang datang secara tidak terduga. “Mengapa kamu sangat terkejut? Apa kamu menunggu orang lain?” tanya Dante kemudian melenggang masuk ke dalam kamar. Samantha bergumam pelan. Gadis itu mengekori Dante kemudian ikut duduk di sofa yang sama dengan pria itu. “Tidak, uhm, sebenarnya aku pikir kamu adalah Jere.” Dante memandangi Samantha dengan tatapan dingin. “Oh, aku tidak tahu kamu sedang menunggu pria lain. Jadi, apakah aku mengganggu?” sindirnya dengan nada tidak suka. Samantha segera menggelengkan kepala saat Dante mengatakan hal tersebut. “Tentu tidak. Aku hanya terkejut dan tidak menyangka kamu bisa tahu aku di sini."Tangan kana
Setelah melalui sedikit perdebatan dengan Dante, Samantha akhirnya setuju mengikuti pria itu kembali ke Boston. Dante bersikeras meminta Samantha untuk ikut bersamanya. Bagaimanapun Dante merasa khawatir pada gadis itu. Tepat satu jam yang lalu mereka tiba di kamar hotel tempat Dante menginap sebelumnya. Sebuah kamar dengan tipe presidential suite yang begitu mewah dan luas. Samantha berdiri di depan jendela sambil menikmati cokelat panas dan pemandangan malam kota Boston. Samantha tersenyum puas setelah menyesap cokelat panas terakhirnya. “Pemandangan di sini sungguh indah,” gumamnya dengan mata berbinar. Ponsel Samantha berdering. Namun gadis itu terlalu tenggelam dalam pemandangan indah kota Boston hingga membuatnya tidak menyadarinya. “Apa kamu tidak mendengar? Ponselmu berdering.” Dante mengulurkan lengannya untuk memberikan ponsel Samantha. “Oh, benarkah? Aku tidak mendengarnya … terima kasih."Sebuah panggilan telepon dari Jeremiah terpampang di layar ponselnya. Samantha me
“Apa? Jangan konyol! Aku tidak akan mengizinkanmu jalan-jalan sendirian!” Dante menekankan suaranya. Salah satu alisnya terangkat sementara matanya memandangi Samantha dengan tajam. Tidakkah gadis itu merasa takut setelah apa yang menimpanya di Miami? Samantha mendesah pelan. “Tidak, aku ingin sendirian,” ucapnya bersikeras. Samantha ingin menata kembali pikirannya yang sempat kacau karena pria itu. Dante menggertakkan gigi kuat-kuat. Matanya semakin tajam memandangi gadis di hadapannya itu. “Aku tidak mengizinkan itu,” sahutnya dengan nada yang tidak ingin dibantah. “Jika kamu ingin jalan-jalan, aku akan menemanimu. Tapi jika kamu menolak, maka lupakan tentang jalan-jalan.” Samantha menggigit bagian dalam bibirnya dan merasakan ketegangan mulai membalut ruangan kamar. Ketegangan yang mendadak muncul saat kemarahan Dante mulai berkobar. “Baiklah, kamu menang!” seru Samantha dengan wajah masam. Bagaimanapun Samantha masih belum menemukan sebuah taktik yang bisa membuat Dante bertek
Samantha duduk di tepi jendela kedai sambil menikmati kopi dan cake. Sementara Dante, pria itu sibuk berbicara dengan seseorang melalui telepon di luar sana. Sesekali Samantha memperhatikan pria itu, Dante nampak begitu serius dan juga marah. Dahi Samantha sedikit berkerut. “Ada apa dengannya? Mengapa dia terlihat marah?” gumamnya masih memandangi Dante yang berdiri di luar kedai. Tok! Tok! Samantha hampir terlonjak dari tempat ia duduk saat mendengar suara ketukan pada meja. Dan ketika ia menoleh, ada seorang pria asing duduk di seberangnya. Samantha memandangi pria tersebut dengan wajah datar. Detik berikutnya ia pun membuka suara, “Anda tidak bisa duduk di sana karena itu adalah kursi suamiku, Tuan.” Pria asing itu hampir terbahak mendengar kalimat yang diucapkan Samantha. Ia sudah memperhatikan gadis itu sejak tadi dan ia melihat Samantha datang sendirian. Memang benar Samantha masuk ke kedai kopi ini seorang diri sebab Dante memilih tinggal di luar untuk menerima telepon. Na
Malam harinya, Dante dan Samantha datang ke kediaman keluarga Adams untuk memenuhi undangan makan malam Margareth. Meski sebenarnya Dante merasa tidak berminat—Dante masih curiga pada sikap ibunya yang berubah secara mendadak. Namun pria itu tidak bisa menolak keinginan Samantha yang tampak antusias ingin datang. "Ayolah, Honey. Jangan pasang wajah seperti itu. Tersenyumlah.” Samantha merengek ketika melihat ekspresi Dante yang terlihat kaku. Dante menghela napas pelan, kemudian berusaha menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Meski jelas sekali Dante tampak terpaksa, tetapi Samantha tidak ingin berargumen. Setidaknya Dante masih bersedia datang dan saat ini pria itu sedang tersenyum. Orang pertama yang menyambut kedatangan mereka tentu saja Jennifer Adams. Wanita berambut pirang itu terlihat antusias dengan menghamburkan diri memeluk Samantha. “Rasanya sepi tidak ada kalian di rumah ini. Bagaimana kehidupan pernikahan di kediaman sendiri? Pasti sangat menyenangkan, bukan? Kal
Setelah sepakat untuk memulai kembali hubungan mereka, satu minggu kemudian Dante lantas mengajak Samantha untuk keluar dari kediaman keluarga Adams. Keduanya pindah ke griya tawang yang Dante beli beberapa bulan lalu. Tidak ada yang ingin Dante lakukan selain ingin terus bersama dan menghabiskan waktunya dengan istrinya yang cantik itu. Sebenarnya Dante ingin langsung mengajak Samantha pindah ke griya tawang setelah ia membelinya. Namun ada beberapa ketidakyakinan tersirat di dalam hatinya kala itu. Tetapi kali ini Dante sangat yakin untuk melakukannya dan ia bersumpah tidak akan melepaskan Samantha dari hidupnya. Saat ini Dante masih terlelap di atas tempat tidur mereka yang berukuran king size itu. Dan ketika sinar mentari yang memaksa masuk di celah jendela tak sengaja mengenai kelopak matanya, Dante menggeliat sebentar lalu membuka mata. Ditengoknya ke samping kiri dan ia tidak menemukan Samantha di sana. “Honey …,” seru Dante dengan suara parau. “Hey, di mana kamu?” Karena ti
Dante memutuskan untuk mengantar Samantha pulang ke kediamannya alih-alih mengajak gadis itu ke kediaman keluarga Adams. Satu alasan yang Dante pikirkan adalah karena ingin Samantha menenangkan diri dan beristirahat dengan nyaman tanpa ada yang menganggu. Hingga saat ini gadis itu masih tampak syok dan begitu sedih karena insiden penculikan yang didalangi oleh sahabatnya sendiri.Samantha tak banyak berbicara. Dante juga tak banyak melontarkan pertanyaan pada gadis itu. Sekarang keduanya sedang berpelukan di atas ranjang dengan berbalutkan keheningan.“Aku tidak mengerti mengapa Jere melakukan hal semacam itu. Untuk apa dia menculikku?” Samantha keheranan. Keheningan yang semula membalut ruangan tersebut langsung pecah ketika pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu.Dante meneguk saliva dengan sedikit payah. Sejujurnya Dante sudah mengetahui jika keluarga Sinclair telah jatuh bangkrut. Dan alasan Jeremiah menculik Samantha adalah karena pria itu memerlukan banyak uang.Dant
Dante tiba di Panti Asuhan Mida empat jam setelah menerima informasi lokasi dari Jeremiah. Seperti yang pria itu inginkan, Dante datang seorang diri dengan membawa dua buah tas berukuran besar. Dante berjalan sambil mengamati area sekitar, kewaspadaan memenuhi diri pria itu.“Cih! Dasar berengsek. Dia pasti memilih tempat ini setelah menyurvei berkali-kali,” geram Dante.Lokasi yang dipilih Jeremiah sangat jauh dari keramaian. Dante bahkan harus menyetir selama berjam-jam agar tiba di tempat ini. Panti asuhan ini seperti bangunan terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan, tidak akan ada yang datang menolong meski seseorang berteriak dengan lantang di tempat ini.Dante terus berjalan hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan tempat Samantha disandera. Dengan kemarahan yang berkobar di dalam dirinya, Dante menendang pintu di depannya itu dan bergegas masuk ke dalam.“Samantha!” teriak pria itu ketika melihat wanita pujaannya tepat di depan mata.Tepat di depannya, Samantha duduk
Keesokan malamnya, Dante kembali mampir ke area kediaman Samantha seperti yang biasa ia lakukan. Namun ada yang aneh kali ini, kediaman gadis itu tampak gelap gulita. Dante sudah berada di sana selama sepuluh menit dan tak ada tanda-tanda keberadaan Samantha di sana. “Apa mungkin dia belum pulang?” gumam Dante curiga. Dante ingat Jennifer memberi tahunya bahwa hari ini Samantha pulang lebih awal. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lalu, ke mana perginya gadis itu? Setelah bergulat dengan beberapa macam dugaan, Dante memutuskan untuk turun dari mobil dan memeriksa langsung gadis itu di kediamannya. Dante mengetuk pintu hingga beberapa kali sambil memanggil nama Samantha. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu. Dante semakin gelisah. Dengan cekatan salah satu tangannya meraih ponsel dan menghubungi seseorang dari daftar kontak. Tapi lagi-lagi Dante harus melontarkan sumpah serapah sebab panggilannya tidak berhasil tersambung. “Sial!” umpat Dante kesal. S
Masa kini …. Setelah semua kekacauan yang terjadi, Dante memutuskan untuk mengembalikan rumah yang sempat ia rampas dari Samantha dulu dan memberikan hak milik pada gadis itu. Setiap hari sebelum dan setelah pulang bekerja Dante selalu menyempatkan diri untuk mampir. Tentu saja ia hanya bisa berdiri dari kejauhan dan mengawasi gadis itu sambil berharap keajaiban. Samantha masih tidak bersedia—atau bahkan sudah tidak sudi—untuk bertemu dengannya. Dante sadar tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membela diri sekarang. Ia jelas salah dan sekarang ia harus menerima hukumannya. Memikirkan perjanjian mereka akan berakhir dalam beberapa bulan jelas menambah ketakutan di hati Dante. Sebelumnya ia dengan percaya diri dapat mempertahankan Samantha di sisinya. Namun keadaan menjadi terbalik dalam sehari, sekarang Dante tidak yakin ia akan berhasil melakukannya. “Samantha, maafkan aku,” gumam Dante pelan. Tatapan matanya sama sekali tak lepas dari jendela kamar Samantha yang lampunya masih men
Beberapa hari setelah acara peragaan busana ....Dante membaca dengan serius laporan pemeriksaan latar belakang yang ia terima dari Jasper. Tidak ada satu baris kalimat pun yang lolos dari kedua mata Dante. Pria itu membaca semuanya tanpa terkecuali.“Jadi namanya Samantha Rayne,” ucap Dante seraya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya.“Nama yang indah. Tidak salah orang tuanya memberi nama Samantha, selaras dengan wajahnya yang juga indah.” Jasper menjawab dengan santai.Dante hanya tersenyum tipis saat mendengar jawaban Jasper. Kedua matanya masih sibuk memindai baris kata yang tertuang di dalam laporan hingga sebuah kalimat berhasil membuatnya tersenyum lega. Sebuah kalimat yang menyatakan jika Samantha Rayne adalah seorang gadis lajang.“Oke, kurasa mudah untukmu membuatnya terlibat denganku. Kamu bisa menjadikan adiknya sebagai umpan.” Dante menutup laporan latar belakang Samantha kemudian memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.“Aku sudah memikirkannya. Ini akan menjadi
Acara peragaan busana Jennifer Adams. Beberapa bulan yang lalu ….“Aku sudah menemukan calon pengantinku.” Kalimat itu meluncur dengan mudah dari mulut Dante.“Benarkah? Apa aku mengenalnya?” Jasper hampir tidak percaya saat mendengar kalimat itu dari Dante.“Tidak, kamu tidak mengenalnya. Bahkan aku pun tidak,” Dante menjawab tanpa menatap Jasper yang duduk menganga di sampingnya, “tapi kita akan segera mengenalnya,” lanjutnya kemudian menunjuk seorang gadis yang berdiri di depan mereka dengan dagunya.Jasper sontak mengarahkan matanya ke arah di mana dagu Dante menunjuk. Meski tidak terlalu yakin apakah gadis dengan balutan gaun pengantin itu adalah yang Dante maksud, Jasper hanya mengeluarkan satu kalimat. “Mengapa dia?” tanyanya.“Entahlah. Aku hanya merasa dia akan mudah dihadapi.” Bahkan Dante sendiri tidak terlalu yakin mengapa ia memilih gadis itu sebagai calon pengantinnya. Hanya saja instingnya mengatakan jika semuanya akan berjalan dengan mudah jika memilih gadis itu.Dante
Dante tidak dapat mempertahankan Samantha meski ia telah memohon pada gadis itu berkali-kali. Sekarang Dante harus menerima kenyataan jika Samantha telah membencinya. Gadis itu tidak ingin melihatnya lagi.“Aku tahu ini adalah hukuman. Tapi rasanya sangat menyakitkan untuk menerima kenyataan bahwa Samantha telah membenciku. Dia tidak ingin melihatku lagi, Jasper.” Dante memijat pelipisnya kemudian mendesah kasar.Di seberangnya, Jasper yang sedari tadi hanya diam menyimak ikut mendesah. “Aku minta maaf karena situasinya menjadi kacau seperti ini, Dante,” kata pria itu terdengar menyesal. Seolah kekacauan ini terjadi karena ulahnya.Dante menggelengkan kepala. “Ini bukan salahmu. Jelas sekali bukan salahmu, kawan,” sahutnya dengan suara lemah.Tidak ada alasan bagi Dante untuk menyalahkan Jasper. Dante bukan seorang pemuda berusia enam belas tahun lagi. Usianya sebentar lagi akan menginjak angka tiga puluh tujuh, tentu saja Dante tidak akan bersikap kekanakan untuk menjadikan Jasper se